CEO dan Gadis Terbuang/C9 Pelipur lara
+ Add to Library
CEO dan Gadis Terbuang/C9 Pelipur lara
+ Add to Library

C9 Pelipur lara

"Waah, dia sangat menakutkan!" Clara berguman sambil menggeleng-gelengkan kepala, saat dia berhasil masuk ke dalam apartemennya.

"Hiis, kakiku seperti mau copot rasanya." imbuh Clara setelah meneguk air dingin.

Kemudian dia duduk menyelonjorkan kaki sembari memijitnya pelan.

Sementara kedua sahabatnya, Viona dan Leon, masih belum paham dengan situasi yang di alami Clara, hanya menatapnya dengan ekspresi bingung.

Leon yang melihat Clara menyelonjorkan kaki sambil terus memijat kakinya sendiri merasa tidak tega. Berjalan menuju Clara, kemudian mengangkat ke dua kaki Clara di atas pangkuannya. Lalu membantu memijat lembut kaki gadis berambut maroon. Clara yang sudah terbiasa mendapat perlakuan manis dari sahabat-sahabatnya merasa sangat senang.

"Leon, kau yang terbaik." ujarnya dengan mengangkat salah satu jempol tangan ke atas. Leon hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan Clara.

"Ciiih, kalian terlihat seperti pasangan yang romantis." Viona mengejek keduanya. Sedang Clara hanya nyengir mendengar ucapan Viona.

Setelah itu suasana hening saat mereka bertiga konsen dengan kegiatan masing-masing. Viona membolak balik majalah fashion kesukaannya. Leon terus membantu memijat kaki Clara dengan sabar. Sedang Clara, nyaman menikmati pijatan hingga merasa sedikit terkantuk. Belum sampai tertidur,

"Ting tong," terdengar suara bel pintu apartemennya.

Viona bergegas membuka pintu, terdengar suara berisik laki-laki yang akrab di telinga mereka. Siapa lagi kalau bukan Bara dan Untung. Mereka berlima memang terbiasa ngumpul di apartemen Clara saat hari libur.

"Ciih pagi pagi kalian sudah main pijat-pijatan, bikin sakit mata saja!" celetuk Bara sinis melihat dua orang di sofa.

"Adik kecil, ternyata kau suka main pijit-pijitan ya." tak mau ketinggalan, Untung ikut berkomentar.

Leon hanya menatap Bara dan Untung tanpa berminat menjawab ejekan keduanya.

"Iya benar, aku sangat suka dipijit. Terutama jika terapisnya ganteng seperti Leon." gadis mungil itu tertawa santai, menimpali ejekan temannya.

Lalu tiba-tiba mengangkat kedua kakinya dari paha Leon, dan langsung duduk sempurna,

"Waduw sepedaku!" Teriak Clara sambil menepuk jidat dengan salah satu tangan, teringat sepeda kesayangannya masih tertinggal di taman.

"Leon, antarkan aku ke taman kota!" imbuhnya kemudian.

"Biar aku antar." potong Bara.

"Tidak perlu, aku suka pria bermata hazel hari ini." jawab Clara yang memang sudah terlanjur mengajak Leon.

"Awasi dia, jangan sampai bunuh diri dan meminum seember jus cabe." seru Leon menertawakan Bara yang bersungut mendengar penolakan Clara, sambil menutup pintu.

"Tenang, aku sudah menyimpan 911 sebagai kode darurat di ponselku!" timpal Untung sambil tertawa.

"Aku akan menambah sesendok obat nyamuk dalam minumannya jika dia menangis." Viona tak mau kalah.

"Njirrrr, kecebong got, mulut kalian demen banget ya nyiksa gue!" Bara sebal mendengar ejekan teman temannya.

Sementara di taman kota, dokter ganteng yang masih bersama Adit, tersenyum menyeringai melihat sepeda Clara yang tertinggal. Dia membawa sepeda itu dan diparkir di area parkir karyawan Golden Hospital yang terletak di lantai basement. Area yang hanya bisa di akses oleh para karyawan Golden Hospital.

Di sisi lain, Clara yang sudah berada di taman kota, kebingungan mencari sepedanya. Sudah beberapa kali dia memutari taman kota dengan mobil yang dikendarai oleh Leon. Namun mereka berdua tetap tidak melihat sepeda milik Clara.

Akhirnya Leon menepikan mobilnya. Mereka berdua memutuskan untuk turun, mencari sepeda butut Clara ke area pejalan kaki yang tidak bisa dijangkau menggunakan mobil. Sepuluh menit mereka berpencar tetap tidak bisa menemukannya, akhirnya Leon dan Clara berjalan menuju warung tenda mang Jayus.

"Bang Jayus, lihat sepeda Clara nggak?" Tanyanya pada bang Jayus.

"Bukannya tadi neng Clara bawa ke sana ya neng?" Bang Jayus malah bertanya balik, serta tangan menunjuk ke arah Clara bertemu dengan Adit.

"Mbak, lihat sepeda warna biru gak yang tadi saya parkir di sini?" tanya Clara pada seorang wanita yang duduk diatas trotoar.

"Tadi kayaknya dibawa sama mas mas, saya pikir punya dia, jadi saya gak memperhatikan di bawa ke arah mana mbak!" Jawab wanita berkacamata dan berambut keriting tersebut.

"Yaah, ilang dech!" Guman Clara terduduk lemas.

Di dalam mobil perjalanan pulang ke apartemen, Clara hanya duduk diam menyandarkan kepalanya, dengan mata terus menatap lurus ke depan. Sesekali Leon melirik gadis yang terlihat sangat sedih telah kehilangan sepeda kesayangannya.

"Apa kamu begitu menyukai sepeda Cla?" Leon memecah keheningan.

"Hmm, aku sangat menyukai sepedaku!" lirih gadis itu lesu.

Sesampainya di apartemen sederhana miliknya, Clara masih murung. Ia berjalan melewati ketiga temannya yang duduk di sofa, yang tengah asik memakan kentang goreng.

Di tengah tangga Clara berhenti sejenak lalu berkata:

"Aku akan mandi dan tidur setelahnya, hari ini aku sangat lelah. Kalian pergilah nonton tanpa aku!"

Viona, Bara dan Untung menatap Leon bersamaan setelah mendengar penuturan Clara.

"Sepedanya hilang." Leon memberi ke tiganya penjelasan.

Di kamar, Clara enggan untuk mandi, hanya berguling-guling malas di atas kasur. Dia begitu sedih telah kehilangan sepeda biru kesayangannya. Baginya sepeda itu sangat berharga. Sepeda itu dia beli setelah mengumpulkan uang, hasil kerjanya sebagai kuli angkut di pasar selama berbulan-bulan. Sepeda itu selalu menemani Clara kemanapun, saat ia masih terlunta di jalanan dulu. Sepeda itu adalah bukti, bahwa ia pernah bekerja sangat keras untuk bisa sampai ke titik di mana ia berada sekarang.

Baginya sepeda itu lebih berharga dibanding nilai jualnya yang tidak seberapa. Bahkan lebih berharga dibanding puluhan juta, kenangan itu tidak akan pernah mampu ia beli. Namun kini sepeda itu telah hilang karena kebodohannya. Clara terus beguling malas di atas tempat tidur, sampai matanya terasa mengantuk dan tertidur pulas.

Beberapa jam kemudian, Clara terbangun karena tubuhnya yang terasa lengket belum mandi seharian. Ia menggeliatkan badannya malas, mengucek matanya pelan, untuk membantu meringankan matanya yang masih terasa lengket sehabis bangun tidur.

Bergegas membersihkan diri di dalam kamar mandi. Selesai mandi dan berganti pakaian, ia menuju dapur untuk mengisi perutnya yang terasa sangat lapar. Diliriknya jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Ke empat sahabatnya juga sudah tidak terlihat di ruang tamu, mereka sudah pulang ke rumah masing-masing.

Clara mengambil makanan dan kemudian memakan dengan lahap sampai piringnya kosong, kemudian menenggak segelas air putih setelahnya.

"Ceklek," Terdengar suara pintu terbuka.

"Cla, lihatlah, aku membelikanmu sepeda baru." teriak Viona yang memang memegang kunci apartemen, dengan menyeret sepeda warna pink.

"Kenapa kau membelikan aku sepeda?" Tanya Clara yang berdiri di depan pintu heran.

Belum sempat Viona menjawab,

"Hai adik kecil, aku membawa sepeda lipat yang jauh lebih keren dari punyamu yang hilang!" seru Untung memikul box berukuran besar, dari lorong apartemen saat melihat Clara di depan pintu.

"Kakak, kau juga ikutan beli sepeda untukku?" Clara mengernyit semakin heran.

Di belakang Untung terlihat juga Bara dan Leon datang bersamaan, juga menuntun sepeda di tangan mereka masing-masing. Bara menuntun sepeda berwarna kuning yang terlihat sangat mahal. Sedang Leon menuntun sepeda warna biru, dengan desain yang sangat mirip seperti milik Clara yang hilang. Namun sepeda yang dibawa Leon terlihat lebih kokoh dan mahal dari segi kualitasnya. Clara semakin heran melihat ke empat sahabatnya yang begitu kompak membeli sepeda untuknya.

"Wuah sepertinya aku harus membuka bisnis toko sepeda mulai hari ini." ucap Clara melihat empat sepeda baru berjajar di sudut ruang tamu.

"Dasar, tidak tau terima kasih." Viona berdecak sebal, mendengar penuturan Clara.

"Awas saja, jika ku berani menjual sepeda pemberianku adik kecil!" ancam Untung.

"Sayangku, kau harus memakai sepeda dariku, ini sangat nyaman dan juga mahal" seloroh Bara membanggakan sepeda pemberian darinya.

"Tidak, tidak, kau jual saja ketiga sepeda itu. Tapi jangan yang ini, Aku mendesain khusus seperti punyamu!" Leon tak mau kalah.

***

Aku hanya bisa tersenyum mendengar kicauan empat sahabatku. Aku menggigit kecil bibir bawahku, sembari menahan air mata yang sudah menggenang di sudut kelopak mataku.

Sumpah, aku terharu dengan semua perlakuan mereka, ke empat sahabatku ini.

Pagi tadi, aku kehilangan sepeda kesayanganku, harta kenangan yang paling berharga untukku. Yang memang membuatku sangat sedih. Tapi sore ini, kesedihanku tergantikan oleh sebuah perasaan baru, yang terasa asing serta tak bisa aku ungkapkan, namun terasa hangat. Perasaan hangat yang pelan namun pasti mengalir dalam diriku. Rasa sepi yang memelukku selama ini, sedikit terkikis oleh mereka.

Ada rasa bersyukur dan bahagia memiliki mereka, empat sahabat terbaik di sisiku. Sahabat yang dua tahun ini selalu ada untukku. Sahabat yang menerimaku apa adanya, tulus tanpa sebuah tendensi di dalamnya. Sahabat yang bisa membuatku merasa bebas menjadi diri sendiri. Sahabat yang tidak pernah menanyakan dari mana asal usulku, kenapa aku berbeda dari mereka.

Mereka yang kadang sangat konyol dan menyebalkan serta terlihat arogan satu sama lain. Tapi mereka juga yang selalu menjadi pelipurku, menjadikan dirinya tameng, ketika ada orang yang mencoba menusukku. Melindungiku serta menjadi garda depan ketika ada yang menghinaku di kampus.

Sungguh kalian adalah sahabat yang luar biasa bagiku.

***

Kemudian Clara melangkah mendekati ke empat sahabatnya.

"Terima kasih, kalian sangat perhatian. Padahal aku sudah mengiklaskanya. Kalian adalah keluargaku, yang sangat berharga saat ini." Clara mengucapkan terima kasih sambil memeluk ke empat sahabatnya secara bergantian.

Ia terisak pelan, air matanya menetes membasahi pipinya yang putih susu. Clara tidak menyangka dengan perlakuan ke empat temannya. Sepeda itu hilang, tergantikan oleh kasih sayang tulus dan besar dari sahabat yang begitu menyayanginya.

"Lihatlah, gadis kecil ini sangat cengeng, dia menangis setelah dapat empat sepeda baru!" ucap Viona sambil mengelus rambut Clara sayang.

Keesokan harinya, sepulang kuliah Clara berjalan kaki santai menuju kios toko buah yang berjajar di pinggir jalan. Ia memilih beberapa jenis buah yang terlihat segar.

"Mas bisa minta tolong dibungkus dan tata buah ini di keranjang, yang cantik ya?" pinta Clara pada penjual buah.

Setelahnya gadis itu berjalan lurus, matanya melihat jalan yang mengarah ke Rumah sakit.

"Ibunya adit sudah sembuh belum ya?" Tanya gadis itu pada dirinya sendiri.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height