CEO dan Gadis Terbuang/C21 Kecupan pertama
+ Add to Library
CEO dan Gadis Terbuang/C21 Kecupan pertama
+ Add to Library

C21 Kecupan pertama

Ketika ke empat anak manusia sedang heboh dan super semangat membicarakan barang kesukaan masing-masing, Dicka justru tengah sibuk bolak-balik dari kamar Adit ke kamar Clara, untuk mengecek keadaan ke dua kakak beradik yang masih di bawah perawatannya.

Dicka baru saja selesai memasang infus di tangan mulus Clara yang masih tertidur. Dokter itu tanpa sengaja menjatuhkan botol obat cair yang dia pegang. Ia mengedarkan pandangan matanya ke sekitar tempat tidur demi mencari botol obat yang kemungkinan tumpah karena tutupnya terbuka.

“Aah ketemu!” ujar Dicka saat melihat botol obat yang dia cari berada di samping bantal Clara sebelah kiri.

Dicka membungkukkan badannya dengan tangan kiri sebagai penyangga tubuh agar tidak jatuh menimpa Clara, pasien pribadinya yang berwajah cantik. Sedang tangan kanannya meraih botol obat agar tidak tumpah semakin banyak dan mengotori rambut maroon Clara yang tergerai bebas di atas bantal.

"Argh..."

Clara berteriak sangat keras saat ia mulai terjaga. Di mana saat itu bertepatan dengan netranya menangkap Dicka yang membungkuk dan mendekatkan wajah semakin mendekat ke arah wajahnya.

Tangan Clara spontan mendorong dokter itu menjauh, namun posisi tubuh Dicka yang tidak seimbang justru membuat lelaki itu terjatuh menimpa tubuh Clara, dan

Cup.

Bibir dokter tampan itu pun tanpa sengaja mendarat bebas, tepat di atas bibir pink milik Clara.

Clara dan Dicka, ke dua insan remaja itu pada akhirnya sama-sama membelalakkan mata tidak percaya, ketika bibir mereka saling bersentuhan. Ini adalah kecupan pertama, meski tanpa disengaja. Bibir kenyal Clara seolah menyihir Dicka, membuat sang dokter terhanyut hingga memejamkan mata, sesaat menikmati hembusan nafas yang keluar dari hidung mancung gadis berparas ayu itu.

Plaak.

Clara memukul kepala Dicka dengan keras, gadis itu merasa sangat marah karena lelaki itu telah mencuri ciuman pertamanya.

"Auwh.."

Pria itu mengaduh kesakitan sembari mengusap-usap kepalanya, dan ia pun mulai tersadar. Kemudian segera menjauhkan wajahnya dari bibir Clara.

“Kau, dasar berengsek, cabul, buaya..." Clara berteriak mengumpat dan terus memaki Dicka.

“Aku akan mengirimmu ke neraka!” Clara mengepalkan tangan bersiap memukul Dicka.

Wanita berbalut selimut itu menatap Dicka dengan tatapan membunuh, pun mengambil ancang ancang untuk bangun. Dan mendorong tubuh Dicka, dan segera duduk bersiap melancarkan aksinya menghajar pria berengsek yang sengaja mencuri bibirnya dengan paksa.

"Aaargh.."

"Aaargh..."

Dan mereka berdua sama-sama berteriak satu sama lain.

Dicka, sang dokter muda itu sangat kaget melihat tubuh bagian atas Clara yang terpampang nyata tepat di depan matanya, ternyata tubuh gadis itu sama sekali tidak tertutup oleh sehelai benang pun.

Jantungnya berdegup sangat keras, matanya melotot enggan berpindah dari keindahan bentuk lekuk ciptaan Tuhan yang begitu sempurna di matanya.

Deg deg deg,

Dada Dicka seperti berpacu menaiki roller coaster, namun sekali lagi mata Dicka sebagai kaum adam yang normal, tak bisa diajak kerja sama kali ini. Mata itu seolah mengkhianati akal sehatnya, retina sang dokter tetap fokus, tidak ingin melewatkan pemandangan indah di hadapannya.

Sedang Clara, gadis itu begitu shock luar biasa, mendapati tubuhnya yang terbuka tanpa penutup apapun. Serta terpampang jelas pada sosok pria berengsek yang bola matanya seolah hampir keluar menatap dua buah apel segar berwarna putih susu nan ranum miliknya.

Tanpa menunggu waktu, gadis manis itu segera meraih selimut yang masih menutupi separuh tubuh bagian bawahnya, dan menariknya hingga ke leher. Sampai benda bulat miliknya itu tidak lagi terekpos.

“Berengsek,” kini Clara merasa sangat marah sekaligus malu yang teramat sangat, mendapati tubuhnya telanjang di balik selimut.

“Apa yang telah kau lakukan padaku?” teriaknya memekakkan telinga Dicka, dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Clara berteriak setengah terisak, gadis itu mulai menitikkan air mata, ia mengira bahwa Dicka sudah berbuat tidak senonoh terhadapnya.

“Aa-aku, hanya ingin mengambil botol obatku yang terjatuh di samping bantalmu!” dokter itu mencoba menjelaskan keadaanya pada Clara.

“Kau pikir aku bodoh, hah?” Clara masih dengan kemarahan berapi-api.

“Sungguh, aku tidak sebiadab itu.” Dicka masih ingin memberi penjelasan.

“Lalu apa ini berengsek, kau menelanjangiku?” Clara kecewa, sedih dan air matanya menetes semakin deras membasahi wajahnya.

Dokter muda yang tengah di landa kegugupan itu, mulutnya sangat sulit mengungkapkan dan memberi penjelasan, hingga membuat Clara semakin sedih. Hatinya di selimuti kekecewaan sampai terpercik rasa benci untuk lelaki yang berdiri di hadapannya.

"Aah sial, sepertinya gadis bar-bar ini salah sangka padaku!" ucap Dicka frustasi dalam hati.

"Viona, semua ini gara-gara dia, awas saja nanti." dan mulai menyalahkan Viona terhadap keadaan yang menimpanya.

Dicka bingung bagaimana harus menjelaskan pada Clara, agar percaya bahwa dia tidak melakukan apapun, selain memasang selang infus dan menyuntikkan obat pada tabung infus yang menggantung.

“Aku bersumpah, aku tidak melakukan apapun kecuali memasang infus di tanganmu itu!” akhirnya Dicka berbicara dalam gugup memberi penjelasan pada gadis yang tengah menangis sedih.

“Kalau kau tidak melakukan apapun, lalu ini apa hah? Dasar kau pria laknat, matilah kau!” Tangisnya semakin keras.

"Dasar berengsek, bajingan, aku akan membunuhmu, jika terbukti melakukan hal tidak senonoh padaku!" sumpah serapah Clara telah dimulai.

Dengan takut-takut Dicka mendekat ke arah Clara, mencoba menenangkan dan memberi penjelasan lebih agar pemilik manik coklat itu tidak berpikir macam-macam tentang dirinya.

“Aku juga tidak tau dan aku juga tidak menyangka, kalau kau tidak memakai apapun.” lirihnya pelan sambil mengacak rambutnya frustasi.

“Viona, Viona yang membersihkan tubuhmu tadi!” jelasnya lebih keras, setelah bisa menguasai diri.

“Benarkah?” Clara sedikit tenang mendengar penjelas Dicka.

Gadis yang meringkuk di bawah selimut itu pun merasa sangat lega, ketika mendengar bahwa Viona yang membersihkan tubuhnya. Bukan dokter tampan yang selalu membuat nyalinya ciut, marah, namun terkadang bisa membuatnya sedikit mengagumi keahliannya dalam merawat pasien.

“Hmm, kau bisa bertanya sendiri padanya kalau tidak percaya!” jawab Dicka malas, menutupi kegugupan yang masih tersisa.

“Syukurlah!” Clara menarik nafas lega untuk kesekian kalinya ia merasa bersyukur, pria itu ternyata tidak berlaku senonoh terhadapnya.

“Awas saja kalau kau bohong, aku akan membunuhmu dengan ke dua tanganku, dan mengutukmu menjadi upil kecoa.” lanjut Clara mengutuk Dicka.

Dicka tidak meladeni ucapan gadis yang mengesalkan itu, dia menuju rak sepatu, lalu mengambil sepasang kaos kaki bersih yang tertata rapi di samping tempatnya berdiri sekarang. Kemudian dia menggulung kaos kaki itu menjadi dua bulatan.

Setelah itu berjalan mendekati Clara, dan menyodorkan ke dua gulungan kaos kaki tersebut ke tangan Clara.

“Ini, mungkin ke depannya kau akan lebih sering membutuhkannya!” dengan cuek Dicka menaruh kaos kaki itu ke tangan Clara.

“Hmm???” gadis itu bingung namun tetap menerima kaos kaki pemberian Dicka.

“Biar terlihat lebih ber-isii!” seringai Dicka, dengan mata mengarah ke dada Clara.

Tanpa menunggu lama, Dicka langsung berlari keluar kamar Clara. Akhirnya dia bisa bernafas lega, dan mulai mengatur degup jantungnya yang tidak setabil dari tadi. Sejak mendapat lotre dadakan dari gadis bawel yang tengah marah karena perbuatannya barusan.

“Kau,”

“Dasar dokter mesum!" Clara melemparkan gulungan kaos kaki ke arah pintu dengan kekuatan penuh.

Pipi Clara merah merona menahan malu, ia sangat kesal kembali dikerjai oleh Dicka.

"Haisst, apa benar punyaku sekecil itu?" namun sedetik kemudian Clara meraba dadanya sendiri.

"Tapi, si berengsek itu ada benarnya juga. Dibanding Viona, punyaku jauh lebih kecil."

“Aah, kenapa aku jadi ikut mikirin hal itu?” Clara memukul mukul kepalanya ringan.

"Huuft..."

Sekali lagi dia melirik ke arah bawah, dan membuka selimutnya sedikit, kemudian mengintip area dadanya.

Di pusat perbelanjaan, empat sekawan terlihat sangat asyik melihat kesana kemari untuk menemukan barang yang cocok sesuai selera mereka.

“Gimana kalau kita selesaikan belanjaan buat Adit dulu, biar kita bebas berfoya-foya selanjutnya.”Viona memberi ide pada ke tiga temannya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height