My Iceberg/C5 Bab 5 Rapat
+ Add to Library
My Iceberg/C5 Bab 5 Rapat
+ Add to Library

C5 Bab 5 Rapat

Memasuki kembali ruang kerjanya, perasaan Ganis sudah mulai tenang. Bagaimanapun, pikirnya. Ia harus bisa menegakkan badannya untuk menghadapi Prana. Jangan terlihat lemah, seperti Ganis yang dikenalnya selama ini. Yang manja, yang kolokan dan sangat naif, hingga semua orang dianggapnya baik.

Dengan sedikit memperbaiki riasan wajahnya, Ganis sudah nampak segar lagi. Meski kesembaban matanya, tak begitu dia dapat sembunyikan.

"Nis, tadi kenapa wajahmu pucat sekali?" tiba-tiba Felix mengamit tangan Ganis, begitu melihat wanita itu masuk ke ruangan rapat bersama Mila.

"Aku memang agak kurang enak badan hari ini, tapi tidak apa-apa. Aku sudah minum obat pusing tadi, sebelum ke sini." dustanya.

Felix menatapnya menyelidik. Wajahnya memang sudah tidak lagi terlalu pucat seperti tadi. Ia sempat membedaki wajah dan mengoles lipstik di bibirnya, sebelum masuk keruangan rapat ini.

"Kalau begitu, sebaiknya kamu istirahat saja. Tidak perlu ikut rapat hari ini. Aku bisa memberi menjelaskan kepada Prana tentang kondisimu saat ini."

"Kamu mau membuat aku melewatkan rapat pertamaku? Untuk menunjukan kemampuanku pada Direktur Utama kita? Aku baru bekerja di sini, tidak mau memberi kesan pertama dengan ketidakhadiranku."

"Nis ... ayolah." bujuk Felix dengan sorot mata memohon. Tepat saat Prana masuk dan melihat mereka. Matanya melirik sekilas tangannya yang sedang dipegang Felix, dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Melewati mereka.

Tidak ada kesempatan lagi buat Felix untuk membujuknya. "Oke, kamu ikut rapat, tapi aku harap jangan terlalu memaksakan diri." pesannya sebelum dia duduk di kursinya. Sementara Ganis menghampiri kursi yang masih kosong, di sisi Mila yang tersenyum padanya.

Sepertinya Mila ingin mengatakan sesuatu. Namun, perhatiannya segera teralihkan ketika mendengar suara bariton Prana mengatakan akan memulai rapatnya kali ini.

Tidak ada orang yang berani bersuara lagi. Tubuh itu berdiri, layaknya gunung es yang tak seorang pun mampu menandingi kharismanya.

Sepanjang rapat, Prana sama sekali tidak mengarahkan pandangannya kepada Ganis. Seolah menganggapnya tidak ada. Beda dengan Felix yang selalu meliriknya, masih sangat mencemaskannya.

Setelah mendapatkan laporan hasil kerja dari beberapa rekannya, secara tak terduga Ganis tiba pada gilirannya.

"Saya ingin mendengar laporan dari hasil kerja desain interior kita yang baru."

Deg!

Ganis tetap saja merasa terkejut.

Dia sebenarnya sudah siap mental, bila diminta untuk mempresentasikan hasil kerja, di rapat ini. Desain gambar yang sudah dibuatnya pun, ada beberapa yang sudah jadi.

Akan tetapi, karena ini kali pertama, membuatnya sedikit gugup. Ia harus melakukannya, terutama yang di hadapinya ini adalah Prana. Sama sekali tidak ingin menunjukan kelemahannya.

Dia berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Dengan percaya diri Ganis berdiri, semua memandangnya termasuk Prana. Ia menatap Prana sekilas, kemudian fokus lagi pada kertas-kertas yang ada di tangannya.

Tidak ada komentar apapun, saat gambar-gambar itu tampil di layar. Ganis secara detail menjelaskan hasil kerjanya sampai ke budget yang sudah ia perhitungkan." Untungnya, ia punya pengalaman kerja waktu di Yogyakarta. Sudah sering mempresentasikan hasil kerja teamnya, di rapat seperti ini.

Semua bertepuk tangan, mengapresiasi Ganis yang telah begitu lancar menunjukan keahliannya, tanpa sangkalan dari Prana.

Felix menatapnya dengan kagum. Mengacungkan jempolnya, saat Ganis sudah duduk di kursinya kembali.

Mila berbisik, “Good job, Nis!” Ganis meliriknya, tersenyum samar.

"Jangan terlalu puas, Mil. Ini belum apa-apa, dibanding ke depannya yang harus aku hadapi." katanya, agak kecut.

"Hey, tadi itu sudah sangat bagus, semangatlah!" Ganis tak berkata lagi, ia sibuk membereskan berkas-berkas yang ada di hadapannya.

Ia cepat beranjak dari ruangan, saat rapat dinyatakan sudah selesai.

"Nis!" Felix memanggilnya, sudah berdiri dan bermaksud menghampiri Ganis. Namun, suara Prana mencegah niatnya untuk lanjut melangkahkan kakinya.

"Ada yang harus gue bicarakan, Fe. Bersama Aldy dan Bram." ucap Prana, serius. "Gue harap kalian jangan meninggalkan dulu ruangan ini."

Ketiganya saling memandang, tapi akhirnya mereka duduk kembali. Sementara Ganis dan Mila keluar ruangan rapat, punggungnya hanya bisa di lihat oleh Felix dengan hati masygul.

"Ada sedikit masalah pada proyek kita yang ada di Kalimantan. Gue sudah coba selidiki selama beberapa hari ini di sana, tapi belum secara pasti dapat tahu apa penyebabnya. Lo bisa membantu gue lebih lanjut tentang hal ini, Fe?" tatapan Prana tertuju pada Felix. "Gue ada acara lelang proyek bersama Aldy, yang harus gue hadiri." ungkapnya memberi alasan, kenapa ia tidak meneruskan penyelidikannya di sana.

"Tidak masalah, gue akan melakukannya." tegas Felix. "Mungkin gue akan mengajak serta desain interior kita yang baru. Untuk sekalian memperkenalkan proyek besar kita, yang sedang dikerjakan di sana."

Mata Prana menyala tajam, "Lo pergi sendirian. Mila sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya, jadi jangan mengganggunya dengan cara mengambil pekerja baru itu." tegasnya.

"Yeahhh ... Pran. Lo sudah biasa sendirian ke mana-mana, tapi gue inginlah sekali-kali ditemani wanita cantik saat berada di luar."

Prana merapatkan bibirnya, saat mendengar keinginan Felix yang sedikit mencari kesempatan itu. "Lo, tidak takut diamuk Mila? Jadi, hentikan ide gila Lo itu." tegasnya tak bisa di kompromi lagi.

Ia mengarahkan tatapannya pada Aldy. Menghentikan pembicaraannya dengan Felix, secara sepihak. "Gimana, Al? Semua sudah lo persiapkan untuk acara lelang proyek itu? Kita berharap tender ini bisa kita dapatkan." tegasnya dengan penuh semangat, "kerjaan Lo lancar kan, Al? Gue lihat dari hasil laporan lo tadi, tidak ada kendala yang berarti."

Meski agak heran, karena ia sudah merasa menjelaskan secara detail di rapat tadi, tapi kenapa Prana harus bertanya lagi soal ini? Aldy menjawab juga. "Soal acara lelang, lo gak usah khawatir, Pran. Sudah gue persiapkan dan kita siap bersaing untuk memenangkannya." kekehnya. "Kalau soal proyek yang sedang gue kerjakan, udah gue bahas di rapat tadi, kan? Apa kurang jelas?" tanya Aldy. Prana yang ditatapnya, terlihat kaku.

"Gue udah paham." jawabnya datar.

Aldy agak memicingkan matanya sambil sedikit tersenyum. "Gue liat, lo agak gak fokus di rapat tadi, sebenernya ada apa, Pran?" kini Aldy yang balik tanya.

"Gue, hanya sedikit lelah saja." katanya beralasan.

"Lo, butuh hiburan, Pran. Agak santai sedikitlah ... Jangan melulu yang lo pikirkan itu hanya kerja, kerja, kerja, terus." seloroh Aldy.

Prana terlihat diam. Benar juga kata Aldy, dia butuh hiburan. Sekelebat bayangan wanita cantik yang sangat manja

Selalu membuatnya tersenyum dan tertawa lepas, akibat ulah jahilnya yang bikin dia semakin gemas jadinya. Namun, ia harus menepiskan bayangan itu.

Sosok Ganis, sudah tidak bisa menghiburnya lagi. Wanita itu sudah menjadi orang lain yang tidak begitu lagi dikenalnya, di mata juga hatinya.

"Soal kerjaan gak usah terlalu lo pikirkan, kita kan, sudah berkomitmen bahwa kita akan bertanggung jawab pada tugas kita masing-masing." Aldy berusaha meyakinkan. Kembali terkekeh, sesuai dengan karakternya yang tidak begitu serius. Namun, Prana tahu dalam hal pekerjaan, Aldy seorang yang sangat bertanggung jawab.

"Ok, terima kasih, Al. Kita semua akhir-akhir ini, memang telah bekerja keras untung menangani proyek-proyek kecil maupun besar. Sepertinya belum ada waktu untuk kita beristirahat, karena muncul lagi beberapa proyek yang akan segera kita kerjakan. Kalian harus tetap semangat." ucap Prana dengan lugas.

"Bram?" tatapannya di alihkan kepada sahabatnya yang agak pendiam ini.

"Sesuai dengan yang sudah gue jelaskan di rapat tadi, proyek yang gue kerjakan ini sudah mulai rampung. Bukan proyek besar juga, jadi tidak begitu banyak menimbulkan masalah. Semoga hasil akhirnya sesuai dengan harapan kita semua."

Wajah dingin Prana sedikit bersinar, "Syukurlah, itu yang kita harapkan. Gue harap juga, kalau ada masalah untuk segera dilaporkan dan kita bicarakan bersama."

"Fe, jangan tunda keberangkatannya ke Kalimantan. Segera selesaikan masalah di sana." perintah Prana, sambil bersiap-siap untuk meninggalkan ruangan rapat. "Terima kasih atas kerjasama kalian, hingga perusaan kita ini, semakin besar."

"Heran gue, ada apa sih sama dia? Mesti nahan kita segala. Sudah jelas kan, tadi di rapat?" ucap Felix, setelah punggung Prana tidak terlihat. Agak ngedumel, karena rencananya mau deketin Ganis setelah rapat, jadi gagal.

"Kasihan juga Ganis, kalau harus terus lo tempelin kayak perangko. Sepertinya agak kurang sehat liatnya." seloroh Aldy. Mengangkat bokongnya, untuk segera meninggalkan ruangan yang diikuti oleh Bram.

Di tempat lain, Mila sedang memperhatikan wajah Ganis yang sudah duduk di sebelahnya. "Nis, sepertinya kamu kurang sehat deh. Aku antar untuk memeriksakan diri ke ruang kesehatan perusahaan, yuk?" ajaknya.

"Aku gak apa-apa, Mil. Jangan terlalu cemas gitu ah. Apa kata dunia, kalau karyawan baru sudah mengeluh sakit, padahal belum lama bekerja."

"Mau karyawan baru kek atau karyawan lama kek. Kalau merasa sakit, ya diobatin. Perusahaan ini sudah menyediakan tempat lengkap dengan seorang dokter dan perawatnya." kata Mila ngotot.

Kepala Ganis yang memang sudah pening, jadi tambah lagi pening. Ia hanya ingin menyimpan kepalanya ini, di atas bantal yang empuk, lalu memejamkan matanya untuk tidur. Berusaha melupakan masalah yang sedang menderanya.

Seandainya Mila tidak mengenal Prana, ingin saja ia menceritakan semua masalahnya ini. Namun, tentu saja hal ini tidak bisa ia lakukan. Mungkin tidak saat-saat ini.

"Aku tadi sudah minum obat sakit kepala, Mil. Jadi tenang saja, kepalaku sudah agak ringan." dustanya seperti tadi pada Felix.

Ya ampun, gara-gara pusingnya ini, ia sudah dua kali membohongi temannya.

.

"Seandainya kamu masuk ruang Felix atau Prana, enak tuh ada kamar pribadinya. Kalau sekedar hanya untuk beristirahat. Namanya juga, ruang Bos." ujar Mila sambil tersenyum. Kembali ke lembar desain gambar yang sedang digarapnya.

Ah, seandainya ia masih berhubungan baik dengan Prana. Tentu laki-laki itu, tidak akan membiarkan dirinya semenderita ini. Dia terlalu baik, saat sebelum kejadian itu.

Jauh di lubuk hatinya, Ganis menyimpan rindu yang tidak bisa diekspresikan ke orangnya secara langsung. Prana kini, kembali jauh dari jangkauannya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height