BYUNTAE KIM/C4 NAUGHTY GIRL?!
+ Add to Library
BYUNTAE KIM/C4 NAUGHTY GIRL?!
+ Add to Library

C4 NAUGHTY GIRL?!

Aku sedang berada di ruang keluarga bersama Ibu Kim dan Arion. Kami bertiga banyak bercerita tentang pengalaman hidup kami masing-masing. Aku merasa telah menemukan keluarga kedua di rumah Ibu Kim. Arion yang begitu ramah dan lembut, telah memberi kesan positif saat pertama kali aku datang ke Korea.

"Ngomong-ngomong Ibu mau minta maaf karena waktu Ayahmu tiada, aku beserta anak-anakku tidak bisa datang melayat."

Aku tertegun sejenak menyadari Ibu Kim membahasakan dirinya sebagai Ibu padaku tanpa ada rasa canggung.

"Ah, ne Ibu. Tidak masalah, aku hanya ingin kau mendoakan Ayahku supaya beliau tenang di sana." Terpaksa aku pun ikut memanggilnya Ibu. Tapi saat kata-kata itu meluncur dari bibirku, hatiku terasa hangat. Dan tak ada rasa canggung saat mengatakannya. Ku lihat beliau tersenyum simpul.

"Ah senangnya kau memanggilku Ibu. Aku dan Arion saat itu harus ke Kanada untuk mengurus saham perusahaan kami. Sedangkan Aksa maupun Arvin sedang ada ulangan tengah semester. Jadi, maafkan kami semua Rasya..." ucapnya sungkan.

"Tidak perlu sungkan begitu Ibu, aku sangat mengerti kesibukanmu maupun Arion yang harus menangani perusahaan milik kalian."

"Ngomong-ngomong, aku ini lebih tua darimu Sya, kenapa kau tidak memanggilku dengan sebutan oppa?"

Aku menutup mulutku kaget. Aku baru menyadari bahwa Arion lebih tua dariku lima tahun.

"M-mianhae Arion oppa, aku melupakan hal itu."

Ibu Kim dan Arion tertawa bersama. Aku mengerutkan dahiku heran. "Apa ada yang salah?" pikirku.

"Tak perlu seformal itu Rasya, panggil anak-anakku semaumu. Tak perlu memakai embel-embel yang kau sendiri melupakannya." Ujar Ibu Kim sambil mengelus punggungku. Aku tersipu malu, bisa-bisanya aku melupakan hal itu.

"Yasudah, kau harus beristirahat! Besok kau akan mendatangi kampusmu bukan? Aku dan Arion akan keluar sebentar untuk mengurus keberangkatan kami ke Meksiko minggu depan." ujar Ibu Kim.

"Ne, gomawo Ibu, Arion oppa..."

.

.

.

Aku mencoba menghubungi Ibu di Indonesia. Baru beberapa jam berpisah dengannya saja aku sudah sangat merindukannya.

"Halo?" Sapa suara di seberang sana. Suaranya... serak? Seperti habis menangis.

"Ibu? Ada apa? Kenapa Ibu menangis?"

"Ibu tidak kenapa-napa Rasya. Bagaimana dengan Tante Venna dan keluarganya?" Suara Ibu nampak dibuat-buat setegar mungkin.

"Ibu! Ibu tidak bisa berbohong dariku, Ibu harus menceritakan padaku ada apa!" Aku menuntut Ibu untuk menceritakan apa yang terjadi. Aku mendengar suara Ibu menangis. Dan itu membuat hatiku membeku, suaraku tercekat di pangkal tenggorokan. Aku tidak pernah melihat Ibu menangis sebelumnya. Hanya di pemakaman Ayah, dan saat mengetahui Kak Rafika resmi menjadi jalang Amerika air mata Ibu tumpah ruah.

"Kakakmu Sya, dia menampar Ibu karena Ibu menasehatinya untuk menemani Ibu."

APA?

"Rafika pulang Sya, dia mengambil semua pakaiannya dan mengambil beberapa barang-barang miliknya. Semua isi kamarnya ia bawa, dan saat Ibu mencoba mencegahnya saat pergi, Ibu ditampar dan didorong." Jelas Ibu. Mendengarnya saja aku merasa emosi, apalagi jika saat itu aku ada di situ bersama Ibu.

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Dulu aku sangat ingin menjadi seperti kakakku yang berhasil mendapatkan beasiswa ke Harvard. Tapi semua itu sekarang berubah menjadi benci. Benci yang sangat mendalam untuknya.

"Ibu apa aku harus pulang ke Indonesia sekarang? Apa Kak Revando tidak ada di rumah?!" Tanyaku bertubi-tubi, membuat Ibu tak bisa menjawabnya.

"Revando belum pulang dari kantor Sya, karena dia pamit pada Ibu ada meeting hingga tengah malam."

"Ckc! Keterlaluan Rafika! Apakah ini alasan Ibu untuk mempercepat keberangkatanku? Apakah Ibu tidak ingin aku bertemu dengan Kak Rafika?” tanyaku. Ibu tak bergeming.

“Sudah, Ibu jangan menangis. Jangan sekali-kali Ibu mencoba memikirkan nasibnya! Biarkan dia jadi jalang seumur hidupnya! Yang Ibu harus lakukan sekarang adalah bersabar, dan melupakan kak Rafika yang sekarang tak patut disebut anak Ibu lagi."

"Sudah Sya, Ibu tidak papa. Kamu hati-hati ya di Korea. Tolong banggakan Ibu nak. Jangan kecewakan mendiang Ayahmu juga."

Tanpa sadar aku meneteskan air mata. "Kenapa hidupku harus seperti ini?" batinku.

Kim Aksa POV

Aku mencoba mengintip ke dalam kamarnya. Dia terlihat sedang menelepon dan menggunakan bahasa asing bagiku. Aku akui dia cantik, tapi karena aku sedang kesal, aku bersikap tak acuh padanya. Ah bodoh kau Kim Aksa! Hanya karena wanita one night stand-mu kau jadi melewatkan bidadari cantik yang sekarang sedang... menangis?

Aku mencoba mendengarkan percakapannya. Demi Tuhan! Itu bahasa apa, aku tak paham. Walaupun Ibu adalah orang Indonesia, tetapi aku tidak pernah belajar bahasa Indonesia. Sejak aku lahir sampai sekarang, aku hanya fasih berbahasa Korea dan berbahasa Inggris. Tapi dari mimik wajahnya, dia nampak emosi. Dan membanting handphone-nya ke kasur. Dia menangis dan mengusap air matanya dengan kasar.

Seseorang menepuk bahuku dari belakang, membuatku berteriak, dan sialnya wanita itu mendengarnya. Ia berjalan ke arah pintu dan menemui aku serta adikku, Arvin.

"Hyung sedang apa mengintip kamar kosong? Apa kau melihat hantu?!" Tanya Arvin dengan style kerennya, seperti biasa. Belum sempat aku menjawab, wanita itu keluar dari kamarnya. Bahkan namanya siapapun aku lupa.

"Eh?" Arvin yang baru pertama melihat kehadirannya di rumah kami pun kaget. "Siapa kau?" Tanya Arvin sambil senyam senyum tidak jelas.

"Aku Rasya, umm anak teman Ibu Kim." Dia memberikan salam dengan membungkuk. Arvin pun hanya ber-oh-ria.

"Hyung, apakah dia wanita yang diceritakan Ibu beberapa waktu lalu? Wanita cantik yang akan bersekolah di universitas kita?" Aku mengangkat bahuku dan berniat masuk ke kamarku, yang terletak tepat di sebelah kamar... Rasya?

Rasya Vivenna POV

"Demi Tuhan, kenapa kedua anak Ibu Kim itu terlihat sangat arogan?!" Umpatku kesal di dalam kamar mandi. "Arvin, tatapannya begitu menusuk! Seolah-olah aku ini adalah mangsanya dan ia akan menerkamku kapan saja!" Aku mulai melepas bajuku satu persatu.

Cklek

Aku mendengar suara pintu dibuka. Tapi aku berusaha mengabaikannya. Aku mulai merendam tubuhku di bath-up yang sudah kuisi dengan air panas.

"Kau menikmatinya?" Spontan aku membuka mataku saat suara berat itu mengganggu gendang telingaku.

"Kyaaa!!! Ya! Kim Aksa-ssi, apakah kau tidak punya sopan santun?!" Aku berusaha menutupi bagian intimku dengan kedua tangan. Dia hanya terkekeh geli. Apa-apaan ini?! Aku sedang mandi!

"Ini rumahku cantik, jadi terserah padaku mau berbuat apa. Salahmu juga tidak mengunci pintumu!"

"Bodoh! Aku lupa menguncinya!" batinku menggerutu. Kulihat Aksa berjalan mendekat ke arahku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa karena sedikit saja aku bergerak, tubuhku yang full naked akan terlihat olehnya. Dia menampilkan senyum setannya, dan sial! He's fucking handsome!!

Cup~

Aku membelalakkan mataku sekali lagi saat Aksa tiba-tiba menempelkan bibirnya di bibirku. Matanya terpejam, dan aroma nafasnya memenuhi lubang hidungku. Dia melumat bibirku lembut. Aku semakin pusing dibuatnya. Aku tidak bisa menolaknya, ini memabukkan! Aku mulai memejamkan mataku, dan dia semakin gencar melumat bibirku.

"You're a naughty girl! And i like it."

Aksa keluar dari kamar mandi meninggalkan aku yang tertegun menyadari perbuatanku barusan. Dan apa katanya tadi? Aku telah mengecewakan Ibu!!!

Aku mengurungkan niatku untuk mandi. Dengan segera aku mencari handuk dan membalutkannya ke tubuhku. Aku menangis tersedu-sedu dan kepalaku terasa sangat berat.

“Kenapa Ya Tuhan?!” suaraku lirih. Lirih sekali. Aku menangis dalam diam. Aku tidak ingin siapapun mengetahui jika aku sedang menangis. Aku merasa telah berdosa karena membohongi Ibu. Aku tidak ada bedanya dengan Kak Rafika saat ini, membiarkan laki-laki asing dengan seenaknya menciumku disaat aku sedang telanjang bulat. Yang lebih memalukan lagi adalah aku tidak berusaha untuk mendorongnya, atau menghindarinya, atau berteriak sekencang mungkin ketika Aksa masuk ke kamar mandi dan melumat bibirku. Sebaliknya, aku malah memejamkan mataku dan menikmati lumatan itu!

“Rasya, dimana akal sehatmu?!”

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height