+ Add to Library
+ Add to Library

C17 Oncom got

Selesai upacara pemakaman ibunya Adit, semua orang yang datang mengantar jenazah ibunya Adit, satu persatu mulai meninggalkan area pemakaman tersebut.

Hanya tersisa Adit, Clara, Dicka dan ke empat teman Clara yang masih setia menemani bocah itu berdiri di tepi makam.

Hingga sore menjelang, ke empat sahabat Clara dan Dicka mulai bersuara mengajak pulang Clara dan Adit yang masih terpukul karena kehilangan ibunya. Namun bocah itu sepertinya masih enggan beranjak dari hadapan gundukan tanah makam yang bertaburan bunga segar. Clara pun sama, memilih tetap menemani Adit, ketika ke empat sahabatnya dan Dicka pamit meninggalkan area itu.

Mereka berdua Adit dan Clara, berdiri berdampingan, namun sama-sama terdiam. Tak ada tawa, kata, maupun suara yang keluar dari bibir ke duanya. Clara, gadis berusia delapan belas tahun yang sebenarnya juga belum sehat itu, mencoba memahami Adit dalam kediamannya.

Sedang Adit, pikiran bocah itu berkelana bersama bayangan ibunya. Bayangan yang perlahan ikut mematikan rasa dan mata hati bocah malang itu.

Tangan mungil Adit di genggam oleh Clara, seolah mereka berdua saling menguatkan dan memberi support satu sama lain. Mereka adalah potret dua insan yang nestapa. Adit lemah karena kehilangan sosok ibu yang mencintainya. Sedang Clara, gadis rapuh jiwanya, karena dibuang oleh keluarga yang tidak pernah menginginkan kehadirannya.

"Adit, ayo kita pulang dek!" Ajak Clara saat pandangan gadis itu mulai kabur, seiring menahan sakit di kepala yang mulai berdenyut nyeri. Namun tangannya tetap mengusap rambut Adit sayang.

Adit, lagi-lagi bocah itu hanya terdiam, tak merespon suara apapun di sekitarnya.

Huh,

Clara menghembuskan nafas berat antara sedih melihat keadaan anak lelaki yang baru saja dia angkat menjadi adiknya, dan menahan berat tubuhnya sendiri yang seharusnya masih dalam masa perawatan.

Hingga senja datang tanpa peduli keadaan, jingga mulai mengeluarkan kemilaunya di ufuk barat daya. Perlahan langit pun mulai menggelap, meski bocah sepuluh tahun itu masih enggan beranjak. Tapi tubuh lemahnya tak lagi mampu menopang hasrat dan egonya. Dia, sekali lagi jatuh, ambruk dalam keterpurukannya.

Clara yang berdiri di samping Adit kaget, saat melihat adik angkatnya jatuh tidak sadarkan diri. Di tengah kondisi tubuhnya yang semakin lemah, akhirnya berusaha meletakan tubuh Adit berada dibalik punggung Clara. Dengan susah payah gadis bertubuh mungil itu menggendong Adit sendirian, saat pandangan netranya tak menemukan seorang pun yang bisa membantunya.

Aaargh,

Clara berteriak kesakitan, sewaktu kakinya tidak sengaja menyandung batu nisan. Hingga membuat Clara terjatuh, dengan posisi tubuh Adit yang beratnya hanya selisih lima kilogram lebih sedikit dari berat badan gadis itu, berada di atas menimpa tubuh Clara. Membuat Clara tak bisa berkutik.

"Tolong, tolong," Clara berteriak sekencang mungkin yang dia bisa, dengan sisa tenaganya yang kian melemah menahan sakit tertimpa tubuh Adit.

Di seberang jalan, dua mobil berjajar depan belakang, segera membuka pintu. Kemudian secara bersamaan berhambur ke arah makam, ketika mendengar teriakan dari Clara. Dua mobil tersebut ternyata satu adalah milik Dicka yang tidak tega meninggalkan Clara yang masih dalam perawatannya.

Mobil satu lagi berisi ke empat teman Clara, yang ternyata masih setia menunggunya karena mereka semua sangat menyayangi gadis itu dan berjanji tidak akan pernah membiarkan Clara sendiri dalam kesusahannya.

"Kalian?" Clara heran melihat ke lima orang yang datang bersamaan.

Kalimat gadis itu terputus, dia merasa sangat lega melihat wajah orang-orang yang sangat familiar di matanya.

"Tolong bantu angkat Adit dari tubuhku, dia pingsan!" ujarnya memelas, menahan sakit.

Bara yang sampai lebih dulu dan memiliki tubuh kekar langsung meraih Adit dalam gendongannya, kemudian membawanya berlari menuju mobil di susul oleh teman-teman yang lain.

Gadis yang wajahnya kembali memucat itu menghembuskan nafas lega, tatkala tubuhnya bebas dari beban berat yang menimpanya. Dia bergegas menyusul ke empat temannya, namun karena kondisi tubuhnya kurang baik, Clara terhuyung ke belakang.

"Kamu baik-baik saja, hmm?" Dicka yang berada tepat di belakang Clara mencoba membantu memapahnya.

Namun Clara yang masih sangat sensitif, dan melihat itu langsung menghindar.

"Jangan mendekat, aku gak mau kamu sentuh!" Bentak Clara.

"Aku hanya ingin menolongmu, Cla." Sang dokter terus berusaha merengkuh tubuh Clara.

"Jauhkan tangan kotormu dariku!" cegah gadis itu kembali.

"Jangan panggil Aku seperti itu, kita tidak cukup dekat!" imbuhnya kemudian.

"Tapi Claa," Dicka menghela nafas, sebelum akhirnya menjauhkan tangannya.

"Kenapa kau sangat keras kepala, aku hanya ingin membantumu, tidak ada maksud apa-apa!" Batin Dicka sebal.

"Tidak usah pake tapi-tapi, apa itu yang dinamakan seorang dokter? Ku kira sangat tidak pantas!" sinis Clara, saat tangan Dicka tidak sengaja menyenggol dada depannya.

"Aku, aku tidak sengaja." jelas Dicka gugup, dan segera menjauhkan tangannya dari benda kenyal milik Clara.

"Sebagai orang yang berpendidikan seharusnya kamu lebih bisa menjaga dan mengendalikan dirimu, bukan malah seperti ini." bantah Clara tidak percaya, memilih sempoyongan menjauhi lelaki yang kini berdiri di sampingnya. Dicka kembali mengarahkan tangannya hendak memapah gadis itu kembali.

"Jauhkan tubuhmu, kau jorok sekali!" bentak Clara sambil menutup hidungnya menahan mual.

Dicka menundukkan kepalanya, merasa frustasi membujuk gadis keras kepala di hadapannya. Lelaki itu melihat kedua tangannya,

"Astaga," gumannya saat tersadar tubuhnya sangat kotor dan mengeluarkan bau menyengat, karena tidak sengaja tercebur got yang berada tepat di sebelah pintu mobilnya, waktu terburu-buru hendak berlari ketika mendengar teriakan Clara.

"Aku tau tanganku memang kotor, tapi di mana aku harus cuci tangan?" ucapnya pada gadis itu, tidak tahu harus berbuat apa.

"Ini kan pemakaman. Aku sudah berkeliling mencari tempat cuci tangan, tapi tidak menemukan air." sesal Dicka bersungguh-sungguh.

"Bodo!" ketus Clara kembali berjalan menjauhi Dicka.

"Kau, benar-benar keras kepala!" Dicka yang sudah jengkel, berjalan mendekat dan langsung mengangkat tubuh Clara seperti karung beras, tidak membiarkan gadis itu bertambah lemah.

"Hei, turunkan aku, kau sangat bau!" Clara bertariak minta diturunkan, tidak tahan dengan aroma got yang berasal dari Dicka.

"Diamlah, atau aku juga akan ikut menguburmu di sini!" Dokter muda itu mulai kehilangan kesabarannya.

Clara mendengar ancaman Dicka spontan merapatkan bibir, meski perutnya mual dan kepalanya keliyengan akibat bau got menyengat di tubuh Dicka.

Hueks, hueks...

Dan Clara pun akhirnya muntah. Tepat mengenai tubuh Dicka. Dia tidak lagi bisa mengendalikan mualnya. Semakin menambah kotor dan bau tubuh lelaki yang menggendongnya.

"Aah sial, kenapa kau memuntahiku?" Dicka mengomel dengan suara lantang.

"Kau yang memaksaku!" balas Clara tak peduli.

Dan,

Huueeekss,

Gadis itu kembali muntah untuk kedua kalinya tanpa menahannya sama sekali.

"Berhentilah, kau benar-benar menjengkelkan!" perintah Dicka jijik.

"Muntahanku tidak berarti apa-apa, dibandingkan tubuhmu sudah seperti rebusan oncom kecebur got" ejek Clara tak mau kalah dan tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Kau, " pria itu tidak melanjutkan kalimatnya.

Merasa percuma berdebat dengan gadis keras kepala seperti Clara. Dan melanjutkan langkahnya semakin cepat, agar segera sampai ke mobilnya yang terparkir di seberang jalan.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height