+ Add to Library
+ Add to Library

C4 4

Aku merasa kalah telak, dibandingkan dengan Nabila Wijaya, tak pernah ada diriku di hati Dahlan sejak awal. Terlepas surat nikahnya dengan Nabila yang mungkin saja menggunakan data palsu akan statusnya. Tak sabar aku ingin segera tenggelam dalam selimut tebal kamar hotel. Melepas segala topeng baik-baik saja yang masih ku pasang karena keberadaan ku di mobil Jefry.

Hilang sudah sweety-sweety-an yang kerap didengungkan Jefry. Hanya suara musik klasik yang didendangkan dari audio mobil ini. Aku mengasihani diri, betapa gobloknya aku mengharapkan Dahlan. Jelas sekali tak pernah ada aku dalam opsi hidupnya. Sikap polosku cuma dimanfaatkan selama ini. Penantian ku sia-sia, istri baru Dahlan masihlah lebih segalanya dari pada aku. Dan yang terpenting Dahlan adalah type pria sejati yang otak dan nuraninya mendewakan cinta. Apalah aku yang tak pernah diberi kesempatan untuk menjadi istri sesungguhnya. Betapa naifnya diriku, menuruti ayahku serta ibu mertuaku agar menunggu Dahlan.

"Sampai" ucap Jefry singkat membuyarkan rintihan dalam pikiranku.

"Lain kali, jangan membuka urusan ranjang orang lain, sweety" tembaknya langsung. Aku mendengus, siapa yang mengijinkan ku tadi, mungkin dia lupa. Sweety lagi?

"Maaf, aku turut menyesal kau kehilangan dia. Tapi kenapa kau terlihat menikmati semua?" Jefry menanggapi dengan senyum tipis. Sedangkan sepanjang perjalanan ini, aku hanya mampu berbisik dalam hati.

"Ah sudahlah, aku tak mau tau" aku berujar tanpa rasa bersalah, meninggalkan ekspresi Jefry yang aneh. Serius selera Jefry tante-tante gemes begitu.

"Terima kasih Tuan Jefry, setelah ini aku bisa sendiri. Jadi sebaiknya kita tidak usah bertemu" ku sampaikan dengan sopan meski suaraku terlampau tak bertenaga. Tak peduli pria yang ku taksir memiliki tinggi tak sampai 180, rata-rata tertinggi pria Asia pada umumnya ini menjadi semakin iba.

"Oh, jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan pengacara terbaik untukmu" jawabnya masih seperhatian tadi.

"Baiklah, aku percaya pilihanmu. Dan biarkan aku menyelesaikan semua sendiri. Sungguh aku tidak bisa membayar budimu kalau-kalau kau terlibat semakin jauh. Ku rasa kita dalam kapal yang berbeda sekarang ini. Fokusku adalah Dahlan, dan aku tahu fokusmu adalah keluarga Wijaya. Kita sebaiknya tidak perlu bertemu lagi." Akhirnya aku mengangguk singkat dan turun dari mobil menuju lift yang akan membawa ku ke peraduan. Tak lupa ku lepas sepatu 10 sentiku lalu menenteng benda itu asal. Tak peduli orang memandangku lucu. Tapi seseorang justru menarik clutch ku dan berjalan santai menuju lift. Tongkatnya kembali menapak lantai. Aku menghela nafas makin lelah tapi ku biarkan saja pria itu. Dia type pria dominan yang enggan dibantah dan aku sangat capek sekarang untuk berdebat dengannya.

Tak ada percakapan sepanjang lift merangkak naik. Beberapa orang tersenyum padaku dan tak luput memperhatikan kaki telanjangku.

"Keputusan bagus, nona" seorang ibu muda yang tengah menggendong putranya mengomentari keadaanku.

"Aku tahu, betapa tersiksanya ada di posisimu. Siapa sih yang menetapkan standar kecantikan dengan tingginya high heels" wanita itu terkekeh setelah rentetan kalimat yang diam-diam ku setujui, wanita itu tersenyum dengan tatapan bersahabat padaku.

"Kau benar, ini sungguh menyiksa" sahutku, dia tergelak rendah. Sementara aku berbasa-basi sebagai kesopanan. Lift berdenting, tapi bukan di lantai tujuanku.

"Duluan ya, kalian pasangan serasi" ibu muda itu tersenyum santun padaku. Aku kembali diam, tanpa berusaha melirik pada pria yang membawa tasku. Aku juga merasa tak terganggu dengan pernyataan wanita baru saja, entah dengan Jefry.

Leganya aku segera bisa melepas semua yang melekat di tubuhku. Tak lupa aku melakukan pertukaran benda yang ku pegang dengan Jefry ketika sampai di depan kamar yang ku tempati. Dia menerima sepatuku tanpa keberatan. Aku butuh mencari key card yang ku simpan di clutch.

"Terimakasih lagi, Tuan Jefry, sudah mengantar" Jefry melirikku dan menahan pintu yang hendak ku tutup dengan tongkat jatinya. bahuku meluruh sempurna membaca gelagatnya.

"Please Jef, aku lelah. Pergilah" aku melotot padanya. Suara serak ku harusnya membuatnya mengalah.

"Aku juga lelah, ingin istirahat"

"Jef, ini kamarku"

"Maka mulai sekarang jadi kamarku juga"

"Astaga, hanya ada satu bed, oke!" Aku memegang keningku, pusing semakin mendera.

"Hotel ini memiliki bed king size"

"Jef!"

"Yes, sweety" aku menghela nafas lagi. Jadi aku masuk lalu membanting clutch ku ke ranjang berikut melepas terburu semua perhiasan dan aksesori rambutku. Bergegas ke kamar mandi untuk berendam air hangat. Tak ku hiraukan keberadaannya, hingga 15 menit ke depan. Karena aku tak sampai hati membiarkan pria cacat itu, siapa tahu dia ingin menggunakan toilet kan.

"Jef, pulanglah. Kita sudah tidak ada urusan, kan?" Dia hanya tersenyum ringan, lalu membuka lapisan terakhir dari setelan yang ia gunakan, meninggalkan celananya saja. Otot perutnya mengalihkan mataku ke segala arah. Dia sedikit terpincang tanpa tongkatnya, sepertinya kaki kirinya menjadi pusat cidera. Baru setelah kamar mandi tertutup aku bernafas lega. Bagaimana ada pria tak tahu malu begitu, makiku.

Membaringkan tubuh masih dalam balutan bathrobe, ku tarik selimut dalam posisi senyaman mungkin. Aku butuh tidur karena untuk menangis sekarang tak mungkin selama Jefry ada disini. Setelah 10 menit langkah kaki tertatih milik Jefry terdengar berhenti. Aku berdoa dalam pejam, semoga si gila itu segera angkat kaki. Sayang seribu sayang, aku malah merasakan bed disisiku bergoyang, tanda seseorang menggunakannya untuk rebahan.

"Jef, please" ucapku masih dengan mata terpejam dengan posisi membelakanginya.

"Please untuk apa, sweety. Kau terdengar sama menginginkannya dengan ku" hell no, menginginkan apa maksudnya.

"Camon Jef, aku sedang tidak bercanda" aku tahu suaraku sepenuhnya tenggelam, lelah hayati mendominasi.

"Aku juga tidak bercanda bahwa aku akan tidur denganmu malam ini" katanya keras kepala.

"Up to you, deh. Jangan lupa tutup pintunya rapat-rapat saat kau keluar nanti." aku memutuskan mengalah padanya, setidaknya aku telah mengusirnya dengan halus dengan sindiran itu. Aku harus tidur, bisa atau tidak, meskipun pasti sulit dengan adanya Jefry di sisiku.

Satu jam berlalu, aku tak berhasil tidur. Aku bangun demi meneguk air mineral dalam kulkas mini yang di sediakan hotel. Jefry masih mengamatiku dalam duduk bersandarnya, mata elangnya kali ini memandangku serius. Ponselnya masih menyala sejak sejam lalu.

"Tak bisa tidur, sweety?"

"Hn. Kalau kau pergi, aku akan langsung tidur." Mungkin saja, atau justru bayangan senyum bahagia Dahlan dan istri mudanya justru menghantui, aku tak tahu. Kembali aku mencari posisi nyaman kali ini aku tak peduli lagi meskipun menghadap Jefry. Tak ada guling, biasanya bantal yang sekarang digunakan Jefry sebagai sandaran ku manfaatkan sebagai guling. Ah, dia menganggu sekali.

"Kenapa kau disini Jef?"

"Aku hanya ingin" hanya ingin katanya, sialan sekali.

"Kau terbiasa tidur dengan siapa saja ya?"

"Tidak" jawabnya. Hanya dengan nenek tua itu. Aku merasa jijik dan geli dalam waktu bersamaan. Ku pejamkan mata sekali lagi, namun perutku berbunyi.

"Aku lapar"

"Ku pesankan makan malam" ucapnya lalu menggeser layar ponsel pintarnya.

"Pukul berapa sekarang" percakapan ini terasa normal, bagi dua orang yang telah lama bersama. Aku jadi tahu wajah merah Jefry menandakan kesakitan. Dia terus memandangi kakinya.

"Sebelas WIB" huh, seperti dia bicara dengan penduduk WITA/WIT saja, batinku mengejek.

"Perlu ku bantu kakimu"

"Tidak"

"Kau habis operasi?" Aku sungguh penasaran dengan kakinya.

"Sudah 2x"

"Kecelakaan?"

"Ya"

"Mobil?"

"Kerja"

"Seperti kau sedang di proyek gitu?"

"Singgih Wijaya clue-nya kalau kau ingin tahu" aku terkesiap, baiklah, aku paham sekarang.

"Sini" aku duduk tegak, lalu memijit ringan kaki kirinya. Dia tak nampak keberatan meski dari sebelah alisnya yang naik aku tahu, dia tidak yakin dengan tindakanku. Mulai dari jari-jari kaki hingga daerah lutut ku pijat lembut. "Kadang aku melakukan ini pada ibu Dahlan" Tak ada perubahan ekspresi pada wajahnya. Jefry menjadi orang lain dengan diamnya.

"Gimana, enakan?" Tanyaku soal relaksasi yang ku lakukan. Ada bekas sayatan di tempurung lututnya.

"Lumayan"

Kami diliputi keheningan untuk beberapa saat "Pulang Jef, untuk apa kau disini"

"Aku hanya ingin saja" jawabannya masih sama.

"Kau gila?"

"Ya"

Aku mendengus karena jawabannya. Pintu diketuk, "makanan" ingatnya.

Aku bangkit membuka pintu, wajah asisten Jefry terlihat masih datar. Ku buka pintu lebar barangkali pria ini bisa membawa atasannya hengkang dari kamarku.

"Kau tak masuk?" Aku berharap pria ini menolongku dari atasan gilanya.

"Untuk apa dia masuk, sweety"

"Serius, kau ingin tidur disini, Jef?"

"Bawa dia pergi, please" aku memohon pada pria yang aku tidak tahu namanya.

"Maaf, nyonya" dia hanya mengangguk padaku lalu pergi dan menutup pintuku. Ah!

"Jef, kalau kau ingin tidur dengan wanita, cari saja di luar sana. Biarkan aku sendiri, begitu aja. Apa susahnya sih" protes kesekian yang ku lakukan tak mengubah pendiriannya.

"Aku ingin tidur denganmu. Ayo makan"

Aku melotot tak percaya, Jefry berdiri tertatih dan merebut tumpukan ayam tepung dari tanganku. Dia duduk di sofa single ruangan ini dan menyuruhku duduk juga dengan isyaratnya.

"Hanya ayam saja?" Aku bertanya heran.

"Beruntung dia tak membawakanmu mie cup. Dia selalu bodoh memilih makanan" aku jadi tergelak mendengar gerutuan Jefry.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height