BYUNTAE KIM/C2 IT'S NOT FAIR! (Pt. II)
+ Add to Library
BYUNTAE KIM/C2 IT'S NOT FAIR! (Pt. II)
+ Add to Library

C2 IT'S NOT FAIR! (Pt. II)

Sudah dua hari ini aku tidak keluar kamar. Tidak makan, tidak menyapa Ibu dan Kak Revando. Tidak melakukan aktivitas apapun di luar kamarku. Ini adalah bentuk protesku atas penentangan keberangkatanku ke Amerika yang seharusnya jatuh pada hari Rabu, enam hari dari sekarang.

Apa yang harus aku katakana pada teman-temanku jika aku tidak jadi berangkat ke Amerika? Mereka semua sudah menyelamatiku atas diterimanya aku di Harvard. Sekarang, aku tidak boleh ke Harvard? Harus kuliah dimana aku? Aku bahkan tidak mencari informasi apapun tentang universitas di dalam negeri!

Hobiku dua hari ini, selama tidak keluar dari kamar, adalah memandang ke luar jendela. Melihat jalanan raya yang ada di hadapanku. Untungnya rumahku ini berada di pinggir jalan raya, sehingga aku tidak terlalu bosan di kamar. Di saat-saat seperti ini, rasa rinduku kepada Ayah akan bertambah berlipat-lipat ganda. Ketika si bungsu ini sedih, Ayah adalah orang pertama yang selalu siap untuk menghiburku, memelukku, dan membantuku untuk mencari solusi dari setiap masalahku. Tak terasa, air mataku berlinang membasahi pipiku. Tenggorokanku tercekat, sakit sekali rasanya jika aku harus memupus dalam-dalam keinginanku untuk kuliah di Amerika. Aku mendengar pintu kamarku diketuk. Aku langsung melirik ke arah jam. Pukul sebelas siang. Tidak mungkin jika itu Kak Revando. Dia pasti sudah berada di kantornya. Lalu siapa? Ibu?

“Rasya…” panggil seseorang di balik pintu. Benar, suara Ibu. Aku langsung cepat-cepat menyeka air mataku, aku tidak ingin siapapun mengetahui jika aku sering diam-diam menangis di dalam kamarku. Apalagi jika Ibu yang mendapati aku sedang menangis, dia pasti juga akan menangis dan aku tidak bisa melihat Ibu menangis.

“Rasya, buka pintunya nak…” Ibu kembali memohon setelah tidak ada jawaban dariku.

Tiba-tiba ucapan Kak Revando dua hari yang lalu berputar di otakku. Kondisi Ibu memang sangat menyedihkan, setelah ditinggal pergi Ayah, Ibu harus menghadapi kenyataan bahwa Kak Rafika telah membohongi Ibu selama ini.

“Sya…” panggil Ibu lagi. Kali ini nadanya makin melemah. Aku langsung cepat-cepat berlari ke arah pintu dan membukanya. Untungnya, Ibu masih ada di sana.

Ibu tersenyum kecut melihat keadaanku yang berantakan.

“Ada apa Bu?” tanyaku dengan nada suara yang serak, semoga saja Ibu tidak menyadari jika aku habis menangis.

“Rasya nggak makan?” tanya Ibu lembut. Aku menggeleng.

“Rasya masih marah sama Ibu?” tanyanya lagi. Aku bingung harus menjawab apa. Aku tidak berani melakukan kontak mata dengan Ibu. Aku takut Ibu melihat mataku yang memerah dan bulu mataku yang mungkin saja masih basah.

“Baiklah kalau Rasya masih marah…”

“Nggak Bu!” aku langsung memotong pembicaraan Ibu. “Rasya nggak marah sama Ibu.”

Ibu terlihat sedikit kaget dan memandangku. “Lalu? Kenapa Rasya tidak keluar kamar dua hari?”

“Aku kecewa dengan sikap Ibu dan Kak Revando yang tidak menyetujuiku ke Harvard.” ucapku terus terang.

“Maaf…” ucap Ibu sambil berlalu. Aku bingung melihat sikap Ibu yang seperti itu.

“Ibu, aku harap Ibu bisa merubah pikiran dan pilihan Ibu, aku harap Ibu mengizinkan aku terbang ke Amerika!” ucapku pada Ibu yang terus saja berjalan menuruni tangga tanpa menghiraukan permohonanku.

Aku kembali masuk ke kamar. Merenung lagi di dekat jendela. Kenapa Kak Rafika harus melakukan hal bodoh itu, sampai aku terkena imbasnya? Aku tidak bisa tidak menyalahkan Kak Rafika mengenai kondisiku sekarang ini, karena memang dia yang menyebabkan Ibu dan Kak Revando tidak menyetujui pilihanku untuk kuliah di Amerika. Aku benar-benar cengeng kali ini. Aku benar-benar merasa dihajar oleh keadaan dan keinginanku sendiri. Notifikasi email di handphone-ku berdering, membuat aku menghentikan sejenak tangisanku. Dengan segera aku membukanya.

From: [email protected]

To: [email protected]

Attn. Ms. Rasya Vivenna

Lyndon Nava Park

BSD Tangerang, Indonesia

Dear Applicant,

We are pleased to inform you that you have been admitted by the Academic Committee on Admissions of Hongdae University to the BBA Programme, which starts in September 2019.

Aku membacanya berulang kali. Email apa ini? Apakah salah kirim? Tapi kenapa alamat dan namaku terpampang jelas di sana?! Aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ini pasti campur tangan Ibu dan Kak Revando! Sesegera mungkin aku keluar dari kamarku, menuruni anak tangga secepat yang aku bisa.

“Ibu!!!” aku berteriak ke segala penjuru ruangan. Aku mencari keberadaannya saat ini. Bu Mirna, asisten rumah tanggaku melihat aku dengan bingung karena tidak pernah sebelumnya aku memanggil Ibu dengan cara berteriak seperti itu.

“Ibuu!!!” sekali lagi aku berteriak. Aku melihat Ibu sedang duduk di kursi pinggir kolam renang. Ibu sangat santai menghadapi aku yang penuh dengan emosi. Seakan Ibu tahu apa yang membuat anak bungsunya ini marah besar terhadapnya.

“Ibu, apa maksud dari email ini?!” tanpa basa-basi aku langsung menghujam Ibu dengan pertanyaan.

Tanpa memandangku, Ibu menjawab, “Jadi kau sudah mendapatkan emailnya?” tanya Ibu santai. Aku mendesah gusar. Benar kan, ini ulah Ibu dan Kak Revando!

“Tapi Ibu, aku tidak mau bersekolah di sana. Ibu tahu kan aku ingin ke Harvard? Bukan ke Hongdae!” tanyaku sembari mengguncangkan tubuh Ibuku. Ibu tidak bergeming. Beliau memandangku, dengan tatapan dingin.

“Ibu tidak ingin kau seperti Rafika, kakakmu menjadi pelacur karena melanjutkan studi-nya di Amerika.” Aku terperanjat mendengar kata-kata Ibu.

“Lalu apa Ibu pikir kehidupan di Korea lebih baik dari Amerika? Apa Ibu merasa Korea itu tidak ada kehidupan bebas seperti di Amerika?!” Aku mulai menangis. Aku tidak suka dengan semua pemaksaan ini.

Ibu beranjak dari kursinya, berjalan ke arah tangga. Dan sempat berhenti lalu membalikkan badannya.

“Ibu akan titipkan kau pada teman Ibu, tante Venna, jadi selama kau di Korea ada beliau yang mengawasi. Jangan macam-macam! Dua hari lagi keberangkatanmu!"

Aku benar-benar dibuat tertegun dengan keputusan Ibu yang kurasa sangat egois itu. Ibu seperti tidak memikirkan bagaimana perasaanku dan tidak menghargai keinginanku. Aku menangis tersedu-sedu di taman belakang. Aku sudah tidak peduli jika Ibu melihatku kacau seperti ini. Apalagi aku di sana harus tinggal serumah dengan sahabat Ibu yang menikah dengan orang Korea tapi suaminya sudah meninggal lima tahun yang lalu.

Seperti teringat seseorang, aku langsung berhenti menangis dan menyeka air mataku dengan kasar. Aku mengambil handphone dan menghubungi Kak Revando. Aku ingin mengajukan protes kepadanya! Cukup lama aku harus menunggu teleponku tersambung.

“Halo? Kenapa Sya?” tanya Kak Revando dengan tenang.

“Siapa yang mendaftarkanku ke Hongdae? Apa-apaan ini kak?!” tanyaku dengan nada penuh emosi, aku bisa melihat jika Bu Mirna mengintipku dari dapur yang bisa langsung melihat ke taman dan kolam renang.

“Aku, kenapa?” balas Kak Revando dengan santai, sama santainya seperti Ibu tadi. Sikapnya yang merasa tidak bersalah tersebut membuat emosiku semakin memuncak dan menyebut sumpah serapah terhadap Kak Revando.

“Kamu akan menyukai pilihan ini Sya, kau hanya perlu bersabar dan menunggu waktu yang tepat.”

“Apa maksudmu? Apa yang telah kau dan Ibu rencanakan untukku? Aku bisa mengurus diriku sendiri kak!”

Aku tidak mengerti dengan maksud perkataan Kak Revando tadi, tetapi aku yakin itu tidak lebih dari sebuah kalimat bualan yang berusaha untuk menenangkan hatiku.

“Dua hari lagi kau harus berangkat, kau tahu apa yang harus kau persiapkan.” Ujar Kak Revando, seakan tidak menggubris jika adik terkecilnya ini sedang menangis. Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku memilih untuk memutuskan sambungan telepon dan berlari ke kamarku.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height