+ Add to Library
+ Add to Library
The following content is only suitable for user over 18 years old. Please make sure your age meets the requirement.

C1 1

Jefry nampak menunggu dengan tenang, tongkat jatinya tak ketinggalan. Dan pria itu mengangguk sopan saat menemukan ku. Kami baru saling kenal, namun menurutnya kami memiliki fokus yang sama hingga sangat perlu untuk saling bersimbiosis. Padahal bagiku, aku tidak perlu melakukan dengan berlebihan. Aku hanya ingin tahu bagaimana wajah Dahlan, suamiku ketika melihatku nanti setelah apa yang ia perbuat.

"Kau siap" Jefry mengulurkan tangannya menyambutku. Pertama kali dia menemukanku adalah di lobi kantor Dahlan. Jefry yang jeli menyadari betapa menyedihkannya air mukaku saat melihat suamiku tengah mengelus puncak buncit wanita yang lebih muda dariku.

"Ya"

"Kau baik-baik saja" tanyanya penuh perhatian.

"Ya"

"Good girl" pria itu dengan kesan familyman menyentuh anting kiriku dan sedikit menggesernya. Katanya letak benda itu kini jadi sempurna setelah perlakuan manisnya. Aku menghela nafas, andai Dahlan bisa bersikap seperti Jefry meski sedikit saja, aku akan tutup mata tentang apapun.

Mengikuti Jefry memasuki sebuah limousin metalic. Entah apa yang telah diperbuat Dahlan. Sampai pria yang mungkin memasuki awal 40 tahun ini meski masih terlihat seperti 30an teramat dendam padanya.

Siang tadi Jefry mengirimiku beberapa gaun malam lengkap dengar set perhiasannya. Katanya, itu untuk memuluskan misi kami. Bukannya penampilanku tidak menarik, namun selama ini Dahlan hanya tahu aku gadis kota pinggiran yang sederhana. Padahal, aku bisa jadi apapun yang aku mau, Dahlan saja yang selama ini tak pernah ingin mengenalku.

Perrnikahan kami memang hanyalah pernikahan saling menguntungkan antar keluarga. Meski semakin kesini semakin menyakiti ku. Sayangnya Dahlan tidak pernah mengakui telah memiliki kekasih dan membiarkanku berharap sendiri.

Langkah tenang Jefry dan beberapa pria berjas hitam terus mengiringi. Sungguh aku tak pernah tahu siapa Jefry sesungguhnya, sampai kemanapun dia pergi perlu dikawal seperti ini. Jangan lupakan kesan kami berpasangan yang ditampilkan pria di sebelahku ini. Sementara aku tak peduli pada apapun, karena keramaian di dalam gedung kini justru mengingatkan ku atas sakitnya hati ini. Air mata mati-matian ku tahan, menyadari selama ini aku hanya mengharapkan cinta akan hadir.

Apalagi foto keluarga Dahlan dengan istri barunya menyambut kami. Belahan tinggi diatas lutut pada gaunku menahan untuk terus bersikap anggun meskipun aku sangat ingin merobek puluhan foto maternity itu.

Jefry bilang, bisa saja membuatku memiliki semua aset Dahlan. Namun, ku rasa aku cukup puas apabila apa yang memang milikku dapat kembali. Tak peduli ayahku akan murka apabila tahu Dahlan sudah mengkhianati kepercayaan kami.

Aku melirik pantulan rupa ku di cermin hias mewah dekat loby hotel. Lipstik merah terang mengambil semua atensi di wajahku. Sisanya hanya make up natural tanpa cela. Jefry setia berjalan santai namun gagah di sampingku. Tak tergesa dan cenderung terkesan malas, padahal aku paling tahu dia adalah yang paling bersemangat melihat apa saja yang bisa ku buat untuk menjatuhkan suamiku, malam ini.

Megahnya dekorasi serta luar biasanya seluruh tamu yang mengililingiku tak membuat ku hilang arah. Aku yang terbiasa dididik untuk selalu hidup bersahaja dan sederhana jadi paham, hidup macam apa yang dijalani Dahlan hingga berani memindahkan aset ku sedikit demi sedikit diluar persetujuanku.

Pertemuan tak sengaja dengan Jefry minggu lalu membuatku sadar, aku bodoh kalau diam saja. Meskipun Jefry bilang berkali-kali, aku harus memberi pelajaran Dahlan.

"Please ikuti aku saja" bisik Jefry, sedikitpun aku tak gentar mengikuti pria yang katanya kaya raya itu berbincang singkat kesana-kemari. Aku hanya perlu melempar senyum tipis ketika ada yang bertanya siapa aku. Bahkan ku biarkan saja tangan Jefry terus memeluk pinggangku. Tatapanku lurus kepada dia yang selama ini menjadi harapanku.

Gaun warna hitam dan high hills merah bertabur emas yang ku kenakan tampak mencolok, mustahil kalau Dahlan tak melihatku. Bagaimana tidak mencolok ketika semua orang mengenakan drescode brown dan emas.

Tiga tahun ini tak sedikitpun dia merasa mungkin menganggapku ada, sampai tak pernah meluangkan waktu untuk pulang menjenguk aku dan ibunya. Atau mungkin baginya aku hanya pengasuh ibu rentanya. Sekedar email singkat yang ia kirim sebagai bukti bagi hasil modalku yang tak sebanding dengan apa yang ku beri. Begitu naifnya aku, hingga terus menepis gosip yang terus berbisik di belakangku mengenai status baru Dahlan akhir-akhir ini.

Terlahir menjadi kaya raya tak memudahkan ku dalam berteman apalagi mencari pasangan. Pernikahan kami diatur sejak aku remaja. Kebangkrutan orang tua Dahlan mempercepat statusku berubah dari koki kapal pesiar bahagia menjadi ibu rumah tangga kesepian. Cita-cita pilihanku yang membuat ayahku amat sekali terhina. Kekolotan dan keangkuhan priyayi Indonesia, termasuk perjodohan ala Siti Nurbaya. Bahkan sampai kini aku tak yakin ayah akan memihak ku meski tau aku di madu. Karena ayahku sendiri adalah pelaku poligami. Beruntung tidak ada saudara tiri dalam hidupku.

"Itu orangtua Nabila Wijaya, istri baru calon mantan suamimu. Ayo ku kenalkan" bisikan intim Jefry menyadarkan. Ku ikuti langkah santai pria itu, walau di setiap pertemuan dia selalu membawa tongkat, tapi kali ini ia meninggalkannya. Sekali, pernah ku lihat pria itu sedikit terpincang berjalan tanpa tongkat mengkilap itu. Namun malam ini, penampilan gagahnya memukau semua mata lawan jenis. Termasuk wanita baya yang katanya adalah ibu mertua Dahlan.

"Hallo, Tuan Tjong, anda makin waow dengan pasangan yang.... waow juga" wanita berpenampilan mahal itu sungguh ramah berlebihan. Entah siapa sebenarnya Jefry Erwin Tjong ini, aku tak mau tau. Aku cuma tak sabar ingin bertemu Dahlan. Sangking tak sabarnya aku sampai mengabaikan pandangan menyelidik si wanita setengah baya dari atas ke bawah tubuhku berkali-kali.

"Perkenalkan, dia wanita istimewa saya" Jefry sedikit membungkuk dan mencium ujung jemari wanita baya itu penuh penghargaan, sarat tatapan merayu yang kental sampai lawan bicaranya tersipu. Akupun menyapa ringan di empunya acara, pria disampingnya juga mengangguk hormat kepada kami. sementara Ayah mertua Dahlan, tampak tak tersentuh dan megah sekaligus.

"Pernahkah aku melihatmu di suatu tempat, darling" ungkap mertua Dahlan sedikit memincing. Entah apa yang wanita itu pikirkan, yang jelas dia tak berhenti menilai seluruh penampilanku. Ada tatapan sinis dan ketidaksukaan.

"Dia wanita yang penuh kejutan, my lady, aku yakin kalian akan cocok" ungkap Dahlan dengan tatapan puas ke arahku. Hah, apa maksud perkataannya. Aku memutar bola mata, tak suka dengan basa-basi ini.

"Ah benar, dia tampak berbeda dan cantik. Berapa umurmu darling, kalau boleh tahu?" Aku melirik Jefry karena pertanyaan tidak sopan itu. Jefry hanya tersenyum tipis dan mengerling jenaka ke arahku.

"Hampir kepala tiga nyonya" bahuku mengendik, "dua sembilan" lanjutku acuh. Aku melempar pandangan sekedar mengamati para gadis cantik disini. Sungguh tak peduli kenapa raut wajah wanita itu terkesan mencibir.

"My God... Positif aku tertipu, ku pikir kamu masih 25 tahun. Aku berencana mengenalkan mu dengan putraku, kalau-kalau Jefry bosan padamu" aku terkekeh tak habis pikir, mertua Dahlan seperti nenek sihir dengan kalimat anggun tapi tersisip penghinaan.

"Sayang sekali, aku wanita bersuami yang terjebak bersamanya" ku endikkan bahu lagi ke arah Jefry yang tergelak dengan cara yang selalu anggun. Raut wajah si nyonya besar tampak terperangah dan semakin memandangku sebelah mata. Namun ekor matanya menelisik perhiasan mahal dan tas edisi terbatas yang ku kenakan.

"Sweety, jangan membuatku terkesan seperti selingkuhanmu" kata Jefry di sela-sela tawanya yang renyah. Aku tetap tersenyum dingin sembari terus menatap Dahlan yang belum menyadari siapa aku hingga kini. Beberapa kali suamiku itu mencuri pandang kepadaku yang ku hadiahi senyum, ku harap wajah ini akan terlihat licik. Apakah ia lupa padaku.

Ku ingat lagi, selain gedung kantor yang sempat ku kunjungi. Areal persawahan yang berubah jadi rumah berlantai tiga serta deretan bangunan ruko, semua atas nama ayah telah berubah kepemilikan menjadi atas nama pria brengsek itu. Bodohnya aku percaya saja, ku pikir dengan harta keluargaku yang dia kelola lambat laun membuatnya menganggapku. Sialnya lagi ayah pura-pura tak terganggu dengan kenyataan itu padahal aku tahu, ayah sudah mengumpulkan informasi mengenai Dahlan. Entah apa tujuan beliau masih diam hingga kini di depanku.

"I'm sorry, kalau begitu pria mana yang beruntung menjadi suamimu, sayang" kata si nyoya di depanku ini.

"Saya Rahela Soetopo, panggil Rahel saja, ma'am"

"Dengan senang hati, ngomong-ngomong perhiasanmu keren sekali, aku salah satu yang menginginkannya tapi ternyata kalah cepat dengan ibu-ibu lain. Limited edition kan?" aku mendengus dan melirik Jefry.

"Sweety, suamimu sepertinya akan memulai" ujar Jefry tak mempedulikan apapun lagi. Mata ini berpindah melirik ekspresi wanita di depanku yang dihasilkan suara santai Jefry.

"Yang mana suamimu, Sis Rahel. Ada disini juga, ah pria mana memiliki wanita secantik dirimu" ku hadiahi senyum atas pujiannya. Sayang sekali suamiku tak pernah menganggap aku cantik.

"Ah, itu menantu dan anakku, ayo ku kenalkan dulu. Biar si Bila nyesel menolak perjodohan sama Jefry waktu itu." Lagi-lagi ku lirik ekspresi humor di wajah Jefry.

"Mother in law to be soon" ucapku pelan yang mungkin hanya di dengar Jefry.

"Itu hanya rencana perjodohan bisnis" katanya setenang biasanya, senyum ceria yang terkesan berbahaya selalu tampak di wajah rupawannya. Seminggu mengenalnya membuatku menyadari Jefry adalah pria yang hendaknya segera ku hindari. Seorang pengawal masih mengikutinya dengan pergerakan awas yang tidak di buat-buat. Wajah waspada pria yang lebih muda itu dibanding Jefry berbanding terbalik dengan raut yang selalu menghiasi wajah sang majikan.

Langkah kami telah berhenti. Dua orang yang nampak serasi dalam setelan pink yang nampak cantik dikenakan si wanita dan terlihat norak pada si lelaki. Dahlan sungguh tampak sangat bahagia, sampai sesaat lalu. Kini wajah itu menahan segenap emosi karena menyadari siapa aku. Jejak keterkejutan nyata terlukis di wajah putihnya.

"Hallo suami" aku menyapanya ringan seharusnya, tapi suara hampir pecah yang keluar membuat siapapun tau, aku tak baik-baik saja. Dada hangat Jefry mengantisipasi tubuhku yang bergetar karena sengatan kepedihan akibat iri pada wanita yang mengandung anak Dahlan.

Ayah, masihkah kau mengharuskan ku bertahan, batin ini mengeluh.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height