CEO dan Gadis Terbuang/C10 Bibir sexy
+ Add to Library
CEO dan Gadis Terbuang/C10 Bibir sexy
+ Add to Library

C10 Bibir sexy

Clara melenggangkan kakinya santai, dengan menenteng keranjang buah yang tertata cantik di tangan kanannya.

Di pinggir jalan ia terus berlenggok bak model kelas atas dengan sepatu boat hitam berhak tinggi, serta seragam penerbangan yang dia kenakan. Begitu cantik, sangat cantik bahkan, hingga setiap mata yang melihat seolah tersihir oleh wajah cantiknya nan rupawan.

Orang yang melihat penampilan sekilas serta wajah ayunya, pasti tidak akan pernah menyangka bahwa dia adalah gadis yang terbuang.

Gadis itu berniat untuk menjenguk ibunya Adit yang di rawat di rumah sakit golden.

"Adit sudah makan belum ya?" tanya Clara pada diri sendiri, tatkala netra coklatnya melihat sebuah warung makan.

"Sekalian dibeliin makan aja dech." ucapnya lagi, kemudian melangkah masuk ke dalam warung.

"Buk nasi dibungkus satu ya, lauknya ayam goreng dua, sayur sop trus kasih tahu dua biji ya!" Clara menyebutkan menu pesanan pada penjual.

"Oh ya buk, nasi, sayur dan lauknya tolong dibungkus pisah-pisah ya!" imbuhnya lagi.

"Baik neng" jawab ibu warung.

Clara sengaja memesan nasi yang dibungkus terpisah sama sayur dan lauknya agar tidak cepat basi sehingga bisa di makan sampai sore oleh Adit.

"Ini neng, totalnya empat puluh lima ribu" Ibu penjual menyerahkan bungkusan plastik berisi nasi dan temannya.Selesai membayar makanan yang dia beli, Clara melanjutkan misi jalan kakinya menuju rumah sakit golden.

Di tempat lain, di sebuah ruangan kerja berukuran cukup luas, seorang pria muda duduk tegap. Sesekali pria muda itu memutar kursinya dengan tangan memegang pulpen.

Membuka laci yang berada di bawah meja, lalu mengambil sebuah pigura berukuran kecil. Dipandangi photo dalam pigura itu dengan seksama, cukup lama dia usap pada bagian wajah.

"Hai, apa kabar?" Tanyanya pada photo yang dia pegang.

"Sudah lama ya, aku tidak menyapamu. Maaf, aku sangat sibuk, sehingga lupa kamu masih tersimpan di laci!" Pria itu mengucapkan maaf pada potret yang terbungkus pigura.

"Kamu pasti tumbuh lebih dewasa sekarang, semoga kamu menjadi orang yang kuat dan mandiri!" kemudian pria tersebut meletakkan kembali pigura yang dipegangnya ke tempat semula setelah mendoakan seseorang yang tercetak di photo tersebut.

Sembari beranjak dari duduk, dan berjalan menuju sebuah tempat tidur berukuran king size yang terletak dibelakang pintu, yang terhubung dari ruang kerjanya. Laki-laki itu merebahkan tubuhnya yang terasa tegang. Matanya kantuk setelah bekerja sepuluh jam tanpa henti. Tak menunggu lama dia sudah terlelap menuju alam mimpi yang terasa damai.

Di depan pintu masuk rumah sakit, terlihat beberapa orang lalu lalang mendorong kursi roda. Antrian yang hampir penuh di kursi tunggu, serta beberapa perawat sibuk melayani customer yang hendak berobat.

Clara yang melihat pemandangan itu, tiba-tiba merasa takut untuk memasuki pintu tersebut. Terbayang pada sosok pria yang dia pukul tempo hari, yang Adit sebut sebagai "Om dokter".

Pemilik tubuh mungil itu terus mengamati seisi ruangan tersebut. Dan memajukan kepalanya dari balik pintu, untuk melihat sisi kanan dan kirinya dari berbagai sudut.

"Aman." gumannya sambil mengelus dada, saat tidak menemukan orang yang dia cari.

"Ya ampun, kenapa aku seperti maling ya rasanya, padahal aku hanya ingin menjenguk ibunya Adit."

"Aah, semua ini karna kebodohanku yang memukul pria itu, tanpa tau kejadian sesungguhnya."

"Pria itu pasti masih marah sampai sekarang, aku memukulnya sangat keras seperti orang kerasukan kemarin."

Gadis itu kemudian masuk setelah merasa keadaan cukup aman baginya.

"Hai adit, apa kabar ibumu?" sapa Clara yang sudah sampai di bangsal tempat ibu Adit dirawat.

"Kak Clara, Ibu masih bobok, belum bangun bangun dari beberapa hari yang lalu." jawab bocah itu sambil menundukkan wajah.

Gurat kesedihan tergambar jelas pada manik bocah yang kini usianya baru sepuluh tahun.

"Adit sudah makan? Kakak bawa makanan untuk Adit." Clara meraih tangan mungil di hadapannya, kemudian dia genggam sebagai isyarat untuk menguatkan bocah yang terlihat sangat sedih.

Adit menggelengkan kepalanya sembari berkata: "Adit tidak lapar kak, Adit hanya pengen Ibu bangun."

"Adit harus makan yang banyak, agar kuat dan sehat, supaya bisa menjaga Ibu." rayu Clara yang sudah membuka bungkusan makanan, dan mengambil makanan di piring plastik yang dia minta dari penjual nasi.

Clara memaksa bocah sepuluh tahun itu makan. Sendok demi sendok terus ia suapkan ke mulut mungil Adit dengan telaten dan sabar.

"Rupanya dia cukup baik hati juga." seseorang yang melihat pemandangan tersebut dari balik pintu, bertepatan suapan terakir Clara untuk Adit.

Laki laki itu tidak sengaja melihat Clara, ketika hendak memeriksa semua pasien yang ada di bangsal tersebut, karena saat ini adalah jam kontrol untuknya. Namun kekaguman itu hanya sementara. Dan kembali menahan marah, saat teringat betapa malunya dipukuli gadis itu di tempat umum yang ramai.

Seringai tajam tercetak di wajah sang dokter, kemudian melangkahkan kakinya mantap menuju Clara.

"Kau! Punya nyali juga datang ke sini?" suaranya cukup keras seolah lupa sedang berada di rumah sakit.

Clara dan Adit melonjak kaget, mendengar suara yang cukup nyaring dan tiba tiba mendekat ke arah mereka. Beruntung diruangan ICU tersebut hanya berisi dua pasien koma, salah satunya adalah ibunya Adit. Satu lagi tidak ada yang menjaga.

"Eh ada om dokter, hehehe" Clara meringis menirukan panggilan Adit kepada sosok menyeramkan di depan matanya.

"Mati aku, mati. Kapan sih datangnya anjing herder ini?" Clara komat-kamit menyesali perbuatan bodohnya.

"Kok aku sama sekali gak mendengar langkah kakinya sih?" Clara merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia dibuat salah tingkah dan kelimpungan dengan kehadiran sang dokter.

"Om dokter kapan sampai?" setelah itu mulai menanyakan sebuah pertanyaan absurd, sambil mengaruk lehernya yang tidak terasa gatal.

Sementara sang dokter hanya melirik sinis perempuan yang bertingkah aneh di hadapannya.

"Om dokter, ke sini mau ngapain?" Clara makin salah tingkah. Lalu memukul pelan mulutnya sendiri, dia sadar kembali menanyakan pertanyaan aneh pada dokter yang sudah terlanjur menyimpan dendam pada aksinya kemarin siang. Padahal sudah jelas, apa yang akan di lakukan dokter di Rumah sakit.

"Menurutmu?" jawab dokter itu sembari terus berjalan perlahan ke arah Clara, yang kini juga berjalan mundur berusaha menjauhi dokter.

"Om dokter," lirih Clara ketika tubuhnya sudah mulai mentok ke tembok belakang, namun segera terpotong oleh pak dokter ganteng.

"Om, om, sejak kapan aku menjadi suami bibimu?" Dokter itu memotong ucapan Clara yang terasa menyebalkan di telinganya karna terus saja memanggilnya dengan sebutan om.

"Eh salah ya, hehe pak dokter." cengir Clara makin salah tingkah.

"Pak? Wah, sayangnya aku juga tidak sudi punya anak abnormal sepertimu!" ketus dokter itu sadis, sambil terus memepet Clara yang hampir terhimpit tembok di belakangnya.

"Seperti inikah rasanya menghadapi singa beranak? Ups singa jantan, dia kan laki gak bisa mbrojol, hihihi" batin Clara menanggapi reaksi sang dokter yang menurutnya berlebihan.

"Sangat menakutkan." di tengah rasa takutnya, rupanya gadis berusia delapan belas tahun ini, masih bisa bernarasi konyol dalam otaknya.

"Dokter, bisakah kau jauhkan tubuhmu sedikit?" Clara menunduk, tubuhnya terasa sesak oleh tembok di belakangnya dan tubuh tinggi dokter yang hampir membuatnya tak terlihat.

"Kau, harus membayar apa yang telah Kau lakukan padaku!" tidak mendengar ucapan Clara, dokter muda itu justru dengan menuding jidat Clara ke tembok dengan keras menggunakan jari telunjuknya.

"Dokter, maafkan aku. Kita berdamai aja ya, piss piss, hehehe." Clara mengangkat dua jari telunjuk dan tengahnya, menahan sedikit sakit di kepala belakang yang terantuk tembok.

"Kenapa aku harus berdamai dengan gadis bar bar sepertimu?" seringai jelas terlihat di sudut bibir dokter muda.

"Karena aku cantik!" seru Clara mantap

"Haist kenapa hari ini aku bodoh sekali, Come on Clara, you are genius! Berpikirlah yang realistis girl." lagi-lagi Clara, bersikap konyol, otak liar gadis itu berkelana tanpa bisa dia kontrol.

"Ternyata selain bar bar, kau juga punya kepercayaan diri yang sangat tinggi." sekali lagi kepala Clara terantuk ke belakang, akibat tudingan keras di jidatnya.

"Benar, kau sangat cantik namun juga bar-bar." imbuhnya dengan nada mengejek.

"Dokter, tidakkah tingkahmu berlebihan pada seorang cewek cantik sepertiku?" Entah kenapa Clara yang biasanya jenius dan sedikit cuek, kali ini benar-benar bertingkah labil di hadapan lelaki galak di depannya.

"Haduh, kenapa aku seperti wanita penggoda yang menggunakan wajahku untuk anjing herder galak ini?" Clara menggaruk tulang keringnya menggunakan sepatu yang dia kenakan.

"Tingkahmu yang labil seperti pelajar SMA berusia delapan belas tahun, sungguh tidak bisa dipercaya, kau murid Golden University" ucap dokter tanpa sengaja melihat baju seragam fakultas penerbangan yang dikenakan Clara.

"Aku memang delapan belas tahun!" jawab Clara mantap. Dia tidak suka tuduhan pria tersebut.

"Nona, ternyata kau juga sangat ahli dalam berbohong." Dokter itu sedikit memajukan badan untuk lebih menghimpit tubuh mungil di depannya.

"Aku benar-benar delapan belas tahun!" seru gadis berambut maroon yang tergerai indah.

"Jadi namamu Clavenia Salju Aurora?" Dokter nan tampan itu membaca pin name tag berwarna emas di dada kanan Clara.

"Kau bisa memanggilku Clara." Clara berucap sambil mengulurkan tangan, berusaha mengalihkan perhatian sang dokter agar melupakan apa yang terjadi. Namun ternyata si dokter tidak menggubrisnya sama sekali.

Dokter itu malah menggeram kesal, mendengar jawaban jawaban Clara yang seperti tengah berbohong. Dia tidak bisa menahan rasa jengkel yang ada dalam hatinya. Dicengkeramnya dagu Clara sedikit kencang, namun tidak melukai dan memajukan kepalanya sangat dekat.

Nafas mereka terasa saling berhembus, hangat bergantian menyapa wajah keduanya.

Deg deg deg,

Suara detak jantung keduanya pun semakin cepat, sama-sama menahan marah dan sebal.

"Hei, apa yang akan kamu lakukan?" Lirih Clara, menutup rapat kedua matanya saat melihat dokter itu semakin mendekatkan wajah.

"Kau, akan ku buat membayar semua hutangmu lunas padaku!" bisik dokter di telinga Clara, membuat bulu kuduknya merinding terkena hembusan nafas lelaki yang sedang mengukungnya.

Clara membuka mata, ia melotot ketika melihat bibir merah menggoda semakin mendekat ke arah bibirnya kurang dari dua senti meter dari bibir mungilnya.

"Ya ampun, bibir gadis bar-bar ini sangat menggoda." Lain di bibir lain di hati. Pertahanan pak dokter mulai lemah.

"Bibirnya cukup seksi terlihat dari dekat. Sial, kenapa pikiranku yang laknat ini menghianatiku." kini giliran sang dokter yang terpukau melihat bibir merah Clara.

CODE BLUE,

CODE BLUE,

CODE BLUE,

"Mohon segera ke IGD, untuk dokter jaga!"

Tiba-tiba terdengar suara alarm darurat dari ujung lorong rumah sakit, dan,

Dug,

Clara tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dia menendang tulang kering dokter muda itu sangat keras.

Aargh,

Teriak sang dokter menahan sakit, di tulang keringnya.

Clara segera berlari ke arah kamar mandi dan menguncinya dari dalam, ketika cengkeraman tangan pria itu terlepas dari dagunya.

"Kau, aku pasti akan membalasmu lain kali!" dokter itu mengancam Clara, kemudian segera berlari menuju IGD.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height