C34 TIGAPULUHTIGA
"Kacau, si Randy main mulu!" Keluh Bri tertawa setelah pertandingan selesai. Seperti tebakan gadis itu, sekolahnya memang tidak akan bisa serius, dan berakhir dengan mereka yang kalah.
Vodka dengan baik membagi-bagikan minuman dingin kepada teman-temannya, mendengar semua obrolan mereka mengenai pertandingan, dimana tim Saka membabat habis mereka semua.
Jika bagi Saka hasil pertandingan ini mencerminkan image sekolah mereka, maka berbeda dengan teman-temannya yang ikut bertanding hanya untuk kesenangan semata saja.
"Kapten mereka gilakk parah. Mainnya kayak dendam banget" ujar Randy terkekeh, yang kembali membuat Vodka gugup.
Gadis itu tidak tahu harus senang atau ngeri saat ini, apalagi saat matanya menangkap pemandangan dimana Saka dan Jeff sedang berjalan ke arahnya. Belum lagi dari tempat sebaliknya, Brandon juga sedang jalan ke arahnya, seakan ingin memerangkap Vodka di tempatnya.
"Kacau parah emang. Baru kali ini gue main kayak mau di eksekusi sama tim lawan" Hamzah menyaut setuju.
Walau tahu mereka di persulit, entah mengapa teman-temannya tidak ambil pusing dengan sikap aneh dengan tim lawan mereka, yang tak lain adalah tim Saka.
Tapi ketika ketiga orang masa lalu gadis itu mendekat, teman-temannya langsung dengan refleks berdiri di depannya, seakan menjadi temeng untuk Vodka.
Randy, ketua kelas mereka melirik sekilas kearah Vodka, seperti menyadari bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis itu.
"Kenapa ya bro?" Tanya Randy mendekat ke arah Saka, yang masih tidak mengalihkan tatapan matanya dari Vodka.
"Cuma mau bawa pulang cewek gue!" Jawab Saka dingin. Sekali lagi, Randy menatap ke arahnya untuk memastikan ucapan Saka.
"Hadehhh bund, kagak paham gue sama lo. Kita yang insecure, tapi lo yang pergi. Kan anjing! . Konsepnya gimana sih?" Tanya Jeff mengingatkan gadis itu perihal hinaan yang di lontarkannya.
Bri yang merasa ada yang tidak beres langsung berdiri di depan Jeff, menatap laki-laki itu dengan dingin. "Jangan kasar kalau sama cewek bro!" Tukasnya, membela Vodka.
"Ini bukan urusan lo. Ini urusan kita sama tuh cewek!" Dengus Jeff, yang tampaknya memang sakit hati.
Apa yang harus Vodka lakukan sekarang? Apakah dia harus mendengar lebih banyak hinaan lagi di depan banyak orang?
"Kalian jalan duluan! Tungguin gue ya. Gue perlu ngomong sama tiga orang ini" tukas Vodka yang pada akhirnya memilih bangkit berdiri.
"Gak perlu! Dia pulang bareng gue" ucap Saka yang langsung menarik tangan Vodka untuk menjauhi semua orang.
Mereka berjalan menuju sudut sekolah, disusul Jeff dan Brandon yang berjalan di belakang mereka.
Lalu, seperti mengerti dengan perasaan Saka, Jeff berhenti berjalan untuk menghalangi Brandon. Mereka perlu membiarkan kedua orang itu untuk membicarakan urusan mereka.
Sudut sekolah Saka berisi lorong kelas dari bangunan lama yang tidak pernah digunakan. Biasanya, lorong-lorong itu hanya di lalui oleh penjaga sekolah, jika sedang memeriksa keadaan sekitar. Jadi jelas, suasana hening dengan banyaknya rumput mati membuat suasana terlihat menyeramkan.
Saka berhenti tepat di tembok gerbang paling ujung. Posisi Vodka yang berdiri di depan dinding dengan Saka yang berdiri di depannya sungguh mengitimidasi. Vodka sudah pasrah, terserah Saka mau melakukan apapun. Dibawa ke KUA juga boleh, biar keluarganya kembali ketar-ketir.
"Gue boleh ngomong sekarang?"
Tapi begitu mendengar suara lembut Saka yang jauh dari ekspetasinya berhasil membuat gadis itu terkejut hingga refleks mendongak untuk melihat ekspresi Saka.
Wajah Saka yang tadinya dingin kini menatapnya penuh sayang lengkap dengan suara lembut laki-laki itu yang membuat Vodka dengan refleks menghela nafas legah.
"Lo gak marah ke gue?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Vodka.
Laki-laki yang di depannya tampak menelengkan kepalanya ke samping, lalu menatap gadis itu sambil tersenyum.
"Enggak. Semuanya memang kesalahan gue" jawab Saka. "Jadi, kamu enggak perlu kabur-kaburan lagi!" Lanjutnya. Tangan kanannya terulur ke depan. Telapak tanganya yang besar mengelus lembut pipi gadis itu yang tampak hangat. Mungkin efek karna menghadap matahari selama pertandingan. Dan sesekali, telapak tangan Saka turun ke area tengkuk dan lehernya. Entah apa yang sedang di pikirkan Saka, karna saat ini sedang mengelus lehernya sambil tersenyum.
"Jadi merah begini" gumam Saka yang menatap ke arah pipinya.
"Tapi sekarang, kamu bisa maafin aku kan? Mau terima aku lagi?" Suara berat Saka beserta telapak tangan besarnya yang seukuran wajah Vodka sudah cukup memperjelas bahwa saat ini Saka memintanya dengan secara paksa. Jika ia menolak, telapak tangan Saka bisa dengan mudah menggenggam batang lehernya hingga ia bisa kehabisan nafas.
Sungguh, pengancaman serta itimidasi ini terlihat seperti sifat seseorang yang terobsesi.
Apakah takdirnya juga sama seperti temannya, Sharla, yang berhasil menarik perhatian laki-laki yang memiliki sifat monster seperti ini.
Dan bisa jadi, kemungkinan besar jika ia menolak, maka Saka tidak akan segan-segan menyiksa orang yang berada di sekelilingnya, memperlihatkan seperti apa neraka ciptaanya karna menolak Saka.
Vodka kembali mendongak, melihat senyum Saka yang baru sekarang ia sadari bahwa itu bukanlah senyum ramah, melainkan senyuman penuh ancaman.
"Gue udah maafin kok" suara Vodka yang terdengar mencicit itu berhasil membuat senyum Saka semakin lebar.
Tentu saja Vodka harus menerimanya sekarang, agar tidak ada korban jiwa lagi.
Entahlah, tampaknya hal yang dilakukannya selama dua bulan ini untuk menghilang dan menjauh dari Saka, malah berakibat fatal. Vodka tanpa sadar sudah membangunkan sifat monster Saka yang tertidur selama ini karna keputusan gilanya selama dua bulan.
"Bagus! Ini yang gue mau" tukas Saka tersenyum puas, lalu dengan entengnya mengecup pucuk hidung gadis itu dan membawa Vodka ke dalam pelukannya.
"Betapa rindunya gue sama aroma lo" ucap Saka lagi mengendus rambutnya. "Jangan pergi lagi! Karna ketika lo pergi lagi, gue enggak segan-segan patahin kaki lo" Saka tersenyum lembut. Jari-jari panjangnya mengelus bibir bawah Vodka.
Astaga!!!
Ternyata benar dugaan Vodka. Dia memang telah menghidupkan sifat Saka itu.
Setelah puas mengendus-endus rambutnya, barulah Saka mengajaknya pulang. Tangan Saka merangkulnya dengan erat, seakan tidak ingin memberikan kesempatan Vodka untuk menjauh darinya barang seincipun.
Melihat kedatangan mereka, Brandon langsung menatap serius. Apalagi ia mendapati tatapan Vodka yang seperti baru saja melihat adegan pembunuhan.
Matanya melirik ke arah Saka yang sedari tidak berhenti tersenyum. Ekspresi yang sangat berbeda dengan Vodka.
"Gue perlu bicara berdua dengan Vodka!" Ucap Brandon tegas, apalagi setelah menangkap tatapan memohon pertolongan Vodka yang sekilas.
"Bicara aja disini. Anggap kami berdua enggak ada" tukas Saka santai.
Yang benar saja.
Bagaimana bisa Brandon tidak bisa mengaggap kedua orang itu tidak ada, jika kedua laki-laki itu memancarkan aura ingin membunuhnya.
Walau begitu, ia pada akhirnya menerima. Ia menatap Vodka dengan lembut, lalu tangannya menggenggam telapak tangan Vodka.
Namun sayang, tangan itu langsung di hempaskan Saka.
"Tidak ada sentuhah!" Peringatnya dengan tajam.
Sialan, maki Brandon kesal.
Walau begitu, ia berusaha tidak mempermasalahkannya, karna ia lebih penasaran dengan alasan Vodka yang menghilang, begitu juga dengan Sharla dan Rio.
Jelas hal itu membuatnya penasaran, mengapa keriga orang yang begitu dekat itu bisa menghilang secara bersamaan. Terlebih lagi, hanya Vodka yang kembali namun memilih untuk pindah sekolah.
"Lo kenapa pindah? Gue perlu dengar penjelasan. Gue kawatir sama lo" kata Brandon berani, yang tampaknya tidak menyadari kobaran api rasa ingin memusnahkan dari dua orang laki-laki yang berada di sekitarannya, ketika tatapan lembut itu melihat Vodka.
"Ceritanya panjang. Ini udah kesorean kalau gue cerita. Entar gue hubungin lo lagi buat cari waktu yang pas" jawab Vodka cepat, karna sangat menyadari aura membunuh dari dua laki-laki itu.
"Bener ya? Gue tungguin kabar lo" ucap Brandon penuh harap, yang langsung di angguki Vodka dengan cepat.
Setelah mendapatkan jawaban gadis itu, pada akhirnya Brandon memilih mengalah pergi karna di usir oleh Jeff.
"Mana ponsel kamu?" Tanya Saka setelah kepergian Jeff dan Brandon.
Walau tidak mengerti, Vodka mengambil ponselnya yang berada di dalam tas lalu menyerahkannya pada Saka dengan patuh.
Sialnya, ia tidak menduga, ketika ponsel itu sudah berada di tangan Saka, dengan entengnya laki-laki itu malah melemparkannya ke tembok hingga terpecah belah menjadi beberapa bagian.
"Segala hal harus ada izin aku" tegas Saka ketika melihat tatapan tidak percayanya.
Sialan!!!
Haruskah Vodka terjebak dengan laki-laki seperti Saka ini?
Bagaimana bisa Papanya yang posesif malah menerima lamaran Saka.
Apa yang harus Vodka lakukan sekarang?