BUKAN AKU TAK SETIA/C5 Menyapanya
+ Add to Library
BUKAN AKU TAK SETIA/C5 Menyapanya
+ Add to Library

C5 Menyapanya

Beruntung suasana kantin mulai sepi ditinggalkan oleh Karyawan yang sudah selesai makan siangnya.

"Apa kabar, A?" tanya Cahaya sambil mengusap pipinya yang basah.

Raja terkejut melihat Cahaya menangis. Dia bahagia bisa melihat gadis yang selalu dia rindukan.

Gadis yang pernah membuatnya tergila-gila, bahkan sampai detik ini. Terakhir kali bertemu, Gadis itu kembali menolaknya. Menolak cinta yang ditawarkan tulus padanya. Raja pikir setelah pertemuan itu Cahaya akan bahagia dengan pilihannya, bahagia dengan Kim, lelaki yang sudah merebutnya dari sisi Raja.

'Lalu apa mereka sudah menikah? Tapi ... Di mana, Kim? Kenapa Cahaya tidak tinggal di Korea? Apa Kim yang tinggal di Indonesia? Lalu apa mereka sudah menikah?'

Berbagai pertanyaan berputar di kepala Raja.

"Kabar baik, Ya. Kamu kenapa nangis? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Raja. Sambil menoleh ke arah Alya dan yang lain seolah meminta jawaban dari teman Cahaya. Alya dan yang lainnya hanya mengangguk.

"Loh, Pak Raja nggak makan? Saya sudah habis malah." Pak Iman yang sudah selesai dengan makan siangnya, mengajukan pertanyaan saat melihat Raja malah terus berbicara dengan Cahaya, tanpa menghiraukan makanan di depannya.

"Oh, iya, Pak. Sebentar," Jawab Raja melihat sebentar ke arah Pak Iman.

"Saya duluan ngga pa-pa, Pak? Ada perlu." ucap Pak Iman lagi.

"Iya silahkan, Pak. Saya mau ngobrol dulu sama Cahaya," jawab Raja sambil tersenyum.

"Baiklah. Semuanya saya duluan ya?!" pamit pak Iman lalu bangun, dan berlalu.

"Kami duluan juga ya, A. Kalian ngobrol aja dulu. Ayo, Sayang. Yan, kamu ikut kan?" kata Alya sambil mengedipkan sebelah matanya pada Adrian.

"Oh, iya. Kita ngobrolnya nanti aja ya, Pak?" ujar Andrian yang langsung bangun. Diikuti Andri yang kemudian membantu Alya berdiri.

Mereka langsung pergi meninggalkan Cahaya dan Raja yang masih canggung.

Raja menatap Cahaya yang kini sudah terlihat lebih santai. Sesekali tangan Cahaya mengaduk nasi yang ada di depannya. Selera makannya hilang entah kemana. Perutnya kenyang oleh kejutan yang di dapatnya hari ini.

Begitu pun Raja. Bertemu kembali dengan Cahaya, membuatnya seakan menemukan semangat hidupnya yang pernah hilang.

"Emm ... Kim? Apa kabarnya, Ya? Dimana dia sekarang?"

Pertanyaan Raja menghempaskan perasaan Cahaya, mengingatkan dia pada sosok yang tidak ingin diingatnya kembali.

'Kenapa A Raja malah menyebut nama Kim? Apa aku harus berbohong? Ya, itu lebih baik.'

"Oppa, baik-baik aja, A. Dia ... di Korea," jawab Cahaya yang membuat Raja berpikir, kalau Cahaya sudah menikah dengan Kim, dan mereka sedang berpisah untuk sementara waktu.

"Kamu kenapa nangis tadi?"

"Oh, aku-aku ... cuma merasa malu sama Aa," jawab Cahaya sambil mengusap pipinya dari sisa air mata.

"Oh, kenapa? Aku bahagia bisa bertemu kamu lagi, Ya. Senang banget!" Cahaya tersenyum ke arah Raja, namun matanya tak berani menatap Raja.

"Aku juga senang, A. Makan dulu, A. Nanti kita ngobrol lagi." Cahaya mencoba menghilangkan kecanggungan di antara mereka.

"Iya, Ya!" Raja mengikuti Cahaya yang mulai menyuap makanan, walau sudah tidak berselera lagi.

Sungguh ini bagaikan mimpi bagi Cahaya, bisa bertemu, dan melihat Raja lagi. Apalagi Raja terlihat semakin tampan, dengan bulu-bulu halus yang dibiarkan tumbuh di pipi sampai dagunya. Sedang mata itu masih seperti tiga tahun yang lalu, tatapannya masih selembut dulu. Menenangkan.

Satu yang disesalkan Cahaya, kenapa Raja harus menanyakan soal Kim? Di saat dia sudah bisa melupakan semuanya, dengan mudah nama itu disebut oleh Raja.

Lalu ... apa Raja masih sendiri?

'Kenapa aku harus bertanya? Laki-laki dengan ketampanan di atas rata-rata itu, pastilah sudah menikah. Bukankah aku yang dulu dengan sombongnya, menolak cinta yang ditawarkannya?'

Cahaya menghabiskan makan siangnya dengan malas, kalau saja tidak mengingat mubazir. Cahaya berpikir Raja benar-benar sudah melupakan masa lalu mereka, terbukti dia terlihat begitu bahagia dengan hidupnya kini. Bahkan tanpa sungkan, sesekali Raja menggodanya.

Tapi ... bukankah Raja memang sosok yang selalu ceria?

'Beruntung sekali wanita yang bisa memiliki Raja. Apakah Norri? Atau yang lain? Dan yang pasti ... itu bukan aku!'

Ayolah Cahaya, cukup!

Raja menjauhkan nampan bekas makannya, meraih botol minumnya, dan menghabiskan setengah dari isinya. Lalu menghadapkan badannya ke arah Cahaya. Menatapnya dalam.

Cahaya mencoba menenangkan debar di dada, yang entah mengapa berdebar dengan kencang. Jarak mereka yang lumayan dekat, membuat Cahaya merasa gugup. Untunglah suasana kantin sudah sepi ditinggalkan sebagian karyawan, hanya petugas cattering yang mulai membereskan meja yang sudah kosong.

"Aa, kerja di sini?" Cahaya coba mencair kan suasana, dengan membuka percakapan terlebih dahulu, pertanyaan yang dia sendiri rasa tidak penting.

"Iya, Ya. Hari ini mulainya, aku pikir nggak bakalan diterima. Ini perusahaan anak cabang yang di Korea kan? Soalnya waktu itu aku nggak tahu, sepulangnya dari Korea yang kedua langsung resign."

"Iya, A. Emm, kenapa Aa resign waktu itu?" tanya Cahaya ingin tahu alasan Raja keluar dari perusahaan, saat karirnya sedang menanjak, dengan seringnya dia dikirim ke luar negeri.

"Aku ... takut dikirim ke Korea lagi! Nanti ketemu kamu sama Kim lagi. Takut sakit hati." Raja terkekeh, menertawakan alasan dia dulu berhenti kerja.

Deg!

Kata-kata Raja menohok hati Cahaya. Sebegitu sakit hatikah Raja, hingga harus mengorbankan pekerjaannya agar tidak bertemu dengannya lagi?

Cahaya tersenyum getir, "Tapi sekarang malah ketemu lagi ya, A? Apa Aa juga akan mengundurkan diri, setelah tahu aku kerja di sini, A?" tanya Cahaya yang langsung dijawab kekehan kembali oleh Raja.

"Nggak lah, Ya. Aku bukan anak kecil. Lagiankan itu sudah lama berlalu, aku senang kamu akhirnya bisa berjodoh dengan Kim, berarti pengorbananku tidak sia-sia. Kamu bahagia kan, Ya?"

Raja semakin dalam menatap Cahaya. Penampilan baru gadis yang kini mewarnai rambutnya itu, membuat Raja harus terus menyadarkan dirinya, kalau Cahaya milik orang. Istri Kim. Sahabatnya dulu.

'Seandainya itu yang terjadi, A. Sayangnya itu tidak pernah terjadi.'

"I-iya, A. Aku ... bahagia!"

Entah kenapa Cahaya masih berbohong. Benar kata orang, sekali berbohong maka kita akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya.

Tapi, Cahaya tidak perduli, biarlah.

"Syukurlah." Raja tersenyum tulus. "Terus kenapa kamu tidak tinggal di Korea, Ya? Apa Kim tidak kasihan kalian harus LDR-an? Nggak kangen, gitu?"

"Tentu saja, tapi ini yang terbaik"

"Sudah punya anak?"

Uhuk!

Cahaya tersedak saat minum, mendengar pertanyaan Raja.

"Hati-hati, Ya!" Raja menepuk punggung Cahaya pelan.

Cahaya mengusap bibirnya dengan punggung tangan, sebelum mengeluarkan sapu tangan dari saku baju seragamnya, mengatur napas yang mendadak sesak karena tersedak tadi.

Mata Raja menatap tajam pada sapu tangan yang dipakai Cahaya, dia tau betul sapu tangan itu. Itu miliknya yang dulu pernah diberikan pada Cahaya. Hatinya berdesir mengenang saat pertama pertemuan mereka. Dia juga senang Cahaya masih menyimpan sapu tangan itu, meskipun sekedar untuk kenangan saja.

"Belum, A!" drama berlanjut, Cahaya sedang mempermainkan hatinya sendiri

Bod*h kamu! Kenapa berbohong?

'Loh, memang belum punya anak kan? Nikah aja belum, bagaimana mau punya anak?'

"Oh, maaf, Ya." Raja pikir Cahaya tersedak tadi karena tersinggung oleh ucapannya, jadi merasa perlu minta maaf. "Sabar ya? Mungkin belum saatnya punya."

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height