CEO dan Gadis Terbuang/C22 Debaran Dicka.
+ Add to Library
CEO dan Gadis Terbuang/C22 Debaran Dicka.
+ Add to Library

C22 Debaran Dicka.

Dicka segera berlari keluar dan menutup pintu kamar Clara dengan gerakan sangat gesit dan sedikit membantingnya, untuk menghindari kemarahan gadis itu. Dicka sengaja melakukan aksi konyol, pasalnya ia hampir tidak bisa menguasai akal sehatnya.

Pikiran Dicka, secara otomatis menjadi ngeres dan dipenuhi oleh bayangan tubuh serta kulit putih susu Clara yang begitu mulus tanpa cela.

Dicka menyandarkan badan di balik pintu kamar Clara, lalu mengusap-usap dada dengan kasar, untuk menenangkan detak jantung yang kian tidak beraturan. Tapi ternyata itu belum cukup ampuh untuk menghilangkan bayangan dua buah apel Clara yang terus bermain dalam benaknya.

Sekali lagi, Dicka menghirup nafas dalam-dalam menirukan gerakan taichi, guna mengalihkan bayangan sangat mendebarkan hatinya untuk yang pertama kali.

"Wuah, aku benar-benar bisa gila."

"Bocah tengil itu,"

"Aah, tubuhnya, aku tidak bisa melupakannya."

"Penampilan Clara, dari luar seperti anak SD, tapi kenapa bagian dalamnya terlihat sangat sempurna?"

"Ish, kenapa jantungku terus berdetak tidak karuan seperti ini?" Dicka mengoceh dalam kesendiriannya, ia tidak habis pikir dengan kejadian yang apes sekaligus bisa dikatakan keberuntungan untuknya.

"Tidak, tidak, aku tidak mungkin tertarik dengan tubuh gadis bar-bar itu." Dicka berusaha mengingkari hatinya sendiri.

Deg deg deg...

Sudah lima menit berlalu namun degup jantung pria itu masih belum juga normal. Akhirnya dia memutuskan mandi untuk yang ke dua kalinya di kamar tempat Adit tidur.

Pria itu butuh air dingin untuk mendinginkan otaknya yang panas.

Setengah jam lebih di guyur dinginnya air dari shower, akhirnya senjata primitif afrika Dicka mulai jinak. Tidak lagi berontak dan bisa di ajak kerja sama lagi.

Baru saja Dicka selesai mandi, dan mengecek Adit yang masih dalam keadaan terpejam, serta belum ada tanda-tanda sadar, terdengar suara berisik dari arah pintu utama apartemen milik Clara.

Terlihat empat sekawan memasuki ruang tamu dengan langkah gontai, dan muka lecek seperti tumpukan baju kotor.

“Ada apa dengan ekspresi kalian?” tanya Dicka heran pada ke empatnya.

“Niiih, belanjaan Adit!” Viona melempar beberapa cody bag ke arah Dicka dengan wajah kecut.

“Mana Credit Cardku?” mata Dicka menatap ke arah Leon, orang yang diberi kepercayaan memegang credit card sang dokter.

“Nich!” Leon melemparkan credit card milik Dicka kasar, dengan kondisi kartu yang sudah patah jadi dua.

“Hei, kenapa kartu kreditku bisa patah seperti ini?” Dicka menatap Leon kesal.

Tidak terima, melihat kartu miliknya rusak terbelah menjadi dua, seperti sengaja dipatahkan oleh seseorang.

“Ketabrak troly!” sinis Bara dengan wajah cuek, seolah menyimpan kekesalan yang teramat sangat pada Dicka.

“Kartu tidak berguna, cuma mentereng warnanya saja!” jawab Untung polos.

Dicka yang mendengarnya hanya cuek, seolah tidak lagi mempermasalahkan kartu kreditnya yang kini sudah rusak patah jadi dua.

“Signature Card abal-abal, nyatanya baru dipakai tiga juta untuk kebutuhan Adit saja, sudah tidak bisa dipakai apa-apa lagi!” sahut Viona menampakkan wajah kusut, karena gagal mendapatkan tas KREMES yang diidamkannya.

“Ternyata kau tidak sekaya itu, Credit cardmu benar-benar membuat kita kehilangan muka!” Bara begitu jengkel, teringat cibiran sang kasir ketika transaksinya berkali-kali decline, saat menggesek kartu kredit itu ke mesin edisi.

“Out of Limit, ternyata kamu kere!” serempak empat sekawan itu kompak menghina Dicka.

Sedang Dicka, orang yang dihina dina, hanya menampakkan wajah cool seraya tersenyum bahagia, mendengar ejekan-ejekan ke empat orang tersebut, yang terdengar seperti nyanyian belaka.

“Aku tahu, kalian memang pintar memanfaatkan kondisi dan situasi, tapi kalian lupa aku lebih jenius!” senyum seringai terlihat jelas dari kedua bibir lelaki tampan berprofesi dokter tersebut.

Lelaki itu sudah sangat mengenal masing-masing karakter ke empat anak manusia yang terkenal gila belanja itu, apalagi jika mereka bisa mendapat kesempatan langka seperti ini pasti tidak akan menyia-nyiakannya.

Dan Dicka tidak kehilangan akal, ketika ke empat orang tersebut baru saja keluar dari apartemen Clara menuju pusat perbelanjaan, dokter muda itu segera menelpon call center pihak bank terkait, dan mengajukan perubahan pembatasan pemakaian limit harian dari tak terbatas, menjadi batas pemakaian paling rendah yaitu sebesar tiga juta rupiah perhari.

Sehingga Dicka sangat tenang saat menyerahkan kartu itu pada Leon dan Bara, apalagi saat ke duanya mengajak Viona dan Untung, yang sudah pasti memiliki sejuta rencana licik untuk menghabiskan limit kartunya. Dicka tidak khawatir sama sekali. Lelaki itu justru sangat bahagia bisa mengerjai empat orang sekaligus dalam satu waktu.

Menang banyak.

Dokter berusia dua puluh empat tahun itu, masih terus menyeringai bahagia, tatkal melihat kekesalan para sahabatnya.

“Tenang, tenang, aku tahu kalian pasti lapar. Setelah bersenang-senang dan berbelanja seharian ini. Maka aku berbaik hati. Aku sudah memesankan makan untuk kalian!” ucapnya dengan tertawa santai.

“Benarkah, ternyata kau masih punya sedikit rasa kemanusiaan.” Bara yang merasa kelaparan sedikit senang. Begitu pula ketiga teman lainnya.

Ting tong,

Tak lama kemudian terdengar suara bel pintu ditekan seseorang.

“Itu pasti delivery foodnya datang!” Dicka berjalan ke arah pintu.

Ia membawa dua plastik berbeda di tangannya, satu berwarna hitam berukuran besar dan satu plastik putih berukuran lebih kecil.

Dokter ganteng itu tidak langsung memberikan bungkusan itu pada empat orang yang sudah sangat kelaparan. Ia memilih berlalu menuju dapur, kemudian mengambil dua set perlengkapan makan, barulah kembali menuju ruang tamu tempat teman-temannya berada.

“Beneran kamu mau ngambilin kita perlengkapan makan sekalian Ka?” Viona terheran, seorang Dicka mau melayani orang lain.

Namun Dicka hanya melemparkan senyum pada Viona.

“Ini menu special untuk dinner kalian!” ucapnya dengan nada penuh keikhlasan.

“Selamat menikmati!” sambungnya lagi.

Namun Dicka hanya meletakkan sebuah plastik hitam berukuran besar di atas meja ruang tamu. Namun tidak dengan plastik putih dan dua set perlengkapan makan tetap berada di tangannya.

“Apa ini?” tanya Leon, Untung, Viona dan Bara bersamaan.

“Nasi kucing, mendoan, aneka gorengan dan es teh, special angkringan pak man, untuk special dinner!” ucapnya sok perhatian.

“Iga bakar madu untuk dokter ganteng, dan satu paket makanan empat sehat lima sempurna untuk pasien dalam masa pertumbuhan!” Dicka menyeringai bahagia.

Kemudian langsung bergerak cepat menaiki tangga menuju kamar Clara setelah menyebutkan menu yang masih dia pegang di tangannya.

Lagi-lagi serangan Dicka mengenai mereka sangat telak. Dimana ulah Dicka membuat ke empat anak manusia itu semakin geram oleh keusilan beruntun Dicka.

Wuush, bugh...

Sebuah bantal berhasil mendarat di punggung Dicka hasil lemparan Viona.

Bara dan Leon berusaha mengejar dokter tengil yang berhasil membuatnya super jengkel, yang hendak masuk ke kamar Clara.

Dicka yang mengetahui akan hal itu, segera berlari masuk dan mengunci pintu dari dalam. Sedang Clara, gadis itu mengernyitkan dahinya ketika melihat tingkah aneh Dicka.

Leon dan Bara mereka berdua menendang pintu kamar Clara, untuk meluapkan perasaan kesal dalam hati mereka masing-masing. Sebelum akhirnya kembali ke ruang tamu.

“Aku pasti akan membalasmu lain kali." Bara dan Leon merutuki Dicka bersamaan.

Sedang Untung yang sudah kelaparan dan sudah terbiasa makan dengan menu seadanya sewaktu masih di kampung halamannya, mulai makan dengan lahap. Sama sekali tidak mempermasalahkan makanan yang ada di hadapannya.

Kriuk, kriuk, sluurp...

“Gurih, aah manis.” guman Untung terlihat sangat menikmati dan menyukai makanan yang tersaji di atas meja.

Ke tiga tri masketir yang masih mengeluarkan umpatan dan sumpah serapahnya untuk Dicka, spontan jadi menelan ludah melihat Untung yang sangat menikmati makanan sederhana tersebut. Apalagi ketika mendengar suara es teh yang diseruput oleh Untung terasa sangat menyegarkan tenggorokan.

“Wooi, jangan dihabisin!” seru Bara mengambil satu bungkus nasi kucing.

“Kita juga laper tau!” imbuh Viona sambil menggigit mendoan.

Sedang Leon lelaki itu hanya langsung makan tanpa mengucapkan apapun karena perutnya sudah kelaparan. Makanan yang dipesan Dicka pun akhirnya ludes tak bersisa, diserang oleh ke empat anak rewel yang tadi sempat mengumpatiya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height