CookKiss/C1 SATU
+ Add to Library
CookKiss/C1 SATU
+ Add to Library
The following content is only suitable for user over 18 years old. Please make sure your age meets the requirement.

C1 SATU

Dia Dania. Gadis berusia 27 tahun, yang bekerja sebagai Office Girl di sebuah perusahaan asing. Perusahaan ini bergerak di bidang makanan, mereka membuat makanan dan minuman instan, yang sudah cukup memiliki nama yang besar di negara ini.

Dania telah bekerja di tempat ini selama satu tahun. Bekerja sebagai OG bukanlah cita-citanya. Dia memiliki ijazah S1, tapi tidak terpakai sama sekali. Sebagian besar perusahaan, mencari lulusan luar negeri, atau minimal lulusan dari universitas terbaik di negara ini.

Sedangkan Dania. Dia hanya lulusan dari universitas biasa, dia juga memilih kampus itu karena murah, biaya pendidikannya masih bisa di penuhi oleh kedua orang tua Dania.

Dania baru saja selesai memakai seragam, dia bersiap untuk bekerja. Tugas utamanya adalah membersihkan ruangan CEO, termasuk merapikannya. Jangan kira kali ini akan bercerita tentang Dania yang menjalin hubungan dengan CEO, tidak. CEO perusahaan ini perempuan, jadi cerita yang hanya ada dalam novel itu, singkirkan.

CEO perusahaan ini bernama Pevita, dia wanita sukses. Di usianya yang baru menginjak 30 tahun sudah mampu memegang kendali atas beberapa anak cabang dari perusahaan ini. Pevita adalah calon menantu dari pemilik perusahaan, dalam beberapa bulan lagi mereka akan menikah.

Tunangan Pevita bernama Fredy, seorang dokter penyakit dalam yang menolak dengan keras menjadi pewaris perusahaan. Padahal dia adalah anak satu-satunya. Beruntung, Fredy bertemu Pevita, yang seketika mendapat restu dari orang tuanya.

Kembali ke Dania. Dia mulai bekerja membersihkan setiap sudut ruangan Pevita seperti biasa. Dia melakukan semuanya dengan sangat pelan dan telaten, bahkan setiap lekuk pada almari ataupun kursi juga dia bersihkan.

Dania hampir selesai. Tinggal membersihkan kamar mandi saja. Peluh menetes pelan melalui pelipis Dania. Gadis itu mengusapnya dengan punggung tangan dengan pelan.

Dania masuk kamar mandi dan mulai membersihkannya.

“Sayang, jangan di sini.”

“Kenapa? Tidak ada siapa pun selain kita.”

Suara aneh terdengar dari kamar mandi. Dania memberanikan diri melihat keluar. Pevita dan Fredy sedang berciuman. Mereka berhenti sesaat, Fredy mengangkat tubuh Pevita duduk di meja kerja, lalu mereka kembali berciuman dengan panas.

Dania melebarkan mata seketika. Dia kembali masuk lalu langsung menyalakan kran. Dia berharap adegan itu terhenti karena mendengar suara kucuran air di kamar mandi.

Dania kembali menyikat lantai dengan degup di dada yang mengakun semakin kencang. Bayangan tentang ciuman dua atasannya itu melintas jelas dalam kepalanya. Dania pernah memiliki kekasih, tidak munafik mereka juga pernah berciuman, tapi tidak sepanas itu.

Dania mengatur napasnya, mencoba menghentikan bayangan yang sejujurnya membuat dia rindu berciuman. Terakhir kali berciuman, itu mungkin lima tahun yang lalu. Saat masih di bangku kuliah. Dania tersenyum tipis.

Saat itu, dia memiliki kekasih. Pacar pertama dan juga pria pertama yang mencium bibirnya. Hubungan mereka terjalin hanya beberapa bulan saja. Pria itu pergi tanpa kabar berita, meninggalkan Dania yang patah hati untuk pertama kalinya.

Setelah itu, Dania tidak menjalin hubungan dengan siapa pun. Dia terlalu takut untuk memulai. Dania menggelengkan kepala dengan cepat. Dia membuang bayangan tentang rasa sakit hatinya dengan segera.

“Dania. Itu kamu?”

Sahutan dari luar menyadarkan Dania. Dia segera mengambil headset kecil dari saku seragamnya. Suara ketukan terdengar setelahnya.

“Dania.”

“Iya, Nona.” Dania keluar dan membungkukkan badan pada Pevita dan Fredy. Dia tersenyum seolah tidak melihat apa-apa. “Selamat pagi, Nona, Tuan.” Dania melepas headset yang sebenarnya sama sekali tidak bersuara itu, lalu memasukkannya dalam saku.

“Sudah lama kamu di sini?” Pevita menatap Dania dengan saksama.

“Iya, Nyonya.” Dania menunduk takut. “Maaf, saya tidak mendengar Nona datang. Penyanyi kesukaan saya baru saja rilis lagu baru, jadi maaf jika saya lalai pada jam kerja, Nona.”

Pevita menghela napas lega. Bibirnya menyunggingkan senyum. “Aku maafkan. Kembali bekerja.”

Dania membungkukkan kepala. Dia berbalik kembali masuk ke kamar mandi dan meneruskan menyikat lantai. Dia menghela napas lega karena telah terbebas dari rasa takut. Setelah beberapa menit, Dania selesai. Dia berdiri dan meninggalkan kamar mandi. Dania melewati Pevita dan Fredy sebelum meninggalkan ruangan. “Permisi, Nona, Tuan.” Dia menundukkan badan sesaat, lalu kembali berjalan keluar.

Dania lelah, dia masih harus membersihkan ruang meeting yang akan di gunakan nanti siang. Dania dibantu oleh beberapa orang, mengingat ruang meeting yang sangat luas. Dania dan teman-temannya meninggalkan ruangan bersamaan dengan beberapa orang yang datang dengan membawa tumpukan kertas bahan meeting.

“Dania.”

Dania menghentikan langkahnya saat ada panggilan mengarah, dia berbalik. Asri, salah satu staf perusahaan berlari menghampirinya. “Kalian duluan saja.” Dania menatap temannya lalu di balas oleh anggukan singkat dari dua wanita yang membantunya tadi.

Asri menyodorkan kertas kecil pada Dania.

Dania menatap kertas itu sesaat. “Apa ini, Mbak?” Dania menerima kertas kecil itu.

“Kami mau bikin program baru, merek baru. Kami butuh beberapa orang tambahan. Coba deh kamu masukin lamaran. Itu alamat emailnya. Syarat dan sebagainya nanti aku email ke kamu.”

Dania tersenyum. “Makasih ya, Mbak.”

Asri menyentuh lengan Dania dan ikut tersenyum. “ya udah. Selamat mencoba ya? Aku meeting dulu.”

Dania mengangguk lalu membungkukkan badan sesaat. Dia berbalik lalu benar-benar meninggalkan ruangan. Dania duduk di ruang istirahat lalu membuka ponselnya. Asri telah mengirimkan selebaran lowongan lewat email. Wanita itu masih sempat mengerjakan apa pun meski kesibukannya tidak bisa di tawar lagi.

Dania membaca lowongan itu. Mereka membutuhkan dua orang untuk bagian pemasaran, dan dua orang lagi untuk bagian pembukuan.

Dania sempat pesimis dia akan di tolak lagi. Tapi, jika dia tidak mencoba. Asri akan kecewa, wanita itu selalu berusaha memberinya informasi tentang lowongan pada Dania.

“Dani, yuk ke kantin. Staf dapur ada yang muntah.” Ajak Wira, OB senior Dania.

“Baik, Mas.” Dania memasukkan ponselnya lalu dengan cepat mengikuti langkah Wira.

Mereka tiba di kantin, Dania dan Wira seketika membersihkan bekas muntahan itu. Sebuah meja, dengan satu pria yang duduk diam di kursinya.

“Sialan,” umpat seseorang yang bajunya terkena oleh muntahan. Seorang pria dengan atasan putih, dan celana hitam. Tampak sangat menawan, meski ada noda muntahan sekalipun di bajunya.

“Maaf, Tuan.” Pemuda yang muntah tadi membungkuk dan memohon maaf.

Bukannya menjawab atau sekedar menatap, pria itu berdecap lalu menghela napas kasar. Pria itu berdiri dan melewati sang pemuda tanpa menoleh sekalipun. Tatapan matanya dingin dan marah sekaligus.

Dania menatap pria itu sesaat, lalu melanjutkan bersih-bersihnya.

***

Bobbi kembali menghela napas kasar saat memasuki kamar mandi. Dia mempersiapkan hari ini dengan sangat berhati-hati. Dia sampai di perusahaan ini penuh dengan perjuangan. Dia mencoba tampil sempurna, tapi malah ternoda oleh seseorang yang sama sekali tidak bertanggung jawab.

“Ashhh ....” Bobbi kembali mengeluh kesal dengan nasibnya. “Kenapa harus hari ini.”

Bobbi membasuh bekas muntahan itu dengan air, pelan. Tidak hilang, masih berbekas. Itu membuat Bobbi semakin frustrasi. Dia mencari parfum di dalam tasnya, lalu menyemprotkannya sedikit pada bagian noda. Berharap aroma tidak sedap itu segera lenyap.

Bobbi kembali menghela napas, dia mengerutkan alisnya saat menatap bekas noda itu. Tidak mungkin baginya untuk kembali pulang mengganti pakaian. Bobbi melihat jam yang melingkar di tangannya, 15 menit lagi dia harus bertemu Pevita. Gadis impiannya, gadis istimewa di masa lalunya.

Bobbi tersenyum tipis jika mengingat hari itu. Hari di mana dia dan Pevita sedang berjalan dari halte menuju rumah Pevita sambil bergandengan tangan.

Bobbi tersenyum sambil menatap kekasihnya, Pevita. Pevita menautkan rambutnya sendiri ke belakang telinga sambil tersenyum malu.

“Jangan menatapku seperti itu.” Pevita menghindari tatapan Bobbi.

Bobbi menarik tubuh Pevita mendekat, melepas genggamannya lalu mengalihkan tangan pada pundak Pevita. “Kenapa? Salah jika aku menatap kekasihku?”

“Tidak. Hanya saja kamu membuatku malu.” Pevita menatap Bobbi sesaat.

Babbi mengeratkan rangkulannya, dia mengecup kepala Pevita sesaat. “Aku sangat mencintaimu. Aku takut akan mati karena rindu nanti malam. Jadi aku memuaskan mata menatapmu.” Bobbi tersenyum sambil mengangkat alis. “Kecuali, jika kali ini kamu mengizinkan aku menginap.”

Pevita mengubah ekspresi wajahnya. “Tidak,” tegasnya.

Bobbi seketika memasang wajah masam dan menghentikan langkah. Bobbi memaksa Pevita menghadapnya. “Kenapa? Aku janji tidak akan berbuat macam-macam. Mungkin aku hanya akan menciummu, memelukmu sepanjang malam, atau ....”

Pevita memukul dada Bobbi menghentikan ucapannya. “Jangan keras-keras. Bagaimana jika di dengar orang.”

Bobbi tersenyum. Dia memeluk Pevita dengan erat. Pevita membalasnya dengan melingkarkan tangan di pinggang Bobbi.

“Sayang,” panggil Bobbi pelan.

“Hhmm.”

“Kapan aku boleh menginap?”

“Saat kau menjadi apa yang kau cita-citakan sekarang.”

Bobbi merenggangkan pelukan, dia menatap Pevita. “Koki, atau manajer perusahaan makanan?”

“Keduanya.” Pevita menatap Bobbi dengan mesra.

“Oke. Aku akan menjadi keduanya.” Bobbi tersenyum manis. Bobbi mendekat, memberi kecupan hangat di bibir Pevita sesaat.

Pevita tersenyum. Bobbi kembali mendekatkan wajah. Dia kembali mencium Pevita dengan cara yang lebih dalam. Bobi melangkah maju, memaksa Pevita mundur dan menyandarkan tubuhnya di tembok pagar.

Bobbi memejamkan mata, begitu pula dengan Pevita. Mereka saling mendalami dan menyesap setiap inci bibir pasangannya. Bobbi menyentuh rahang Pevita dengan kedua tangan dan mulai memainkan lidahnya. Pevita mengeratkan tangannya, membuat Bobbi semakin dekat dan menghapus jarak antara mereka.

Keduanya larut dalam rasa dan cinta pada malam ini. Mendalami setiap kehangatan dan getaran yang muncul dalam diri masing-masing.

Bobbi menyadarkan diri. Mengesampingkan kenangan manisnya dan bersiap menemui sang pujaan hati. Sudah waktunya mereka saling bertemu setelah tujuh tahun terpisah. Bobbi bahagia, akhirnya dia berhasil pada titik ini. Titik di mana apa yang dia inginkan dulu bisa terwujud. Sekalipun bukan sebagai manajer.

“Baiklah, kondisiku tidak mengurangi semangatku bertemu denganmu.” Bobbi meyakinkan dirinya sendiri. Rasa bahagianya masih sama besar, entah apa pun takdir mencoba menyurutkan niatnya.

Bobbi meninggalkan kamar mandi dan naik menggunakan Lift. Hari ini dia janji temu dengan Pevita. Untuk mengenalkan diri sebagai koki yang akan bekerja sama pada program baru yang akan perusahaan bentuk. Bobbi masuk karena dia adalah koki favorit keluarga Fredy dan mereka merekomendasikan ini. Bobbi senang karena dia tahu, Pevita adalah CEO di sini.

Bobbi melangkah dengan rasa bangganya. Tapi ... langkahnya terhenti. Bobbi mengeraskan rahangnya seketika.

“Hati-hati, Sayang.” Pevita memeluk pinggang Fredy dan mengecup bibir pria itu sesaat.

Fredy memeluk Pevita. “Iya. Kamu juga hati-hati. Aku mencintaimu.”

Pelukan mereka terlepas. Fredy meneruskan langkahnya. “Bobbi.” Fredy mengerutkan alis dan tersenyum. “Sudah datang. Kalian akan membicarakan programnya hari ini?” Fredy menatap tunangannya sesaat.

Pevita tersenyum sambil mengangguk. Dia menatap Bobbi sesaat. Bobbi menundukkan wajah hormat. Dia melangkah mendekat.

“O iya, kamu mungkin belum tahu. Dia Pevita, tunanganku. Dia yang akan meneruskan perusahaan ini. Kamu tahu sendiri, aku tidak mau melakukan hal membosankan.” Fredy menatap Pevita. “Sayang, dia Koki kesayangan Mama yang aku rekomendasikan waktu itu. Semoga kalian bisa bekerja sama dengan baik.”

Pevita mengulurkan tangannya. “Saya Pevita, senang mengenal Anda, Tuan. Semoga kerja sama ini berjalan dengan baik.”

Bobbi menatap tangan itu, tangan yang dulu selalu di genggamnya, di ciumnya. Bobbi menyambut tangan itu. Masih hangat seperti dulu. “Saya Bobbi.”

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height