+ Add to Library
+ Add to Library

C24 Lelap

Tiga hari sudah Clara berada dalam perawatan Dicka yang dia sewa sebagai dokter pribadi untuknya dan Adit. Infus pun sudah terlepas dari pergelangan tangan gadis itu, oleh dokter ganteng tersebut sejak pagi buta tadi.

Kondisi tubuh Clara, kini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Bibirnya tidak lagi membiru, wajahnya tampak lebih segar meski masih terlihat sedikit pucat. Gadis itu menghela nafas panjang, ia begitu bersyukur keadaan tubuhnya sudah kembali bugar, meski dengan catatan ia harus tetap menjaga asupan serta pola makan.

“Aah segarnya.” Clara begitu menikmati rutinitas membersihkan tubuhnya. Setelah itu mulai mengeringkan rambut dengan menggunakan hair dryer di depan meja rias.

Gadis itu merasakan kesegaran luar biasa menjalar di seluruh permukaan kulitnya yang putih susu. Setelah tiga hari penuh tidak bisa mandi dengan benar, karena infus yang terpasang pada pergelangan tangan menyulitkan dirinya untuk bergerak.

Selesai menjalankan ritual membersihkan diri dan berpakaian rapi, gadis berbulu mata lentik itupun berjalan menuruni tangga apartemennya, hendak menuju ke dapur. Ia berencana untuk memasak makan siang untuknya dan Adit.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Langkah gadis itu terhenti, ketika netranya menatap punggung lebar nan tegap milik seseorang yang sangat dia kenal akhir-akhir ini tengah berdiri di depan kompor.

“Memasak menu sehat untukmu!” sahut Dicka yang merasa bertanggung jawab atas kesembuhan total pasiennya.

“Hmm, maksudku kenapa kau memasak, bukankah aku hanya menyewamu sebagai dokter pribadi?” tanya Clara heran dengan apa yang dikerjakan oleh Dicka.

“Justru karena aku dokter pribadimu, maka aku harus selalu memperhatikan semua yang kau makan memenuhi standar gizi yang baik, sampai kau benar-benar pulih!” dalih Dicka mantap.

“Aku tidak akan membayar untuk hal diluar kegiatanmu sebagai dokter.” Clara merasa keberatan dengan nominal yang akan diminta oleh lelaki itu.

“Apa kau pura-pura lupa, sudah menandatangani syarat dan ketentuan dariku?” seringai Dicka, merasa punya senjata ampuh.

Lelaki itu mengingatkan Clara harus kembali patuh padanya, menggunakan surat perjanjian yang masih ada di tangan dokter dengan segudang talenta medisnya.

“Dasar licik!” Sebal Clara menahan jengkel.

Kemudian meninggalkan Dicka memasak seorang diri, dan melangkahkan kaki menuju ke kamar Adit. Berniat membangunkan adiknya yang belum pernah dia temui selama tiga hari ini. Karena lelaki itu terus saja melarangnya untuk ke luar kamar.

Clara membuka pintu kamar Adit, terlihat bocah sepuluh tahun itu memejamkan matanya erat dengan tangan masih terpasang infus. Di meja samping ranjang terdapat beberapa obat dalam bentuk cair dan jarum suntik yang masih baru.

“Hai adik kakak yang ganteng, bangunlah ini sudah siang!” gadis itu membuka horden kamar Adit, agar cahaya bisa masuk ke ruangan. Gadis itu berpikir Adit akan segera bangun ketika cahaya matahari menyilaukan matanya. Dia tidak tahu bahwa Adit, bocah itu belum sadarkan diri sejak jatuh di samping pemakaman ibunya.

“Adit, bangun dek ayo kita makan siang!” ajak Clara pelan, dan penuh kesabaran.

Ia duduk di samping ranjang, menoel-noel pipi Adit gemas, menggodanya dan berusaha mengganggu tidur bocah itu.

Namun setelah beberapa lama Clara mengguncang badan bocah yang masih di alam mimpinya, Adit sama sekali tidak memberikan respon apapun.

“Adit, ayolah jangan bercanda seperti ini dengan kakak!” gadis itu masih tidak menyadari apa yang terjadi pada Adit, pasalnya Dicka dan teman-temannya selalu berkata bahwa Adit baik-baik saja selama tiga hari ia tidak ke luar kamar.

"Bocah ini, kenapa tidurnya pulas sekali?" Clara sedikit heran ketika Adit masih saja memejamkan matanya lelap, bahkan saat Clara mulai mencubit-cubit kecil pipinya yang lembut.

“Adit, bangun, sudah waktunya makan siang dek!” perintahnya ulang.

"Hei, adik kakak ini rupanya pemalas sekali, ayo bangun dan mandilah!" Clara terus saja menguyel-uyel tubuh kecil adiknya.

Di balik pintu luar kamar Adit, Dicka memperhatikan kegiatan Clara yang terus saja menggoda adiknya, tanpa sadar bagaimana kondisi bocah itu sama sekali.

Huh,

Sang dokter menghembuskan nafasnya kasar bekali-kali, hatinya begitu tergelitik melihat hubungan dua orang yang baru saja saling mengenal tersebut. Namun ternyata gadis itu memulainya dengan sangat tulus. Meski mulut Clara sering kali berkata sangat pedas seperti merica bubuk. Dicka merasa sedih melihat Clara yang begitu polos membangunkan Adit tanpa tahu kondisinya.

“Adit, dia belum sadar!” Dicka berusaha memberi tahu kondisi Adit.

“Apa maksudmu?” Clara bingung mencerna ucapan sang dokter.

“Adit, belum sadar sejak pingsan tiga hari lalu.” jelas Dicka pelan.

“Tidak mungkin. Bukankah kalian bilang dia baik-baik saja?” gadis itu menutup mulutnya tidak percaya.

Clara kembali mencerna ucapan dokter yang tengah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba saja ia hanyut dalam pikirannya sendiri untuk sesaat.

Sedang Dicka, pria itu hanya mengamati Clara dalam diam. Ia merasa bersalah tidak memberitahukan keadaan Adit dari awal, karena tidak ingin penyembuhan gadis itu terhambat jika pikirannya kacau.

“Bagaimana mungkin seseorang bisa pingsan begitu lama?” ucap Clara setelah tersadar dari lamunannya, seolah enggan mempercayainya.

“Secara medis tubuh, otak dan semua organ tubuh Adit baik-baik saja ,tidak ada masalah sedikit pun. Namun anak ini mengalami trauma psikologis yang sangat besar, sehingga membentengi alam bawah sadarnya untuk bangun dan terus menerus memejamkan mata.” Dicka mulai menjelaskan dengan perlahan supaya tidak menyakiti gadis itu.

“Jika kamu ingin Adit kembali sadar, maka harus merangsang otaknya ke arah yang positif, merasa mempunyai keluarga baru yang bisa menyayanginya dengan tulus, sampai Adit membuka benteng bawah sadarnya sendiri, sehingga matanya kembali terbuka."

"Secara lahiriah anak ini tertidur, namun dia dapat mendengar, merasakan keadaan di sekitarnya dengan sangat jelas. Dia hanya enggan membuka matanya melihat dunia nyata. Keadaan ini di picu oleh kesedihan yang tertanam sangat dalam dan kuat di memori otak bawah sadarnya. Jadi kau harus berusaha memberi rangsangan yang membahagiakan, agar dia segera kembali menjadi adikmu.” imbuh Dicka panjang lebar mendefinisikan keadaan bocah sepuluh tahun yang terbaring di ranjang.

Sedang Clara, gadis itu, terus menerus menggeleng-gelengkan kepala mendengar penjelasan Dicka. Sungguh dia tidak menyangka, Adit demikian sedih tanpa melihat keberadaan dirinya yang berusaha menjadi kakak yang baik untuk bocah itu.

Berpikir mungkin kehadiran Clara tidak berpengaruh sama sekali untuk semua orang. Hal itu ternyata menggiring Clara larut dalam kekecewaan hingga membuat telinganya bagai tersambar kilatan petir, secara tiba-tiba tanpa persiapan, kembali mengajaknya masuk ke dalam jurang kesedihan.

Baru tiga hari yang lalu, gadis itu merasa memiliki keluarga baru, seorang adik yang akan dia rawat, dia sayangi dengan penuh tekad. Adik yang akan dia besarkan dengan harapan, doa dan segudang makna keluarga baru yang saling menyayangi dan melengkapi satu sama lain.

Namun kini harapannya kembali meredup, bocah lelaki berusia sepuluh tahun itu, belum bisa menerima keadaanya. Ia masih sangat terpukul kehilangan sosok ibu yang telah merawatnya dari kecil. Tanpa mereka sadari, dua anak manusia itu, kini sama-sama menahan lara dalam hatinya.

Kesedihan yang menghujam jantung mereka masing-masing. Clara yang terluka melihat adiknya dalam kesakitan, kesedihan, dan kesendirian akibat merindukan jasad sang ibu yang terkubur di tanah makam.

Sedang Adit, bocah sepuluh tahun itu, hatinya tersiksa, hingga dia memilih memejamkan mata dalam tidurnya. Karena tidak sanggup hidup dalam kepahitan dan kesendirian. Ia ingin keluarganya seperti semula, dia ketakutan menghadapi hidup yang kian melelahkan seorang diri. Bocah itu belum bisa mempercayai Clara sepenuhnya.

Baginya, ibu yang telah melahirkannya saja tega meninggalkan dia selamanya, apalagi Clara. Meski wanita itu sangat baik terhadapnya, bukan tidak mungkin suatu saat akan membuangnya dengan mudah. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Adit.

Clara mulai meneteskan air matanya deras, sembari memeluk tubuh mungil adik angkatnya, seorang bocah bernama Aditya Rahman. Memeluknya sangat erat, seolah tengah berusaha menyalurkan kehangatan, kasih sayang disela kekosongan yang saling mereka rasakan.

“Sayang, bangunlah, hiks hiks” tangis Clara pun semakin pecah.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height