+ Add to Library
+ Add to Library

C6 6

Aku duduk tenang di perpustakaan mini bekas kakekku. Memutuskan menempati rumah warisan ibuku mulai hari ini. Aku sedang tak ingin bertemu ayah yang menempati rumah utama, serta wajah memelas ibu Dahlan yang terus mengharapkan ku bersabar menunggu putranya. Meskipun dia tahu aku tak dicintai anaknya. Ibu Dahlan wanita baik yang memanusiakan orang lain dengan tabiat sedikit tertutup dan pendiam.

Sore tadi, dengan paksaan mengerikan aku menyetujui diantar Jefry. Aku bilang mengerikan karena pria bertongkat itu membeberkan selembar kertas bertuliskan nama rumah sakit ternama di depan wajahku. Bukti hasil tes DNA, yang bisa saja palsu kan. Bahwa aku bukan anak kandung ayahku, Kumbo Soetopo. Jadi tanpa pikir panjang aku mengangguk setuju dengan semua penawaran gilanya. Aku ingin mencari tahu sendiri, sejauh mana ayah menyembunyikan ini dan apa motifnya.

Keinginan menghindari Jefry sepertinya harus ku urungkan, ku rasa dengan kuasanya, pria itu mampu menggiringku pada kebenaran akan asal-usul ku. Sampai disini aku hanya berharap, ibu yang melahirkan ku sama dengan yang membesarkan ku.

Ku buka semua dokumen usang yang mungkin saja membawaku pada kebenaran. Termasuk melihat sekali lagi copy akta kelahiran yang baru saja ku temukan pada sisa-sisa berkas lamaran pekerjaanku yang tertinggal di sini. Nama Kumbo Soetopo ada disana bersanding mentereng dengan nama Rukmana Windari, ibu ku. Herannya ketika menelisik jauh ke dalam hatiku, aku tak merasa terlalu terbebani andai ayahku bukan ayahku. Meskipun aku bukan jenis yang seperti kacang lupa kulitnya. Setidaknya, aku bersyukur beliau masih memberiku muka di setiap masa penting yang terlewati dalam hidupku. Walau secara emosional kami tidak sedekat pasangan ayah dan anak seperti seharusnya.

Terdengar pintu diketuk beberapa kali. Tidak yakin siapa yang datang semalam ini. Bukannya aku berharap, aku takut si gila Jefry kembali lagi. Mengingat betapa kurang kerjaannya dia. Wajah tua pakdhe Parto membuatku bernafas lega, namun pikiranku segera waspada ketika mendapati wajah ayah yang menahan murka.

"Nona, dari mana saja? Kenapa tho tidak mengabari bapak atau pakdhe?" Aku tersenyum mendengar nada tulus lelaki yang mengabdi pada ayah sejak puluhan tahun lalu ini. Aku menyalami ayah yang sudah duduk di kursi Garuda tunggal bermaterial jati Belanda peninggalan kakek dari ibuku.

"Aku sudah mendengar kamu ke Jakarta" suara serak berwibawa ayah yang cenderung kaku dan menakutkan menyapa tembok dingin ruangan ini. Jelas sekali ini menyakiti ku, bukti bahwa ayah tak pernah lost kontak dengan Dahlan. Lagipula dari siapa dia bisa tahu aku ke Jakarta.

"Hanya mengunjungi kawan lama, yah?"

"Dan kamu tidak merasa perlu meminta ijin padaku" ayah tidak sedang merajuk seperti ayah lain pada umumnya ketika anak perempuannya bermain terlalu jauh dan terlambat pulang. Suara dan ekspresi ayah memang sedang marah betulan.

"Bukankah waktu itu ayah sedang ke Rembang bersama Pakdhe?" Orang bilang, pembawaan tenang yang ada pada diriku adalah gen dari Kumbo Soetopo. Siapa sangka Jefry justru membawa hasil DNA yang lumayan membuatku shock.

"Apa gunanya telpon kalau begitu, Rahela?"

"Yah, aku sudah dewasa. Aku bisa jaga diri. Ayah tidak perlu secemas ini seharusnya kan?"

"Non ayu..." Tidak ada kata ayu pada nama panjangku, itu hanya bentuk kasih sayang Pakdhe dan beberapa pegawai di kebun ayah kepadaku. "Bapak beberapa hari ini mengkhawatirkan non ayu"

"Saya baik-baik saja, Pakdhe, Yah." Ayah menatapku dengan pengendalian yang sedikit ternoda tanda tanya. "Rahela akan buatkan teh madu ya?"

"Tidak usah, siapa pria yang mengantarmu tadi Hela?" Itu panggilan kecil ayah dan ibu kepadaku. Aku melirik santai wajah ayah yang semakin merah, benar kan dugaan ku. Pimikirannya sampai membuat emosinya nampak di epidermisnya. Tidak lelahkah dirinya bersikap begitu sejak ibu masih hidup dulu.

"Hanya teman"

"Hela, tidak pantas perempuan yang sudah bersuami bebas berkeliaran dengan pria lain" aku merasa tertohok dengan perkataan ayah. Dia menyebutku berkeliaran, seolah aku pelaku kejahatan pelanggar norma yang berselingkuh. Ingin ku katakan bahwa kesalahannya lebih fatal. Sejak jaman nenek moyangnya homo Sapiens dulu, tidak ada seorang wanita yang suka rela dimadu. Berselingkuh dengan cara yang lebih terhormat, menikah siri diam-diam di belakang ibu. Parahnya aku juga mengalami nasib yang sama dengan ibuku. Kenyataannya hanya helaan nafas, dan kepala tertunduk saat menghadapi tatapan mata ayah yang tak goyah. Ku pejamkan mata, menghalau diri agar kuat menahan kebenaran apapun sampai Jefry datang membawa semua bukti yang ku inginkan.

"Dahlan menghubungiku, dia menanyakan mu" tak bisa aku tak tergelak mendengar kalimat ayah selanjutnya. Hingga beliau mengernyit heran. Mungkin merasa asing dengan reaksiku yang tak biasa di mata beliau. Sudah ku bilang, kami tidak akrab sebagai ayah dan anak. Bisa jadi ayah tak mengenal sifat asliku yang pendendam ini. Mungkin justru Pakdhe Parto yang lebih paham bagaimana aku dibalik sikap tenang yang selalu ku tunjukkan di depan ayah. Apalagi saat ku lirik, Pakdhe Parto menelan ludah berkali-kali ketika menatapku.

"Yah, jelaskan saja pada Hela sekarang, kenapa Dahlan tidak pernah menghubungiku sendiri secara langsung?" Kali ini aku mengangkat mataku lurus kepada pria yang telah lebih seabad ini. Mata tuanya yang senantiasa jeli membeliak, seolah aku telah berhasil memegang titik paling tersembunyi disana.

"Sampai kapan ayah menempatkan Hela sebagai anak ayah yang paling bodoh?"

"Apa maksudmu, Hela?"

"Ayah jelas tahu maksudku"

"Berhenti bicara omong kosong" ujarnya tampak marah, kaki tuanya berangsur menopang tubuhnya yang mulai renta. Aku tahu dari gesturnya bahwa ayah akan menghindari pertanyaan ku.

"Sebenarnya, anak ayah itu aku atau Dahlan?" Aku hanya sedang berpikir kenapa sejak dulu ayah selalu membela Dahlan tentang keabsenannya sebagai suami. Tentang bagaimana ayah selalu bilang bahwa Dahlan adalah lelaki paling layak untuk ku. Namun yang tak ku sangka, tubuh ayah menegang kaku untuk beberapa saat.

"Apa maksudmu, Rahela" ayah mencengkram tongkatnya kuat, ah aku jadi ingat Jefry. Apakah pria bertongkat itu memang selalu licin dan licik seperti ayah dan Jefry.

"Kenapa selama ini ayah menutupi bahwa Dahlan menikah lagi di Jakarta?"

Ayah tidak menunjukkan tanda kekagetan sedikitpun. Berbeda sekali dengan Pakdhe Parto yang sejak awal menyimak percakapan kami.

"Bahkan ayah sudah tahu" imbuhku lemah, aku kembali tergelak menyedihkan, air mata sudah meluruh di pipiku. Beliau masih diam dengan bibir terkatup.

"Itu semua demi kamu" demi aku, hah? Lucu sekali, dimana ada orangtua yang rela anaknya disakiti. Atau ayah memang udah buta akan rasa sakit di dalam hatiku, bodohnya aku masih percaya dan mengharap kalau beliau adalah ayah kandungku.

"Tak peduli ayah setuju atau tidak. Aku tetap akan menceraikan Dahlan. Bahkan Dahlan sudah setuju" kali ini aku memandang berani kepada pria tua yang dicintai ibuku hingga akhir hayat.

"Ayah tidak setuju" beliau menekan setiap kata, sudah ku duga.

"Aku tidak butuh persetujuan siapapun" aku tahu ayah kaget dengan reaksi berani ku, tidak seperti biasanya yang lebih sering patuh meskipun lebih dulu akan menyela dengan kalimat sopan santun.

"Apa ini karena pria yang mengantarkan mu itu?"

"Tidak sama sekali yah. Justru ini karena ayah sendiri. Sejak awal ini karena ayah" kembali aku meninggikan suara.

"Jangan jadi anak kurang ajar, Rahela!" Bukan sekali ini ayah membentak ku. Aku adalah pembangkang, seperti aku tak ingin menikah muda meski bertunangan sejak remaja. berkali-kali aku berusaha kabur dari rumah karena sikap galak ayah, pertengkaran demi pertengkaran dengan ibuku, atau karena kedatangan teman priaku.

"Aku tidak mau dimadu yah, aku bukan ibu!" Aku tidak ingin membentak balik ayahku, biar bagaimanapun beliau berjasa membesarkan aku. Namun, suaraku yang sarat luka tak lagi bisa dibendung. Kemudian tongkat ayah yang di lempar ke arah wajahku tepat mengenai dahi. Huh, ini juga bukan yang pertama, aku dilempar tongkat atau benda kecil di sekitar ayah. Walau tidak pernah ada yang benar-benar menyakitiku. Itu merupakan cara ayah mendidik dan mendisiplinkan aku, dahi ku pasti benjol.

Pakdhe Parto berteriak memohon ampun atas kata kasarku kepada ayah. Dulu ibu yang melakukan itu untuk ku. Sekarang satu-satunya orang yang paling memahami ku telah tiada. Andai ibu tahu nasibku kini sama persis dengannya.

"Tidak ada perceraian dalam keluarga kita" ayah kekeh dengan prinsipnya. Ayah memiliki 4 istri, ibuku yang pertama. Dari ke 3 istrinya, tidak ada anak kandung, sepengetahuan ku semua anak sambung dari 3 istri yang lain. Tapi kini statusku juga diujung tanduk mengingat hasil tes DNA itu.

"Kalau begitu bolehkah aku keluar dari keluarga ini yah"

"Lancang mulutmu, Hela! Sudah bagus ku turuti semua keinginanmu. Ini balasanmu padaku hah! Ibumu saja mengabdi pada suami hingga ajal datang, kenapa kamu tidak belajar darinya? Segitunya kamu ingin bercerai dari Dahlan"

"Segitunya ayah membela Dahlan?" Balasku tak terima. Aku tak lagi peduli, ayah akan melempar meja kursi ke wajahku.

"Karena Dahlan adalah keberuntungan kamu" pria yang tak pernah lupa hari ulangtahun ku itu mengeram marah.

"Beruntung? Dia memindahkan aset ayah di Jakarta menjadi atas namanya"

"Ayah sudah mengijinkan?"

Aku cengo, terdiam tak percaya. Orang yang ku pikir akan jadi yang paling kecewa atas perlakuan Dahlan justru jadi orang yang ternyata mendukung. Sudah sejauh ini ayah terlibat dengan pengkhianatan Dahlan. Rasa marah dan teramat kecewa meliputi setiap ruang di dadaku. Aku bersumpah akan membuat ayah dan Dahlan meminta maaf untuk perlakuan menyakitkan pada kami, pada aku dan ibuku.

"Oh. Baik" merasa sudah tidak ada lagi yang perlu ku bicarakan dengan orangtua yang lebih memihak anak orang lain, aku hendak menyingkir dari ruang tamu. Ah, mungkin benar aku bukan darah dagingnya, jadi untuk apa lagi aku berlama-lama. Dengan atau tanpa persetujuan ayah, aku akan tetap bercerai dari Dahlan.

Ku buat sebuah panggilan, tak perlu menunggu lama, suara Jefry menyambut di ujung telpon.

"Ya, Sweety"

Ah, kepanjangan lagi

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height