+ Add to Library
+ Add to Library

C7 7

Dahlan duduk di ruang tamu rumah utama. Ibu Miranti Utami, ibu Dahlan duduk di seberangnya dengan mata berbinar. Memandang menantu sejatinya yang tengah mengandung cucu pertama, sesuatu yang tidak mungkin ku berikan. Nabila Wijaya hanya menganggap ku hantu, jari-jari bercat pink miliknya terus membelai perut buncitnya tanpa lelah. Seolah jika ia berhenti perut itu akan kempis dengan sendirinya. Jelas tengah mengolok ku.

Seminggu telah berlalu, Pakdhe Parto tergopoh-gopoh datang menjemput. Mengabarkan dengan raut sungkan, bahwa Dahlan dan Nabila datang. Mereka berdua bahkan berhasil mengundang kehebohan para pegawai apalagi tetangga sekitar. Mau tak mau, tatapan kasihan itu ku terima dengan paru-paru sesak.

Di kanan kiri rumah ini terhampar hektaran tanah pertanian beserta pekerjanya. Di rumah ini pula ayah mendirikan koperasi tani untuk menampung hasil pertanian milik warga yang nantinya akan dikelola Dahlan. Aku tertawa miris dengan keputusan dan sikap ayah yang masih mendukung Dahlan setelah mengetahui dia hanya seorang brengsek. Tak tahan sangat, aku ingin memberontak dari situasi ini. Namun aku juga ingin tahu bagaimana pembicaraan berlangsung. Sekaligus ingin menilai siapa Dahlan bagi ayah sesungguhnya. Sikap ambigu ayah pada kami membuatku percaya intuisi.

Dari ekspresi dan sikap berhati-hati ibu Miranti, aku sangat tahu beliau teramat menjaga perasaanku saat ini. Bibi pelayan setia rumah utama datang menyajikan minuman dan camilan sederhana. Menawarkan dengan sikap ramah diantara tatapan segan padaku. Aku sungguh tahu mereka tengah mengantisipasi emosiku yang mungkin saja meledak. Oh tunggu saja, aku tak akan sopan koq pada Dahlan dan istrinya.

Deheman ayah membuat kami menoleh.

"Halo ayah, apa kabar?" Tanpa terduga Nabila menyambut ayah dengan akrab, lebih dari kenal heh, menyebut ayah juga. Sementara wajah Dahlan telah berubah menjadi hijau dengan tatapan tak enak padaku. Ayah mengangguk kecil, iris mata tuanya juga jatuh padaku. Aku menarik ujung bibir dan mengangkat sebelah alis sebagai tanda telah menemukan sedikit titik terang dari konspirasi yang mereka buat. Dasarnya bibir dari pemilik hati yang tersakiti sepertiku tak bisa menahan bicara.

"Wah luar biasa sekali, Nabila Wijaya yang cantik mengenal ayahku dengan akrab" Nabila mengerjap seperti gadis bodoh, Dahlan memejamkan mata, sementara ayah terdiam dengan wajah keras. Aku belum sempat melirik ibu Miranti saat ayah menyebut namaku dengan nada penuh penyesalan.

"Dengarkan ayah baik-baik, nak?"

"Nak?" Nadaku reflek meninggi tak terkendali meski keluar dengan volume rendah.

"Tolong dengarkan ayah dulu bisa?" Dahlan menyela pertanyaanku tak suka. Pasalnya seumur hidupku Kumbo Soetopo tak pernah memanggilku nak apalagi berbicara dengan nada rendah penuh penyesalan alih-alih nada kasih sayang.

"Setelah kamu melakukan semua ini, apa hakmu menyela ku, Dahlan?" Menyipitkan mata kepada si brengsek itu lalu aku mengembalikan perhatianku pada Kumbo Soetopo, sesaat setelah pria yang ku kenal sebagai ayah itu meneriakkan namaku.

"Rahela!" Suara menggelar ayah membuat Nabila seketika memeluk Dahlan ketakutan. Hah, cengeng sekali. Ibu Dahlan bahkan memegangi lenganku agar aku tak memancing tuan besar.

"Aku anak siapa Tuan Kumbo Soetopo! Kenapa ada namamu di belakang namaku hanya demi untuk kau perlakukan tidak adil!" Kemarahan ku tak tertahan sudah, aku sudah ada di ambang batas kesabaran ku. Jujur saja kehadiran Nabila Wijaya di rumah ini, serta betapa sapaan wanita hamil itu terasa mengolok ku. Aku tak pernah sedekat itu dengan ayah hingga akan bersikap riang saat bertukar sapa. Aku iri pada wanita itu, dia sudah merebut Dahlan dan ayah satu-satunya yang ku kenal seumur hidup.

"Ibu Miranti apa juga bisa menjelaskan?"

"Rahel, duduk dulu, nak. Ibu mengerti perasaanmu. Anak ibu memang bajingan menikahi wanita lain tanpa ijin mu, duduk nak. Ayo kita bicara baik-baik" bujukan halus dengan bibir bergetar dari wanita yang mulai beruban ini membuatku sadar, aku sudah mengumbar emosiku sedikit berlebihan. Tapi aku sangat yakin, disini hanya aku yang tidak tahu apa-apa.

"Kamu tetap seorang Soetopo, Hela. Ayah mengerti, kamu bukan ibumu, karena itu kamu bebas memilih akan terus bersama Dahlan atau berpisah"

"Ayah mengolok ku ya? Harusnya ayah tanyakan itu pada Dahlan, selama ini yang tidak menginginkan pernikahan ini bukan aku. Jadi tolong jangan lagi bicarakan hal konyol ini lagi" muka Dahlan pias berbanding terbalik dengan wajah kemenangan istri barunya. Aku memang kalah, tapi aku tak perlu terus bertingkah naif dengan membohongi diri sendiri seolah-olah suamiku mencintaiku padahal tidak.

"Rehela!"

"Ayah! Bisakah kali ini kau menganggap ku anak mu seaungguhnya? Aku tak akan banyak bicara pada si brengsek ini, tolong beri aku kesempatan."

"Apa maksudmu Hela?"

"Aku tahu aku bukan anakmu, dan mungkin saja si brengsek itu anak kandungmu. Pak Dhe Parto, tolong ambilkan berkas di dalam laci nomor dua"

"Rahela, jangan membuatku kehabisan kesabaran!" Wajah murka ayah sungguh mengganggu, kalau dulu aku akan memilih diam dan menjauhi sumber kemarahan ayah, kali ini tidak. Kalau dulu ada ibu sebagai pelipur lara dan peredam emosi agar aku menghormati ayah, kali ini tidak lagi. Ini sudah keterlaluan.

"Tolong yah, bersabar sedikit lagi untuk ku, karena aku juga sudah bersabar hampir seumur hidupku padamu"

"Rahela" tongkat berlapis pelitur emas pria tua itu melayang ke kepalaku tepat mengenai hidungku. Ibu Miranti histeris tangannya berusaha menghalauku.

Sungguh perlakuan ayah menjatuhkan aku di depan istri baru Dahlan. Tapi apa peduliku. Aku memungutnya dramatis dan melemparnya cuek ke sudut ruang tamu ini, seolah aku tak merasa terganggu dengan sikap ayah. Tapi jujur aku semakin sakit hati, saat ini aku sedang ingin dibesarkan hatinya oleh orang-orang terdekatku bukan semakin dihancurkan di depan musuh begini. Atau ayah justru menganggap aku musuhnya selama ini. Aku juga mencoba tak peduli apakah tulang hidungku patah dengan nyeri menyengat ini, sesungguhnya luka yang nyata ada di batinku.

"Ini yang tidak aku suka dari ayah".

Aku melirik tangan keriput Pakdhe Parto, menyerahkan map tipis berisi bukti tes DNA kami.

"Dalam situasi ini seharusnya ayah memelukku, bukan semakin menjatuhkan aku di depan istri baru menantu mu, yah. Sekalipun aku bukan anak kandungmu. Kecuali kalau ayah memang sangat berkeinginan turut menyiksaku" pria tua itu memandang tangannya yang bergetar. Entah menahan marah entah karena menyesal memeperlakukanku seperti anak SD.

"Maafkan ayah" akhirnya bisa ku dengar pria tua itu mengungkapkan maaf setelah belasan tahun lalu di depan jenazah ibu. Sukses membuat tanganku berhenti mengeluarkan isi map tersebut. Otakku tak mengijinkan untuk hiraukan mata sedihnya, bisa saja itu hanya kamuflase. Toh selama hidup menjadi ayahku, yang pria tua perlihatkan hanya wajah datar dan dingin.

"Ayah terlalu keras mendidik mu, itu hanya demi agar kamu jadi wanita mandiri" hah, klasik bukan alasan seperti itu.

"Ayah kandungmu adalah adikku. Kamu tetap seorang Soetopo" aku terkekeh dalam derai tangis yang tak bisa lagi ku tahan. Jadi apakah aku dinikahkan dengan sepupuku.

"Sejak remaja aku jatuh cinta pada ibumu." Kenapa terdengar melegakan bagiku.

"Tapi ibumu malah menjatuhkan pilihan pada adikku, Gandu Soetopo. 3 bulan setelah adik ku menikahi ibumu, dia meninggal karena serangan jantung. Sementara ibumu telah mengandung benih. Jadi kakekmu memerintahkan aku menggantikan posisi ayahmu. Hidupku bahagia, aku menyayangimu selayaknya darahku." Aku ingin menampiknya, yang ku rasakan dia tak pernah benar-benar menyayangi ku.

"Aku pikir aku menjadi pria paling bahagia akhirnya bisa memiliki wanita yang sejak awal kusukai. Tapi Tuhan tak menginginkanku hidup tenang sejak wanita disebelahmu datang mengatakan bahwa putranya adalah putraku"

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height