CEO dan Gadis Terbuang/C26 Remahan upil
+ Add to Library
CEO dan Gadis Terbuang/C26 Remahan upil
+ Add to Library

C26 Remahan upil

“Baiklah, kakak akan mengijinkanmu tidur lagi hari ini, tapi kamu harus janji, besok pagi harus bangun dan menemani kakak, oke!” Clara mengaitkan jari kelingking miliknya dengan jari kelingking milik Adit.

Di balik pintu, Dicka yang baru saja terbangun dari tidurnya mengamati gadis itu dalam diam. Tanpa sadar ia terhanyut dan meneteskan air mata haru bercampur sembilu yang mengusik hatinya. Laki-laki itu terenyuh melihat janji tulus seorang Clara.

"Dasar gadis bodoh, tingkahmu sangat polos, tapi juga sangat tulus!"

Pria itu mengusap air mata yang menetes dari sudut matanya, dan berjalan mendekati gadis itu.

“Bagaimana keadaanmu hari ini?” Dicka, dokter itu menanyakan kondisi Clara sebagai pasiennya, dengan suara serak khas bangun tidur.

“Seperti yang kau lihat, aku sangat sehat.” dengan lesu Clara menjawab pertanyaan Dicka.

“Syukurlah, aku pikir kau akan terus menangis bombay hari ini.” ucap Dicka dengan nada mengejek.

Laki-laki itu sengaja menggoda Clara, agar gadis remaja berambut maroon tersebut tidak hanyut dalam kesedihan yang berlarut-larut karena meratapi nasib adik angkatnya yang masih belum sadarkan diri.

“Apa maksudmu?” Clara tidak terima dengan pernyataan dokter pribadinya.

“Sepertinya ada yang lupa, kemarin siang ada seorang gadis cengeng menangis tersedu-sedu dan bersandar di bahuku serta memelukku erat sampai tertidur seperti bayi!” dengan senyum smirknya dokter itu kembali mengucapkan kalimat yang membuat pipi Clara merona.

“Bukankah kau yang menyuruhku bersandar?” timpal gadis bermata lebar itu.

Pipi Clara sudah berubah menjadi kemerahan mendengar ejekan Dicka, mengingat ketika ia memeluk erat dokter dengan perangai menyebalkan itu, dalam waktu yang cukup lama.

“Aku hanya kasihan dengan tubuh Adit, bisa bisa dia sesak nafas terus menerus tergencet tubuhmu.” cuek Dicka berhasil memancing emosi Clara meningkat dua ratus persen.

“Aku memeluknya, bukan menindih tubuh adikku!” protes Clara manyun.

“Itu terlihat sama bagiku.” Dokter itu tak mau kalah.

“Waaah kau sangat kasihan, masih muda tapi matamu sudah rabun.” Clara mendapat angin segar untuk kembali menghina sang dokter.

“Mataku sangat sehat. Atau kau sengaja berbuat seperti itu agar Aku kasihan melihatmu, sehingga terpaksa meminjamkan bahuku yang bidang ini?” Dokter itu kembali menguasai keadaan memenangkan adu mulut dengan gadis tengilnya.

Clara yang mendengar ucapan lelaki itu, kembali tersipu menahan malu. Pipinya sekarang berubah berwarna merah seperti habis memakai blush on.

“Kau terlalu percaya diri” Clara menenangkan hatinya yang dirundung malu.

“Benarkah, bukankah kau yang lebih menikmatinya?” senyum seringai terlihat jelas dari bibir Dicka.

Lagi lagi dokter itu menyerang ego Clara sangat telak dan sangat tepat. Hingga membuat pipi gadis itu semakin merah, semerah tomat.

“Dalam mimpimu!” Clara tidak bisa berkata kata lagi.

“Waah, rupanya kau sangat berharap bisa hadir dalam mimpiku ya?” Dicka mendekatkan tubuhnya merapat ke sisi kiri tubuh Clara.

Kemudian pria berstatus dokter pribadi itu pun mengarahkan tangannya, kemudian merangkul bahu Clara dengan menahan tawa melihat ekspresi sebal gadis dalam dekapannya ini.

“Kauu,” kata-kata gadis berkulit putih menggantung.

Clara mengarahkan pandangan sebal pada dokter yang merangkulnya, dengan jari telunjuk mengarah tepat di muka lelaki yang terus mengeluarkan kata kata super menjengkelkan.

“Kenapa?” Dicka meraih telunjuk Clara dalam genggamannya.

Tak lupa memberi kecupan kecil di telunjuk gadis berkulit putih susu menggunakan bibirnya. Bahkan lelaki itu mengerlingkan satu matanya nakal kepada Clara, setelah berhasil mencuri kecupan di jari telunjuk milik gadis yang begitu menggemaskan di matanya.

Mendapat serangan secara bertubi-tubi tanpa jeda dari dokter pribadinya, membuat Clara murka. Dia bersiap melakukan kuda-kuda hendak mengeluarkan tendangan maut.

Namun belum sempat dia melancarkan aksinya, Dicka dengan sigap berlari kearah kamar mandi, dan meraih handuk yang tergantung di samping pintu kamar Adit.

“Hahahaha” Dicka melepaskan tawa yang sejak tadi berusaha dia tahan.

Lelaki bertubuh tegap itu memegangi perutnya yang terasa kaku, pasalnya ia masih saja tertawa keras saat sudah berada dalam kamar mandi.

"Dasar menyebalkan."

"Lihat saja, aku akan menghajarmu sampai hancur seperti remahan upil!"

Kakak angkat Adit ini, merasa marah sekaligus malu, ketika dia sadar telah dipermainkan oleh dokter ganteng yang terkadang sangat baik dan juga menyebalkan.

Clara meraih guling yang ada di samping Adit, kemudian meninjunya berkali-kali. Matanya melotot, bibirnya terus saja mengeluarkan kutukan dan umpatan yang dia tujukan pada orang yang tengah mandi itu.

“Rasakan ini,"

Bugh, bugh, bugh..

“Aku akan menyumpahimu tersedak sikat gigi sampai mulutmu jontor!”

Bugh, bugh, bugh,

"Aku akan mencekikmu sampai kau sesak nafas."

Gadis itu terengah engah menyalurkan emosinya yang masih belum stabil, tangannya masih mengepal erat dan memukuli guling di hadapannya.

“Cla, apa yang sedang kau lakukan?” tanya Untung dan Viona bersamaan.

Ke dua orang tersebut merasa heran dengan tingkah Clara yang menaikkan tubuhnya di atas guling dan bersiap memukul guling, seolah-olah guling itu adalah musuhnya.

“Hehehehe, kalian kapan datang?” Clara kembali menahan rasa malu, saat dipergoki oleh ke dua temannya sedang bertingkah absurd.

Clara tidak mendengar suara bel pintu maupun langkah kaki ke dua temannya, hingga dia begitu kaget mendapati sahabatnya sudah berdiri di depan pintu dan menatapnya heran.

“Kita sudah memanggilmu sedari tadi, tapi tidak ada jawaban.” jawab Viona santai.

“Makanya kita langsung masuk, karena kita pikir kamu masih tidur seperti biasanya.” imbuh Untung melengkapi penjelasan Viona.

“He he he, begitu ya.” Clara menggaruk leher bagian belakangnya sendiri yang tidak terasa gatal.

“Lalu apa yang sedang kau lakukan?” Viona mengulangi pertanyaannya. Ke dua orang itu masih menatap Clara yang belum beranjak dari guling dia duduki.

“Ohhh ini, aku sedang berlatih menghajar psikopat gila.” sahut gadis berbulu mata lentik tersebut cengengesan.

“Emangnya ada psikopat gila di area apartemen ini?” Untung mengernyitkan dahinya.

Pria lugu dan paling unik di antara lima sekawan ini, tidak begitu mempercayai ucapan Clara, pasalnya apartemen yang di naungi oleh Golden Building tersebut sangat menjaga keamanan dan punya standar security tinggi.

“Ada satu.” Clara mantap mengangkat satu jari tangannya, meyakinkan ke dua temannya.

“Yang benar saja, di mana dia?” Viona bergidik ngeri.

Mahasiswi sekaligus model ternama ini, tidak bisa membayangkan bagaimana sadisnya seorang psikopat dalam menargetkan dan menyiksa para korbannya.

“Itu dia, baru saja mandi!” seringai Clara menunjuk Dicka.

Gadis itu menjawab pertanyaan sahabat dekatnya bertepatan Dicka membuka pintu kamar mandi, dengan masih memakai kaos polos tanpa lengan dan bagian bawah tubuhnya terbungkus handuk putih.

Sedang Untung dan Viona saling bertatap muka mendengar jawaban Clara, kemudian bergantian menatap Dicka dan setelahnya mereka bertiga Clara, Viona dan Untung pun tertawa terbahak bahak.

“Hmmm, kenapa kalian tertawa, ada yang lucu?” Dicka mengernyitkan dahinya bingung dengan ke tiga trio kwek kwek yang tertawa bahagia.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height