CEO dan Gadis Terbuang/C25 Siapa kamu?
+ Add to Library
CEO dan Gadis Terbuang/C25 Siapa kamu?
+ Add to Library

C25 Siapa kamu?

Clara mulai meneteskan air matanya yang kini mengalir deras, membasahi pipi gadis itu. Lalu memeluk tubuh mungil seorang bocah berusia sepuluh tahun, yang bernama Aditya Rahman. Clara memeluknya sangat erat, seolah berusaha menyalurkan kasih sayang disela kekosongan hati mereka, di antara luka dan kesedihan masing-masing.

“Adikku sayang, bangunlah, hiks hiks” tangis Clara pun semakin pecah.

Perempuan cantik itu, kini kembali rapuh akan arti dan hadirnya sebuah keluarga. Dengan tangan masih saja terus memeluk tubuh adik kecilnya yang terlelap, Gadis itu, terus meratapi nasib adiknya yang seolah tak mau mendengarkan tangisannya.

“Bangunlah, kakak tidak akan membiarkanmu menahan luka dan kepahitan hidupmu dalam kesendirian lagi.” Clara terisak dan terus meyakinkan Adit untuk membuka matanya.

Dicka yang masih berdiri di samping ranjang Adit, memperhatikan Clara dengan perasaan yang tidak bisa dia artikan. Lelaki berbadan tegap itu, begitu terenyuh melihat pemandangan yang menyesakkan hati.

“Jangan memaksanya terlalu berlebihan, aku takut Adit akan semakin bingung.” Dicka mencoba menenangkan gadis yang masih tergugu itu, mengusap bahu Clara beberapa kali.

“Aku harus bagaimana? Aku mohon bangunkan Adit, aku akan membayarmu berapapun yang kamu minta!” Clara menyatukan ke dua telapak tangannya yang lembut dan membuat gerakan mengusap-usap sebagai tanda permohonannya pada dokter yang merawat Adit.

“Aku akan berusaha semampuku tanpa kau minta. Jadi ku mohon tenanglah, kamu baru saja sembuh!” Dicka khawatir akan keadaan Clara yang masih rentan.

Lelaki itu kembali menghela nafasnya sedalam yang dia bisa dan berulang kali, melihat Clara yang terus menangis sembari memeluk tubuh Adit.

Sungguh hatinya tidak tega melihat gadis yang biasanya bersikap bar-bar dan ekspresif di hadapannya, sekarang keadaanya berubah drastis menjadi sangat menyedihkan.

Dicka berjalan satu langkah lebih dekat dengan Clara, diraihnya tubuh gadis itu dan diarahkan ke dalam pelukannya. Lelaki itu mulai tidak bisa mengontrol nuraninya yang terbiasa bersikap cuek dan tidak mau tahu urusan orang lain.

Namun nyatanya, saat ini hatinya berkhianat. Dicka begitu tersentuh oleh lakon Clara, hingga membuatnya lupa akan sosok dan ciri khasnya yang berwibawa. Lelaki itu kalah melawan egonya, di hadapan gadis berusia delapan belas tahun yang bernama lengkap Clavenia Salju Aurora.

“Dia masih sangat kecil, kenapa hidup sangat tidak adil untuk anak seperti Adit?” Clara membalas pelukan dika erat, seolah lupa dirinya pernah sangat sebal dan bermusuhan dengan lelaki yang dia peluk saat ini.

“Menangislah sepuasmu siang ini, aku akan meminjamkan bahuku sepuasmu, tapi,” sang dokter menggantungkan kalimatnya, namun tangannya terus membelai rambut Clara lembut.

"Hmm?" Clara sedikit mendongak, menanti ucapan sang dokter.

“Tapi, setelah ini kamu harus kembali menjadi Clara yang kuat seperti sebelumnya, Clara yang selalu berani. Adit membutuhkan sosok kakak yang kuat, bukan sosok rapuh seperti ini.” Dicka begitu sabar dan menempatkan diri menjadi dokter sejati saat ini.

Hingga menjelang sore, Clara masih saja menangis dalam pelukan Dicka. Dan lelaki itu, terlihat seperti tidak pernah lelah meminjamkan bahunya yang bidang, pun bajunya kini sudah basah oleh air mata Clara. Sampai gadis itu lelah dan tertidur dengan sendirinya dipelukan lelaki bertubuh tegap. Gadis itu tertidur dengan mulut yang masih mengeluarkan isakan, karena menangis terlalu lama.

Dokter itu membiarkan Clara tertidur di bahu bidang miliknya, mesti tangannya sudah kesemutan sedari tadi. Nyatanya Dicka memilih menahan sakit, dari pada mengganggu Clara yang baru saja tenang.

Ia menunggu sampai gadis delapan belas tahun itu tertidur sangat pulas. Barulah Dicka mengangkat tubuh Clara dan menggendongnya menuju kamar gadis itu dengan perlahan. Dibaringkan tubuh mungil Clara dengan lembut, menyelimutinya sebatas leher dan memposisikan dengan posisi yang paling nyaman menurut lelaki itu.

"Bagaimana bisa, gadis kecil sepertimu mampu menyeretku ke dalam lakonmu, hm?"

"Terkadang kamu terlihat begitu kuat dan tak terpatahkan, namun disatu sisi kamu sungguh rapuh, hingga membuatku ingin terus memelukmu erat!"

"Siapa kamu sebenarnya, hmm?"

Dicka, bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa Clara begitu mudah membawa suasana hatinya, mengacak kepribadiannya dan mulai mencampuri setiap urusan gadis itu. Bahkan gadis yang sangat mengganggunya ini, mampu membuatnya menitikkan air mata dengan ketulusan yang ia miliki.

“Ada apa dengan hatiku?” Dicka mengusap-usap ulu hatinya yang terasa nyeri, akibat drama kehidupan seorang Clara dan bocah bernama Aditya. Kemudian tanpa sadar, lelaki itu mengecup lembut kening gadis bermata lentik yang tengah bermain dalam taman bunga tidurnya.

Subuh hari, Clara sudah terbangun dengan mata bengkak, dia juga tertidur sangat lama. Wanita itu melewatkan jam makan siang dan malamnya kemarin. Perutnya sekarang terasa sangat lapar.

Gadis itu mulai memasak di dapur, menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan Dicka yang tertidur dengan posisi tidak nyaman di sofa ruang tamu, dengan selimut seadanya.

Jika dihari biasa gadis mungil itu akan menendang Dicka, apabila mendapati orang asing tidur di apartement miliknya, namun kali ini ia lebih memilih diam dan membiarkan sosok sang dokter tidur dengan nyaman.

Selesai masak, Clara duduk di meja makan dan memakan makanan yang dia masak suap demi suap dengan wajah terlihat sedikit lesu, tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun dia butuh tenaga dan menjadi kuat untuk merawat Adit.

Setelah makan Clara pun kembali ke kamar Adit, dia buka tirai kamar, tak lupa jendelanya agar hawa sejuk pagi bisa dirasakan oleh adik semata wayangnya.

“Hai adik kakak yang kuat, saatnya mandi.” ucap Clara pada Adit.

Gadis itu membawa baskom berisi air hangat, dan sebuah handuk kecil. Dengan telaten Clara mulai membersihkan tubuh Adit, kemudian mengganti pispot Adit tanpa rasa jijik sama sekali.

“Selesai, adik kakak sudah wangi sekarang.” Clara berbicara sendiri.

Suaranya yang terus berisik untuk mengajak Adit bercerita saat membersihkan tubuh bocah itu, mengusik Dicka yang tertidur di ruang tamu, karena Clara lupa menutup pintu. Hingga dokter ganteng kembali terbangun dan menyaksikan adegan haru yang diciptakan oleh Clara di pagi buta.

“Hei, apa adik kakak ini sangat suka tidur?” cerocos Clara pada Adit mesti tidak mendapat jawaban.

“Apa adit sama sekali tidak mau menceritakan semua mimpi-mimpi Adit pada kakakmu yang cantik jelita ini?” narsisnya menahan tangis di bibir.

“Mimpi adik kakak ini sepertinya sangat indah, sampai tidak mau berbagi dengan kakak, hmm??”

“Baiklah, kakak akan mengijinkanmu tidur lagi hari ini, tapi kamu harus janji besok pagi akan bangun dan menemani kaka, Oke!” Clara mengaitkan jari kelingking miliknya dengan jari kelingking bocah sepuluh tahun yang tertidur.

Dokter itu sekali lagi tanpa sadar ikut terhanyut dan meneteskan air matanya melihat janji seorang Clara.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height