CEO dan Gadis Terbuang/C13 Euthanasia
+ Add to Library
CEO dan Gadis Terbuang/C13 Euthanasia
+ Add to Library

C13 Euthanasia

"Sepuluh juta, lepaskan Aku!" Clara mencoba bernegosiasi setelah misi melepaskan diri menginjak kaki Dicka gagal.

"Aku tidak butuh uang recehmu!" Sombong Dicka.

"Kau selain galak ternyata juga sangat sombong, bagaimana bisa sepuluh juta Kamu bilang receh?" argumen Clara menyangkal ucapan Dicka.

"Itu bahkan bisa buat beli bakso dua gerobak." imbuhnya lagi.

"Aduh kenapa aku bodoh sekali malah membahas bakso, ini pasti karena efek perutku yang kelaparan belum makan dari kemarin pagi." Clara memukul kepalanya agar tidak berpikir aneh seperti ini.

"Ternyata selain arogan dan bodoh, kau juga sangat rakus. Tidak disangka tubuhmu yang kurus seperti orang cacingan bisa menghabiskan dua gerobak bakso!" ejek Dicka, dengan tangan mencoba menarik lengan Clara lagi.

"Dua puluh juta." teriak Clara sembari memejamkan mata, takut melihat lawan bicaranya.

"Berhentilah menawarku, aku bahkan punya trilyunan rupiah." Dicka menoyor kepala Clara, kemudian kembali mencengkeram erat dagu gadis mungil bermata coklat itu.

"Sombong sekali." kata-kata Clara terputus oleh suara yang menyapa dari arah luar.

"Cla, Bro apa yang kalian lakukan?" Leon berdiri tepat di depan pintu ruangan, heran melihat gadis cantik yang dikenalnya berada di ruang pribadi Dicka.

Melihat Dicka mengalihkan pandangannya ke arah Leon, Clara segera meloloskan diri membawa tabung infus di tangan kanannya, dan menginjak sebelah kaki pria itu sekuat tenaga. Setelah itu segera melompat lincah ke arah Leon.

Argh,

Dicka kembali berteriak jempol kakinya terasa ngilu, oleh pijakan kaki Clara. Perutnya kembali mulas, menahan sakit di kaki dan dua telur ajaibnya yang belum sepenuhnya sembuh.

"Leon, beruntung sekali kamu datang. Kamu adalah pahlawanku." Clara bahagia melihat sahabatnya, pun segera berlari ke arah Leon dan memeluknya.

"Dia sangat bahagia memeluk Leon, mungkinkah gadis tengil ini pacarnya?" guman Dicka dalam hati.

"Kalian, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Leon bingung. Namun tetap membalas pelukan Clara.

"Anjing gila itu terus mengamuk padaku." adu Clara pada Leon dengan tangan masih memeluk manja, sahabat yang sudah dia anggap seperti kakaknya.

"Apa, anjing gila? Kau sangat menjengkelkan!" tangan Dicka mencoba meraih Clara, hendak menyeret perempuan yang menyebalkan itu.

"Leon tolong aku, sepertinya rabiesnya mulai kambuh lagi!" Clara menimpali ucapan Dicka dengan bersembunyi di balik tubuh sahabatnya.

"Dasar rubah kecil licik." sinis Dicka, sedang Clara hanya menjulurkan lidah ke arahnya, hingga membuat pria tampan itu semakin mendidih.

Dicka mendudukan tubuhnya yang lemas di pinggir kasur. Dia benar-benar lelah setelah bekerja lebih dari sepuluh jam tanpa henti. Dan sekarang baru beberapa jam memejamkan matanya, sudah mendapatkan beberapa kali bogem mentah yang sangat menyakitkan hingga membuatnya lemas bercampur marah.

"Leon, aku sangat lapar, ayo kita beli makan di kantin." Clara yang kelaparan berniat memuaskan hasrat untuk makan.

"Tidak boleh, kau tidak boleh makan skarang!" seru Dicka tegas.

"Kenapa?" tanya keduanya bersamaan.

"Bawa pacar premanmu itu ke lab!" perintah Dicka pada Leon tanpa menjawab pertanyaan keduanya. Leon yang paham maksud Dicka pun hanya menuruti dokter itu.

"Bukankah pasien juga butuh nutrisi?" sungut Clara berjalan mengekori ke dua lelaki yang berjalan di depannya.

"Coba saja kalau kamu berani." ancam Dicka spontan membungkam gadis itu.

Di ruangan Laboratorium dan pemeriksaan, Clara ditemani oleh Leon. Sedang Dicka ditemani oleh seorang perawat. Dokter tampan itu memegang alat suntik yang telah terisi sebuah cairan dan perawat terlihat sibuk memasang sebuah alat berbentuk kabel kecil, dan menggabungkan ke layar.

"Berbaringlah!" perintah Dicka mengintruksi Clara, setelah peralatan siap.

"Itu suntikan apa, tidak bisakah aku tidak disuntik?" lirih Clara yang memiliki phobia dengan semua peralatan medis.

"Euthanasia." seringai Dicka melihat perubahan di wajah Clara.

***Euthanasia adalah sebuah suntik mati baik pada hewan maupun manusia dalam istilah medis. Di mana euthanasia sendiri dikategorikan menjadi dua. Yaitu euthanasia aktif dan pasif.

Euthanasia aktif biasanya digunakan untuk hal negatif dalam mengakiri hidup seseorang misal orang tersebut menderita sakit dan sudah tidak tahan lagi hingga memilih mati dengan bantuan dokter.

Sedang euthanasia pasif adalah tindakan pasif mengambil alat-alat yang dapat menyambung hidup atau nyawa seseorang, sehingga mengakibatkan kematian.***

"Apa?" Clara terbelalak dan melompat turun dari kasur, saat mendengar jawaban dari Dicka.

Gadis itu ketakutan dan kembali bersembunyi di belakang tubuh Leon seperti anak kecil. Sedang Dicka, Leon dan perawat yang ada di ruangan tersebut tertawa terbahak-bahak melihat tingkah polos Clara.

"Gadis ini, kadang terlihat menggemaskan dengan tingkahnya yang polos."

"Tapi dia juga sangat arogan, tenaganya seperti preman pasar saat memukul orang lain." setidaknya itu lah kesimpulan Dicka tentang seorang Clara.

"Ha ha ha, ternyata kau hanya pandai memukul orang lain, tapi otakmu sangat dangkal, bodoh dan ceroboh" Dicka masih menahan tawanya.

Mendengar ejekan dari Dicka dan menyaksikan tiga orang sedang terbahak, menertawakan dirinya, membuat gadis cantik bertubuh mungil mengerucutkan bibir menahan malu sekaligus takut dalam hati.

"Berbaringlah, aku tidak akan menyakitimu!" suara Dicka berubah lembut, tatkala melihat wajah Clara kembali memucat.

"Aku akan melakukan test endoscopy dan test H pilory pada organ pencernaanmu, sehingga Kamu diwajibkan puasa terlebih dahulu sebelum diperiksa." jelasnya serius dan meyakinkan Clara yang ketakutan.

Seolah ia sangat memahami ketakutan yang dirasakan oleh sosok menggemaskan di hadapannya, namun punya sisi lain seperti seorang hulk.

"Ini suntikan yang berisi obat bius, maafkan Aku, Aku hanya bercanda tadi!" imbuhnya lagi dengan nada bijaksana.

"Dasar brengsek, bagaimana bisa seorang dokter bercanda dengan hal yang menakutkan pada seorang pasien." Clara bersungut namun tidak berani mengungkapkan isi hatinya kali ini.

Karena Clara yang mendengar penjelasan Dicka pun akhirnya memahami kenapa dokter itu melarangnya makan, perlahan membaringkan tubuhnya.

Gadis itu menutup matanya rapat ketika dokter mulai menyuntikkan obat bius dan jarum mulai menembus bagian kulit tubuhnya. Dia membencinya, tusukan jarum itu terasa lebih menyakitkan dibanding tersayat benda tajam. Tidak suka melihat benda runcing itu masuk kedalam kulitnya yang mulus.

"Eeeh bius apa ini?"

"Kenapa aku masih bisa mendengar suara di sekitarku?"

"Atau ini cuma halusinasiku?"

"Jangan jangan ini, adalah rohku yang mendengarkannya."

"Bagaimana ini, bagaimana jika dokter brengsek ini benar-benar melakukan praktek euthanasia padaku?"

"Seseorang tolonglah aku! Ku mohon, aku tidak ingin mati."

"Aku masih perawan, hiks hiks hiks." Clara yang pada dasarnya takut dengan peralatan medis hanya bisa memejamkan mata dan meratapi diri saat mulutnya tidak bisa digerakkan.

"Bukalah matamu, ini hanya bius lokal!" Dicka yang seolah paham tentang apa yang dipikirkan oleh Clara, tatkala melihat gadis itu mengernyitkan dahi berulang kali.

Clara mencoba membuka matanya perlahan, namun saat hendak berbicara mulutnya terasa kebas dan kaku tidak bisa digerakkan.

"Mulutku, kenapa aku tidak bisa membukanya?"

"Apa aku terkena stroke? Tapi aku masih delapan belas tahun. Hwua,"

"Tidaak..."

Clara melirik Leon dengan tatapan penuh permohonan, keringat gadis itu mengalir deras, mulai membasahi keningnya yang tertutup oleh sedikit rambut.

"Kenapa apa terasa sangat sakit?" Leon mendekati Clara dan mengusap keringatnya sayang.

"Tenang aja bro, pacarmu enggak apa-apa." Dicka menjelaskan keadaan Clara pada Leon.

"Akhirnya aku bisa membungkam mulutmu yang cerewet ini." seringai Dicka sambil memasukkan sebuah alat endoscopy seperti kabel, yang ujungnya terdapat sebuah kamera kecil ke dalam mulut Clara.

Clara hanya bisa mendelikkan matanya kesal, mendengar ejekan penuh kemenangan dari lelaki yang memeriksanya.

Saat alat endoscopy baru masuk sampai ujung tenggorokan, tiba-tiba jantung Clara berdetak sangat cepat. Nafasnya memburu hingga terlihat sangat sesak. Kesadarannya hampir menghilang, padahal hanya menerima bius lokal yang seharusnya masih membuat gadis itu tetap terjaga. Emosional serta keadaan psikologis Clara mempengaruhi ketegangan ototnya dan mempengaruhi kerja organ tubuh gadis itu.

Dicka yang melihatnya kembali terheran melihat keadaan Clara. Karena sebelumnya terlihat sangat kuat dan baik-baik saja setelah mendapat perawatan darinya.

Namun begitu berhadapan dengan peralatan medis, tubuh gadis itu selalu memberikan respon penolakan yang sangat kuat, hingga membuat sang dokter tampan tidak tega serta berinisiatif menenangkan Clara.

"Tenanglah, ambil nafas pelan-pelan, tarik nafas, tahan, keluarkan!" Dicka menggengam tangan Clara lembut. Sedang tangan satunya memberikan elusan-elusan lembut pada rambut Clara.

"Jangan khawatir, kamu akan baik-baik saja, Aku akan menanganimu dengan lembut." disapunya kening wanita itu dengan sangat lembut.

"Jangan takut, ini hanya pemeriksaan ringan. Untuk melihat organ pencernaanmu." jiwa dokternya begitu telaten, menghadapi pasien, sekalipun pasien itu adalah orang yang sangat menjengkelkan.

Clara yang mendapat perlakuan berbeda dari Dicka, seolah tidak percaya laki laki yang menurutnya garang dan kasar itu ternyata bisa sangat lembut dalam menangani pasiennya.

Bagai sebuah sihir, kata-kata Dicka benar-benar mampu mengalihkan ketakutan dan kepanikan Clara. Semua kegelisahan yang Clara rasakan tadi pun ikut menghilang. Sirna entah kemana. Menyisakan kekaguman terhadap sisi lain seorang Dokter yang bernama Lengkap Radicka Abimanya Sebastian.

"Wah tidak disangka, dia ternyata sangat keren saat menjalankan tugasnya sebagai dokter."

"Dokter ini sangat berbeda, jika sudah menyentuh alat medisnya, meski dia membenciku."

"Namun tetap memperlakukan aku dengan lembut, bahkan suntikannya pun tidak terasa menyakitkan."

Setelah Clara nafas dan detak jantung Clara mulai stabil, Dicka kembali melanjutkan pekerjaannya dengan teliti dan hati-hati.

Ia terus mengarahkan kamera endoscopynya ke dalam tubuh Clara, namun matanya tidak beralih dari layar yang terdapat di samping ranjang pasien.

"Cetak hasilnya dalam bentuk hard copy rangkap tiga." perintahnya pada perawat yang mendampinginya setelah selesai melakukan pemeriksaan, sembari berjalan meninggalkan ruangan bersama Clara dan Leon.

"Baik dok." perawat pun ikut meninggalkan ruangan setelah merapikan semua peralatan yang selesai digunakan.

Leon pamit pada Clara dan Dicka untuk meninggalkan rumah sakit lebih dulu setelah menerima telpon dari mamanya, yang sudah selesai melakukan pemeriksaan rutin bulanan di rumah sakit ini.

"Dokter, ternyata kamu sangat hebat." Clara mulai terang-terangan mengungkapkan kekagumannya pada sosok Dicka, ketika keduanya sampai di ruang pribadi Dicka tempat Clara dirawat sebelumnya.

Clara terpaksa Dicka bawa ke ruangan pribadi miliknya, karena semua kamar yang ada di rumah sakit tersebut telah penuh terisi oleh pasien.

"Kamu baru mengakui kehebatanku sekarang?" sinis Dicka, kemudian tersenyum tipis tanpa sepengetahuan gadis itu.

"Maafkan aku, tapi kamu benar-benar serba bisa. Kemarin aku melihatmu membedah kaki pasien. Hari ini kamu melakukan anestesi dan membiusku sendiri tanpa bantuan dokter anestesi." Clara mulai ceriwis, membahas kelebihan Dicka tanpa takut lagi pada pria di hadapannya.

"Bahkan kamu juga bisa menenangkan aku, ketika mengalami psikosomatis." imbuhnya bersemangat.

"Itu tidak benar, aku tidak pernah bisa melakukan satu hal di dunia ini." jelasnya pada Clara yakin.

"Benarkah, apa itu?" tanya Clara serius, mencari tahu.

"Aku tidak bisa melahirkan, maukah Kau membantu melahirkan seorang bayi untukku?" Dicka tersenyum menyeringai dan mencondongkan bibirnya ke bibir Clara.

"Kau," Clara berteriak kencang di telinga Dicka.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height