+ Add to Library
+ Add to Library

C3 3

"Pergi kalian, jangan ganggu keluargaku" teriakan cempreng nan lebay ibu mertua Dahlan sangat mengganggu pendengaran.

"Rahela, apa mau mu? Akan ku kembalikan uangmu" Suara Dahlan menggelegar semakin menambah kekacauan.

"Ku turuti semua kemauanmu, asal kau pergi" Dahlan ambil suara, kalimat jahatnya membuatku makin merana.

"Apa maksudmu Dahlan" suara pria tua kaku itu akhirnya terdengar. Ayah mertua Dahlan berdiri dengan galaknya.

"Akan ku jelaskan, Pa...."

"Egois, bahagia diatas air mata orang lain" jawabku menyela Dahlan yang ingin menjelaskan kepada mertuanya. Kenapa dia tidak menawarkan perceraian saja sih.

"Katakan Dahlan, benar dia istrimu?uang apa maksudmu?" Jujur andai tidak ada Jefry dan para bodyguardnya di luar kamar ini aku pasti akan mati ketakutan menilik tampang seram pria tua mertua Dahlan itu.

"Maaf, Pa" Dahlan menunduk, tangannya mengepal kuat. "Tapi, aku tidak pernah mencintainya, orangtua kami menjodohkan tiga tahun lalu" aku kembali menertawakan diri sendiri mendengar jawaban Jefry yang sayangnya memang benar, kami dijodohkan.

"Kami memang dijodohkan tapi si brengsek ini tak pernah terpaksa memakai asetku, benar kan Dahlan. Bukankah ayah punya banyak properti disini, jangan-jangan sudah kau manfaatkan semua" sungguh aku merasa ini adalah serangan yang tepat untuk suami ku.

"Kau" ayah mertua Dahlan tampak shock, apalagi ibu mertua dan istrinya.

Sementara pria berwajah kaku lainnya, asisten Jefry mulai membuka koper berisi berkas-berkas pemindahan semua aset ke tanganku kembali.

"By the way, apa benar Nyonya Wijaya, menyukaimu Jef? Kalian ada main serong ya?" Kali ini aku tak menahan volume suaraku lagi. Dan lihat ekspresi manusia-manusia ruangan ini.

"Ahaha... Hanya permainan kecil, sweety, kamu tentu tahu aku lebih menyukai wanita seperti kamu"

"Apa maksudnya itu!" Tuan Wijaya mendekati istrinya, satu tangannya mengguncang kasar tubuh wanita awet muda itu. Tangan yang lain seperti hendak diayunkan. Ngomong-ngomong, pantas kalau Jefry tergoda. Usia dan penampilannya beda jauh.

"Katakan brengsek, apa maksud wanita itu?" Tuan Wijaya beralih pada Jefry, tatapannya menusuk hingga ke belulang.

"Maafkan aku, tuan Singgih Wijaya, istrimu memang penggoda ulung. Tapi ku akui, dia masih lumayan di atas ranjang"

"Bajingan!" Makian dan tamparan menghiasi pertunjukan malam ini. Kasian wanita tua itu, pipinya pasti sakit. Tangis histeris Nabila Wijaya menjadi latar belakangnya. Bahkan Dahlan sibuk melindungi istrinya kalau-kalau menjadi target salah sasaran dari amukan si ayah mertua.

"Rahela! Puas kamu!" Teriakan Dahlan dan halauan beberapa orang membuat Singgih Wijaya berhenti dan berganti memegangi dadanya.

"Aku tidak akan menandatangani apapun malam ini" putus Dahlan semau sendiri. "Banyak hal yang harus kamu tahu"

"Begitu ya..." Ku buang nafas pelan, sakit hatiku teramat perih menjadi istri yang tak diharapkan.

"Dahlan... pernahkah kau merasa bersalah padaku, sedikit saja?" Pria tinggi itu membuang mukanya, tak sudi menatapku lama. Terdengar nyanyian mengolok di kepalaku sendiri, ku menangis membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas diriku ....... Bodohnya aku mengharapkan rumahtangga penuh cinta dengannya.

"Bagaimana donk Jef?" Kesadaran ku kembali, aku merengek pada Jefry, berperan jadi seorang yang tidak tersakiti sama sekali meski dikhianati. Terimakasih air mata tak ikutan turun seperti kedua wanita lainnya.

"Terserah apa katamu sweety, lakukan apapun asal kamu senang" Mata Jefry lurus kearah ayah mertua Dahlan.

"Apapun?" Aku bertanya sekali lagi dan Jefry mengangguk. Telapaknya mengusap bahuku lembut. Entah kenapa mata ini iseng melirik nyonya tua yang memandangku sengit, lebih sengit dari putrinya. Dahlan sendiri semakin skeptis menatapku.

"Aku ingin dia merasakan sakit hati ku" telunjukku mengarah pada Dahlan.

"Sesuai kehendak mu, sweety"

"Buat dia bangkrut dan mendekam di penjara, Jef. Hingga dia memohon padaku"

"Kamu dapatkan semua, my lady"

"Berhenti Rahel! Aku akan mengembalikan semua aset mu!" Dahlan termakan gertakan Jefry. Sekali lagi, aku tak tahu apa kuasanya, hingga tak membutuhkan waktu lama bagi Dahlan untuk berubah pikiran.

"Baik, tanda tangani itu."

Dahlan mendekat, membaca semua berkas yang ku bawa lalu mengemukakan banyak sekali keberatan.

"Kamu meminta semua?" Wajahnya menampakkan frustasi yang kental.

"Apa salah?"

"Aku membangun rumah itu dengan uangku, dengan hak ku!" Rahang Dahlan semakin mengeras, wajah tampan itu yang 3 tahun ini ku impikan entah kenapa sekarang membuat perutku mual. Hak katanya, hak dari mana?

"Oh ya?"

"Rumah itu tidak ada apa-apanya dengan uang ayahku yang kau bawa"

"Rahel, kau akan menyesal"

"Apa?" Tantang ku.

"Aku berbaik hati tak menuntut ganti nafkah lebih banyak. 3 tahun kau tak pernah bertindak gantle padaku, jadi aku memintanya sekarang"

"Toko roti itu milik Nabila" ujarnya lagi tak habis pikir dengan keinginanku.

"Kau lupa ya, tanah itu kau beli dengan uang siapa, gaji mu yang kecil itu maksudmu, apa masuk akal? Lagi pula, dia sudah mengambil suamiku, toko kue kecil itu tidak ada apa-apanya kan dibanding apabila kehilangan suaminya"

"Sialan kau! Beraninya kau menghancurkan hidupku" wanita hamil itu berteriak marah.

"Wanita hamil dilarang ikut campur" kataku acuh.

"Aku tak akan mendatangani ini. Kita selesaikan di pengadilan"

"Baik. Jangan lupa, di pengadilan nanti kamu wajib menceritakan andil ayahku hingga selama ini diam saja tau kau menikah lagi" aku menekan setiap kata-kata ini. Aku memang sangat hormat cenderung takut pada ayahku, bahkan aku tak kuasa menentang setiap keputusannya sampai seminggu lalu. Tahu dari mana ayahku punya andil. Tentu saja itu bisikan Jefry yang membuatku harus mati-matian menahan ekspresi ku agar tak terkejut.

"Aku pergi, sampai jumpa suami. Oh Jef, kau masih ingin bernostalgia dengan pacar tuamu itu" Jefry justru terbahak mendengar kalimatku yang penuh ejekan. Aku sendiri bingung, kenapa mulutku bisa sejahat ini, padahal suaraku mulai bergetar.

"Kau!" Lengkingan suara ibu mertua Dahlan mengiringi langkah kami. Namun selanjutnya nada asing yang keluar dari bibir Jefry membuatku bergidik.

"Begitulah Singgih, aku melumat mu." Singgih Wijaya sangat murka dengan wajah merah dan tonjolan urat di wajah tuanya. Dahlan menatapku dalam mimik wajah yang sulit ku raba, dia sempet menggeleng kecil agar aku tak mengikuti Jefry. Tapi apa peduliku, dia sudah mengkhianati ku, kepercayaan ku telah musnah padanya. "Dan kau...." Jefry menatap tajam si nyonya mertua Dahlan. "Aku selesai menggunaka mu" sumpah itu menyakitkan menurutku.

"Rahela! Katakan, apa hubunganmu dengannya" baru kali ini Dahlan menatapku lurus hingga aku perlu beberapa saat untuk menjawab, karena sibuk meratapi bahwa selama aku menjadi istrinya, dia tak pernah sekalipun menatapku intens begini.

"Bukan urusanmu"

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height