+ Add to Library
+ Add to Library

C2 Smiley

Dua detik kemudian, Gabriella keluar dengan tampang tanpa dosa. Sudut bibirnya sampai berkedut karena menahan tawa. “Ada apa, Tuan?” tanyanya sambil menaikkan alis.

“Air! Berikan saya air!” pinta pria yang masih kewalahan dengan sensasi terbakar di dalam mulutnya.

“Air? Bukankah saya sudah menyediakan segelas air?” timpal gadis yang hendak berjalan mengambilkan gelas.

Belum sempat Gabriella melangkah, tangannya sudah lebih dulu dicengkeram oleh sang CEO. “Berhenti mempermainkan diriku! Sekarang juga, cepat berikan saya air murni! Bukan air garam!”

Tanpa terduga, gadis bertampang lugu itu mulai tertawa. Ketika ia berhenti, ketegangan langsung melapisi wajahnya.

“Maaf, Tuan, tapi hanya itu yang bisa saya sajikan untuk Anda. Kalau Tuan ingin meminum air segar, sebaiknya Anda cepat pergi dari rumah ini dan belilah air di warung terdekat. Ck, andai saja warung di ujung gang itu masih ada, Anda dapat membeli air minum di sana. Sayang sekali, warung itu sudah menjadi puing-puing sekarang.”

Max tidak dapat lagi menahan marah. Napasnya telah bergemuruh dan tangannya ingin sekali mencengkeram kerah baju gadis di hadapannya. Ia belum pernah direndahkan seperti itu.

“Jadi, Anda tidak mau memberikan saya air?” tanyanya dengan nada rendah dan tertekan. Mata tajamnya sesekali melirik ke arah bibir sang gadis yang melukiskan penghinaan.

Gabriella menggeleng tanpa keraguan.

“Apakah Anda menderita? Seperti itulah rasanya saya menyaksikan tempat ini diratakan dan malangnya, saya tidak bisa mencari air seperti Anda.”

Helaan napas kesal lolos dari mulut Max. “Jadi, Anda ini orang yang pendendam? Baiklah, saya mengerti sekarang. Kita harus membalas perlakuan orang lain terhadap kita,” angguk pria itu dengan mata membara.

“Syukurlah kalau Anda paham. Sekarang, tunggu apa lagi? Bukankah Anda harus segera mencari air?”

Max menggeleng cepat dan mendenguskan tawa. “Apakah Anda tidak sadar? Saya sudah menemukan sumber air terdekat di sini.”

Mata Gabriella membulat. “Di sini? Di mana?” Gadis itu celingak-celinguk memeriksa kondisi sekitar. Seingatnya, ia telah menyimpan semua persediaan air minum di dapur.

“Di sini.” Sang CEO mengangkat dagu Gabriella agar dirinya bisa mengisap saliva dari sang wanita.

Napas Gabriella seketika tertahan. Pelupuknya bergeming sementara bola matanya bergetar. Sekujur tubuhnya tidak mampu digerakkan. Selama beberapa detik, gadis itu membiarkan lidah sang pria menguasai mulutnya. Begitu kesadaran kembali, barulah tangannya mendesak dada Max menjauh dan tak segan menampar laki-laki itu.

“Kau gila!” umpat Gabriella sembari mengelap bibir yang terasa kotor. “Beraninya kau menciumku!”

“Kenapa? Bukankah Anda yang meminta saya mencari sumber air terdekat?” timpal Max sambil mengangkat pundak dan tangan. Mulutnya yang sedikit menganga masih berdenyut-denyut karena rasa pedas.

“Menjijikkan! Aku bilang air, bukan kesempatan.” Sang gadis meringis dan melangkah menuju dapur.

Setelah pintu terbuka oleh anak kunci dari saku celananya, Gabriella mengambil segelas air lalu menenggaknya. Akan tetapi, hingga tetes terakhir pun, rasa terbakar masih bersisa di lidahnya.

“Sekarang Anda bisa merasakan penderitaan dari kopi dan air garam yang Anda buat sendiri.”

Mata sang gadis langsung tergerak mengikuti sumber suara. “Kenapa kau masih di sini? Bukankah aku sudah menyuruhmu keluar?”

“Urusan kita masih belum selesai, Nona. Lagipula, Anda masih belum memberi saya air.” Max melirik ke arah gelas di tangan sang gadis lalu beralih ke galon air.

Mata Gabriella berkedip-kedip tak percaya. “Kau masih berani meminta dua hal itu kepadaku? Setelah apa yang kau lakukan padaku?”

“Bukankah saya sudah membayarnya?” ucap sang CEO dengan santai. Lawan bicaranya sampai tersentak oleh kebingungan.

“Saya sudah membayarnya dengan ini. Tamparan Anda sudah cukup kuat untuk membuat kita impas.” Telunjuknya mengarah ke cap lima jari di pipi.

“Tunggu dulu! Apakah Anda ini benar-benar karyawan di Quebracha Company? Orang yang tidak bermoral dan berotak dangkal seperti Anda mustahil bisa diterima bekerja di perusahaan sebesar itu.”

Desis di mulut sang CEO sontak berubah menjadi tawa hambar.

“Apa itu barusan? Anda mengatakan saya tidak bermoral dan berotak dangkal?”

“Ya! Kalau kau memiliki moral dan otak, tidak mungkin kau masuk ke rumah orang, menimbulkan keributan, lalu mencium gadis yang bahkan belum kau kenal.” Mata sang gadis mulai mengobarkan kemarahan.

“Maaf, Nona. Sepertinya Andalah yang berotak dangkal. Saya datang ke sini baik-baik, tapi Anda malah memancing keributan.”

Gabriella kini menggeleng-geleng tak habis pikir. “Susah sekali bicara dengan orang berotak udang seperti ini.”

“Benarkah? Bukankah Anda yang berotak udang? Mana ada orang cerdas memasukkan sebotol bubuk cabai ke dalam kopi?” Sorot mata Max tertuju pada wadah kecil yang sudah kosong dengan segel plastik masih berantakan di sampingnya.

Alih-alih merasa bersalah, Gabriella malah mendengus dan melipat tangan di depan dada. “Ck, seharusnya saya memasukkan dua botol ke dalam kopi tadi.”

Tiba-tiba, sang CEO melangkah cepat dan mendesak gadis itu hingga terpojok ke lemari dapur. Dengan mata yang membara, ia memangkas jarak pandang di antara mereka. Gabriella refleks menutup mulut dengan kedua tangan, takut jika pria itu kembali nekat menciumnya.

“Sepertinya, Anda ini wanita yang kurang berhati-hati, ya? Di rumah terpencil dan sepi ini, Anda berani menantang seorang laki-laki,” bisik Max dengan lengkung bibir misterius. Perubahan sikapnya itu sukses menundukkan kepala sang gadis. Namun, mata bulat Gabriella tetap mengintip.

“Apa yang mau kau lakukan? Jangan macam-macam!”

Max pun menyeringai dan memagari gadis itu dengan kedua tangannya. “Saya hanya meminta dua hal. Tanda tangan Anda di kontrak itu dan air. Anda tidak diam-diam berharap saya akan mencium Anda lagi, kan?” ucap pria itu mengintimidasi.

Belum sempat Gabriella memikirkan jalan keluar, tangan sang pria sudah lebih dulu menyentuh pinggangnya. Mata bulat gadis itu sontak memancarkan ketakutan. Dengan satu gerakan, ia mendesak gelas dalam jangkauannya ke dada sang CEO.

“Ini gelas favoritku. Jangan kau rusak!” ucapnya dengan suara tercekik.

Senyum Max perlahan kembali terbit. “Terima kasih.” Ia pun mengambil air dan minum sepuasnya.

Setelah Gabriella terbirit-birit keluar dari dapur, barulah pria itu leluasa mengamati dapur yang minimalis.

“Apakah dia memang tinggal sendiri?” batin Max ketika melihat hanya ada satu set peralatan makan di rak piring. Sedetik kemudian, ia memperhatikan gelas berbentuk beruang kutub di tangannya.

“Pantas saja ini gelas favorit,” cibirnya sembari meletakkan satu-satunya gelas yang terlihat itu di atas rak.

“Ini kontrak yang kau mau. Sekarang pergilah!” usir Gabriella setelah mendesak map ke dada sang pria.

Alih-alih mengangkat kaki, Max malah membuka map. Begitu melihat apa yang telah dilukis oleh si tuan rumah, senyum jengkel langsung tersungging di wajahnya.

“Anda benar-benar menganggap saya orang bodoh?” ujar sang CEO dengan penuh penekanan. Tidak ada lagi kesabaran yang tersisa dalam dirinya. “Anda pikir, saya percaya bahwa ini tanda tangan Anda?”

Dua bulatan kecil yang menyerupai mata dengan satu garis lengkung yang mirip senyuman kini dihadapkan ke depan wajah Gabriella.

“Ya, memang itulah tanda tanganku. Emotikon smiley.”

Darah Max seketika mendidih dan mengepul di kepalanya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height