CEO dan Gadis Terbuang/C11 Tubuhnya sangat bagus
+ Add to Library
CEO dan Gadis Terbuang/C11 Tubuhnya sangat bagus
+ Add to Library

C11 Tubuhnya sangat bagus

Code blue,

Code blue,

Code blue,

Suara nyaring alarm darurat yang berasal dari lorong rumah sakit menyadarkan Clara dari kegugupan akibat cengkeraman tangan serta pandangannya dari bibir dokter muda itu.

Mata gadis itu melirik ke bawah.

"Si herder ini ternyata kalau diperhatikan tubuhnya sangat bagus, dia sangat tinggi, Padahal aku sudah memakai sepatu berhak dua belas senti, tapi masih saja terlihat pendek."

"Oh tidak, bagaimana bisa tubuh herder galak ini mencemari mataku yang polos?

Sepertinya otakku benar-benar konslet, setelah kepalaku beberapa kali dibenturkan ke tembok oleh herder tadi."

"Aku harus fokus sebelum anjing gila ini mengamuk lagi."

"Rasakan tendangan mautku, he he he." Clara tersenyum simpul ke arah dokter itu, saat otaknya menemukan sebuah solusi jitu.

Dug,

Clara menendang tulang kering pria di hadapannya sekuat tenaga yang dia miliki.

Aargh,

Dokter itu berteriak menahan sakit. Tulang keringnya terasa sangat panas bercampur rasa lebam, akibat terkena sepatu boat kulit serta alas bawah sepatu yang sangat keras dan tebal.

Sedang Clara yang melihat pria itu kesakitan, langsung beraksi meloloskan diri. Berlari ke arah kamar mandi dan segera mengunci pintu dari dalam.

"Kau, akan ku buat kauu membayar Lunas perlakuanmu!" dokter itu sangat geram, dipukul oleh Clara berkali-kali dalam dua pertemuan perdananya.

Suara alarm yang masih terus terdengar, memaksa sang dokter meninggalkan bangsal itu, menyisakan geram pada gadis yang bersembunyi di balik pintu. Dengan langkah kaki yang pincang, dia berlari menuju IGD.

Terlihat ruangan IGD yang tiba tiba ramai oleh pasien serta kru medis bersiaga menyambut pasien yang datang.

Wiu, wiu, wiu,

Sirine beberapa ambulan tanda bahaya terdengar bersautan dari arah depan.

Sang dokter ganteng segera berhambur dan mengalungkan stetoskop di lehernya, untuk mempercepat tindakan siaga saat diperlukan. Beberapa perawat segera menyiapkan ranjang dan mendorong ke arah depan untuk di dekatkan pintu masuk.

"Berapa pasien darurat yang masuk?" tanya sang dokter kepada seorang dokter junior.

"Sekitar empat belas pasien, lima di antaranya kritis." terang dokter junior yang bernama Tio.

"Tanda-tanda vital masih belum diketahui." Imbuh tio yang sudah mendapat penjelasan dari tim yang bertugas

"Huh," pia itu menghembuskan nafas berat, ketika melihat hanya ada dua dokter jaga dan dua orang dokter muda di ruang tersebut.

"Sepertinya kita akan bekerja keras hari ini!" ucapnya terdengar berat.

"Terjadi kecelakaan beruntun di jalan utama dekat jalur masuk tol." sahut seorang perawat yang sedang mengecek peralatan medis.

"Dokter, terjadi pendarahan hebat pada pangkal kaki sebelah kanan pasien!" perawat wanita yang mendorong ranjang berisi pasien berteriak dari arah luar dan berusaha menekan pangkal paha pasien untuk mengurangi pendarahan pada kakinya.

"Pasien kejang, tanda-tanda vitalnya menurun, detak jantungnya melambat. Pendarahan dari mata hidung dan telinga pasien!" salah seorang perawat lain yang masih di luar pintu IGD minta jalan untuk didahulukan, karena kondisi pasien lebih urgent.

"Periksa pendarahan pada kaki pasien, aku akan menangani pasien yang lebih serius!" perintah sang dokter tampan itu kepada Tio.

"Baik dokter Dicka." tegas Tio segera melakukan tindakan pada pasien yang ada di dekatnya.

Ya, dokter ganteng itu adalah Dicka. Dia segera berlari keluar sambil memasang stetoskop ke telinga. Di arahkan stetoskop pada dada kiri pasien, dengan kaki terus berjalan mengikuti ranjang yang didorong oleh perawat.

"Cek golongan darahnya, cek detak jantungnya memakai EKG untuk hasil pasti. Dan hubungi bank darah, untuk menyiapkan darah yang sesuai golongan darah pasien!" titahnya pada Dona dokter junior cewek di ruang IGD tersebut.

"Terus pantau kondisinya, lakukan CT scan pada kepala pasien, pindahkan ke ruang ICU dan segera hubungi dokter Cardiologi!" imbuhnya cepat.

EKG (ElektroKardioGraf) adalah alat medis yang digunakan untuk memeriksa atau merekam aktifitas elektrik dalam jantung seseorang.

Belum sempat dia melihat kondisi pasien lebih lanjut, seorang perawat kembali berteriak dari arah luar:

"Dokter, pasien kritis tanda merah. Paru-paru tertusuk benda tajam, pupil mata tidak bereaksi, detak jantung sangat lemah hampir tidak terasa, darahnya terus keluar deras dari arah paru-paru!"

"Oh my god!" teriak Dicka frustasi.

"Siapkan ruang operasi." Lalu segera menelpon perawat jaga di ruang administrasi meminta bantuan.

"Tapi dokter, ahli bedah kita semua sedang dalam operasi." jelas perawat bagian administrasi pada sambungan telepon.

"Berapa banyak kemungkinan waktu yang dimiliki pasien berdasar tanda vitalnya?" tanya Dicka pada perawat yang memasang oksigen pada pasien yang paru-parunya tertusuk.

"Kurang dari tiga jam, jika tidak segera ditangani kemungkinan besar tidak terselamatkan." bibir perawat yang tergolong baru sedikit bergetar ketakutan.

"Aku akan melakukan tindakan operasi darurat, hubungi keluarga pasien, segera minta tanda tangan persetujuan!" perintahnya kembali terdengar melalui telepon yang masih tersambung ke ruang administrasi.

Dicka segera mendorong alat EKG, pada pasien kritis terakhir. Diliriknya layar monitor tersebut, mengamati dengan sangat serius. Kemudian mengambil beberapa photo rontgen, untuk memastikan seberapa dalam tusukan benda tajam tersebut mengenai paru-paru pasien. Terlihat rusuk pasien patah mengenai paru-paru sebelah kanan bawah pasien. Dicka menganalisa dengan seksama, sebelum memutuskan metode operasi yang akan dia lakukan.

Setelah itu segera meminta perawat mengambil beberapa kantong darah yang cocok dan membawa ke ruang operasi.

Di ruang operasi, dua orang perawat tengah menyiapkan meja operasi lengkap dengan berbagai macam alat dan pisau bedah segala ukuran, sudah tertata rapi dimeja beralaskan logam yang sudah steril.

Dokter anastesi mulai menyuntikkan obat anestesi ke dalam tubuh pasien, dan tangan kirinya terlihat memegang sebuah alat yang berfungsi untuk membantu memompa nafas pasien. Seorang dokter junior pun sudah siap mendampingi operasi Dicka kali ini.

Lelaki itu memasuki ruang operasi dengan memakai pakaian berwarna hijau, khusus untuk operasi, masker, penutup kepala lengkap dengan sarung tangan. Tak lupa mencuci tangan dengan sabun terlebih dahulu.

"Messer." Dicka mengarahkan tangan kanan kepada perawat, yang paling dekat dengan pernak pernik peralatan bedah.

Dengan tangkas perawat itu memberikan benda yang dimaksud oleh Dicka. Dalam diam dan penuh ketenangan Dokter yang terlihat bertalenta tinggi itu pun segera membedah dada pasien guna menyelamatkan nyawanya.

Dicabutnya benda tajam yang menusuk organ vital tersebut. Bersamaan dengan lepasnya benda tajam itu, terlihat darah muncrat mengenai muka lelaki itu dan darah mengalir deras.

Perawat wanita segera membantu, mengelap muka lelaki yang terbungkus masker dan kaca mata bedah itu, agar sang dokter segera menuntaskan misinya.

"Tambahkan darahnya lagi" perintah Dicka pada team operasi kembali terdengar.

"Terus amati tanda-tanda vitalnya!" imbuhnya kemudian.

Namun mata dan tangan lelaki itu masih fokus bekerja. Mencari titik pendarahan, setelah berhasil, kemudian Dicka mulai hekting atau menjahit titik tersebut untuk menghentikan pendarahannya.

Setelah satu setengah jam, akhirnya lelaki itu berhasil menyelesaikan operasinya. Sungguh waktu yang cepat, hanya setengah dari waktu yang biasa diperlukan. Dia menghembuskan nafas lega, ketika berhasil menyelesaikan operasinya.

Selanjutnya dia serahkan pada seorang dokter ortopedi yang baru saja masuk keruang operasi, bertepatan saat Dicka membuka pintu hendak keluar. Dokter ortopedi yang akan menangani patah tulang pada rusuk pasien.

Selesai operasi Dokter ganteng itu kembali ke ruang UGD, untuk menangani beberapa pasien yang tidak bisa ditangani oleh dokter lain. Dan terpaksa dia tinggal tadi.

Di bangsal tempat ibunya Adit, terlihat Clara masih setia menemani dan menghibur bocah lelaki yang terlihat malang. Gadis mungil itu merasa tidak tega meninggalkan Adit, yang masih berusia sepuluh tahun, harus menjaga ibunya yang tengah koma seorang diri.

"Sudah jam setengah lima sore ternyata" guman Clara pelan.

"Adit, kakak pamit pulang ya, besok kakak kesini lagi." pamitnya lembut dengan mengelus puncak kepala Adit.

"Terima kasih, kak." Adit kembali merasa sedih, tidak ada yang menemaninya.

Bocah itu kembali menahan rasa takut dan kesedihannya seorang diri, setelah setengah hari ini dia merasa ada setitik cahaya terang, kini kembali meredup.

"Adit besok mau kakak bawain apa?" Mencoba mengalihkan kegundahan Adit.

"Terserah kakak saja." ucapnya lesu.

"Kak," Suara Adit pelan memanggil Clara.

Namun bibirnya tertahan, ia ragu mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya, sehingga memilih tidak meneruskan kata-katanya.

"Hem?" Clara menantikan ucapan Adit.

"Ehm, tidak jadi. Kakak hati-hati di jalan ya." sorot mata Adit resah, bibir bocah itu kelu mengutarakan maksudnya.

"Adit jangan khawatir, kakak akan membayar semuanya!" Clara seolah paham maksud bocah itu. Binar kelegaan seketika tercetak dalam pancaran bola mata bocah itu.

"Di masa depan, Adit berjanji akan melindungi kakak." bocah itu memeluk tubuh Clara erat.

"Baiklah, kau harus segera tumbuh tinggi, agar bisa menjaga kakak!" Clara membalas pelukan Adit.

Setelah melepaskan pelukannya dari Adit, gadis mungil berseragam penerbangan itu kemudian berjalan menyusuri lorong rumah sakit, menuju pintu keluar. Tanpa sengaja matanya mengarah ke ruang IGD, pemandangan beberapa orang perawat dan dokter sibuk menangani pasien cukup menyita perhatiannya. Terutama pada sosok Dicka yang begitu terampil menggunakan peralatan medis.

"Wuah, herder itu terlihat lebih keren saat menangani pasien, dia terlihat lebih kalem dan tenang."

"Dia terlihat seperti dokter yang sesungguhnya saat ini."

"Tapi saat melihatku dia berubah seperti singa lapar yang menakutkan."

Clara masih melongo memandangi ruang IGD dalam waktu yang cukup lama berdiri di tempatnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Namun gadis itu terus menatap ke arah ranjang kosong.

"Sepertinya kau sudah terpesona denganku." sinis Dicka yang saat ini sudah berdiri di samping Clara.

"Ahh, ya ampun!" Clara yang melamun melompat kaget, mendengar suara Dicka.

"Apa aku begitu tampan, hingga kau terus memandangku sampai ingusmu belepotan?" Dicka menatap hidung Clara jijik.

Dengan cepat, Clara segera mengelap hidungnya saat melihat tatapan jijik Dicka, namun ternyata lelaki itu hanya mengerjainya.

"Benar, kau terlihat tampan, seperti seorang dokter psikopat dalam sebuah telenovela." sebal Clara yang telah berhasil dikerjai oleh Dicka.

"Dokter psikopat?" Lelaki itu sangat geram, mendengar pernyataan Clara.

Dicka memainkan pisau bedah kecil yang masih ia pegang, tepat di depan muka Clara. Memainkan pisau membentuk gerakan kecil, menyerupai orang yang sedang memotong atau membelah sesuatu.

"Yah, apa yang akan kau lakukan?" Clara yang melihat gerakan tersebut merinding, berjalan mundur sedikit menjauh.

"Aku adalah dokter psikopat. Maka aku akan mencongkel matamu, mengambil organ vitalmu, dan akan ku jual pada mereka yang membutuhkan!" seringai Dicka sambil menarik pergelangan tangan Clara.

Aku akan mengambil organ vitalmu dan akan aku jual.

Aku akan mengambil organ vitalmu dan akan aku jual.

Aku akan mengambil organ vitalmu dan akan aku jual.

Kata-kata Dicka terus-menerus terngiang di telinga Clara, tubuh gadis itu mulai bergetar. Keringat mengucur deras membasahi wajahnya yang mulus.

Pikiran dan tubuhnya tidak bisa berjalan normal. Pandangan mata Clara memudar, bibirnya pun ikut bergetar, disertai suara gemerutuk gigi seperti seseorang yang sedang ketakutan hebat.

Dan tidak pakai lama, tubuh gadis itu ambruk tak sadarkan diri. Dicka yang melihat gadis itu mulai limbung segera menangkap dan mengangkat gadis itu.

"Hei Nona, kau sangat berbakat dalam berakting." Decihnya tak percaya, mengira semua itu hanyalah tingkah pura-pura Clara.

"Hentikan sandiwaramu, atau aku akan menjatuhkanmu sekarang!" Dicka menggoyang-goyang tubuh Clara keras, namun tubuh Clara tetap lemas tak berdaya.

"Ah sial, ternyata dia benar-benar pingsan!" Kesalnya namun segera menggendong Clara masuk ke dalam ruangannya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height