BUKAN AKU TAK SETIA/C2 Sekarang
+ Add to Library
BUKAN AKU TAK SETIA/C2 Sekarang
+ Add to Library

C2 Sekarang

Alya berjalan cepat meninggalkan kantin, tangannya yang menggenggam tempat minum, mencengkram erat. Dia semakin memburu langkah ingin segera sampai di tempat kerjanya.

Perutnya yang semakin membuncit, mengurangi gerak langkahnya. Apalagi teriakan beberapa orang yang mengingatkannya untuk berhati-hati terdengar, hingga saat akan memasuki tempat kerja Andri, laki-laki itu menghentikan langkahnya.

"Hati-hati berjalan, Sayang! Aku ngeri lihat kamu jalan seperti barusan. Ingat, ada anak kita dalam perutmu!" tegur Andri dengan tatapan penuh kekhawatiran, Alya yang mendapat protes dari suaminya hanya tersenyum polos.

"Iya, Sayang. Maaf!"

"Jangan minta maaf, tapi jangan diulangi lagi!" Andri mengusap kepala Alya sayang, memberikan usapan pada perut Alya yang kini tengah mengandung anaknya kemudian. "Anak Ayah, kalau Bundanya nakal jangan diam saja, ya?!" sapa Andri yang ditanggapi tendangan kecil dari dalam sana, sepasang calon orang tua baru itu pun tertawa.

"Dia nurut!"

"Iyalah. Anak aku!" Alya mencebik, sedang Andri tertawa pelan. "Barusan kenapa sih tergesa-gesa?"

Alya tersenyum penuh misteri, lalu menggeleng membuat Andri memicing semakin heran.

"Rahasia! Aku belum mau cerita sama kamu sebelum bilang sama Cahaya."

"Ada apaan sih?"

"Nanti kamu juga tau sendiri! Udah ah, takut dicariin anak-anak!" Alya melanjutkan langkahnya menyusuri lorong menuju tempat kerjanya, Andri yang memang tidak bisa memaksa agar Alya menjawab rasa penasarannya menggeleng.

Alya melangkah menuju meja kerjanya yang bersebelahan dengan meja kerja Cahaya, setelah menyimpan tempat minumnya, dia beranjak mencari keberadaan Cahaya. Hingga dia bisa menemukan gadis itu sedang memeriksa hasil kerja salah satu karyawannya.

"Ya!"

Cahaya menoleh sebentar, lalu kembali memeriksa barang saat melihat Alya berjalan mendekat.

"Apa?" tanya Cahaya saat Alya sudah berdiri di sampingnya.

"Sibuk?"

"Urgent, harus dikirim siang nanti. Tadi juga Pak Indra nanyain spec yang kemarin, udah beres belum?" terang Cahaya tanpa mengalikan pandangannya.

"Udah, sedang cek QC. Aku ada kabar gembira nih!" Alya semakin tidak sabar menyampaikan berita yang akan dia sampaikan. Membuat Cahaya menghentikan pekerjaannya.

"Apa?"

"Jangan kaget tapi!" Alya sudah heboh sendiri, ciri khas dia saat ada berita yang menurutnya sangat menarik.

Cahaya mendesah pelan, calon ibu itu tetap tak berubah. Itulah yang membuat Cahaya nyaman bersahabat dengan Alya.

"Iya," jawab Cahaya pendek agar Alya segera mengatakan maksudnya.

"Tadi waktu ke kan--"

"Cahaya!" sebuah panggilan menghentikan perkataan Alya, keduanya menoleh pada sumber suara.

"Iya, Pak Indra?" jawab Cahaya sedang Alya menghembuskan napas pasrah, tampaknya waktunya kurang tepat untuk bercerita.

"Ini nggak lulus, barang lain ada nggak?" tanya Indra memberikan kertas hasil kerja pada Cahaya.

Cahaya mendesah lelah. "Aku cek ke belakang dulu, Pak!"

"Nanti kabarin ya?! Soalnya nanti mau ada manager pemasaran yang baru, mau diajakin ngenal produksi."

"Loh, emang Bapak mau kemana?" tanya Alya yang sedari tadi hanya diam.

"Saya cuma pengisi kekosongan saja, Al. Orang barunya udah ada di kantor kok, ya udah aku ke sana dulu." Indra pun berlalu setelahnya.

"Ya?"

"Ceritanya nanti aja ya, Al? Aku mau cek barang dulu,"

"Euh, Ya--" tangan Alya mengambang di udara, tak bisa mencegah Cahaya yang beranjak ke bagian belakang untuk memeriksa barang.

"Ya sudahlah, nanti saja bilangnya. Dia juga lagi sibuk," guman Alya meninggalkan tempat kerja Cahaya.

Cahaya terus melakukan pekerjaannya mencari barang yang memang sangat dibutuhkan untuk segera kirim. Perusahaan tempat kerjanya sekarang, adalah perusahaan yang sama waktu dia kerja di Korea. Perusahaan di Korea memutuskan memindahkan semua ke Indonesia, setahun setelah Cahaya bekerja di negeri ginseng itu.

Dan di tempat baru, jabatan leader membuatnya sibuk dan melupakan janji seseorang yang telah berjanji akan datang dua tahun lalu, namun hingga akhir penantian di tahun ketiga pun, lelaki itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Berbeda dengan Alya yang berhasil menyatukan cintanya dengan Andri, dan kini tengah menunggu kelahiran anak pertama mereka.

Cahaya kembali melangkah ke tempat kerjanya, mengatakan pada karyawan bawahannya untuk mengerjakan barang yang dibutuhkan.

Waktu terus berjalan, kesibukan Cahaya harus terhenti oleh suara bel tanda istirahat berbunyi. Menyandarkan tubuh lelahnya di kursi kebesarannya, di sebelahnya Alya menatap diam.

"Kenapa, Al? Gitu amat liatinnya!"

"Capek?"

"Dikit, kenapa?"

"Aku tanya boleh?"

"Apa?"

"Kalau tiba-tiba kamu ketemu a Raja---gimana?"

Cahaya melihat Alya kaget, sudah lama mereka tidak membicarakan nama itu, kenapa sekarang Alya menanyakan lagi?

"Ada apa sih, Al? Tumben!"

"Jawab saja."

"Entahlah, aku malu--"

Cahaya mendesah lelah, semua cerita masa lalu kembali membayang di benaknya. Tentang dia, Kim, dan juga Raja.

"Kamu ... masih mengharapkan kedatangan oppa, ya?" tanya Alya menatap dalam Cahaya, ia merasa iba dengan kisah cinta gadis cantik di depannya itu.

"Aku ... tidak mau membicarakan tentang dia lagi, Al. Sudah cukup aku memberikan banyak kesempatan padanya, baik saat bersama, ataupun setelah kami berjauhan," jawab Cahaya yakin.

"Lalu selama ini ... kenapa kamu menutup hati? Bahkan Adrian pun kamu tolak." Cahaya tersenyum, benar dia dengan tegas menolak cinta Adrian saat lelaki itu mengungkapkan cintanya setelah sekian lama memendamnya, namun karena merasa lebih nyaman menjadikan Adrian sebagai teman, Cahaya membuat Adrian menghentikan harapannya untuk memiliki cinta Cahaya.

"Aku bukan menutup hati, hanya ... belum bisa membuka hati lagi."

"Bukan karena berharap bertemu seseorang?"

Cahaya mengerutkan keningnya. "Bertemu seseorang? Siapa?"

"Aku yakin kamu akan terkejut, kalau aku bilang siapa yang aku lihat tadi," ujar Alya berteka-teki, dan Cahaya yang sudah sangat mengenal Alya dengan baik, yakin kalau yang dikatakan Alya adalah satu kebenaran.

"Emangnya siapa yang kamu lihat tadi?" tanya Cahaya yang mulai tertarik dengan pembicaraan mereka.

"Tadi itu, aku .... "

"Kenapa belum ke kantin?" suara lain menginterupsi, hingga Alya kembali menelan kata-katanya.

'Kenapa susah sekali untuk mengatakan, siapa yang aku lihat sama kamu, Ya?' Batin Alya pasrah, namun tatapannya terlihat kesal pada seseorang yang baru saja mendekat.

"Ganggu aja kamu, Yan!" dengus Alya membuat Adrian yang baru saja datang mengernyit heran.

"Kenapa sih Bumil satu Ini, Ya?" Adrian melihat pada Cahaya, yang terkekeh melihat Alya cemberut.

Cahaya salut dengan sikap dewasa yang ditunjukkan Adrian, lelaki itu tetap menganggapnya sahabat walaupun cintanya ditolak. Bahkan, dua bulan lalu Adrian sudah melabuhkan hatinya pada gadis lain, dan akan segera menikah. Tinggal Cahaya yang masih enggan mencari pendamping entah karena alasan apa, hanya Cahaya yang tahu jawabannya.

"Dari tadi itu, aku mau ngasih tahu Cahaya sebuah kabar gembira, tapi selalu aja ada halangan. Siapa yang nggak kesel coba?" rajuk Alya dengan wajah ditekuk. Adrian yang mengerti langsung terkekeh.

"Ya, maaf ... kan aku nggak tahu kalau kalian sedang serius, kirain sengaja lagi nungguin biar bisa barengan ke kantin. Andri mana?" kata Adrian dan menanyakan keberadaan suami Alya itu.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height