+ Add to Library
+ Add to Library

C8 Dikerjai

Ketika dia mulai tenggelam dalam keasyikannya menikmati popcorn dan cerita film di depannya, tiba-tiba terdengar suara di sebelahnya berkata, “Mas, popcorn-ku udah abis. Tapi aku masih lapar….”

“Oh, ya makan popcorn-ku aja. Ini,” sahut laki-laki itu seraya menyodorkan kotak popcorn-nya.

“Aku kan tadi udah bilang nggak mau makan popcorn campur asin dan manis. Kamu ini gimana sih, Mas?”

“Hush, jangan keras-keras, Yang. Nggak enak sama penonton lainnya. Terus kamu mau makan apa lagi?”

“Kentang goreng.”

“Ok. Lalu apa lagi? Biar sekalian kubelikan.”

“Itu aja.”

“Baiklah. Tunggu, ya.”

Suami takut istri tersebut lagi-lagi turun ke bawah untuk membelikan pesanan istrinya yang tak habis-habisnya. Aku benar-benar dikerjai, pikirnya jengkel. Tapi kalau aku nggak menurutinya, nanti There malah akan berteriak-teriak histeris seperti di rumah. Malah bikin malu saja, keluh Jonathan dalam hati.

Sesampainya di kedai, dia langsung memesan kentang goreng. Sembari menunggu pesanannya disiapkan, dia bertanya ada camilan apa lagi yang ready. “Ada sandwich, Pak,” sahut pelayan kedai tersebut. Daripada nanti aku disuruh beli camilan lagi, apa sebaiknya kubeli saja sepotong sandwich, ya? pikirnya cerdik. “Ya sudah, Mas. Saya beli satu sandwich juga, ya,” katanya memutuskan.

Sang pelayan mengangguk. Tak lama kemudian dia menyerahkan pesanan Jonathan. Laki-laki itu lalu bergegas melangkah menuju kembali ke studio dimana istrinya sudah menunggu.

“Ini kentangnya, Yang,” ujarnya begitu sampai di tempat duduknya kembali. Seperti biasa, Theresia tanpa ba-bi-bu langsung menerima bungkusan itu dan melahap isinya seorang diri tanpa menawari suaminya.

Aduh, cerita filmnya udah sampai di mana, nih? Aku benar-benar nggak ngerti, batin Jonathan menyaksikan adegan dan dialog yang sudah tidak dipahaminya karena bolak-balik terjeda akibat membelikan pesanan-pesanan istrinya. Tak terasa kedua matanya terpejam dan ia pun tertidur. Setelah beberapa saat tiba-tiba dia terlonjak dari tempat duduknya karena merasa ada yang mencubit lengannya.

“There, kenapa kau mencubitku?”

“Hush, jangan keras-keras. Malu, Mas.”

Jonathan memelototi istrinya. Perasaan dari tadi kamu yang berusaha membuatku malu, pikirnya geram. Sabar, Jon. Sabar…. Ini tempat umum. Jangan sampai istrimu kumat histerisnya. Sekarang jaman digital. Kalau ada keributan di tempat umum, sering direkam oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab dan diviralkan di media sosial. Kamu tidak mau nama baik keluargamu dan reputasi perusahaanmu tercemar, kan? Sabar…sabar…, batinnya menenangkan diri.

“Kan udah bayar tiket mahal-mahal, kok ditinggal tidur, sih? Nonton, dong!” bisik Theresia dengan nada tinggi.

Bagaimana aku bisa konsentrasi menonton kalau selalu kamu interupsi untuk membelikan ini-itu di bawah? gerutu suaminya dalam hati. Rasa kantuknya hilang sudah. Berganti dengan perasaan sebal yang tak bisa diutarakan karena akan membuat keadaan menjadi runyam. Akhirnya dia hanya bisa menghabiskan sisa popcorn-nya sambil berusaha menikmati alur cerita film di depannya.

“Mas….”

“Apa lagi?”

“Kok kamu responnya gitu, sih? Udah nggak cinta lagi, ya?”

Jonathan berusaha menahan diri. Ia pun berkata lembut, “Ada apa, Sayang? Kamu masih laparkah? Ini ada sandwich.”

“Lho, kapan kamu belinya?”

“Tadi waktu aku beli kentang, sekalian beli sandwich juga. Jaga-jaga kalau kamu nantinya masih lapar.”

“Oh, gitu. Tapi aku sudah kenyang, sih.”

“Ya udah, nggak apa-apa. Biar nanti aku yang makan.”

“Kenapa nanti? Sekarang aja kamu makan. Aku udah nggak lapar, kok.”

“Aku masih kenyang karena barusan menghabiskan popcorn ukuran besar sendirian.”

“Oh, gitu. Ehm…, aku haus, Mas. Air mineralku sudah habis.”

“Ya udah, minum punyaku aja. Masih ada sedikit.”

Theresia langsung menenggak botol air mineral yang disodorkan suaminya.

“Sedikit sekali isinya, Mas. Kurang.”

“Ya udah, kamu tahan aja dulu. Toh, sebentar lagi filmya selesai. Aku nggak enak bolak-balik naik-turun tangga, sungkan mengganggu para penonton.”

“Kamu lebih mementingkan penonton yang tak dikenal daripada istrimu yang kehausan?”

Mulai lagi, pikir Jonathan sebal. Dipandanginya wajah Theresia yang cemberut. Kalau dulu, bibirnya yang merengut itu langsung kulumat habis sampai dia susah bernapas, gumamnya dalam hati. Sekarang kok ingin kutampar rasanya kalau tidak ingat dia ini istri yang harus kukasihi.

“Kamu mau minum apa?” tanya laki-laki itu akhirnya mengalah.

“Air mineral kayak tadi aja. Nggak dingin.”

“Ok.”

Untuk kesekian kalinya suami yang benar-benar diuji kesabarannya itu turun ke bawah demi menyenangkan hati istrinya tercinta.

***

“Filmnya tadi bagus ya, Mas? Aku suka. Brad Pitt umurnya udah tua tapi masih keren banget orangnya,” kata Theresia ketika ia dan suaminya dalam perjalanan pulang. Jonathan yang berkonsentrasi mengemudikan mobil hanya menjawab singkat, “Iya.”

“Jadi menurutmu film tadi bagus?”

“Iya.”

“Coba ceritakan bagian mana yang bagus?”

Jonathan terkesiap. Dia merasa dijebak. Bagaimana mungkin dirinya memahami alur ceritanya kalau sepanjang film berlangsung dirinya mondar-mandir naik-turun bak pramusaji bioskop?

“Aku nggak fokus nonton tadi, Yang. Jadi nggak tahu film itu bagus atau nggak,” jawab laki-laki itu terus terang.

“Lha, kamu ketiduran tadi. Kan sayang udah beli tiket mahal-mahal nggak ditonton filmnya.”

Jonathan menggeretakkan giginya menahan amarahnya yang hampir meluap. Rupanya Theresia menyadari hal itu. Perempuan itu lalu berteriak menantang, “Mas, kenapa kamu menggeretakkan gigi? Kamu marah sama aku?!”

Suaminya tidak menghiraukannya. Dia tetap berusaha menyetir dengan tenang. Istrinya yang merasa tidak dianggap menjadi histeris.

“Jonathan Aditya! Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku? Kauanggap apa aku ini?!”

Gawat, pikir Jonathan cemas. Theresia kumat! Aku harus menghentikan mobilku sebentar supaya tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

“Kenapa berhenti?” tanya wanita yang amarahnya sudah di ubun-ubun itu melihat suaminya menghentikan mobilnya di tepi jalan.

Jonathan berpaling dan menatap wajah istrinya yang merah padam. Seharusnya aku yang berhak marah, bukan kamu! batinnya jengkel.

“Sayang, apa kamu lupa sejak tadi di bioskop kamu menyuruhku mondar-mandir membelikan ini-itu? Bagaimana aku bisa fokus menonton film dengan gangguan-gangguan seperti itu?”

“Jadi membelikan makanan dan minuman untuk istrimu yang kelaparan kamu anggap sebagai gangguan?! Lalu bagaimana dengan sikapmu berbicara mesra dengan teman lamamu yang bernama Mina itu? Apakah itu sebuah kesenangan?”

“Aku tidak berbicara mesra, Sayang. Kamu kan lihat sendiri aku bahkan tidak mengenalinya waktu dia menyapaku!”

“Huh, paling kamu cuma pura-pura saja karena ada aku!”

“Kenapa kamu tidak mempercayaiku, Yang?”

“Karena kamu mata keranjang! Di depan istrimu sendiri berani-beraninya ngobrol panjang-lebar dengan perempuan cantik. Roknya malah lebih mini daripada rok yang kupakai!”

“Hah?! Aku bahkan nggak memperhatikan dia pakai baju apa, There!”

“Bohong! Jelas-jelas dia pakai rok mini warna putih kok bilang nggak lihat.”

“Demi Tuhan, There! Aku nggak memperhatikannya sama sekali.”

“Lalu apa yang kamu perhatikan? Rambutnya yang pirang itukah? Atau bibirnya yang sensual seperti Angelina Jolie?!”

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height