+ Add to Library
+ Add to Library

C2 Mimpi

Seorang gadis tidur dengan posisi menelungkup, di atas lantai dingin sebuah balkon kamar yang terletak di ujung lorong bangunan tua, sepi, serta dinding usang tertutup lumut yang mengering.

Udara serta angin malam, seolah tak mampu mengusik tidurnya yang tak beralaskan apapun. Matanya terpejam, enggan untuk terbuka. Tubuhnya menggigil, di selingi suara gemerutuk gigi kering yang saling bertubrukan.

Suhu tubuhnya di atas normal. Wajahnya memerah , dengan bibir pucat yang membiru. Mulutnya mengguman tidak jelas, antara merintih kesakitan atau sedang menahan hawa dingin yang menusuk ke kulit hingga sampai ke dalam tulangnya yang terlihat begitu menonjol. Tubuhnya kurus, menandakan kurang asupan makan.

“Krieeet,” suara pintu terbuka, disusul bariton kaki melangkah dengan cepat.

“BLAAM,” sesaat kemudian terdengar suara pintu dibanting dengan sangat keras.

Gadis itu masih saja tertidur. Suara baritone kakidan kerasnya pintu kamar yang dibanting pun tak mampu membangunkannya.

Sepasang mata mengawasi gadis itu dalam diam. Duduk di kursi kayu berwarna coklat, yang terletak di samping kiri sang gadis kecil berambut sebahu itu tidur. Selang beberapa waktu matanya beralih, melirik jam yang terpasang di pergelangan tangannya. Sudah 15 menit berlalu, gadis itu masih saja asyik di alam mimpi. Hingga orang yang mengawasi mulai jenuh.

“Bangunkan dia!” perintah seorang pria yang duduk di kursi, dengan bajuhitam polos dilipat setengah lengan.

“Bangun, bangun, cepat bangun!” teriak salah seorang priapengawal yang berdiri tepat di hadapan sang gadis. Tapi gadis itu hanya menggeliatkan badan sebentar, kemudian kembali terlelap.

Sang pengawal lain bergeser, mengarahkan tangan ke pipi sang gadis berambut merah sebahu itu. Memberi tepukan ringan.

“Bos, pipinya sangat panas, sepertinya dia demam.” Ucap pengawal berbadan kekar dengan kepala botak.

“Beri dia makan dan obat penurun demam, jangan sampai dia sakit!” Titah sang bos.

“Aku akan melihatnya lagi nanti, 4 jam dari sekarang.” Lanjut bos yang memakai kaca mata hitam, kemudian berlalu meninggalkan kamar, menyisakan dua pengawal dan gadis berkulit putih di dalamnya.

Empat jam kemudian.

Gadis bertubuh mungil itu sudah terbangun. Dia duduk di lantai dengan badan bersandar tembok di belakangnya. Suhu tubuhnya sudah berangsur-angsur turun. Namun masih menyisakan pucat di kulit wajah putih susunya. Serta warna kebiruan di sudut bibir, yang seharusnya berwarna pink cerah alami tanpa polesan lipstick sama sekali.

Tangannya meraih sebuah tali rambut berwarna kuning keemasan dengan hiasan bunga sakura yang terletak dilantai, tepat di depan ia duduk. Kemudian menyisir rambutnya dengan jari-jemari tangan lalu dikumpulkan menjadi satu dan diikat membentuk kuncir kuda.

“Ayah, kenapa begitu lama? Aku sudah menunggu dua hari, tapi kenapa ayah belum juga datang?” lirih gadis kecil berusia empat belas tahun.

Dua hari yang lalu, dia menghubungi sang ayah, melalui telepon genggam usang miliknya. Ayahnya menjanjikan sejumlah uang untuk biaya sekolah yang belum dia bayar selama setahun terakhir. Kepala sekolah sudah berkali-kali memanggilnya dan bahkan terancam DO dari sekolah menengah pertamanya.

Gadis tersebut menaruh harapan besar kepada sang ayah. Dia tidak ingin sekolahnya terhenti. Mimpinya menjadi seorang crew cabin pesawat begitu indah untuk terus dia kejar.

Tak, tak, tak,

Riuh langkah kaki beberapa orang terdengar semakin mendekati kamar yang gadis itu tempati. Dan pintu pun terbuka.

Seorang lelaki berumur sekitar empat puluh lima tahun masuk, lalu memerintahkan beberapa pengawalnya untuk pergi meninggalkan kamar gadis mungil berambut merah maroon, sembari menutup pintu.

“Anda siapa, dimana ayahku?” Remaja berparas cantik itu memicingkan mata, melihat siapa yang datang. Mencaoba mencari tahu keberadaan sang ayah yang dia nantikan

.

Pria itu hanya terdiam, mengamati sesaat, lalu tersenyum sinis. Seolah enggan menjawab pertanyaan yang terasa remeh di liang telinganya.

“Kenapa anda diam? Tolong katakana dimana ayahku, aku ingin menemuinya!” Sedikit terhuyung, gadis itu mencoba untuk berdiri sembari berpegangan di sisi tembok. Kepalanya masih terasa pusing begitu pula dengan pandangan matanya, kabur sedikit berputar.

“Ayahmu tidak akan dating.” Terang lelaki setengah baya berpenampilan sangar dengan santai, sembari menghisap cerutu rokok beraroma tembakau kuat.

“Tidak mungkin, ayah pasti datang. Dia berjanji akan menemuiku di sini!” Sahut gadis itu yakin namun matanya mulai berkaca-kaca.

“Kenapa kau begitu yakin?” Seringai pria bertubuh gemuk.

“Karena dia sudah berjanji padaku.” Jawabnya polos.

“Aku beri kamu kesempatan sepuluh menit untuk berpikir. Kmau mau menunggu ayahmu di sini atau pergi dari sini.” Jelas laki-laki tua itu.

Gadis kecil itu terdiam,pandangan matanya tak terarah antara bingung mencerna kalimat yang diucapkan oleh pria berpenampilan bandit di depannya. Harus dia percaya atau dianggap sebagai angin lalu. Hatinya mulai ragu, namun dia tidak bias pergi begitu saja. Ia butuh uang yang dijanjikan sang ayah untuk melanjutkan pendidikan yang begitu dia impikan. Dia tidak punya harapan selain sang ayah. Satu-satunya orang yang bisa membantu masalahnya hanyalah ayahnya seorang. Gadis itu tidak punya orang lain yang peduli padanya selain ayah yang jarang dia temui.

“Lima menit lagi, apa kamu sudah mepunyai jawaban?” Tanya pria sangar berkumis tebal.

“Aku akan menunggu ayahku!” Jawab bocah perempuan itu dengan tubuh lesu.

“Empat menit lagi, aku masih memberimu kesempatan.” Timpal sang pria sambil berjalan, kemudia duduk dengan kaki kiri terangkat menyilang bertumpu pada kaki kanan.

“Bimbang, antara ingin pergi atau bertahan. Pikirannya berkelana, tapi masih ingin percaya pada ayah yang dia sayang.

“Tiga menit lagi, kamu masih bisa berlari sejauh yang kamu mau dari tempat ini. Pintu masih terbuka lebar!” mata pria itu masih focus melihat jarum jam tanpa berkedip sedikit pun.

“Kenapa anda begitu yakin jika ayahku tidak akan datang?” Tanya gadis dengan mata sayu menahan pusing, namun pria itu tidak memberi jawaban sepatah kata pun.

“Satu menit lagi, pintu akan tertutup dan kamu tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini.” Lanjutnya setengah menit kemudian.

“Aku menunggu ayah!” Jelas pria itu sembari berjalan ke arah pintu, lalu,

Ceklek,

Pintu kamar itu pun terkunci rapat. Sang pria tua mengambil kunci dari daun pintu, lalu memasukkan ke dalam saku celana. Kemudian kembari kea rah balkon.

“Ayah pasti dating. Mungkin dia terlambat karena jalanan macet atau ada urusan mendadak.” Dengan cepat gadis itu membuat alasan saat melihat pria itu kembali mendekat ke arahnya.

Plok, plok, plok,

Suara tepukan tangan, di sambung tawa sinis sang pria berpenampilan bandit.

“Sungguh luar biasa, kau adalah anak yang sangat polos yang mempercayai ayah brengsek yang telah tega menjual anaknya kepada pria sepertiku!”

“Tidak, tidak mungkin ayah menjualku kepadamu! Aku putri kandungnya!” gadis kecil itu berteriak, air mata mulai menetes di pipinya. Ia terlalu shock untuk mencerna dan menerima kata-kata lelaki di hadapannya yang menurutnya tidak mungkin.

Plaaak,

“Bacalah! Ayahmu benar-benar menjual ginjal kirimu seharga tujuh puluh lima juta rupiah kepadaku!” Pria itu melempar sebuah amplop coklat besar berisi perjanjian jual beli ginjal sisi kiri gadis itu.

Bulir bening mengalir deras dari sudut matanya, tubuh gadis itu bergetar hebat. Hatinya terluka, tersayat begitu dalam. Menyisakan remuk redam diseluruh jiwanya yang kian sepi, kosng dan tak terarah.

Nestapa tak berujung. Dia begitu pilu, meratapi nasib tragis yang menimpanya. Ayah kandung yang begitu dia cintai sepenuh hatu, ternyata begitu tega terhadapnya.

Tidak ada lagi tempat untuk mengadu. Tiada lagi keluarga yang bisa ia jadikan tempat bernaung . Semua begitu sadis memperlakukannya.

Tubuhnya lemas. Ambruk tidak berdaya, menghantam tembok keras di sampingnya. Gadis itu meraung dengan keras. Tidak lagi memperdulikan tubuh yang basah terkena percikan air hujan yang turun dari langit, mengenai pinggiran balkon. Petir pun seolah tau, betapa nestapa hati si gadis kecil, dengan mengeluarkan kilatan-kilatan cahaya disertai gelegar keras suara yang membahana.

Dahsyat. Sedahsyat hati yang terluka. Sedahsyat ketakutan yang gadis itu rasakan.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height