CookKiss/C4 EMPAT
+ Add to Library
CookKiss/C4 EMPAT
+ Add to Library

C4 EMPAT

Ciuman itu berakhir. Bobbi mengusap bibir Dania yang basah karena ulahnya. Dania menunduk dan mengontrol degup dada yang terasa akan meledak.

Bobbi mengecup kening Dania sesaat. “Ikut aku.”

Dania mengangkat wajahnya, mereka bertemu mata seketika. “Tapi, Tuan bilang ini permainan saja? Tuan tidak akan macam-macam ‘kan?”

Bobbi tersenyum geli. “Aku tidak akan macam-macam, jangan berpikir kotor.” Bobbi menghela napas pelan. “Kamu ingin terbebas dari mereka ‘kan? Aku yakin, mereka mempersiapkan sesuatu yang lain untukmu.”

Dania sedikit melirik tempat Hastari dan temannya duduk. “Aku ingin pulang.”

“Maka dari itu, ikut aku. Mereka akan mengira kita memutuskan bermalam bersama setelah ciuman itu.”

Dania kembali menatap Bobbi. “Lalu? Kita tidak benar-benar bermalam bersama ‘kan?”

Bobbi tersenyum, dia mengeratkan pelukannya dan kembali mencium Dania sesaat. “Aku hanya akan mengantarmu pulang.”

Mereka kembali saling menatap. Beberapa detik kemudian, Dania mengangguk. Entah angin apa yang membuatnya begitu mempercayai Bobbi. Dia hanya pasrah, ingin segera pergi dari orang-orang yang selalu ingin mempermalukannya, kecuali Hastari.

“Bagus.” Bobbi melepas pelukannya, lalu menggenggam tangan Dania erat. “Ayo.” Bobbi menarik tubuh Dania, melewati jalan yang dia lalui tadi, menuju pintu utama dan terbebas dari segalanya malam ini.

Dania tidak berani menoleh, dia tidak mau menatap mata penuh pertanyaan milik Hastari. Dia akan menjelaskannya besok, saat semuanya sudah selesai.

Mereka melewati Jordi yang menatap Dania dengan tajam. Dania hanya melirik sesaat, gadis itu menutupi gugupnya di depan Jordi. Dia ingin pria itu tahu, dia bukan gadis polos dan bodoh seperti yang Jordi pikirkan, dia ingin Jordi tahu dia hanya menolak jika itu menyangkut Jordi.

Mereka tiba di samping mobil Bobbi, Bobbi membukakan pintu untuk Dania. Walau sempat sedikit ragu, Dania memutuskan menyerahkan nasibnya pada takdir akan membawanya ke mana. Dania hanya berdoa, semoga Bobbi benar-benar pria baik yang hanya hadir sebagai penolongnya malam ini.

Mobil melaju memecah keheningan malam. Keduanya terjebak dalam diam, terjebak pada dunia lamunan masing-masing.

“Katakan, di mana alamatmu?” Bobbi melirik Dania sesaat.

Dania membenarkan duduknya, tidak lupa dengan dress yang sebenarnya sama sekali tidak membuatnya nyaman. “Jalan Bariton, Tuan.”

“Oke.” Bobbi menganggukkan kepala sesaat. Dia menambah laju mobilnya menuju jalan bariton, rumah Dania.

Mereka kembali larut dalam diam. Setelah beberapa lama, Dania memberanikan diri. “Terima kasih, Tuan.”

Bobbi melirik Dania sesaat. “Tidak masalah, kita searah.”

Dania menoleh, menatap Bobbi. “Itu juga. Tapi, yang paling utama, di klub tadi. Terima kasih.”

Bobbi tersenyum sekilas. “Jangan dipikirkan. Anggap semuanya hanya mimpi. Beruntung yang kamu temui malam ini, bukan pria brengsek yang kemungkinan besar akan memanfaatkanmu.”

Dania menatap depan, dia tersenyum tipis. “Ya, semua karena Tuan.”

Mereka tiba di tikungan terakhir sebelum jalan bariton. Bobbi memperlambat lajunya. Bobbi memperhatikan deretan rumah di tempat ini, hampir semua berarsitektur sederhana. Dia melirik Dania.

Dania mengerti arti dari tatapan Bobbi. “Yang cat putih, Tuan.” Dania menunjuk salah satu rumah yang tak jauh dari tempat mereka.

“Rumah yang bagus.” Bobbi menghentikan mobil di depan rumah itu.

Dania kembali tersenyum tipis. “Terima kasih semuanya. Selamat malam, Tuan.”

“Selamat malam.” Bobbi tersenyum sambil menatap Dania yang meninggalkan mobilnya. Gadis itu berdiri di depan pagar dan berbalik, dia menundukkan tubuhnya pada Bobbi.

Bobbi membalas dengan menundukkan kepala sesaat, lalu kembali menjalankan mobilnya menjauh. Meninggalkan Dania yang masih terus menatap mobilnya hingga benar-benar hilang tertutup oleh tikungan.

Dania menghela napas, dia menundukkan kepala sesaat. Beruntung memang dia malam ini, pria yang duduk di sana bukan pria brengsek seperti yang Dania takutkan. Meski mereka sempat berciuman, tapi ....

Tunggu, ciuman? Dania menyentuh bibirnya pelan sambil mengulas senyum manisnya. Sebuah ciuman yang baru pertama kali baginya terasa seindah ini. Terakhir dia berciuman, sudah beberapa tahun yang lalu. Itu pun, tidak seperti malam ini.

Pipi Dania bersemu merah, dia tersipu malu. Pikirannya mengingat kembali gerakan demi gerakan, hingga ciuman itu tidak akan mungkin dia lupakan.

Malam ini, adalah malam dengan mimpi terindah untuknya.

***

“Dan, satu jam lagi interview. Kamu tidak lupa ‘kan?” Asri menghampiri Dania di ruang istirahatnya.

Dania tersenyum. “Iya Mbak, Dania juga sudah ijin kok.”

“Bagus. Aku kembali ke ruanganku. Semoga sukses ya? Semangat.” Asri mengepalkan kedua tangannya sambil tersenyum pasti pada Dania.

Dania bergerak dengan pose serupa. “Semangat.” Asri tersenyum lalu berlari pergi.

Dania berdiri, dia membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan setelan formal dengan warna atasan putih dan di balut dengan blazer hitam, juga rok hitam.

Dania siap, meski rasa gugup dan takutnya sangat besar saat ini, tapi dia yakin siap dan juga bisa menghadapi ini.

Dania duduk diam di deretan kursi tunggu bersama pelamar yang lain. Ada yang berjalan ke sana kemari untuk mengurangi gugup, ada pula yang bernyanyi lirih sambil menggoyangkan kakinya. Dania memperhatikan satu persatu saingannya, hingga dia tak mendengar namanya di panggil lebih dari dua kali oleh Asri. Kebetulan Asri termasuk panitia penerimaan pegawai baru.

“Dania Adrian.” Asri meninggikan nada suaranya, berharap dengan nada tinggi itu, kali ini gadis itu mendengar dan menghentikan lamunannya.

Asri berhasil. Dania menatap Asri dengan terbelalak. Dia berdiri lalu mempercepat langkahnya masuk ke dalam ruang interview, dia mana dirinya yang sendiri, menghadapi empat orang yang salah satunya adalah Pevita, wanita cantik yang begitu dikaguminya.

Dania duduk di kursi, yang mendadak menjadi kursi panas dengan tenang. Dadanya berdegup kencang, tapi dia berusaha tampak tenang dan bersahaja.

Untuk permulaan dia menatap juri satu persatu, hingga senyum manisnya menghilang secara perlahan. Pada meja terakhir, ada wajah yang sama sekali tidak di duganya di sini.

Pria itu memasang wajah dengan senyum yang entah apa artinya, bahkan dia melambaikan tangannya pada Dania, tentu saja tanpa di ketahu-i juri yang lain.

Dania membelalakkan matanya seketika. “Tuan,” gumamnya pelan.

Bobbi mengerlingkan satu matanya sambil tersenyum nakal pada Dania. “Oke, Dania.” Suara Pevita memecah kegugupan Dania yang semakin menjadi.

Sebisa mungkin, Dania menjawab apa pun pertanyaan saat sesi interview itu dengan baik. Dia menutupi gugupnya dengan sangat sempurna. Meski, senyuman Bobbi kadang merusak semua itu.

“Semalam, kamu ke mana? Wajahmu terlihat pucat.” Bobbi mengajukan pertanyaan setelah lebih dari 30 menit terdiam tanpa suara, hanya menggoda Dania dengan kerlingan mata dan senyuman manjanya.

“Hah ...” Dania menyentuh pipinya. Sungguh, otaknya terasa kosong saat ini. Apa maksudnya dari pertanyaan itu? Batin Dania berteriak keras. “Tidak dari mana-mana Tuan, mungkin karena gugup.” Dania memaksakan diri tersenyum, meski terlihat sangat kaku.

Bobbi menganggukkan kepala sambil membuka lembaran data Dania yang ada di depannya. “Aku tidak ada pertanyaan,” ucapnya singkat.

Ish, seharusnya tidak udah bertanya dari awal. Batin Dania kembali berteriak.

Sesi interview yang panjang dan melelahkan itu selesai. Dania kembali ke pekerjaannya, di hanya ijin sebentar, hanya untuk menjalani interview saja. Untuk hasil yang akan keliar hari ini juga, Dania menyerahkannya pada Sri, gadis itu siap mengabari Dania nanti, apa pun hasilnya.

***

Bobbi tersenyum mengingat bagaimana wajah merah Dania begitu melihatnya, terlebih lagi saat dia menggoda gadis itu, atau saat Bobbi menanyakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan interview. Wajah gadis itu sangat menggemaskan.

Bobbi tidak mendengarkan apa pun saat ini, Pevita yang sedang memimpin rapat hanya mampu menatap sesaat, Bobbi mengabaikannya.

Rapat singkat itu berakhir. Mereka telah memutuskan beberapa pelamar yang akan masuk pada sesi selanjutnya. Asri membawa kertas itu keluar ruangan dan menempelkannya. Banyak yang berkerubung, mereka berakhir dengan napas kekecewaan dan ada pula yang menghela napas lega atas semua usaha hari ini.

Sesaat Asri meraih ponselnya, mengirimkan pesan singkat pada Dania. Lalu meneruskan langkahnya kembali ke ruangan kerja yang sudah dia tinggalkan beberapa jam terakhir.

Bobbi mengemasi barangnya, tak lupa dia menyisipkan data Dania dan memasukkannya ke dalam tas. Bobbi meraih mantelnya, tanpa di sadari kini dalam ruangan ini.

Pelukan hangat melingkar di pinggang Bobbi. “Hari ini, kamu mengabaikanku.” Suara manja itu, membuat Bobbi tersenyum seketika.

“Aku tidak mengabaikanmu,” jawabnya singkat sambil berbalik badan dan membalas pelukan Pevita. “Hanya saja, tidak mungkin kan aku menatapmu sepanjang hari. Semua akan tahu hubungan kita di masa lalu.”

Pevita merenggangkan pelukannya. “Kenapa menekankan kata ‘masa lalu’?”

Bobbi tidak menjawab, dia balas menatap Pevita sambil memikirkan banyak hal. Terlebih tentang hubungan Pevita dengan tunangannya. “Aku bingung. Aku hanya merasa bersalah pada Tuan Fredi.”

“Kenapa? Dia hanya jembatan kita sayang. Jangan terlalu dipikirkan.” Pevita menyentuh pipi Bobbi dengan lembut. “Aku mencintaimu, aku menjalani semua ini untuk kita.”

“Ini salah.” Bobbi masih memutar otaknya, jiwa kemanusiaannya masih belum menerima ini. Bagaimana jika dia di posisi Fredi, apakah dia akan mengerti?

“Sayang. Aku sudah menjelaskan padamu di awal. Aku dan ....”

Tok ... tok ....

Suara ketukan menghentikan Pevita, dia melepas pelukannya dengan Bobbi, Bobbi mengambil tasnyaa yang tergeletak di meja. Bersamaan dengan itu sekretaris Pevita membuka pintu, di belakangnya Fredi tersenyum lembut menatap Pevita.

“Sayang. Kenapa tidak bilang jika akan kemari?” Pevita menyambut kedatangan Fredi dengan sebuah pelukan erat, Fredi membalas pelukan itu.

“Aku ingin mengajakmu makan malam. Kamu bisa?” ucap Fredi di sela-sela pelukannya, dia mengecup bibir tunangannya sesaat.

Bobbi menghela napas pelan menyaksikan semua itu, terasa menyesakkan di dada. “Ehm ....” Bobbi mencoba menghentikan perlakuan mereka.

Menghentikan segala sesuatu yang menyakiti hatinya, setidaknya hanya untuk beberapa saat, Bobbi yakin semua itu akan menjadi lebih intim saat dia meninggalkan ruangan ini.

“Maafkan kami.” Fredy tersenyum canggung, sambil melingkarkan tangannya di pinggang Pevita.

“Tidak masalah, Tuan. Saya permisi dulu.” Bobbi menundukkan badannya pada Fredy dan Pevita. Dia melangkah menjauh dan memberi ruang pada dua anak manusia itu.

Bobbi melangkah menjauh, dengan pikiran yang entah sekacau apa. Yang pasti dia ingin berteriak, ingin menangis jika sendiri, ingin ...

Langkah Bobbi terhenti. Berjarak beberapa langkah darinya. Dania sedang berjalan keluar gedung bersama wajah lelah.

Bobbi tersenyum, dia lupa pada kacaunya hati dan pikirannya. Bobbi berlari kecil mengejar Dania. “Lelah, Nona?” Bobbi mengejutkan Dania.

Dania menoleh dan membelalakkan mata. Dania menghadap depan lalu mempercepat langkahnya. Bobbi tersenyum lalu mengikuti langkah Dania tanpa henti. “Pelan sedikit.”

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height