+ Add to Library
+ Add to Library

C19 Penguntit

“Baiklah, karena kau memaksa maka aku akan bermurah hati padamu kali ini.” Dicka, lelaki itu bersikap seolah keberatan dengan permintaan gadis cantik jelita, berbulu mata lentik dan lebat itu.

Namun tindakannya sangat gesit dan bersemangat, menandakan suasana hati yang bertolak belakang dengan kata-kata yang baru saja dia ucapkan.

Kemudian dengan sigap, pria tampan yang berprofesi dokter itu menyerahkan selembar kertas putih kosong yang sudah dilengkapi materai tertempel di pojok kanan bawah, kepada Clara untuk mendapatkan tanda tangan gadis tersebut.

"Ciiiiih..."

"Dasar munafik, mulutmu benar-benar berbisa. Seolah sangat terpaksa,

Tapi tingkahmu terlihat sangat bahagia, bisa menindasku!"

Dengan ekspresi marah, Clara tanpa pikir panjang langsung menanda tangani kertas kosong yang kini sudah berada di tangan mungilnya. Remaja berparas ayu itu, hanya ingin segera membersihkan diri dari aroma busuk got dan muntahan yang semakin menusuk hidungnya yang mancung.

Selain itu dia ingin segera sampai di apartemennya untuk segera beristirahat, tubuhnya terasa amat sangat lemas, kepala berputar-putar serta matanya pun mulai berkunang-kunang.

Saat Clara selesai membubuhkan tanda tangannya, Dicka secepat kilat menyambar kertas kosong yang nantinya bisa jadi bukti hitam di atas putih dari tangan Clara dengan raut wajah bahagia.

Sedang Viona, gadis yang sedari tadi berdiri memegang handle pintu mobil pun kembali melanjutkan niatnya yang tertunda,

“Sepertinya aku tidak jadi nebeng mobilmu Ka.” ucap viona saat sedikit kepalanya sudah memasuki mobil, ia mengurungkan niat untuk yang ke dua kalinya.

“Kenapa, bukankah biasanya kau sangat suka naik mobilku ini?” tanya Dicka cuek. Ia mengerti Viona pasti tidak tahan dengan aroma mereka berdua, maka dengan sengaja menjahilinya.

“Baunya menyeramkan seperti fermentasi air liur drakula!” Viona menahan mual, dengan menutup hidungnya rapat-rapat menggunakan jari tangan.

Dan tak butuh waktu lama, Viona segera berhambur keluar meninggalkan mobil dengan aroma mengerikan itu. Membanting pintu mobil Dicka, lalu kembali ke mobilnya Leon sebelum tertinggal.

“Dia sangat jorok, bagaimana bisa seorang dokter bisa hidup menjijikan seperti itu!” Viona bergidik ngeri membayangkan aroma busuk, yang baru saja menodai indra penciumannya.

“Hei, jangan menyesal jika kau tidak akan menemukan aroma therapy langka dan berkhasiat ini!” seringai Dicka menggoda Viona, sambil tertawa terbahak-bahak.

Dicka tidak merasa risih atau pun malu mendengar cibiran dari sahabat kecilnya, justru malah menggoda dengan leluasa dan penuh kemenangan.

“Oke good girl, saatnya kita pulang!” selanjutnya Dicka menginjak pedal gas mobil, setelah memastikan keadaan aman.

Sang dokter mengintip Clara yang duduk di kursi penumpang belakang dari kaca spion, terlihat gadis manis itu tengah memejamkan mata. Wajahnya terlihat pucat dan bibirnya kembali membiru, kedua tangannya memeluk bagian perut dengan erat seperti menahan sakit.

"Apa itu sangat menyakitkan, hmmm?"

"Wajahmu sangat pucat seperti mayat, tulang selangkamu begitu menonjol, tubuhmu pun sangat kurus seperti penderita gizi buruk yang cacingan."

"Bahkan kau belum tidur dari kemarin, namun kau lebih peduli pada Adit, bocah yang baru kau kenal dalam hidupmu!"

"Apa kau benar-benar tidak sepeduli itu dengan dirimu sendiri?"

Huh,

Dokter itu berkali-kali mengembuskan nafasnya kasar. Entah kenapa hatinya begitu tergelitik setiap kali berurusan dengan gadis yang selalu membuat jantungnya dag, dig, dug menahan marah dan kerap kali menyulut emosi dengan semua argumen Clara.

Lelaki itu terus melajukan kendaraannya menyusuri jalan dengan sepelan mungkin agar tidak mengguncang dan membangunkan Clara dari tidurnya. Sesekali ia melirik gadis itu, kemudian tanganya beralih memencet tombol telepon yang ada pada setang kemudi, yang terhubung dari ponsel miliknya.

“Siapkan peralatan mandi, baju ganti, dua tiang infus, dua cairan infus lengkap dengan selang, dan beberapa jarum."

"Satu lagi, obat depresan dengan dosis paling rendah, beberapa jenis obat penekan asam lambung cair dan tablet, serta ibu profen syrup dosis rendah, sekalian siapkan antibiotik cair untuk berjaga-jaga!”

"Pilihkan obat dengan kualitas terbaik dan paling aman." Dicka berbicara sebagai seorang dokter profesional, pada seseorang yang tersambung lewat jaringan seluler.

“Antar ke apartemen Golden, room 925!” imbuh Dicka lagi.

"Dari mana dia tau alamat tinggalku?"

"Bahkan dia tidak pernah bertanya padaku, dan Aku sangat yakin belum pernah memberitahu sama sekali." Tanya Clara pada diri sendiri.

Dari jok belakang, Clara yang belum sepenuhnya tertidur kembali membuka mata dan merasa sangat heran dengan semua ucapan Dicka.

Bagaimana dokter yang baru dikenalnya dan belum pernah sekalipun dia ajak bertamu ke apartemennya, bisa mengetahui dengan jelas alamat tinggalnya. Bahkan pria itu sangat yakin waktu menyebut nomer rumahnya.

Gadis itu juga sangat yakin sahabat-sahabatnya tidak pernah sekali pun menyinggung alamat tinggalnya saat ini, kepada singa jantan yang sedang fokus mengemudi.

“Dari mana kau tau alamatku?” Clara yang sangat penasaran tidak tahan untuk membuka mulut dan menanyakan secara langsung pada Dicka.

“Itu mudah bagiku, bahkan aku tau semua tentangmu!” enteng Dicka menyisakan teka-teki.

“Hei apa ka-kau menguntitku??” Clara terbata-bata, membayangkan telah dikuntit oleh sang dokter muda.

Spontan gadis itu menaikkan ke dua kakinya ke kursi, lalu menekuk dan memeluk dengkulnya erat. Clara pun mulai parno mendengar penyataan Dicka yang dinilai aneh menurutnya.

“Kau bukan seleraku. Kenapa aku harus menguntitmu? Kau tidak semenarik itu di mataku gadis bar-bar.” kilah Dicka mengejek serta membalas tuduhan Clara.

“Mana ada penjahat yang jujur.” sangkal gadis itu tidak percaya.

“Sepertinya kau mulai sadar, baguslah aku tak perlu sungkan lagi mulai saat ini!” Dicka menyeringai melihat ekspresi Clara yang begitu menggemaskan.

Sedang Clara, gadis itu kembali berpikir yang tidak-tidak tentang lelaki yang tampan tapi sangat mencurigakan baginya sekarang.

"Jangan-jangan Dia benar seorangan mafia perdagangan organ, yang berkedok sebagai dokter?"

"Benar, kalau dipikir-pikir gajinya sebagai dokter biasa, bagaimana mungkin bisa punya mobil mewah dan edisi terbatas seperti ini?" pikiran liar Clara pun tak bisa di hindari lagi.

"Si brengsek itu, juga sangat yakin saat bilang punya uang trilyunan," dan ia mula menerka-nerka tentang Dicka sesuai imajinasinya.

"Argh bodoh, bodoh!"

"Kenapa aku menandatangani kertas kosong bermaterai tadi? Tamatlah riwayatmu Clara! Hiks, hiks..." sekarang mulai menyesali keputusannya perihal tanda tangannya beberapa saat lalu.

Remaja berparas ayu itu semakin terhanyut oleh khayalan-khayalan menakutkan yang dia ciptakan sendiri. Otaknya berpikir keras untuk menggagalkan rencana licik Dicka yang belum tentu terjadi.

“Dokter, bisakah kita ke rumah sakit saja dan membatalkan perihal dokter pribadi tadi?” cicitnya memelas ketika dia menyadari bahwa keputusan yang dia ambil adalah salah. Clara merasa khawatir Dicka akan berbuat yang tidak-tidak kepada dirinya.

“Kenapa, apa kau baru sadar tidak bisa menggajiku sekarang?” sinis Dicka merespon permintaan Clara.

“Bukan seperti itu,” ucap Clara menggantung, ia bingung harus berkata apa.

“Lalu seperti apa?” Dicka kembali melirik kaca spion mobilnya.

“Seperti yang dokter bilang, bukankah peralatan medis di rumah sakit lebih lengkap.” Clara memanyunkan bibirnya.

“Tidak bisa, kau sudah menanda tangani surat perjanjian denganku, apa kau lupa?” ketusnya mengingatkan gadis itu.

“Kertasnya bahkan masih kosong, kau ini ternyata sangat pelit dan perhitungan sekali!” Clara mulai was-was, ia sudah salah langkah terlebih dahulu.

“Gadis bar-bar kamu benar-benar sangat labil. Aku sudah mengingatkanmu tadi!” tegas Dicka tidak mau kalah, tanpa mengalihkan matanya yang terus menatap ke depan.

“Aku akan memberimu kompensasi pembatalan kontrak!” Clara mulai bernegosiasi, tangannya memegang bahu bagian belakang Dicka.

“Ya, Apa kau mempermainkanku dan merendahkan profesiku sebagai dokter?” lelaki itu kini sedikit meninggikan suaranya.

Gadis belia itu, selalu saja mengaduk emosi Dicka, ketika berhadapan dengannya. Sedang Clara yang melihat wajah Dicka memerah menahan marah, menelan ludah, tidak berani mengeluarkan kata-katanya lagi.

"Apa singa galak itu benar-benar akan menjual organku?"

"Sungguh licik, melegalkan bisnis gelapnya dengan menjebak pasien lugu sepertiku!" kini pikiran liarnya kembali bergelayut.

"Duh Gusti, tolonglah hambamu ini!" dan mulai berdoa dalam hatinya.

Clara memukul-mukul kepalanya ringan dengan tangan kanannya. Kemudian setelah itu membentur-benturkan kepalanya pada pintu mobil. Dan juga menggigit safety belt yang melilit tubuhnya, untuk menahan frustasi dalam hati.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height