+ Add to Library
+ Add to Library

C5 Jebakan

“Dasar tidak punya hati! Bukannya meminta maaf, kau malah menghina rumahku? Menghina kenanganku?”

Gabriella menjambak rambut Max dengan brutal. Meski meringis, pria itu masih bisa berdiri tegak. Tangannya pun tak ragu untuk mencengkeram pergelangan sang gadis dan membekukan serangan.

“Untuk apa saya meminta maaf? Saya tidak bersalah.“

Tawa kesal Gabriella pun terdengar.

“Kau tidak bersalah? Hah? Kau kira aku percaya? Bukankah kau sendiri yang pernah memberiku ancaman? Apa kau lupa?” sanggah sang gadis seraya menyentakkan tangan mencoba lepas dari genggaman tangan yang lebih besar.

“Saya memang pernah mengancam, tapi itu hanya ucapan belaka. Bukan saya yang menghancurkan rumah Anda.”

Gabriella mulai melompat-lompat menambah kekuatan pada tarikan.

“Lepaskan! Aku tidak mau disentuh oleh pembual kejam sepertimu!”

“Pembual? Kau menuduhku pembual?”

Max memutar tubuh Gabriella dan menguncinya dari belakang. Dengan posisi tangan bersilang di depan dada, gadis itu tidak bisa melakukan apa-apa selain melonjak-lonjakkan kaki. Meski kepalanya beberapa kali membentur dagu sang pria dan rasa pusing semakin membuyarkan pandangan, ia tetap meronta semampunya.

“Lepaskan!”

“Cukup, Nona!” bentak Max mulai kewalahan dengan kegilaan tamunya.

“Lepaskan ...!”

Sang CEO tidak bisa lagi bersabar lebih lama. Dengan kekuatannya yang jauh lebih besar, ia menyeret sang gadis ke ranjang, lalu menindihnya seperti polisi membekuk penjahat.

“Akh!” erang Gabriella ketika letupan besar menyerang kepalanya. Bukan karena benturan dengan kasur, tetapi karena sesuatu yang mengaduk-ngaduk lambungnya hingga menimbulkan rasa mual.

“Hueek ... hueek ....”

Mata Max spontan terbelalak. “Anda mau muntah?”

“Hueek ...”

“Jangan di sini!”

Max membawa tamunya ke kamar mandi. Ia bergidik saat melihat Gabriella menyemburkan muntahan di kloset.

“Untung aku memberinya dua gelas,” ucap Max dalam hati.

Usai mencuci mulut di wastafel, Gabriella tertunduk dan mengatur napas sejenak. Setelah itu, ia berbalik menampakkan bibir pucat dan pipi merahnya kepada sang CEO. Tidak ada kata-kata lagi yang gadis itu lontarkan.

“Anda mau menyerang saya lagi?” tantang Max ketika Gabriella berjalan sempoyongan ke arahnya.

Ajaibnya, sang gadis menggeleng pelan dan berjalan melewatinya.

“Hm? Apakah ramuan kejujuran sudah bereaksi?”

Max mengejar Gabriella dan mencengkeram lengannya. “Hei, apa yang sebenarnya Anda inginkan?”

Dengan pelupuk hanya terbuka setengah, sang gadis memandang ke arah Max.

“Rumah.”

“Oh, Anda ingin rumah yang besar atau yang mewah? Tenang saja. Saya akan berikan, tapi, katakan ... siapa yang menyuruh Anda menentang proyek Quebracha?”

Gabriella menggeleng lemah dan mengulangi kata yang sama, “Rumah.”

Kening Max mengernyit tak senang. “Apa maksudnya?”

“Rumah.”

Sedetik kemudian, kaki Gabriella kehilangan fungsinya. Gadis itu langsung tumbang mengikuti gravitasi. Jika sang CEO tidak sigap menangkapnya, ia pasti sudah tersungkur di lantai.

“Ah, aku seharusnya memberi gadis ini satu gelas,” sesal Max seraya menggendong tamunya lalu membaringkan gadis itu ke ranjang.

Sambil berdiri dan menjepit dagu, sang pria mengamati penampilan Gabriella. Rambut yang berantakan, bibir yang pucat, dan gaun yang kotor. Gadis itu benar-benar kacau.

“Apa tujuan gadis ini sebenarnya?” gumam Max seraya memutar pikiran dari sudut pandang lain.

“Apa mungkin ... gadis ini memang polos?”

Sedetik kemudian, Max menggeleng mengabaikan ucapannya.

“Gadis polos juga bisa dimanfaatkan. Perusahaan Enji ataupun Colorwood bisa saja mengirimnya untuk mengacaukan proyek. Mereka pasti sudah tahu bahwa gadis ini memang gila.”

Sang CEO pun mendekat dan mengamati setiap detail pada wajah Gabriella.

“Ternyata kalau sedang tidur seperti ini, dia cantik juga.” Laki-laki itu tidak sadar jika dirinya menelan ludah.

Tiba-tiba, ponsel di atas meja berbunyi. Max pun meraihnya dan memeriksa notifikasi di layar.

“Dari nomor tak dikenal?” Bola matanya berputar memeriksa ke segala arah. “Apakah si peneror itu lagi?”

Tanpa membuang waktu, sang CEO membaca pesan.

“Biar kutebak! Anda pasti memberikan ramuan kejujuran kepada wanita itu dan sekarang, dia tertidur lelap.”

Tangan Max kembali terkepal erat. Dengan napas menderu, ia menatap wajah polos Gabriella.

“Ternyata, dia memang orang suruhan? Cih ....”

Ponsel di tangan Max lagi-lagi berdenting.

“Kalau begitu, selamat bersenang-senang! Tapi, berhati-hatilah! Jangan sampai gadis itu hamil. Bukan hanya nama baik Evans yang akan jatuh, tetapi juga Anda dari jabatan CEO.”

Max mendengus berang.

“Apa maksudnya dengan selamat bersenang-senang? Apakah orang ini berpikir kalau aku pria berhidung belang?”

Setelah meletakkan ponsel di atas meja, sang CEO beralih menuju tas yang tergeletak di atas lantai.

“Kenapa malam ini panas sekali? Padahal aku baru saja selesai mandi,” gumam Max sembari menuangkan isi tas Gabriella.

Buku catatan, dompet, ponsel, dan kertas notasi musik menjadi empat hal yang menarik perhatian sang CEO.

“Ternyata dia seorang pemusik? Atau hanya berpura-pura sebagai seorang pemusik?”

Max menyingkirkan kertas yang penuh garis dan bulatan hitam itu ke atas tas.

“Apa ini? Tulisannya jelek sekali,” komentar pria itu saat membuka buku catatan yang bukan miliknya.

“Perempuan itu harus berlatih menulis. Atau mungkin ... bukan dia yang menulis buku ini?”

Max tanpa ragu melempar buku itu ke tumpukan barang-barang yang tidak berguna. Selang satu kedipan, tangannya sudah membuka dompet sang gadis.

“Sepertinya, dia memang sedang membutuhkan uang,” gumam Max ketika mendapati lembaran yang tak seberapa. “Bahkan, kartu debitnya saja hanya ada satu.”

Sedetik kemudian, jemari pria itu sudah memegang kartu identitas Gabriella.

“Jadi, bulan depan dia berulang tahun? Cih, ternyata dia tidak semuda kelihatannya. Tampang gadis ini memang menipu.”

Usai mengembalikan kartu, Max menutup dompet dan beralih ke ponsel.

“Password?”

Setelah menyunggingkan senyum miring, Max kembali menghampiri Gabriella dan menempelkan ibu jari sang gadis pada sensor.

“Dasar bodoh!” gumam pria itu puas. Ia pun duduk di tepi ranjang dan mulai memeriksa setiap file dalam ponsel itu.

Pesan-pesan, log telepon, nomor kontak, bahkan hingga ke galeri foto dan video. Matanya terbelalak ketika melihat jumlah video yang terekam.

“Apakah ini laporan harian?” terka pria yang masih saja curiga kepada Gabriella. Tanpa ragu, dibukanya video yang terbaru. Senyum manis sang gadis langsung menyambut.

“Halo, Ma. Hari ini, aku akan mengikuti kompetisi. Baru ronde pertama, tapi aku tetap harus tampil cantik, kan?”

Gadis itu berdiri dan melangkah mundur hingga seluruh badannya muat dalam layar.

“Aku ingin sekali mengenakan gaun ini. Tapi ..., sepertinya ini terlalu terbuka. Di luar sedang banyak pekerja pria. Aku takut jika pakaianku ini memancing hal yang tidak mengenakkan.”

Gabriella mengambil gaun lain dari atas ranjang.

“Lalu, pilihan kedua adalah gaun panjang ini. Terlihat lebih sopan, kan? Apakah Mama mau melihatku memakainya?”

Sedetik kemudian, gadis itu berbalik dan mulai melucuti gaun di tubuhnya. Darah Max seketika berdesir menyaksikan hal yang tidak ia duga. Bahkan hingga Gabriella selesai mengenakan gaun kedua, mata sang pria masih membulat terpaku pada layar.

“Bagaimana, Ma? Yang satu ini lebih elegan, kan?”

Gabriella berputar di depan kamera. Setelah memeriksa penampilannya dari beberapa arah, gadis itu kembali mendekat.

“Doakan aku, Ma. Semoga aku bisa memenangkan kompetisi ini. Aku tidak akan mengecewakan Mama.”

Senyum manis Gabriella menjadi penutup video.

Sambil menelan ludah, Max menoleh ke arah gadis yang tertidur di sampingnya. Tanpa banyak kata, ia meletakkan ponsel ke atas meja dan mulai memperhatikan tubuh Gabriella dengan penuh minat.

Ketika kesadarannya kembali, Max mendapati tangannya sedang mengelus area sensitif sang gadis. Secepat kilat, ia menarik tangannya dan menyingkir dari ranjang.

“Astaga .... Apa yang kupikirkan?”

Sambil berjalan mondar-mandir, Max mengipasi kepalanya dan mengatur napas. Bukannya reda, hasrat dalam diri pria itu malah semakin membuncah. Tubuhnya mulai berdenyut-denyut tak nyaman.

“Apa yang salah dengan diriku?”

Tiba-tiba, ponsel Max kembali memanggil. Dalam sekejap, ia membaca pesan yang baru masuk dari si peneror.

“Itu adalah obat perangsang paling ampuh. Jangan coba-coba melawan! Jantungmu tidak akan kuat.”

Report
Share
Comments
|
New chapter is coming soon
+ Add to Library

Write a Review

Write a Review
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height