+ Add to Library
+ Add to Library

C16 Jerit

Waktu kematian pukul 15.23.

Kata-kata itu, bagai sebuah bom waktu yang meledak, menghantam kepala Aditya Rahman. Bocah kecil yang baru sepuluh tahun itu, kehilangan sosok Ibu, malaikat pelindungnya untuk selama-lamanya.

Bocah itu kini sendiri, tanpa sosok ayah, maupun Ibu. Tak ada lagi senyum hangat dari wanita yang selalu mengusap-usap sayang tatkala ia ingin bermanja. Tak ada lagi pelukan dari tangan renta di tengah kemelutnya.

"Tidak, ibu, ibu tidak boleh pergi, hiks hiks.." Adit terus meraung memeluk jasad wanita yang sangat ia cintai.

"Ku mohon, bangunlaalh bu," Suara tangisannya begitu pilu, membuat iba setiap mata yang menyaksikannya.

Bahkan Clara dan seluruh kru medis pun ikut meneteskan air mata, tatkala melihat bocah itu begitu terpukul, melihat malaikat pelindungnya menutup mata dan tak akan pernah terbuka lagi untuk selamanya.

Clara bertekad dalam hati, ia akan merawat Adit si bocah malang ini. Menjadikannya sesuatu yang berharga bagaimana pun caranya. Gadis itu tidak ingin membiarkan masa depan bocah itu hancur dalam keterpurukan.

Clara akan menjadi perisai pelindung Adit mulai detik ini. Meski ia tahu pelukannya mungkin tak sehangat ibunya, dekapannya tidak selembut wanita yang telah menutup mata itu. Belaiannya tidak sebesar wanita yang melahirkannya.

Namun satu yang pasti, dia dan Aditya Rahman adalah sama. Mereka berdua sama-sama membutuhkan pegangan dan perlindungan satu sama lain. Jerit batin Adit begitu menggema menusuk hati dan telinga Clara.

"Adit mulai sekarang kamu adikku, kakak akan melindungimu mulai saat ini." ucap Clara penuh tekad.

"Adit jangan takut ya dek, ada kakak." imbuhnya lirih sembari mengusap air mata.

Adit bocah itu hanya memeluk Clara dalam diam, kata-kata Clara hanya menggema pelan melewati gendang telinganya. Ia dipenuhi ketakutan dalam hatinya. Yang dia tahu, dia butuh seseorang yang merangkulnya, menenangkan hatinya.

Pandangan matanya kosong, seperti tidak memiliki jiwa. Bocah sekecil itu, harus jatuh terperosok dalam jurang kesedihan yang sangat dalam.

Jantungnya terhujam oleh belati tajam, belati yang mengambil dan merenggut paksa kebahagiaan dan harapannya untuk terus bersama sang bunda, pupus oleh takdir.

"Ibu, ibu, ku mohon bukalah matamu buuu."

"Pada siapa Adit harus mengadu bu, jika Ibu tertidur seperti ini? Bukankah kemarin Ibu bilang akan selalu melindungi Adit?"

"Apa Ibu lupa, ibu berjanji akan menyaksikan Adit tumbuh tinggi, tapi kenapa ibu berbohong?"

"Adit janji akan jadi anak baik bu, ku mohon bangunlah."

Janji Adit si bocah malang, sembari mencium telapak kaki ibunya, yang tertutup selembar kain putih dan mulai mendingin, sedingin es hingga mampu membekukan jiwa bocah tidak berdosa itu.

"Adit janji tidak nakal lagi, dan akan menuruti semua perkataanmu, bu."

"Jawablah bu, jawablah, kenapa Ibu hanya diam saja?"

"Apa kau begitu marah padaku bu, sampai semua janji dan perkataanku pun tak kau jawab sekarang. Jika Ibu semarah ini padaku, Adit harus bagaimana, agar ibu memaafkan kesalahan Adit dan mau bangun lagi?"

"Adit takut bu..."

"Siapa yang akan menemani Adit, mengajariku mengerjakan PR sekolahku jika Ibu juga meninggalkanku?"

"Rasanya baru kemarin bu, kita berdua duduk di perempatan menjajakan peyek kacang. Apa ibu lupa, tabungan kita belum banyak? Bukankah ibu berjanji akan menyekolahkanku sampai tinggi, kenapa ibu mengingkari?"

"Siapa yang akan menyuapi Adit makan?"

"Adit lapar bu. Apa ibu tau, Adit bahkan dua hari belum makan saat menunggu ibu sakit di rumah sakit. Adit takut, kalau Adit makan uangnya tidak akan cukup untuk biaya Ibu berobat. Tapi kenapa bu, Ibu tidak menghargai Adit malah tidur seperti ini?"

"Baru kemarin, tanganmu menyuapi aku makan dengan kasih sayang bu, tapi hari ini aku tidak akan pernah lagi merasakan nikmatnya makan dari suapanmu, bu."

"Ibu, tidakkah kau ingat, atap rumah petak kita bocor?"

"Siapa yang akan membantu Adit memasang plastik, di atap saat hujan deras datang, jika ibu pergi? Tubuhku tidak terlalu tinggi dan tidak bisa menjangkaunya. Apa ibu tega melihatku dan rumah petak kita basah kuyup tersiram hujan?"

"Adit takut suara petir itu Bu.."

"Siapa yang akan memeluk Adit nanti bu, jika hujan dan petir itu kembali? Apa ibu tidak ingat pohon di samping rumah kita hampir tumbang, siapa yang akan membantu adit menebangnya?"

"Kenapa tubuhmu sangat dingin bu?"

"Aku akan memelukmu erat Bu, apa ibu kedinginan?"

"Adit akan melepas semua baju Adit untuk menutupi tubuhmu, agar tubuhmu bisa hangat lagi. Adit akan meminjam selimut dari om dokter kalau baju Adit tidak cukup hangat. Bukalah matamu bu!"

"Kenapa tubuh ibu kaku?"

"Apa ibu begitu kesakitan, sampai tidak bisa menggerakkan tubuhmu Bu? Apa yang harus Adit lakukan untuk meringankan sakitmu bu?"

"Bukankah kemarin ibu hanya bilang masuk angin, Adit akan bantu ibu mengeroki punggung ibu, tapi kenapa ibu malah pingsan dan tidak bangun sampai hari ini?"

"Berhari-hari Adit menjaga ibu sendirian di Rumah sakit, Adit tidak sekolah, Adit takut saat Ibu bangun, aku tidak ada di sampingmu. Adit bahkan tidak punya uang membayar tagihan rumah sakit ini, bu."

"Kemarin tangan ibu bergerak, Adit sangat senang sekali bu, karena dokter bilang Ibu akan segera bangun. Tapi kenapa hari ini tubuh Ibu dingin, kaku, pucat sekali, bibirmu membiru, bu?"

"Apa dengan menutup matamu, rasa sakitmu membaik Bu?"

"Dokter bilang, saat ini ibu sudah terbebas dari rasa sakit, karena ibu sudah bisa tidur untuk waktu yang sangat lama, benarkah itu Bu?"

"Jika seperti itu Ibu merasa lebih baik, Adit akan jadi anak baik. Adit akan melepaskan ibu."

"Ku cium telapak kakimu, untuk yang terakhir kalinya, Surgaku."

"Kakimu terus mendingin bu, aku tidak tega melihatnya. Istirahatlah bu, jika beristirahat mampu melupakan rasa sakit yang tidak pernah bisa engkau tahan."

"Semoga ibu menemukan kebahagiaan di sisi Tuhan."

"Aku akan terus berdoa untukmu bu, aku berjanji akan menjadi lebih kuat, di tengah kesendirianku, aku akan membangun pertahananku kelak."

"Tuhan, aku percaya dan yakin padamu selama ini,"

"Ibu mengajarkanku untuk selalu taat padaMu,"

"Ku panjatkan selalu doa dan harapanku, untuk kesembuhan ibu. Karna katanya Kau maha segalanya."

"Namun hari ini,, kenapa KAu mengambil semuanya dariku? Di mana kuasaMu atas segala doa doaku? Kenapa Kau ambil Ibuku? Akankah aku masih bisa percaya padaMu, setelah semua ini?"

"Ibuuu,,,,"

"Aku janji tidak akan ada lagi para rentenir yang bisa mendorongmu hingga tertidur seperti ini bu!"

Bocah itu mengepalkan tangannya kuat, giginya saling bertautan keras. Namun dia tetap berdiri kokoh, tidak ada lagi air mata, tawa, maupun suara. Hanya diam.

Kepercayaan dirinya tenggelam bersama jasad ibunya yang terkubur.

"Selamat jalan Ibu, kau akan selalu hidup dalam kalbuku."

"Sekali lagi, aku mencium telapak kakimu Bu, memeluk tubuhmu yang terbungkus kain putih, mencium pipimu yang dingin. Ku lihat bibirmu biru, pucat namun tercium aroma wangi bu. Sewangi melati putih, seputih kasihmu, seputih tulusnya cintamu menerangiku selama ini."

"Selamat jalan ibu."

"Hari ini, di tengah gelapnya mendung, aku menyaksikan tubuhmu mulai tertutup oleh aroma tanah makam yang mengantarmu ke peristirahatan terakhirmu, bu."

"Di pusaramu yang sempit itu, kau terlihat begitu tenang."

"Dan aku, hilang bersama jasadmu kembali ke peraduan. Tidurlah dengan tenang bu, kini sakitmu telah hilang."

"Adit, ayo kita pulang dek?" Clara memegang tangan mungil itu, saat jasad wanita itu tidak lagi terlihat, tertutupi tanah basah di pusara peristirahatan terakhirnya.

Namun bocah itu hanya diam. Tidak menjawab, tidak pula merespon ajakan Clara Bocah itu kehilangan jiwanya. Kehilangan terangnya. Kini hanya ada lembah hampa dalam ruang hatinya.

Ia terpuruk dalam kesendiriannya. Kesendirian yang terbungkus oleh "Diam", sebagai bentuk metamorfosa pertahanan dirinya.

Agar dia mampu berdiri meski raganya sangat rapuh, jiwanya luruh dalam beribu kenestapaan. Dia berkelana dalam pikirannya yang sepi.

Clara yang mengerti apa yang tengah di rasakan oleh Adit pun hanya diam, sambil menggenggam erat tangannya dan menemani bocah itu berdiri di tepi makam sang bunda. Tatkala bocah itu enggan beranjak. Memandangi makam adalah jalan yang dipilih Adit, untuk membentuk pertahanan dirinya yang remuk redam.

Hingga senja datang tanpa peduli keadaan, bocah itu masih enggan beranjak dari tempatnya. Namun tubuh lemah adit tak mampu lagi menopang hasrat dan egonya. Adit pun jatuh, ambruk dalam keterpurukannya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height