BYUNTAE KIM/C1 IT'S NOT FAIR!
+ Add to Library
BYUNTAE KIM/C1 IT'S NOT FAIR!
+ Add to Library
The following content is only suitable for user over 18 years old. Please make sure your age meets the requirement.

C1 IT'S NOT FAIR!

Rasya Vivenna POV

Seperti kebanyakan anak muda di usianya yang masih ingin bebas tanpa kekangan orang tua, aku telah memilih jalanku dan memutuskan untuk terbang ke Amerika Serikat menyusul kakak perempuanku yang sedang meneruskan pendidikan masternya di Harvard University. Dia adalah salah satu role model-ku dalam mengenyam bangku perkuliahan. Aku ingin meneruskan pendidikan sarjana-ku di Harvard. Aku telah terbuai dengan cerita-cerita Kak Rafika tentang kehidupan di Amerika dan bersekolah di Harvard!

Sepeninggal Ayah, rumah seluas 900 m2 ini hanya ditempati oleh Ibu, aku, kakak laki-lakiku, dan satu pembantu. Ya, setahun yang lalu Ayah meninggal mendadak setelah futsal bersama teman-teman kantornya. Diagnosa dokter waktu itu, Ayah terkena heart attack dan nyawanya tak bisa diselamatkan setelah dua jam penanganan intensif di Rumah Sakit Tjipto Mangunkusumo. Ibu sangat terpukul dengan kepergian Ayah waktu itu, apalagi Kak Rafika tidak bisa menghadiri pemakaman Ayah. Dia tidak bisa pulang ke Indonesia dengan alasan dia sedang ujian dan tidak bisa ditinggal.

Kakak pertamaku seorang laki-laki. Revando Valfian namanya. Dia yang harus bertanggung jawab meneruskan perusahaan Ayah sekaligus menggantikan tugas Ayah sebagai kepala keluarga dan pelindung bagi Ibu dan aku. Dia selalu mendukung apapun pilihanku untuk menjalani hidup dan usia mudaku. Tetapi, tidak dengan Ibu. Awalnya, Ibu yang paling semangat dengan pilihanku ke Harvard namun semua harapan itu harus aku buang jauh-jauh setelah skandal Kak Rafika sampai di telinga kami. Enam bulan setelah Ayah pergi, kesedihan kembali menghampiri keluargaku. Kali ini kesedihan itu datang dari Kak Rafika.

“Aku melihat anakmu di situs jual diri online Amerika, dan ketika aku berusaha untuk membooking-nya, yang datang adalah benar-benar Rafika…”

Itu adalah kalimat teman Ibu, Om Ferdy, yang kebetulan tinggal di Amerika. Ya, Kak Rafika mengkhianati kami. Membohongi Ibu, Kak Revando, dan aku. Kak Rafika ternyata sudah satu semester tidak berkuliah karena dia telah terjerumus ke pergaulan bebas dan membuatnya malas serta lupa dengan tujuan awalnya datang ke Amerika.

Aku ingat betul kala itu Ibu berkali-kali menghubungi Kak Rafika untuk ditanyai kejelasan. Namun, Kak Rafika selalu me-reject telepon Ibu. Ibu benar-benar terpukul saat itu. Ia merasa gagal menjadi seorang Ibu bagi anak-anaknya.

“Ibu, Ibu masih punya aku dan Rasya. Ibu tidak sendirian, Ibu juga tidak gagal melaksanakan tugas Ibu mendidik kami. Hanya saja memang Rafika yang tidak pandai menjaga dirinya di sana.” Ujar Kak Revando kala itu, menenangkan kegalauan Ibu.

Kejadian itu tak pernah menyurutkan niat, harapan, dan keinginanku untuk meneruskan kuliah di Harvard. Aku tidak pernah sedikit pun mengubah tujuan hidupku dan angan-angan yang telah aku susun semenjak kelas satu SMA itu. Aku terus saja sibuk mencari beasiswa fully funded ke Harvard University. Setelah mencari kesana-kemari, akhirnya aku mendapatkan beasiswa itu dan sepucuk letter of acceptance telah ada di tanganku.

Ibu menghampiriku di kamar. Wajah rentanya semakin terlihat karena Ibu jarang sekali tersenyum setelah melalui banyak masalah di hidupnya. Aku yang sedari tadi mengedit essay-ku, mendekati Ibu yang duduk di kasurku.

“Apa Bu?” tanyaku tanpa basa-basi, karena aku tahu kedatangan Ibu ke kamarku pasti ada maksud dan tujuannya. Tidak mungkin tidak. Ibu adalah tipe orang introvert. Jika tidak ada keperluan, Ibu tidak akan keluar dari kamarnya. Tapi hubungan kami sebagai Ibu-anak tetap berjalan dan terjalin dengan baik.

Ibu menyisir rambut panjangku menggunakan jari-jarinya.

“Anak Ibu cantik sekali…” puji Ibu.

“Apakah Ibu tidak pernah berkaca? Kecantikanku ini turunan dari Ibu, Ibu di usia yang sudah tidak lagi muda masih terlihat cantik dan menawan.” Aku memuji Ibu balik, sembari mengelus dagunya. Sebenarnya itu bukanlah pujian belaka, itu adalah sebuah kenyataan karena Ibu benar-benar masih cantik di usianya sekarang.

Ibu terlihat menghela nafas berat. Perasaanku jadi tidak karuan, karena aku merasa ada hal yang sangat penting yang akan Ibu utarakan saat ini.

“Ibu hanya ingin minta maaf padamu Sya…” Ibu beranjak dari sampingku. Berjalan menuju jendela yang menghadap ke jalan raya. Aku semakin tidak mengerti dengan ucapan dan arah tujuan pembicaraan Ibu.

“Minta maaf untuk apa Bu? Aku tidak merasa Ibu membuat salah padaku.” Aku menghampiri Ibu, melesakkan tubuhku ke pelukannya. Pelukan seorang single parent yang sebentar lagi akan aku tinggalkan untuk menimba ilmu ke Amerika.

“Ibu masih sangat sedih dan terpukul atas semua musibah yang menimpa kehidupan kita. Ibu selalu memikirkan nasibmu sebagai anak bungsu, yang ditinggal Ayahnya saat kamu harus menghadapi Ujian Nasional. Nasibmu untuk melanjutkan kuliahmu…”

Nafasku tercekat di pangkal tenggorokan. Benar, aku adalah anak bungsu yang sangat-sangat kehilangan Ayahnya. Aku sangat dekat dengan Ayah. Segala hal, segala wawasan dan pengetahuanku saat ini aku dapatkan dari banyak diskusi panjangku bersama mendiang Ayahku. Kepergian Ayah yang sangat mendadak memang membuatku stres, apalagi saat itu aku sedang menempuh ujian kelulusan. Tetapi aku berhasil membuktikan kepada Ayah atas keberhasilanku diterima di Harvard.

“Bu…”

“Sya… Maafkan Ibu, Ibu tidak bisa menyetujui keberangkatanmu menuju Amerika untuk kuliah di Harvard…”

Sesaat setelah Ibu melontarkan kalimatnya, aku tidak bisa mencerna dengan baik. Ada rasa kekecewaan yang sangat besar yang bersarang di hatiku saat ini. Aku belum bisa menjawab pernyataan Ibu barusan. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Aku melepaskan pelukanku pada tubuh Ibu. Ibu terlihat kaget dengan gerakanku yang sedikit kasar.

“Sya…” panggil Ibu.

“Apa Ibu benar-benar tega untuk memberangus mimpi dan angan-anganku?” tanyaku dengan nada penuh emosi yang tertahan. Aku juga melihat Ibu meneteskan air matanya.

Tak ada jawaban. Ibu memilih untuk pergi keluar kamar, meninggalkan aku yang terduduk di jendela. Menangis tersedu-sedu.

“Kenapa?! Ayah, apakah ini adil untukku?! Aku telah diterima di Harvard Yah! Kenapa Ibu tidak mau menyetujui keberangkatanku di saat aku telah diterima di sana?!” aku berteriak sekencangnya di dalam kamarku. Kak Revando belum pulang dari kantor. Terserah, aku tidak mempedulikan siapa saja yang bisa mendengar teriakanku barusan. Ini adalah teriakan seseorang yang sangat kecewa dengan kehidupan yang ia jalani.

.

.

Matahari pagi menyingsing, sinarnya berusaha untuk menembus kamarku melalui celah-celah jendela. Aku baru setengah tersadar ketika otakku berputar ke kejadian semalam.

“HAH!!!” Kubenamkan kepalaku ke bawah bantal. Tak lama kemudian aku mendengar pintu kamarku diketuk.

Tok tok tok…

Aku tak beranjak dari posisiku. Aku berniat untuk mengurung diri selama mungkin di kamar!

Ketukan di pintu kamarku terdengar lagi.

“Sya, buka pintunya.” suara Kak Revando sedikit berteriak karena jarak antara pintu ke kasurku yang cukup jauh.

Aku langsung melompat dari kasur dan membuka pintu ketika tahu bahwa si pengetuk pintu tadi adalah Kak Revando, bukan Ibu. Jujur, saat ini aku sedang tidak ingin bertemu Ibu! Aku amat sangat kecewa dengan ucapannya semalam.

“Kakak ingin bicara.” Kak Revando langsung nyelonong masuk ke kamarku dengan nada dan mimik yang sangat serius. Aku langsung menutup pintu kamarku dan berniat untuk mengadukan ucapan Ibu semalam.

Belum juga aku mengucapkan sepatah kata, Kak Revando sudah memulai pembicaraan terlebih dahulu.

“Aku sudah tahu semuanya. Maafkan Ibu, Sya…”

Aku tertegun. Apa maksudnya? Kak Revando membela Ibu?

“Ini pilihan yang sulit. Mengertilah posisi Ibu.” Kak Revando memandang mataku intens. Aku benar-benar tidak bisa berucap ketika tahu bahwa Kak Revando memihak Ibu.

“Apa maksudmu kak? Apa kau berada di pihak Ibu saat ini? Apa kau lupa bahwa adikmu ini telah diterima di Harvard atas semua usaha dan kerja kerasnya selama ini? Apa kau lupa tentang semua angan dan harapanku yang selama ini kau sendiri mendukungnya?” aku mencercanya dengan pertanyaan bertubi-tubi. Ia hanya diam. Aku tahu jika dia merasakan apa yang aku rasakan.

“Maaf Sya, tapi kita hanya punya Ibu saat ini. Kita harus menjaganya, dan kau sendiri tahu bahwa Ibu akhir-akhir ini tidak memiliki semangat hidup. Ibu hanya tidak ingin kau terjerumus seperti Rafika.”

Emosiku memuncak. “Apa kau pikir aku ini sama seperti Kak Rafika yang mudah saja terlena dengan dunia gelap seperti itu? Aku tidak mungkin menjadi jalang seperti Kak Rafika, tujuanku ke Amerika adalah mendapatkan gelar sarjana dari Harvard, seperti mimpiku selama ini kak!”

“Kau tidak pernah tahu apa yang akan kau hadapi selama hidup di Amerika! Aku harap kau bisa menjadi anak bungsu yang baik dan tahu kondisi keluargamu saat ini! Aku telah menganggapmu dewasa, jadi aku pikir kau bisa melihat resiko apa yang akan mengikuti keras kepalamu itu!!!”

JEDYAR!

Kak Revando membanting pintu kamarku. Gigiku gemeretak menahan seluruh emosi yang membuncah di dadaku. Aku tidak habis pikir dengan kata-kata Kak Revando barusan! Kenapa dia harus mengatakan aku sebagai anak yang keras kepala?!

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height