DEAR RANIA/C2 2. MUSIBAH DI TENGAH HUJAN
+ Add to Library
DEAR RANIA/C2 2. MUSIBAH DI TENGAH HUJAN
+ Add to Library

C2 2. MUSIBAH DI TENGAH HUJAN

Satu bulan sebelum Prolog...

Siang itu, terik matahari tak terasa membakar kulit. Awan hitam berarak mendominasi langit Jakarta. Kilatan petir sambar menyambar di kejauhan, menjadikan keadaan Ibukota yang biasanya ramai oleh lalu lalang manusia juga kendaraan, kini mendadak sepi dan lengang. Semua makhluk berduyun-duyun mencari tempat untuk berteduh.

Lapak pasar kaki lima terpaksa membenahi sejenak barang dagangan mereka karena tak mau merugi.

Angin yang bertiup semilir perlahan mulai menunjukkan taringnya. Mengaduk-aduk beberapa kawasan Ibukota dengan terpaan hebat. Rumah-rumah tertutup rapat. Berharap badai akan segera berhenti.

Sementara itu, seorang lelaki berperawakan jangkung dengan kulitnya yang putih bersih terlihat berdiam diri di dalam pertokoan besi.

Tubuh lelaki itu menggigil.

Bibirnya yang gemetar terus bergerak melafalkan dzikir-dzikir memohon perlindungan.

Dia semakin merapatkan sweaternya. Sebuah pakaian usang berwarna putih dengan beberapa bercak luntur di punggung. Sweater hadiah dari Abi ketika dirinya berhasil menjadi Hafiz Qur'an.

"Mas, masuk aja ke dalam, hujannya deras banget," sapa salah satu pekerja di toko besi.

Lelaki itu tersenyum ramah dengan anggukan kecil kepalanya. "Iya, terima kasih, Mas. Tapi saya lagi menunggu orang, mungkin sebentar lagi orang yang saya tunggu itu datang," jawab si lelaki bersweater putih tadi. Logat khas jawa terdengar jelas dari setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya.

"Oh gitu. Mas orang jawa ya?" tanya si karyawan toko besi itu.

"Iya, Mas. Saya baru sampai tadi pagi di Jakarta, mau silaturahmi ke tempat saudara,"

"Jawanya mana Mas?"

"Jogja, Mas. Pesisir pantai Parang teritis,"

"Oh..." si karyawan manggut-manggut seraya menghisap dalam-dalam batang rokok di tangannya. "Kalau saya dari Tegal, rokok Mas?"

"Oh, terima kasih. Tapi saya tidak merokok," tolak lelaki bersweater itu dengan sopan.

Ponsel yang bergetar di saku celana bahannya membuat si lelaki bersweater itu mengalihkan perhatiannya sejenak dari si karyawan toko. "Permisi Mas, saya mau angkat telepon dulu," katanya sambil mengangkat telepon.

"Halo, Rakha? Kamu dimana? Mas sudah di daerah terminal pasar baru," teriak seorang lelaki di seberang telepon. Hujan deras di luar membuat suaranya tersaingi.

"Assalamualaikum, njeh Mas. Saya sedang berteduh di toko besi dan bangunan yang jaraknya tidak jauh dari Masjid di dekat terminal," jawab laki-laki bersweater putih yang bernama Rakha itu. Dahi Rakha mengernyit kala sambaran petir baru saja terdengar di langit.

"Yowes, Mas Otw ke sana, tunggu yo,"

"Njeh Mas, Assalamualaikum,"

Klik!

Astagfirullah.

Rakha bergumam dalam hati kala salamnya tak lebih dulu di jawab oleh sang Kakak Ipar.

Tak berselang lama, sebuah mobil bak butut terlihat memasuki area toko besi itu. Rakha tersenyum sumringah. Akhirnya, orang yang dia tunggu-tunggu sejak tadi datang juga.

Lelaki berperawakan tinggi dengan kulit sawo matang terlihat turun dari mobil bak tersebut. Dia adalah Wisnu, Kakak ipar Rakha.

Kedua Kakak beradik itu pun saling melepas rindu sejenak dengan berpelukan dan saling bertanya kabar hingga setelahnya Wisnu langsung mengajak Rakha beranjak dari toko itu.

Mereka pergi setelah mengucapkan terima kasih pada si karyawan toko besi atas izin yang dia berikan pada Rakha untuk berteduh.

Mobil reot itu melaju perlahan membelah jalanan Ibukota.

Menuju sebuah rumah sakit elit di pusat Jakarta.

*****

"Kondisi kesehatan Mbakmu semakin buruk dari hari ke hari, Kha. Jujur, Mas sudah tak sanggup menanggung biaya rumah sakit, karena tidak semua biayanya di tanggung penuh oleh pemerintah. Terkadang ada saja beberapa obat-obatan yang harus Mas tebus dengan uang pribadi Mas. Bahkan tak jarang jumlahnya bisa sampai jutaan rupiah. Hutang Mas sudah menggunung. Belum lagi biaya sekolah Runi,"

Rakha termangu seorang diri.

Dia duduk tepekur di salah satu bangku tunggu di depan ruangan ICU. Sebuah ruangan dimana seorang perempuan bernama Siti Mutiah berada. Seorang perempuan sholehah yang kini terbaring lemah akibat penyakit yang di deritanya.

Sudah hampir dua bulan Siti terbaring kaku di rumah sakit setelah cidera otak yang dia alami karena terjatuh di kamar mandi ketika tiba-tiba penyakitnya kumat.

Dokter bilang, saat ini kondisi Siti semakin parah.

Rakha sengaja di kirim ke dua orang tuanya di kampung untuk membantu meringankan beban Wisnu di Jakarta.

Ke dua orang tua mereka tak mampu membantu lebih jauh dikarenakan kondisi keuangan keluarga yang memang serba kekurangan. Belum lagi dengan yayasan yatim piatu sederhana yang selama ini mereka kelola di kampung halaman.

Sudah beberapa bulan Yayasan mereka tak mendapatkan subsidi dari pemerintah setempat ditambah berkurangnya donatur menjadikan beban hidup Ummi Salamah dan Abi Amir semakin berat.

Sebagai satu-satunya anak lelaki di dalam keluarga, jadilah sepatutnya Rakha menjelma sebagai tulang punggung keluarga.

Seharusnya sudah sejak dulu dia bisa membantu keuangan keluarganya kalau saja dia tidak memaksakan kehendak untuk terus melanjutkan kuliah ke Kairo.

Sebagai seorang siswa berprestasi, Rakha berhasil meraih beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Al-Azhar, Kairo.

Hal tersebut sempat mendapat pro dan kontra dari pihak keluarga. Adik-adik perempuan Rakha tak ada yang setuju jika Kakak lelaki satu-satunya itu pergi ke Kairo. Mereka takut pendidikan mereka terancam berhenti karena tak ada yang membiayai. Sebab selama ini, Rakhalah yang membiayainya.

Rakha yang sebelumnya menyambi bekerja sebagai tenaga pengajar di pesantren tempat dirinya menempuh pendidikan.

Otak Rakha yang kelewat cerdas membuat lelaki berwajah tampan itu di tunjuk sebagai guru pembimbing dalam menghafal Quran dan Hadist bagi para siswa dan siswi yang menjadi adik kelasnya di pesantren.

Karena itulah Rakha di gaji.

Upahnya saat itu benar-benar bermanfaat untuk membantu Abi membiayai sekolah Aminah dan Latifah, ke dua adik Rakha yang kini tinggal di kampung.

Awalnya, Rakha memang sempat maju mundur untuk menerima beasiswa ke Al-Azhar itu. Rasanya sangat tidak mungkin jika dia membiarkan adik-adiknya terlantar di sini sementara ke dua orang tuanya yang telah renta tak mungkin bisa menghasilkan uang banyak dalam waktu singkat.

Tapi lagi-lagi, Allah menunjukkan kuasanya melalui tangan-tangan malaikat berwujud manusia yang dengan baiknya menjadikan yayasan milik keluarganya sebagai salah satu yayasan yatim piatu yang terpilih untuk menerima donasi bantuan tetap setiap bulannya. Donasi itu masih berlanjut hingga sekarang.

Pada akhirnya, Rakha pun bisa mengejar impiannya untuk mengenyam pendidikan di Al-Azhar.

Empat tahun berjuang hidup di Kairo, Rakha berhasil lulus dengan meraih predikat cumlaude dan mendapat hadiah berupa paket umrah dari pihak Al-Azhar yang dia berikan pada ke dua orang tuanya.

Saat ini, Rakha memang masih menganggur.

Sejauh ini, dia hanya mengisi kajian atau ceramah dari satu masjid ke masjid lain di Kampung halamannya dan mendapat imbalan ala kadarnya, alias seikhlasnya.

Namun, mengingat kondisi sang Kakak sekarang, Rakha sadar bahwa dirinya harus segera mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan tetap. Dia tak mungkin hanya menyandarkan diri pada penghasilannya yang tak tentu sebagai seorang penceramah junior.

Mungkin ada baiknya dia harus bertindak cepat.

Saat itu, Rakha baru saja berniat untuk mencari lowongan pekerjaan di internet melalui ponselnya. Tapi sapaan sang Kakak ipar dari arah samping membuatnya urung melakukan niatnya.

"Kha, maaf nih, kebetulan Mas ada borongan malam ini, mengantar sembako ke Bekasi. Kamu bisa pulang sendirikan? Nih alamat rumah, Mas. Runi ada kok di rumah," ucap Wisnu seraya memberikan secarik kertas bertuliskan alamat kontrakannya di daerah Mampang.

Rakha mengangguk disertai senyuman tipis. "Mas nggak usah khawatir, saya bisa jaga diri, Mas yang hati-hati,"

"Okelah kalau begitu, Mas jalan duluan ya?"

"Njeh, Mas,"

Rakha masih memperhatikan kepergian sang Kakak Ipar sampai bayangan lelaki itu menghilang di sudut koridor rumah sakit ketika di waktu yang bersamaan, tepatnya dari arah berlawanan, terlihat dua orang manusia keluar dari sebuah ruangan periksa.

"Apa kita perlu kasih tau ke Mamah sama Papah kalau aku hamil, Nan?" ucap sang perempuan. Wajahnya tampak kusut.

"Ya nggak usahlah. Ngapain di kasih tahu, dua minggu lagi kitakan mau nikah. Toh orang-orang nggak akan tahu kalau kamu udah hamil duluan," sahut si lelaki.

Percakapan dua manusia itu di tangkap jelas oleh indra pendengaran Rakha. Membuat lelaki pemilik hidung mancung itu tersenyum miris seraya beristighfar dalam hati.

Dunia memang sudah benar-benar kacau. Sebab Zina sudah semakin merajalela di muka bumi. Dan itu menjadi salah satu pertanda akhir jaman.

Semoga Allah SWT menjauhkan hamba dari perbuatan Zina...

Doa Rakha dalam hati.

Rakha kembali tenggelam dalam lamunannya. Memikirkan nasib sang Kakak, Siti.

Berhubung saat itu koridor rumah sakit sepi, jadilah bunyi dering ponsel yang berasal dari saku celana jeans si lelaki yang melintas bersama kekasihnya dihadapan Rakha kembali mengalihkan perhatian Rakha.

"Nyokap aku telepon, sayang. Aku angkat dulu sebentar ya?" ucap si lelaki. Dia beringsut menjauhi kekasihnya dan berdiri tepat membelakangi Rakha.

Si perempuan hanya mengangguk pelan lalu duduk di salah satu kursi kosong, tak jauh dari tempat Rakha duduk.

"Halo Beb? Ada apaan sih? Aku kan udah bilang jangan telepon aku duluan kalau bukan aku yang hubungi kamu," bisik si lelaki pada si penelepon. Sesekali dia melirik sekilas ke arah sang perempuan di ujung koridor.

"Apa? Jemput? Sekarang?" suara si lelaki tampak di buat-buat. Dia berteriak keras seolah berharap sang kekasihnya di sana bisa mendengar percakapannya di telepon saat itu.

"Oke-oke, Nando ke sana sekarang," ucap lelaki itu lagi.

Laki-laki itu menyudahi pembicaraannya di telepon. Dia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana jeans belelnya lalu beranjak kembali mendekati sang perempuan.

"Sayang, maaf banget nih, aku nggak bisa nganterin kamu pulang kayaknya, Nyokap aku minta jemput sekarang,"

Lagi-lagi Rakha tersenyum miris. Meski tatapannya tak sama sekali beralih dari layar ponselnya, tapi Rakha tidak tuli. Dia mendengar semua isi percakapan laki-laki buaya darat itu dihadapannya tadi.

Lagipula, tidak ada ceritanya seorang anak memanggil seorang Ibu dengan panggilan Beb.

Sungguh kasihan nasib wanita itu. Sudah di rusak, di hamili, di bohongi pula. Semoga saja Allah bisa menunjukkan kuasanya untuk menolong wanita itu dari laki-laki brengsek macam kekasihnya saat ini.

Harap Rakha membatin.

"Terus aku pulang gimana? Di luarkan hujan," bantah si perempuan tidak terima. "Kalau nggak aku ikut kamu aja deh jemput nyokap kamu,"

"Eh jangan, aku takut kelamaan nanti kamu malah pulang kemaleman. Aku pesenin taksi online ya, nanti kamu aku turunin di depan halte rumah sakit, kamu tunggu taksi onlinenya di sana, gimana?" saran si lelaki.

"Tau ah! Terserah kamu aja!"

"Yeee, jangan ngambek dong, jelek tau!"

Si perempuan terlihat merajuk. Dia berjalan cepat meninggalkan si lelaki yang mengejarnya di belakang.

Dan ketika si perempuan melangkah dan berjalan ke arah Rakha, entah kenapa tiba-tiba saja kepala lelaki itu mendongak, seolah ada yang menuntunnya agar bergerak lalu menatap ke arah si perempuan.

Dan di waktu yang bersamaan si perempuan pun sempat menoleh sekilas ke arah Rakha. Tatapan ke duanya sempat bertemu satu sama lain.

Meski Rakha langsung menghindar seraya berucap istighfar dalam hati. Sebagai seorang lelaki sudah seharusnya dia menjaga pandangannya dari yang tidak halal baginya. Bagaimana mungkin dia bisa terperdaya oleh tipu daya setan?

Tapi anehnya, ada satu hal yang membuat Rakha seperti teringat pada seseorang ketika dia melihat wajah perempuan itu dengan cukup jelas tadi.

Kenapa wajah perempuan itu tampak tidak asing? Apa mungkin saya dan dia sempat bertemu sebelum ini? Tapi kapan? Dimana...

Atau...

Rakha menggeleng.

Sebersit bayangan seorang peri kecil hadir dalam ingatannya.

*****

Hujan masih mengguyur daerah sekitar Jakarta bahkan hingga hari sudah semakin gelap.

Rakha keluar dari rumah sakit sambil berlari kecil. Dia menutupi kepalanya dengan ke dua tangan. Meski hal itu tak banyak membantu. Tubuh dan sebagian rambutnya tetap saja kuyup.

Seorang lelaki tua terbatuk-batuk dari dalam sebuah mobil box hitam yang terparkir di tepi trotoar sekitar rumah sakit. Jaraknya tak jauh dari halte.

Kaca jendelanya terbuka hingga air memenuhi bagian kemudinya. Karena jarak antara Rakha dengan mobil itu cukup dekat, Rakha bisa melihat dengan jelas, batuk si Bapak tua itu tampaknya sangat serius karena sampai mengeluarkan darah.

Sisi kemanusiaan dalam diri Rakha pun tergugah melihatnya.

"Assalamualaikum, Pak, Bapak kenapa? Ada yang bisa saya bantu, Pak?" sapa Rakha sembari menyentuh bahu si lelaki tua yang tampak kelelahan akibat batuknya yang tak kunjung reda. Seluruh mulutnya sudah penuh oleh darah segar. Bahkan sebagian mengalir keluar dari sudut kiri bibirnya.

"Nak... Tolong saya, Nak... Saya masih harus mengantar barang malam ini, kalau tidak saya kerjakan, atasan saya tidak akan membayar upah saya, saya harus segera membeli obat, Nak..." racau si Bapak tua itu. Keputusasaan membuat lelaki tua itu mengesampingkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi menimpanya. Bagaimana jika lelaki yang dia mintai tolong saat ini adalah orang jahat? Jakarta itu keras bukan? Namun, imannya pada sang khaliklah yang membuatnya memilih untuk tetap berprasangka baik pada siapapun manusia asing yang dia temui di jalan.

"Ta-tapi apa yang bisa saya lakukan untuk membantu Bapak?" tanya Rakha terbata. Tubuhnya sudah sepenuhnya basah.

"Kamu bisa menyetir mobil?"

"Bi-bisa Pak," Rakha mengangguk meski ragu.

"Kalau begitu, tolong antarkan saya ke alamat ini, supaya saya bisa segera menyelesaikan pekerjaan saya malam ini. Saya akan menunjukkan jalannya nanti," lelaki tua itu memberikan sebuah kertas yang bertuliskan alamat seseorang.

"Baik, Pak," tanpa pikir panjang, Rakha menyanggupi untuk membantu. Untungnya Rakha cukup mahir mengendarai mobil.

Bismillah.

Rakha mulai menyalakan mesin mobil setelah dia menduduki posisi si Bapak tua tadi yang kini duduk di sampingnya. Ke dua mata lelaki tua itu tampak terpejam. Sepertinya dia benar-benar kelelahan.

Sebuah sedan hitam terlihat melaju kencang menembus lampur merah.

Sedan hitam itu datang berlawanan arah dari laju mobil yang dikendarai Rakha.

Mendekati halte, mobil itu tiba-tiba saja menukik tajam.

Sementara itu, mobil box yang berada tak jauh dari halte bergerak di waktu yang bersamaan.

Si pengendara sedan hitam terkejut ketika niatnya semula untuk menabrak seorang wanita lain yang kini berdiri di depan halte terhalang oleh Mobil box yang tiba-tiba bergerak.

Kecelakaan pun tak dapat terelakkan.

Sedan hitam itu menyenggol mobil box dengan kencangnya.

Kemudi di tangan Rakha kehilangan kendali. Bahkan saat itu rem yang berkali-kali Rakha injak tidak juga berfungsi.

Mobil box hitam itu tergelincir hingga beberapa meter kebelakang akibat jalanan yang licin.

Wajah Rakha langsung kaku dan pias. Berkali-kali hatinya meneriakkan kalimat-kalimat dzikir. Bibirnya mendadak kelu dengan tangan yang gemetar dan masih berusaha mengambil alih kembali kemudi. Meski hal itu gagal dia lakukan.

Mobil yang dikendarainya terbalik setelah sempat menghantam besi halte yang berada di depan rumah sakit. Tubuh Rakha terpental keluar dan jatuh di aspal jalanan yang jaraknya cukup jauh dari halte.

Kondisi mobil box yang dikendarainya ringsek di bagian belakang dan depan. Asap mengepul dari kap mobil yang terbuka.

Dalam kabut yang memenuhi penglihatannya saat itu, Rakha sempat melihat ada sesosok tubuh lain yang terpental dari arah halte yang sempat ditabraknya.

Ya Allah, apa yang sudah terjadi?

Rakha tak mampu bergerak dari posisinya. Kerumunan orang tampak merangsek mengelilingi mobil box dan seseorang lain di tepi halte itu yang menjadi korban.

Dalam samar, Rakha hanya bisa menangkap untaian panjang rambut si korban di tepi halte itu.

Apa dia seorang wanita?

Rakha hanya bisa menerka-nerka tanpa bisa melakukan tindakan lebih jauh.

"Mas-mas, bangun Mas! Woy, ada korban lain di sini,"

Itulah teriakan salah satu warga yang berhasil ditangkap indra pendengarannya sebelum akhirnya semuanya berubah menjadi gelap.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height