CookKiss/C3 TIGA
+ Add to Library
CookKiss/C3 TIGA
+ Add to Library

C3 TIGA

Hastari dan Dania bergandengan tangan, mereka memasuki area berisik ini, bersama dentuman musik dan aroma khas menyengat.

Hastari mengangkat tangannya dan tersenyum lebar. Dia telah menemukan tempat di mana teman-temannya telah menunggu. Hastari menggandeng Dania menuju tempat itu. Melewati banyak tubuh yang sedang bergerak asyik melupakan segala penatnya hidup.

“Kalian sudah lama?” Hastari melepas genggamannya pada tangan Dania, lalu menyapa satu persatu temannya dengan sentuhan pipi yang membuat Dania merasa risi.

Dania berdiri diam, dia menolak saat ada salah satu teman pria Hastari akan melakukan hal yang sama padanya, sentuhan pipi. Dania segera duduk pada ujung sofa, tanpa berniat mendengar apa yang mereka bicarakan. Dania ke tempat ini karena Hastari, Dania bertemu mereka juga karena Hastari.

Jenis teman yang hanya memanfaatkan kebaikan Hastari, terutama kekayaannya. Dania sudah berulang kali mengatakan isi pikirannya pada Hastari, tapi gadis itu tidak pernah menganggap serius celotehnya.

“Wah, kau sangat cantik. Hasta benar-benar berhasil malam ini.”Jordi, tetangga sekaligus teman kecil Hastari. Dia berdecap kagum menatap penampilan Dania. Dia menyodorkan gelas dengan isi cairan yang berwarna seperti teh. ”Minumlah, Cantik.”

Dania menatap gelas bening itu. “Aku tidak minum,” tegasnya.

“Ayolah, hanya malam ini. Di ulang tahun Hasta.” Jordi kembali menyodorkan gelas itu.

Dania menatap Hastari, gadis itu mengangguk sambil menyatukan kedua tangannya memohon pada Dania, untuk tidak menolak apa pun malam ini.

“Kami tidak akan macam-macam jika nanti kamu mabuk. Janji.” Jordi menatap Dania, meyakinkan gadis itu.

Dengan ragu, Dania menerima gelas pemberian Jordi. Semua mata menunggu Dania meneguk minuman itu. Minuman yang baru di sentuh Dania tiga kali. Malam ini ke empat, mungkin.

Dania menghela napas, lalu meneguk cairan panas itu seketika. Semua bertepuk tangan dengan aksi Dania. Dania meringis, merasakan hangat mulai menjalari tubuhnya.

Jordi tersenyum, di mengambil botol dan kembali mengisi gelas kosong di tangan Dania. “Selamat bersenang-bersenang.” Jordi berbisik selagi menuangkan minuman itu.

Dania membalas dengan tatapan sinis, tanpa senyum sama sekali. Dia memalingkan wajah dan menatap kerumunan manusia yang sedang menikmati suasana. Dia berharap bisa menikmati suasana seperti itu.

Sejujurnya, Dania tidak suka tempat seperti ini, banyak orang, berisik dan juga aroma yang menyengat di mana-mana. Berbagai jenis parfum, berbagai jenis minuman, asap rokok, dan masih banyak lagi.

Cinta, gadis materialistis itu berdiri. Dia mengangkat gelas sambil tersenyum licik, ada beribu rencana di kepala kecilnya. Cinta gadis yang terang-terangan menyatakan ke-tidak sukaannya pada Dania. “Bagaimana jika kita bermain.” Cinta melirik Dania sesaat, dia punya rencana. “Ceweknya ada empat kan ya? Kecuali kalau cowoknya juga mau ikutan main.” Cinta menatap empat pria di sekitarnya dengan senyum manja. “Aku mau mengajukan permainan, yang harus di ikuti oleh empat cewek yang ada di meja ini.” Cinta menegaskan ucapannya dengan tatapan tajam pada Dania.

“Setuju. Apa permainannya?” Hastari angkat suara.

Cinta tersenyum penuh intrik. “Kita kan berada di klub, dan selain itu kita memiliki pria tertampan di sini, Jordi.” Cinta menatap Jordi sesaat. “Menari menggodanya, dan dia akan memilih yang paling tidak menggoda.”

Hastari dan yang lainnya menganggukkan kepala pelan. “Lalu apa hukuman bagi yang tidak bisa menggoda Jordi?” lanjut Hastari.

“Tenang. Hukumannya ada pilihan.” Cinta kembali tersenyum. “Pertama, di cium oleh Jordi, dan kedua mencium siapa pun orang yang duduk di kursi itu saat hukuman dijatuhkan.” Cinta menunjuk sebuah kursi di sudut meja Bartender.

Semua mata mengarahkan pandangan ke sana. “Ingat, dalam hukuman itu hanya berlaku sebuah ciuman di bibir, bukan sekedar kecupan tapi ciuman yang ...” Cinta melanjutkan ucapannya bersama bibir yang memainkan lidah dan mata yang menyipit menggoda.

“Aku suka. Lanjutkan.” Jordi tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.

Hastari menatap Dania, menunggu reaksi apa pun yang akan ditunjukkan sahabatnya itu. Dania menatap Hastari sesaat lalu kembali meneguk minumannya sedikit demi sedikit, bersama helaan napas yang menandakan tidak nyamannya dia saat ini.

“Aku akan jadi pemain pertama.” Cinta tersenyum dan melangkahkan kaki mendekati Jordi.

Jordi tersenyum, dia menyambut Cinta dengan uluran tangan yang disambut dengan senang hati oleh gadis itu. Cinta mulai meliuk-liukkan tubuhnya dengangaya ular yang membuat Dania geli. Dia memilih mengalihkan pandangannya.

Hastari resah, dia tahu Dania pasti menolak permainan ini, tapi bagaimana dia membela gadis itu nanti. Hastari menghela napas berat.

Permainan berlanjut berpindah ke pemain kedua, lalu ketiga. Semua menari dengan gerakan sejenis yang Cinta gerakkan, meski masih di garis wajar, tidak seperti tarian Cinta yang seperti orang kehilangan otaknya.

Tiba saatnya Dania, semua mata menatapnya, menunggu tindakannya untuk permainan ini. Dania yang merasa di tatap dan di tunggu, menatap satu persatu mata yang mengarah padanya. “Aku tidak akan bermain. Aku memilih di hukum.” Dania menegak habis minuman di tangannya, lalu meraih botol dan menuangkan sendiri minumannya.

Jordi tersenyum seketika. “Baguslah.” Dia yang sudah duduk di sebelah Dania, menggeser duduknya menjadi semakin dekat.

Dania meminum kembali cairan di gelasnya dalam sekali teguk. Dia menghela napas berat. “Aku akan mencium siapa pun yang duduk di kursi itu saat ini.”

Jordi mengerutkan alisnya, dia tertawa lalu kembali menjauh. Dania menolak merendahkan dirinya di depan Jordi, pria yang pernah berusaha menciumnya saat ulang tahun Hastari dua tahun lalu. Kini, dia akan melawan permainan ini, Dania tahu ini semua rencana Cinta dan Jordi, mengingat dia tidak akan mungkin bisa menari seperti ular kepanasan.

Dania berdiri dengan kepercayaan diri penuh, setidaknya di depan mata setiap orang di meja ini. Mereka tidak tahu, jika saat ini Dania sedang ketakutan setengah hidup, dadanya berdegup sangat keras.

Dania menatap kursi yang akan dia datangi. Di sana duduk pria berkemeja hitam, sedang mempermainkan gelas minumannya. Dania menghela napas lagi.

“Bisa kita hentikan saja.” Hastari menyela, dia tidak tega dengan Dania, gadis itu terlalu polos untuk hal semacam ini.

“Dia sendiri yang menawarkan diri menerima hukuman, kenapa kamu yang bingung. Duduk saja.” Cinta menatap Hastari dengan senyuman seperti biasanya. Dia kembali menatap Dania. “Aku ingin tahu, sejauh mana keberaniannya mencium pria asing, ketimbang pria yang dikenalnya.”

Dania melirik sesaat, lalu dengan keyakinan penuh dia melangkah meninggalkan meja, mendekati pria dalam remang itu. Dengan perasaan kalut dan pikiran yang tidak menentu, langkah kakinya terus membawanya semakin mendekat.

Dania berhenti, berdiri tepat di belakang pria asing itu, sesaat dia melirik tempat duduk Hastari dan teman-temannya. Dania fokus pada Cinta dan Jordi, dua manusia itu sedang menyeringai padanya. Dania kembali menghela napas, dia kembali menghadapi segala risiko atas ucapannya sendiri.

Perlahan, tangan Dania menyentuh bahu pria itu sambil melangkah ke sampingnya. Dania duduk di kursi sebelah yang kebetulan kosong. Dania mencoba tersenyum saat bertemu mata dengan pria itu.

“Tunggu.” Dania mendekat dan mengamati wajah yang tak asing baginya ini. Pria itu sontak memundurkan wajah sedikit. “Tuan yang tadi siang di kantin kantor saya kan? Yang bajunya kotor karena tumpahan?”

Pria itu mengerutkan alis. “Kamu siapa?”

Dania seketika bernapas lega, bibirnya tersenyum. Setidaknya yang akan dia cium ini bukan pria asing, yang sudah tua, atau buruk rupa. Pria di depannya ini cukup tampan dan terlihat rapi. “Saya pegawai di sana. Saya melihat Tuan tadi.”

“Lalu?” suara paraunya terdengar dingin.

“Saya mau minta bantuan.” Dania menggigit bibir bawahnya. Gugupnya kembali lagi, dia ragu ingin mengucapkan apa yang terangkai di ujung bibirnya. “Saya ... terjebak permainan konyol.”

Pria itu menegakkan kembali duduknya, tidak lagi menjauh. Dia menatap ke belakang Dania, jauh dari tempatnya duduk ada sekelompok orang yang menatap ke arahnya. Pria itu menatap Dania lekat. “Kau di hukum? Apa hukumanmu?” Dia teringat dengan masa lalu, di mana dia selalu mengusulkan permainan konyol saat bersama teman-temannya.

“Sebuah ciuman.” Dania tidak tahu, dia akan sejujur ini pada pria yang belum dia tahu siapa namanya. “Mereka memberiku pilihan, aku di cium oleh pria brengsek berjaket coklat itu, atau mencium siapa pun yang duduk di kursi ini.” Dania menunduk, dia kembali menggigit bibit bawahnya. “Dan ... harus jenis ciuman dewasa.”

Pria itu tersenyum mendengar penjelasan Dania. “Aku akan membantumu. Aku juga pernah di posisimu. Bedanya, aku tidak punya pilihan dan waktu itu, yang aku cium wanita dewasa yang mungkin 15 tahun lebih tua dariku.” Pria itu terkenang kembali dengan kenangan konyolnya.

“Benarkah?” Dania menatap ke dalam mata pria tampan itu.

Pria itu mengangguk. “Beruntunglah, yang kamu cium malam ini adalah pria tampan sepertiku.” Tangan pria itu menjulur melalui celah tangan dan pinggang Dania lalu memeluknya erat.

Dania berhenti bernapas seketika. Tubuhnya dan tubuh pria itu tidak ada jarak sama sekali, mereka benar-benar menempel saat ini. Dania membeku atas perlakuan mendadak ini. Terlebih lagi, tangan pria itu menyentuh punggungnya tanpa penghalang, tubuh Dania meremang.

“Namaku Bobbi. Siapa namamu?” Bobbi sedikit menengadahkan wajah, mengingat Dania yang berdiri di depannya. Tepatnya, kini dalam pelukannya.

“Dania, Tuan.” Dania gugup.

Bobbi tersenyum. Dia tidak menyangka malamnya akan begini, perasaannya yang sedang campur aduk yang membawanya ke tempat ini, bermain dengan beberapa gelas minuman yang belum membuatnya mabuk. Bobbi mengangkat tangannya, membelai pipi Dania pelan.

Dania semakin membeku.

Bobbi mengerti bagaimana perasaan Dania, dia juga mengira gadis ini termasuk ke dalam gadis polos di tengah hiruk pikuknya gadis jalang di masa sekarang. “Jangan takut, ingat ini hanya permainan. Kamu tinggal memejamkan mata dan bayangkan jika kamu sedang bermain. Itu saja.”

Dania mengangguk pelan. Dia memejamkan mata, bersamaan dengan itu dia kembali menghela napas panjang.

Bobbi berdiri dan mencium bibir Dania seketika. Dia juga memejamkan mata, membayangkan jika yang di ciumnya ini adalah Pevita.

Bobbi mengarahkan tubuh Dania menyandar di meja Bartender. Satu tangannya mengarahkan tangan Dania untuk balas memeluknya. Bobbi memperdalam ciumannya saat Dania tanpa sengaja membuka mulutnya. Bobbi menyesap bibir itu dengan perlahan.

Dania membalas ciuman panjang itu. Tidak bisa dimungkiri, ciuman ini begitu sangat menyenangkan. Sangat jauh dari apa yang dia bayangkan sebelumnya. Dia melakukan hal yang sama, menyesap dan mempererat pelukan tangannya.

Jauh dari tempat Dania dan Bobbi menikmati malam. Cinta mengeraskan rahangnya, dia menatap Jordi yang mengepalkan tangan, lalu berdiri meninggalkan tempat itu seketika. Sedang Hastari, dia melebarkan mata, tidak menyangka pada apa yang terjadi, dia pikir Dania akan mencium pria itu bisa saja, tapi bukan jenis ciuman sepanas itu.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height