CEO dan Gadis Terbuang/C15 Suara buaya
+ Add to Library
CEO dan Gadis Terbuang/C15 Suara buaya
+ Add to Library

C15 Suara buaya

"Dokter kamu benar-benar hebat, kemampuan medismu sangat luar biasa!" Clara terus saja ceriwis mengungkapkan kekagumanya pada sosok Dicka.

"Itu tidak benar, aku tidak pernah bisa melakukan satu hal di dunia ini." Jelasnya pada Clara yakin.

"Benarkah, apa itu?" tanya Clara penasaran.

"Aku tidak bisa melahirkan, maukah kau membantuku melahirkan seorang bayi untukku?" seringai Dicka dengan mendekatkan bibirnya maju, sangat dekat dengan bibir Clara.

"Kau," Clara geram dan berteriak tepat di depan daun telinga Dicka.

"Pelankan suaramu, aku tidak tuli!" Dicka menggosok telinganya yang berdeging akibat teriakan gadis itu.

"Kau sangat menyebalkan." Gadis itu mengumpati dokter tampan yang terus saja mengerjai dirinya.

"Oh ya, bukankah kau baru saja bilang dan mengakui bahwa Aku luar biasa." cuek lelaki itu menyanggah ucapan Clara.

"Kau terlalu percaya diri." sinis Clara, seolah menyesal sudah memuji dokter tersebut.

"Aku tidak akan membiarkanmu memukulku lagi!" Tegas Dicka dengan cekatan memindahkan kaki kanannya, yang hendak di injak oleh Clara untuk yang kedua kalinya.

Wajah Clara memerah, menahan dongkol, tidak bisa membalas dan melampiaskan kekesalan dalam hatinya. Ia begitu jengkel dengan tingkah Dicka yang selalu bisa membuat dirinya kalah.

Kruuk,

Belum sempat Clara menjawab ucapan Dicka, tiba-tiba perutnya berbunyi sangat keras. Gadis yang sedari tadi mengoceh itu memang tangah kelaparan, dia belum makan sesuap nasi pun dari kemarin. Terakhir ia makan sebelum ke rumah sakit menjenguk ibunya Adit.

"A-aku.." kata-kata Clara terputus oleh suara Dicka.

"Hentikan ocehanmu, jika kau tidak ingin mati kelaparan." Dicka mencegah Clara untuk berdebat dengannya, seraya memiting leher gadis itu, dengan kaki terus melangkah ke arah kantin rumah sakit.

"Lepaskan aku, ini menyakitkan."

"Hei, leherku bisa patah." Clara berteriak, memohon agar pria itu melepaskan tangannya.

"Jika patah, maka aku akan menyambungnya." timpal Dicka tidak perduli.

Sang dokter justru semakin mengeratkan tangannya, ke leher gadis itu. Tak hanya itu, Dicka juga mengacuhkan pandangan para perawat serta seluruh karyawan rumah sakit yang terus mengarahkan pandangan matanya pada mereka berdua.

"Wanita itu, bukankah dia terlalu muda untuk dokter kita yang multi talenta?" para perawat mulai bergosip.

"Iya benar, gadis itu lebih cocok terlihat seperti adiknya. Sepertinya dia hanya murid SMA." sambut perawat satunya.

"Aku melihatnya berdandan seperti seorang pramugari, dengan rok sangat pendek. Seperti wanita penggoda." dan akhirnya gosip begitu asyik, untuk diperbincangkan oleh teman perawat lain.

"Benar, tidak bisa dipercaya. Anak remaja sudah bertingkah seperti itu." imbuh perawat lain dengan ekpresi jijik.

Mereka para perawat terus menggosipkan ke dua insan yang berjalan menuju kantin, dengan terus menjelekan Clara tanpa bukti yang pasti. Namun Clara yang diperhatikan hanya cuek, tidak menggubris sama sekali. Sedang lelaki yang bersamanya hanya melirik sinis para perawat yang duduk di depan meja jaga tersebut.

Di loby rumah sakit seorang wanita paruh baya terlihat kesal, matanya berkelana kesana kemari mencari sosok yang ia nantikan. Tanggannya memegang sebuah ponsel mencoba untuk menghubungi seseorang.

"Kamu lama banget sih, dari mana aja mama sudah kelaperan nunggu Kamu dari tadi!" ucap wanita yang bernama Linda, kemudian memasukkan ponsel ke dalam tas miliknya.

"Nemenin Cla periksa tadi ma," jawab Leon memberi penjelasan pada mamanya.

"Clara kenapa diperiksa, sakit apa mantu mama?" tanya Linda pada anaknya.

"Belum tau hasilnya tadi selesai langsung Leon tinggal pas mama nelpon" Leon menjawab malas, karena mamanya sangat menyukai gadis itu.

"Terus sekarang calon mantu mama mana?" Linda mencari gadis mungil itu.

"Dia masih dirawat ma." Tutur Leon.

"Ya sudah ayo kita makan dulu, setelah itu baru jenguk mantu mama. Mama sudah laper banget ini." Linda mengajak Leon makan.

Leon dan mamanya pun makan di kantin rumah sakit yang sama dengan yang dituju oleh Clara. Mereka menikmati makanan yang tersaji di atas meja dalam diam. Mamanya menyantap nasi rames kesukaan wanita paruh baya itu, dengan sangat lahap.

“Eh bukannya itu Dicka, temen kamu nak? Mamanya Leon menunjuk ke arah Dicka yang sedang memesan makanan.

“Iya ma!" Jawab Leon.

“Dicka, sini gabung, sini!” Linda memanggil Dicka mengajak bergabung.

Clara yang baru saja selesai memesan makanan, mendengar teriakan dari seseorang yang dia kenal segera menuju ke kursi Leon dan mamanya duduk. Gadis itu menghampiri mereka berdua dan langsung mendapat pelukan hangat dari mamanya Leon, yang berharap Clara menjadi menantunya kelak.

Dicka sempat kaget dengan teriakan itu, begitu menoleh tampak mama nya leon sedang melambaikan tangan memanggil dia.

“Iya tante, saya pesan makanan dulu!” namun tidak berniat menolak.

“Tunggu, kenapa gadis tengil itu juga duduk di sana? Bakalan apes lagi gua nanti. Kenapa dunia terasa sempit sekali sih akhir-akhir ini, selalu ketemu dengan cewek bar-bar itu, haist!” batin Dicka seakan enggan berurusan lagi dengan Clara.

“Hai tante, gimana hasil ceck up kali ini?” tanya Dicka pada wanita paruh baya yang sudah lama dia kenal.

“Eh ada botol kecap juga, agak minggir sana!” Dicka memaksa Clara minggir agar dia bisa kebagian tempat duduk di depan mamanya Leon.

“Heh herder, siapa yang Kamu panggil botol kecap?" Clara mendelik tidak terima di panggil botol kecap.

“Hasilnya baik Dik, semua masih normal dan tante juga bahagia.” mamanya Leon menjawab penuh bsemangat.

“Oh iya, kalian sudah saling kenal?” Linda bertanya pada ke dua remaja yang duduk di hadapannya.

“Itu karena kesialanku saja tan!” jawab mereka bersamaan.

“Hahaha, kalian sungguh kompak." mamanya Leon tertawa mendengar jawaban mereka.

“Heh herder, diem kamu. Tante itu tanya ke Aku!” sungut Clara, kembali berseteru dengan Dicka.

“Kamu tuh yang diem, anak kecil nggak boleh ikut campur urusan orang dewasa!” sanggah dokter yang merawatnya.

“Sudah, cukup, kalian dari tadi kayak anjing sama kucing aja. Ribut terus ngga bisa akur!” Leon mencoba melerai mereka.

Clara dan dicka masih terus bersitegang, sampai ketika pesanan makanan mereka datang.

Clara sudah nampak tidak sabar ingin menyantap bakso dan gorengan makanan favoritnya yg sudah siap dihadapannya

Namun tiba-tiba Dicka mengambil dan mengganti makanan Clara dengan makanan yg dia pesan. Yaitu salad buah, sayuran rebus, steam ikan salmon dan nasi putih.

“Hei, itu kan makananku, cepat kembalikan!” Clara mencoba merebut kembali makanannya.

“Stop, kamu belum boleh makan yang ini. Semua makanan yang kamu pesan hanya akan menambah parah sakitmu. Beralihlah ke menu yang sehat dan baik buat pencernaanmu!” sergah Dicka tanpa mengindahkan kekesalan gadis cantik yang tengah mendelik ke arahnya.

“Memang siapa kamu, berani mengatur aku?” Clara tidak terima, ia tetap ingin menyantap makanan kesukaannya.

“Aku dokter yg merawat kamu, yang bertanggung jawab atas kesehatanmu, karena Kamu adalah pasienku!” tegas Dicka tak terbantahkan.

“Betul Cla, itukan demi kebaikan kamu juga!" Leon yang paham kondisi Clara, mengaminkan tindakan temannya.

“Dengarkan kata-kata Dicka sayang, gak mungkin dia melarang jika itu baik buat Kamu!” kini mamanya Leon ikut membujuk Clara.

“Kalian semuanya jahat!” Clara manyun sambil terpaksa memakan menu pesanan Dicka, karena sudah sangat kelaparan.

"Awas kamu herder, aku akan membalas semua kekejamanmu ini nanti." namun bukan Clara, jika ia tidak berseteru dengan Dicka.

“Oh iya tante, kemaren aku pergi ke kebun binatang. Ada satu hal yang tidak aku mengerti, sampai pagi ini baru Aku tau hal itu." Clara memulai obrolan asal, setelah perutnya mulai terisi.

“Hal apa itu, sayang?” tanya Linda mengerutkan keningnya tanda tidak paham.

“Tentang suara buaya tante!” jawab Clara mantap.

“Hah, serius kamu?" Linda sedikut bingung menanggapi obrolan Clara, namun tetap menanggapi.

"Tante nggak pernah memperhatikan suara buaya. Setau tante buaya ngga pernah mengeluarkan suara yang spesifik seperti halnya ayam atau bebek gitu!” Imbuhnya kemudian.

“Aku awalnya juga berfikir sama kayak tante, sampai pagi ini aku mendengar suara buaya itu secara langsung!” Clara menyeruput minumannya.

“Serius kamu Cla?” ucap Leon dan mamanya secara bersamaan, seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh gadis itu.

Dicka, lelaki itu masih acuh tak acuh, tidak tertarik untuk bergabung dengan obrolan yang diciptakan oleh Clara. Dan masih asyik menikmati semangkuk bakso yg berhasil dia rebut dari Clara, dengan ekspresi yang dibuat senikmat mungkin untuk menggoda gadis berambut panjang itu.

“Memang bunyinya gimana?” akhirnya mamanya Leon penasaran.

Clara menatap Dicka yang sedang asik makan bakso, kemudian berkata: "Aku tidak bisa melahirkan, maukah kau melahirkan bayi untukku?"

Brush,

Dicka yang mendengar ucapan Clara sangat kaget pun langsung tersedak dan menyemburkan makanan yang di mulutnya dan mengenai mamanya leon yg duduk tepat di depannya. Ia tidak menyangka mulut Clara se-ember itu.

“Maaf, maaf tante, Dicka tidak sengaja!” Sambil berdiri mencoba membersihkan sisa-sisa makanan yang mengenai baju Linda.

"Ini semua gara-gara kamu, ember pecah!” Dicka mendelikkan matanya marah ke arah Clara.

“Hahaha, rasain kamu herder. Emang enak jadi buaya!” Clara ngakak parah, melihat ekspresi Dicka yang seperti kepiting rebus menahan malu saat itu. Dia sangat puas, bisa membalas dendam pada dokter berengsek tersebut.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height