My Iceberg/C9 Bab 9 Perut Kotak-Kotaknya
+ Add to Library
My Iceberg/C9 Bab 9 Perut Kotak-Kotaknya
+ Add to Library

C9 Bab 9 Perut Kotak-Kotaknya

Ganis kembali ke meja kerjanya. Mila yang di sebelahnya, langsung melirik. "Kamu tidak habis dimakannya, kan? Terbukti, tubuhmu masih utuh." canda Mila, sambil memperlihatkan senyumnya.

"Aku malah sudah habis diciumnya." Ganis melayani candaan sahabatnya ini.

Sebenarnya itu memang terjadi, tapi ia yakin, Mila tidak akan menganggapnya serius.

"Kalau kamu sudah diciumnya, pasti sudah jadi patung es." selorohnya menimpali. Dan gelak tawa pun terjadi, tanpa menghiraukan yang lainnya yang ada di ruangan itu.

Aldy nampaknya lagi fokus pada kertas gambar yang sedang dikerjakannya. Sambil sesekali melihat layar komputer dihadapannya. Nampak tak punya minat, untuk ikut gabung pada kedua obrolan wanita yang ada di sampingnya itu.

Sementara Bram tetap tak acuh, diam di meja sebelah Aldy seperti biasa.

Ganis kembali pada pekerjaannya, ia sedang mendesain sebuah ruangan kantor yang sedang digarapnya. "Mil, aku udah buat beberapa desain lagi. Semuanya gaya minimalis, sesuai dengan keinginan klien."

"Coba aku lihat." dengan cepat Ganis memberikan hasil dari desain gambarnya.

"Ini sudah bagus." komentar Mila.

"Kamu yakin?" Mila mengangguk.

"Kamu sedang mengerjakan rumah besar itu, ya?" tanya Ganis.

"Ya, desain klasik ini benar-benar harus detail. Maklum orang yang punya duit, tidak mudah untuk dipuaskan." kata Mila, sambil mengembalikan desain gambar Ganis.

"Tapi lebih mudah mendapatkan furniture bergaya klasik, Mil,"

"Iya sih, asal sesuai dengan keinginan mereka, tidak akan mempermasalahkan soal harganya."

Ganis kembali mengingat ruangan kantor Prana, yang menggunakan warna monokrom hitam dan putih. Terlihat apik, dengan bantuan ornamen elegan di sekitarnya. Terasa nyaman dan berkelas.

Ganis kembali mengingat, guliran kenangan saat ada di ruangan kantornya. Ada kepuasan tersendiri, saat ia mendaratkan telapak tangan di pipinya itu. Ia sempat melihat ekspresi terkejutnya, sekaligus kemarahan yang nampak di wajah tampannya.

Ia tak pernah berbuat kasar kepada manusia manapun. Namun, laki-laki ini sudah banyak menorehkan luka di hatinya. Jadi, ia merasa pantas untuk menamparnya sesekali.

Apakah Prana akan semakin keras dalam menghadapinya setelah ini? Coba saja! Ia, bukan lagi Ganis-nya yang dulu. Ia sekarang adalah, Ganis yang sudah terluka dalam. Yang tidak akan menyerah, sebelum berhasil menyembuhkan perihnya.

"Apa yang kamu bahas tadi, dengan Prana?" sekonyong-konyong Mila bertanya padanya, penasaran.

"Soal ruangan spesial yang aku presentasikan kemarin itu, Mil. Aneh, ternyata dia tidak begitu menyimaknya. Menyebalkan sekali! Dengan mudahnya, dia bilang lupa."

"Hanya karena itu, kamu dipanggil ke ruangannya?" tanya Mila, agak heran. "Memang aneh juga. Biasanya Prana sangat detail, tapi kemarin tanpa komentar apapun. Aku kira semua baik-baik saja."

"Itulah, yang bikin aku kesal, Mil. Aku jadi harus mengulang menjelaskan lagi padanya."

"Tapi kamu agak lama ada di ruangannya. Makanya, aku nanya apa saja yang kamu bahas dengannya."

"Semua desainku, tidak luput dari komentarnya. Aku bilang menyebalkan, bukan? Aku harus berdebat secara private dengannya." Ia memasang raut cemberut untuk lebih meyakinkan Mila. Karena, ia tidak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya terjadi di ruangan itu.

"Mungkin menimbang karena kamu orang baru, Nis. Jadi, tidak secara langsung mau mengkritikmu di depan orang lain."

Ganis hanya berdecak. "Ck! Apakah dia sebaik itu?"

"Biasanya tidak, sih. Dia akan secara langsung menyatakannya, bila ada yang tidak beres menurut penglihatan matanya." Tepat! batin Ganis.

Mila menatapnya, lalu melanjutkan lagi ucapannya. "Akan tetapi, aku merasa Prana tidak begitu fokus memimpin rapat itu. Sering bertanya ulang apa yang sudah ditanyakannya. Membuat kita bingung, seolah ada yang dipikirkannya." kata Mila, termenung.

Apakah Prana juga terpengaruh karena kehadirannya? Ganis menepis pikiran itu. Prana kan, sedang membencinya. Apa juga arti dirinya? Hingga bisa berpengaruh pada lelaki sedingin Prana.

Ganis tidak berniat mengomentarinya, karena ia sendiri tidak fokus diwaktu rapat kemarin. Kecuali, saat mempresentasikan hasil kerjanya, selebihnya ambigu.

Jam makan siang, Ganis dan Mila nangkring di sebuah warung nasi sederhana. Terlihat bersih dan harga jual menunya masih terjangkau, untuk ukuran kantong mereka. Letaknya pun tidak begitu jauh dari kantor.

Mereka makan dengan lahapnya. "Nis, Felix mau telepon di jam istirahat, tapi belum telepon juga, ya?" Mila bertanya-tanya di dalam benak, sambil mengerutkan keningnya. Lalu menyeruput teh lemon dinginnya.

"Mungkin dia sibuk. Aku juga tidak menunggunya." katanya datar, seolah hal itu tidak begitu penting.

"Nis, aku bilang Felix bukan laki-laki sembarangan. Kalau dari awal dia yang melirikku, mungkin sudah lama aku jadi pacarnya." keterusterangan Mila membuat Ganis tersenyum.

"Berarti kamu naksir dia, dong. Kenapa aku yang harus membalas perasannya? seharusnya kamu yang berjuang untuk mendapatkannya." sindir Ganis.

"Aku hanya merasa kagum dengan sikapnya, Nis. Karena sebagai laki-laki semenarik dia, pasti akan mudah mendekati wanita manapun yang dia inginkan. Bukan aku saja, wanita di sekelilingnya banyak yang berharap untuk didekatinya. Baru kali ini justru, aku melihat dia menunjukan ketertarikannya. Tanpa sedikitpun bermaksud untuk menyembunyikannya."

"Aku jadi merasa tersanjung, Mil. Namun, saat ini aku belum bisa menerima siapa pun di hatiku." ucapnya serius.

"Apakah ada lelaki lain? Atau kamu baru patah hati?" selidik Mila, penasaran.

Ganis menggeleng.

Kalau mau jujur, justru ia ingin sekali menonjok wajah seseorang. Yang mungkin jauh dari bayangan sahabatnya ini. Lelaki jahat! Bukan hanya telah mematahkan hatinya saja, tapi telah berhasil mengobok-ngobok harga dirinya sedemikian rupa.

Kemudian HP Ganis mengeluarkan suara panggilannya. Hingga apa yang mau dikatakannya, jadi terganjal di tenggorokan.

Ia segera mengambil benda pipih itu. Nampak nama Felix muncul di layar, ia melirik Mila yang sedang menatapnya, "Felix." bisiknya. Mila tersenyum, lalu mengacungkan jempolnya.

"Hallo," sapa Ganis, setelah menyeret tanda telepon hijau ke sisi layar HP-nya.

"Hai, Nis. Aku baru balik dari lapangan, nih."

"Pasti kamu sangat sibuk."

"Sialan! Memang bos kita. Melakukan pekerjaan, tapi tidak menyelesaikannya. Ada masalah di sini, Nis. Aku sedang berusaha menyelidiki penyebabnya."

"Apakah masalahnya, serius?"

"Belum begitu jelas. Aku baru menghubungi orang-orang yang direkomendasikan Prana, padaku."

"Semoga kamu cepat dapat menyelesaikan masalahnya." ucap Ganis sekenanya, tapi reaksi yang di timbulkannya, membuat ia menyesal telah mengatakannya.

"Kamu ingin aku cepat pulang?" tanya Felix dari sebrang teleponnya. Membuat Ganis termenung, bingung menjawabnya.

Akhirnya, ia menjawab juga. "Selesai lebih cepat, kan lebih baik, Fe."

Terdengar kekehan di seberang teleponnya.

"Kamu selalu berhasil membuat semangatku drastis turun, ke titik nol."

"Aku ngomong apa adanya, kamu sendiri yang menafsirkannya lain."

"Aku memang ingin cepet pulang, untuk melihat wajah cantikmu itu."

"Lebay, di kantor banyak sekali yang cantik." matanya melirik Mila, yang di tanggapinya dengan memanyunkan mulutnya.

"Tapi kamu berbeda, aku langsung jatuh hati padamu."

"Gombal!"

"Aku bukan Prana, yang terus bergeming dengan sikap dinginnya itu. Aku normal, Nis. Saat aku tertarik, maka aku akan mengejarmu sampai kamu kudapatkan. Percayalah!"

"Tidak ada hubungannya dengan Prana, otakmu ngawur."

"Aku hanya beranggapan, banyak sekali yang penasaran dengan sikap dinginnya itu. Kali aja kamu juga jadi salah satu di antaranya."

"Aku tidak suka, laki-laki seperti dia." spontan nada ketus itu keluar dari bibirnya.

"Syukurlah, aku jadi tenang. Karena aku tidak bisa menandingi tubuhnya yang gagah itu. Aku tidak punya kriteria kotak-kotak di perutku." gelak tawa Felix terdengar renyah di telinganya.

"Namun, kata seseorang. Pesonamu menyebar tak kalah banyaknya. Apa kamu tak menyadarinya?" Ganis melirik lagi Mila, yang spontan memelototinya.

"Siapa yang bilang?"

"Ada deh,"

"Jangan mudah kemakan gosip. Aku tidak sekeren itu." katanya dengan humble.

Ganis terkikik. "Udah ya, Fe. Nasiku keburu basi, nih. Kalau terus ngobrol di telepon."

"Basi? Memang kamu makan nasi kemarin? Makan aja sambil ngobrol." guraunya dari seberang.

"Gak mau. Aku mau lanjut makan, ya. Bye..."

"Jangan putus dulu dong, Nis. Di sini, suntuk banget."

Ganis merasa tidak tega, "Kamu sudah makan, Fe?" lanjutnya.

"Belum."

"Mending cari makan, gak baik nahan lapar."

"Aku seneng kamu perhatikan." salah lagi, pikirnya. Padahal, itu hanya bentuk perhatian biasa.

"Aku tutup teleponnya, ya? Bye!" pamitnya sekali lagi.

Sepertinya Felix menyerah, terdengar kata 'bye' akhirnya. Ganis segera menutup teleponnya.

"Hmm .... Jangan coba-coba menyebut namaku di depan Felix, ya? Itu, aku katakan hanya padamu." Mila mengingatkannya.

"Tenang saja, Mil. Ada cadangan lain, kan? Bram jangan dilupakan!" goda Ganis. Mila mendengus.

"Sikap Bram, gak jauh-jauh amat dari Prana. Dingin-dingin gimana gitu."

"Sepertinya Bram lebih mudah di jangkau, dibanding gunung es itu."

"Tak pernah terlintas untuk melelehkan gunung es itu, Nis. Terlalu berat, sekali pun hanya untuk memikirkannya." Mila tersenyum kecut. Bukan karena es lemon tea-nya yang telah kandas ia minum, tetapi memang Prana dirasa terlalu jauh dari jangkauannya.

Mereka menyelesaikan acara makannya, lalu berjalan kembali menuju kantor.

Saat menaiki tangga menuju lantai dua, terlihat Prana sedang turun. Hanya anggukan kepalanya tanpa menyapa, melewati keduanya.

Mila membalasnya dengan senyuman, tapi tidak dengan Ganis. Bibirnya tetap rapat, membentuk garis lurus.

"Apakah lift rusak?" tanya Mila, takjub.

Ganis menggendikan bahunya. "Kali aja, dia mau sekalian olah raga dengan menuruni tangga." katanya tak acuh.

Mila memutar bola matanya. "Dengan menuruni tangga? Tidak mungkinlah, membuat perutnya kotak-kotak gitu."

Tentu saja, Ganis tahu kegiatan yang satu ini. Prana rutin nge-gym untuk membentuk tubuh sempurnanya itu.

"Kamu tahu dari mana, kalau perutnya sixpack?" tanya Ganis, sambil nyengir.

"Tebakan saja. Tubuhnya sudah berotot gitu, apalagi perutnya, Nis?"

Ganis menertawakannya. Membuat Mila ikut tertawa juga. Tidak mau memikirkan, tapi mencoba menebak-nebak.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height