CookKiss/C2 DUA
+ Add to Library
CookKiss/C2 DUA
+ Add to Library

C2 DUA

Bobbi menatap Pevita tanpa henti sejak tadi. Sejak pembicaraan dimulai, sejak mereka berkenalan dengan manajer baru, sejak Bobbi kehilangan fokusnya. Bobbi sangat merindukan gadis di depannya ini. Tujuh tahun menghilang tanpa kabar berita, mengingat hubungan di antara mereka belum ada kata putus.

Bobbi menatap sepasang mata itu, mata yang selalu menghiasi mimpi malamnya. Dia ingin menyentuhnya seperti dulu, tapi statusnya sekarang melarang untuk itu.

Entah bagaimana ceritanya Pevita bisa menjadi tunangan dari Fredy. Setahu Bobbi, tunangan Fredy bukan Pevita. Melainkan seorang gadis desa bernama Widya. Kenapa sekarang menjadi Pevita? Apa pertunangan Fredy dengan Widya gagal? Bobbi menghela napas pelan.

“Ada yang belum Tuan pahami?” Pevita mengarahkan tatapannya pada Bobbi.

Bobbi tersenyum. “Saya sudah memahami semuanya.”

Pevita tersenyum lalu mengangguk singkat. “Baiklah jika begitu. Satu lagi permintaan saya. Saya sudah membuka lowongan untuk mengisi bagian pemasaran. Jadi untuk Tuan Bobbi dan kamu, Nas. Saya ingin kalian menjadi bagian saat wawancara nanti. Bisa?” Pevita menatap keduanya bergantian.

“Saya bisa, Bu.” Nasril tersenyum dan mengangguk yakin.

Bobbi masih larut pada tatapannya. Dia tidak sadar, Pevita menatapnya menunggu jawaban. “Tuan Bobbi?”

Bobbi tersadar. “Akan saya usahakan,” jawabnya singkat sambil tersenyum canggung.

Bobbi aku, senyum Pevita masih menjadi daya tarik utama dari gadis cantik itu. Entah kenapa, dia selalu kehilangan akal tiap kali menatap senyum lembut milik wanita ini.

“Baiklah. Terima kasih sebelumnya.” Pevita menumpuk berkas yang sebelumnya menjadi bahan pembicaraan mereka. “Pembicaraan kita hari ini cukup sampai di sini. Untuk selanjutnya jika ada tambahan, kita bisa atur kembali pertemuan atau nanti akan di hubungi oleh sekretaris saya.” Pevita berdiri. “Dan mohon maaf, saya masih ada meeting dengan pihak lain setelah ini.”

Nasril dan Bobbi berdiri bersamaan. Nasril membungkukkan badan. “Saya permisi, Bu.” Pevita tersenyum singkat.

Bobbi ikut menundukkan wajah sesaat. “Saya juga permisi, selamat bekerja Nona.”

Pevita menatap Bobbi sesaat. Dia tampak ragu dengan apa yang ada di benaknya saat ini. “Tuan Bobbi. Ada hal kecil yang harus kita bicarakan ulang. Tuan bisa tinggal sebentar?”

Nasril menatap Bobbi sesaat lalu kembali membungkukkan badan. Nasril meninggalkan ruangan ini. Sepeninggal Nasril. Bobbi menatap Pevita dengan kerutan tajam di dahinya. Pevita berjalan menuju pintu ruangannya lalu menguncinya dengan cepat.

Bobbi masih belum mengerti.

Pevita berbalik dan menghampiri Bobbi dengan cepat. Pevita tersenyum seperti dulu, jenis senyuman yang tak akan pernah Bobbi lupakan. Pevita memeluk Bobbi, melingkarkan tangannya di pinggang Bobbi dan mendekapnya dengan erat. “Aku sangat merindukanmu,” ucapnya kemudian.

Bobbi membeku. Dia juga sangat rindu, tapi tangannya tak mampu membalas dekapan ini. Dia terdiam dengan mata terbelalak dan menahan napas sesaat.

Bobbi tidak tahu bagaimana dia harus bersikap. Pevita melepas dekapannya dan menatap Bobbi penuh kerinduan. “Maaf.” Pevita menunduk sesaat lalu menghela napas pelan. “Kamu tidak akan marah kan?”

Bobbi membalas tatapan Pevita. Dia masih terdiam menunggu apa lagi yang akan dikatakan Pevita. Sejujurnya dia sedang dilanda keraguan. Dia sangar rindu, tapi hati kecilnya melarang untuk mengungkapkan rindu itu.

“Aku melakukan semua ini untuk kita. Percayalah padaku? Aku tidak mencintainya, aku hanya mengincar hartanya saja. Aku mencintaimu, selamanya tetap kamu, Bob.”

Bobbi tahu ini salah, Fredy dan keluarganya orang baik. Walau terkadang ada ucapan yang kurang nyaman berasal dari mereka untuknya. Tapi, semua itu masih di batas normal. Bobbi menatap Pevita, gadis itu kembali memeluknya dengan sangat erat.

“Aku sangat senang ada kamu di sini.” Pevita merenggangkan pelukannya. Dia menatap Bobbi dengan senyuman manis. “Setelah semuanya bisa aku dapatkan, aku akan menjadikanmu apa pun yang kamu inginkan. Kamu bisa kan menungguku?”

Bobbi tidak menjawab, dia menatap mata Pevita lagi dan lagi. Mencari kebenaran atas hati yang telah lama menahan rindu.

Pevita melepas lingkarannya di pinggang Bobbi, dan memindahkan lingkaran itu ke leher Bobbi. Dengan singkat dia mencium bibir Bobbi lembut.

Bobbi memejamkan mata. Bibi itu masih mampu membuat dadanya berdegup kencang. Pevita kembali mencium bibir Bobbi dengan durasi yang sedikit lama. Saat Pevita akan melepas ciuman itu, Bobbi meraih pinggang Pevita dan memperdalam ciumannya. Dia meluapkan rindu dengan menyesap apa yang selalu mengganggu mimpi malamnya.

Bobbi mengikis jarak antara dirinya dan Pevita. Bobbi melangkah mundur hingga terduduk di sofa, Pevita duduk di pangkuan Bobbi tanpa melepaskan ciuman mereka. Pevita melenguh begitu pula dengan Bobbi.

Tangan Bobbi memeluk Pevita semakin erat. Pevita membelai rahang Bobbi dengan lembur, menyelusuri rahang lalu leher. Mereka bermain lidah di sana.

***

“Sedang apa, Dan?” Wira mendekat lalu duduk tepat di samping Dania.

Dania tersenyum. “Buat lamaran, Mas.” Dania melanjutkan aktivitas menulisnya.

Wira mendekatkan wajahnya pada selebaran yang sedang di isi Dania. “Lowongan di kantor ini itu? Bagus. Jangan sia-siakan S1-mu. Oke?” Wira menatap Dania sambil mengacungkan kedua ibu jari tangannya.

Dania mengangguk antusias, bersama senyum yang begitu manis dan menggemaskan. Wira mengacak rambut Dania lalu berlalu. “Aku kerja dulu. Ada panggilan dari lantai atas.” Wira tersenyum lalu menghilang di balik sudut ruang istirahat.

Dania tersenyum lalu meneruskan aktivitasnya. Saat dia selesai, Dania mulai merangkai kata pada bagian membuat lamaran dengan bahasa sendiri. Seperti permintaan perusahaan dalam setiap lowongan yang mereka buka. Karena bagi perusahaan, mereka mampu menilai karakter seseorang saat membaca dan melihat hasil tulisan tangan pelamar itu sendiri.

Setelah semuanya selesai. Dania berdiri dan berjalan menuju meja depan. Menyerahkannya di bagian penerimaan karyawan, bagian yang dikhususkan untuk penerimaan karyawan dalam program yang akan berjalan.

Dania lega dengan lamaran, yang menurutnya sempurna untuk bidangnya. Dania berharap, peluang ini akan sedikit menyumbangkan perubahan dalam hidupnya. Dania tersenyum lalu menundukkan badannya sesaat sebelum pergi meninggalkan meja itu.

Dania berjalan menjauh dengan helaan napas ringan penuh harapan. Dia melanjutkan pekerjaannya, dengan hati yang tak pernah berhenti berdoa.

Hari terlewati dengan cepat. Dania menghentikan pekerjaannya, matanya menatap keluar jendela. Malam menyapa dengan kerlip bintang yang tetap saja memukau mata. Dania membersihkan diri. Dia akan bersama sahabatnya, Hastari. Gadis itu sangat suka menghabiskan uang di klub malam. Dania beruntung, mempunyai sahabat yang berasal dari keluarga berada. Walaupun dia kadang kurang nyaman dengan cemoohan banyak orang, tentang persahabatan mereka. Bagi kebanyakan orang, Dania sosok materialistis, yang mau bersahabat dengan Hastari hanya karena kekayaan keluarga gadis itu. Tapi, Dania kembali bersyukur, Hastari tidak pernah menganggapnya seperti itu.

Dania selalu menolak memakai fasilitas yang Hastari tawarkan, dia lebih memilih mengajak Hastari ke tempat-tempat sederhana, yang keuangannya mampu. Dan yang pasti, Hastari pasti mampu mengikutinya.

Malam ini, seperti biasa. Mereka akan ke klub malam. Ke klub malam kelas atas, sesuai permintaan Hastari selama satu minggu ini padanya. Hastari ulang tahun, dia mengundang banyak teman, yang sebagian Dania tahu siapa saja itu.

Aku di depan. Kamu di mana? Seharusnya sudah jam pulangmu ‘kan?

Dania mempercepat langkahnya. “Iya, aku sudah turun. Tunggu sebentar.” Dia menelusuri koridur akhir sebelum lobi gedung. Dania semakin mempercepat langkahnya begitu dia melihat mobil sang sahabat. Dania mengangkat tangan, melambai.

Hastari tersenyum. Gadis cantik itu mengenakan sebuah potongan baju di atas pusar berwarna merah, dia mengenakan rok berwarna senada yang mungkin hanya sejengkal dari pinggang. Dia menatap Dania dari atas hingga bawah. “Kita akan ke klub. Begini tampilanmu?”

Dania mengangguk percaya diri. “Ini baju terbaikku. Kau bilang aku harus memakai baju terbaik. Aku baru membelinya bulan lalu.” Dania menatap Hastari dengan cara yang sama. “Begini penampilanmu?” Dania menggelengkan kepala sambil mengernyitkan dahinya.

Hastari memutar sambil merentangkan tangan. “Cantik ‘kan?” Sedetik kemudian dia menghela napas lalu menggeleng lelah. Dia kembali menatap Dania. “Kau menambah pekerjaanku.”

Dania mengerutkan alis. “Menambah bagaimana? Jangan bilang kau akan mengubahku? Make over seperti yang biasa kau lakukan pada teman-temanmu.”

Hastari tersenyum seketika. “Gadis cerdas. Kau tahu semua tentangku.”

“Aku tidak mau,” ucap Dania tegas.

Hastari memasang muka masam. “Ini ulang tahunku. Kau menolak keinginanku? Kamu jahat Dan.”

Dania menghela napas pelan. “Bukan begitu. Aku ....”

“Berarti kamu mau? Oke. Aku sudah menyiapkan gaun untukmu. Pakai di dalam mobil nanti.” Hastari memotong ucapan Dania. Dia memutari mobil dan masuk begitu saja.

“Gadis gila.” Dania tahu, akan begini akhirnya. Hastari tidak pernah memaksanya, tapi paksaan itu pasti terjadi saat gadis itu ulang tahun.

Dania masuk mobil dan mobil pun meninggalkan gedung itu menuju tempat yang sebenarnya tidak Dania suka. Terlebih lagi, mereka akan semalaman bersama teman-teman Hastari, teman kaya-nya.

Hastari melirik Dania. “Pindahlah ke belakang. Kotak putih itu gaun untukmu.”

Dania menatap kursi belakang. Dia sedikit berdiri membungkuk, lalu melangkahkan kaki. Kini dia telah di belakang. Dania melepas kaos hitamnya. Hastari menghentikan mobilnya lalu merebut kaos itu seketika.

“Hei apa maksudmu?” Dania terkejut.

Hastari tertawa sambil sekuat tenaga merobek kaos hitam yang bisa di pastikan berharga murah itu. “Hastari.” Dania berteriak histeris.

Hastari tersenyum. “Dengan begini, kamu tidak akan menolak menggunakan gaun itu.”

Dania mengerutkan alis seketika. Dia menatap kotak hitam di sampingnya. Perlahan Dania membukanya, menenteng gaun di depannya sambil terus mengerutkan alis. “Kamu gila? Kamu menyuruhku pakai gaun kurang bahan ini?”

Hastari berbalik. “Itu rancangan Desainer ternama Dania. Kurang bahan kamu bilang? Ampuunn ....” Hastari menggelengkan kepala tidak mengerti. “Sudah pakai saja. Celananya di lepas, itu kalau kamu masih sayang sama celanamu. Karena jika tidak kamu lepas.” Hastari menunjukkan gunting di tangannya yang entah kapan sudah ada di sana. “Aku akan merusaknya dengan paksa.”

“Benar-benar gadis gila.” Dania terpaksa mengenakan gaun itu. Gaun dengan bahan kain yang sangat lembut. Punggung terbuka, dan panjang tepat di atas lutut. Jauh lebih baik dengan apa yang Hastari kenakan.

Dania kembali ke kursi depan, sudah dengan apa yang Hastari siapkan untuknya. Termasuk sepatu hitam berhak tinggi, yang benar-benar bukan Dania.

Hastari tepuk tangan, melakukan perayaan atas keberhasilannya. “Kamu cantik sekali.” Hastari mendekatkan wajahnya. “Hanya perlu merapikan rambutmu saja. Sebaiknya diikat satu, supaya punggung cantikmu ini tidak tertutup.”

Dania sudah tidak memedulikan apa pun ocehan Hastari.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height