DEAR RANIA/C7 7. KENANGAN MASA KECIL
+ Add to Library
DEAR RANIA/C7 7. KENANGAN MASA KECIL
+ Add to Library

C7 7. KENANGAN MASA KECIL

"Bagaimana Dev? Apa informasi yang kamu peroleh mengenai seluk beluk keluarga Rakha?" tanya Bastian setelah satu hari berlalu pasca kejadian di hari lamaran itu.

Pihak keluarga memang merasa sangat tidak enak hati atas perlakuan Rania terhadap keluarga Rakha pun Rakha sendiri. Tapi, mereka juga tidak ingin terburu-buru menyimpulkan keputusan tentang sosok Rakha. Mereka perlu bukti lebih lanjut yang bisa membuat mereka benar-benar percaya bahwa Rakha memang berasal dari keluarga baik-baik.

Dan fakta menbuktikan semua kebenaran itu setelah Devano mengirim orang kepercayaannya untuk menggali informasi lebih lanjut mengenai asal usul keluarga Rakha pun Rakha sendiri.

"Ternyata ayah Rakha itu adalah seorang Ustadz yang cukup terpandang di daerah Bantul, Pah- Mah. Mereka memiliki sebuah panti asuhan kecil di kampung. Sejauh ini dari pengakuan warga sekitar tentang keluarga Rakha, mereka semua memberi keterangan positif tentang perangai masing-masing dari keluarga Rakha termasuk Rakha sendiri. Seperti yang Dev bilang, dari penilaian Dev tentang seorang Rakha, menurut Dev, dia memang seorang laki-laki baik yang tulus ingin meminang Rania. Apa tidak sebaiknya kita mempertimbangkan ulang mengenai lamaran Rakha atas diri Rania, Pah-Mah? Kesempatan baik tidak akan datang dua kalikan?" ungkap Dev panjang lebar. Sebagai seorang lelaki, setidaknya Dev bisa lebih pandai menilai dan memilah mana laki-laki yang memang benar-benar baik dan tidak.

Seperti halnya saat pertama kalinya dia melihat Nando.

Sejak itu juga Dev sudah menangkap ada yang tidak beres dari sosok Nando. Dan semua prasangkanya itu terbukti saat ini. Laki-laki brengsek itu telah menghancurkan kehidupan adiknya bahkan setelah dia merusak Rania dengan menghamili sang adik. Meski sampai detik ini Nando tidak mengakui hal itu tapi Dev lebih percaya pada pengakuan Rania. Rania tidak mungkin berbohong. Sebab yang Dev tahu, sejauh ini, Rania itu memang tak pernah menjalin hubungan serius dengan lelaki manapun terkecuali Nando.

Rania bukan tipikal wanita yang mudah jatuh cinta. Dia cenderung introvert jika sudah menyangkut masalah hati. Meski setelahnya, pilihan Rania justru jatuh pada orang yang salah.

Sekalinya dia jatuh cinta, justru pada seorang laki-laki berandal macam Nando.

"Jujur, dari hati kecil Papah juga sependapat dengan pandanganmu perihal Rakha dan keluarganya. Hanya saja, yang masih menjadi tanda tanya sekarang, bagaimana caranya kita membujuk Rania supaya bersedia menerima lamaran ini? Kalian tahu sendirikan, Rania itu keras kepala,"

"Kalau masalah itu, biar aku saja yang urus, Mas," sahut Raline dengan tatapan hangatnya seraya menggenggam jemari Bastian sang suami. Mereka tersenyum dalam tatapan masing-masing.

Keputusan sudah di buat.

Baik Bastian maupun Raline, juga Devano, memutuskan untuk menerima pinangan Rakha atas diri Rania.

Meski saat ini, mereka tahu bahwa mereka harus bekerja keras saling bahu membahu untuk meyakinkan Rania agar tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus ini.

********

Sudah hampir dua minggu berlalu sejak kecelakaan itu.

Kini kehidupan Rania berubah seratus delapan puluh derajat.

Dari yang biasanya dia sering kongkow dan nongkrong bareng dengan teman-teman satu geng motornya, tapi kini bahkan untuk sekedar mencari pakaian saja dia harus membutuhkan bantuan.

Jika biasanya, sepulang dari kampus, Rania akan menghabiskan waktunya berjalan-jalan keliling ibukota bersama Nando, kini waktunya hanya bisa dia nikmati dari balik kaca jendela kamarnya. Merasakan pagi, siang, sore dan malam yang berganti di dalam kegelapan. Semua tampak sama, tak ada bedanya. Hitam, gelap, kelam dan suram. Yang bisa Rania rasakan hanya sorot hangat sinar matahari yang menerpa wajahnya di kala pagi menjelang dan Angin yang bertiup di kala senja. Atau rintik air yang turun membasahi permukaan kulitnya dikala hujan.

Rania malas keluar, jika di ajak pergi oleh ke dua orang tuanya pun, Rania selalu menolak. Toh, mau di dalam atau pun di luar, apa yang dia lihat sama saja.

Meski terkadang rasa bosan kian membunuhnya, tapi Rania lebih memilih untuk seperti ini.

Duduk menyendiri di sudut kamar dengan kaca jendela kamar yang sengaja dia buka lebar-lebar. Terus menatap pada satu titik, meski tak tahu apa yang saat itu sedang dia tatap.

Terkadang buliran air matanya menetes tanpa sebab. Meski langsung dia seka dengan cepat. Rania sadar dia sudah terlalu banyak merepotkan ke dua orang tuanya. Membuat mereka susah dengan segala tingkah lakunya. Membuat mereka semua cemas akan keadaannya. Dulu Rania bukan seorang wanita yang cengeng. Dia itu kuat. Dia seperti wonder women. Meski sejak mengenal apa itu cinta, Rania merasakan betapa lemah dirinya.

Orang bilang, jatuh cinta itu indah. Jatuh cinta itu mengasyikkan. Tapi, kenapa yang dia rasakan atas hubungannya dengan Nando selama ini tidak seindah yang orang lain katakan dan rasakan?

Seperti halnya jalinan kasih rumah tangga antara Devano dan Zia. Di mata Rania, cinta mereka begitu kuat dan terkadang membuat Rania iri. Meski diluar mereka seringkali terlihat bertengkar, tapi Rania tahu betul tak ada satu pun laki-laki yang bisa mencintai Zia sebesar cinta Devano pada istrinya. Begitupun sebaliknya.

Saat Rania mengingat kembali, bagaimana awalnya kisah asmara antara dirinya dengan Nando bisa terjalin, Rania justru merasa aneh sendiri. Seperti ada sebuah perasaan lain di sudut terdalam hatinya yang mengatakan, kalau Nando itu tidak sungguh-sungguh mencintainya, melainkan hanya ingin mengambil secuil keuntungan dari dirinya. Entah dalam hal apa, Rania masih belum bisa memprediksinya terlalu jauh, ketika itu.

Namun seiring waktu berjalan, segala keraguannya itu pun terjawab dengan sendirinya. Dan entah bagaimana awalnya, di hari itu, di malam itu, Rania justru rela memberikan mahkotanya yang paling berharga untuk Nando dengan begitu mudahnya. Padahal, saat kejadian itu berlangsung, Rania bahkan belum tahu apakah dirinya sudah benar-benar mencintai Nando atau tidak. Entah cinta seperti apa yang selama ini Rania rasakan terhadap Nando, yang Rania tahu, dia terlalu takut kehilangan. Rania tidak ingin Nando pergi dari kehidupannya. Sehingga terlalu bodoh sampai rela memberikan apa yang seharusnya tidak dia berikan.

Rania sadar dia menyesali hal itu di saat semuanya justru sudah terlambat.

Untuk itulah, Rania yang terus memaksa Nando agar mau menikahinya. Rania yang terus meminta dan memohon pada Nando agar bersedia menjadi suaminya. Karena dengan begitu, Rania yakin bahwa Nando akan terus berada di sisinya. Tak akan pernah pergi meninggalkannya. Sampai-sampai tipu muslihat Nando pun lagi-lagi mampu menipu Rania.

Hingga Rania kembali terbuai oleh bujuk rayu laki-laki itu yang menginginkan tubuh Rania untuk ke dua, ke tiga, dan entah untuk yang ke berapa kali. Hingga akhirnya Rania pun hamil justru di saat detik-detik pernikahan mereka akan dilangsungkan.

Hanya tinggal menghitung hari.

Dan Rania baru sadar akan perubahan yang terjadi di dalam dirinya. Ketika mual dan muntah menjadi salah satu teman setia di pagi hari yang dia lalui. Ketika dirinya mulai merasakan sensitifitas yang berlebihan terhadap bebauan yang menyengat. Terlebih, ketika dia sadar bahwa dirinya sudah terlambat menstruasi.

Rania masih terdiam di sudut kamarnya saat itu, masih dengan tatapannya yang terus tertuju pada satu titik.

Dia meraba perutnya yang masih rata dari balik kaus yang dia kenakan. Sekedar ingin tahu apakah janin di dalam rahimnya saat ini ikut merasakan betapa pedih dan menderitanya dia saat ini? Jika memang seperti itu, itu artinya Rania tidak boleh lagi menangis. Rania tidak boleh lagi larut dalam kesedihan. Rania harus bangkit dan harus membuktikan pada orang lain bahwa dirinya kini baik-baik saja. Dia wanita kuat. Dia tidak boleh menjadi lemah hanya karena kekurangan yang dia miliki saat ini.

Terlebih, dia tidak ingin melihat Sang Mamah menangis lagi.

Meski dirinya itu keras kepala, susah di atur dan seringkali nakal. Namun di dalam lubuk hatinya, Rania begitu menyayangi sang ibu. Sangat-sangat sayang. Walau terkadang dia tak mampu mengekspresikan rasa sayangnya itu dengan cara yang baik dan benar.

Seperti apa yang pernah seseorang katakan di masa kecilnya dulu pada Rania, tentang makna seorang Ibu dalam kehidupan.

Rania masih ingat betul kejadian itu.

*

Rania kecil menangis seorang diri di tepi jalan akibat barang dagangannya habis diobrak-abrik oleh preman pasar yang usil sampai dirinya di tolong oleh seorang bocah laki-laki yang melintas dihadapannya sambil menaiki sepeda ontel.

"Astagfirullah, kamu kenapa nangis? Ayo bangun, sini saya bantu," ucap anak laki-laki itu pada Rania kecil. Sepertinya saat itu dia hendak ke arah pasar parang tritis.

"Kamu di serempet ya?" tanya bocah laki-laki itu lagi.

Rania kecil menggeleng seraya menyeka air matanya beberapa kali. Dia meringis menahan sakit pada kakinya yang saat itu masih dalam keadaan di perban pasca kecelakaan yang terjadi menimpanya beberapa hari yang lalu.

Si bocah lelaki itu memapah Rania dan membantu Rania untuk duduk di sebuah pendopo warung yang sudah tak berpenghuni, tak jauh dari jalan raya.

"Ini barang dagangan kamu?" tanya bocah laki-laki itu usai dirinya memunguti beberapa jajanan pasar yang kondisinya sudah kotor dengan pasir.

"Iya, itu kue buatan Ibu untuk di jual ke pasar, tadi preman-preman itu yang membuangnya dan diinjak-injak..." isak Rania kecil. Rania menyesal karena dirinya sempat kurang ajar pada salah satu preman pasar beberapa hari yang lalu, untuk itulah hari ini dia dikeroyok karena preman pasar yang merasa dijahili oleh Rania tidak terima sehingga memanggil komplotannya untuk mengerjai Rania balik. Sekedar memberi pelajaran pada Rania atas kekurang ajaran Rania terhadap sang preman itu.

Bocah laki-laki itu tampak prihatin. "Udah jangan nangis lagi. Tapi makanan ini memang sudah nggak bisa di jual lagi, sudah kotor semua. Itu kaki kamu berdarah, saya anter pulang ya, biar bisa cepat diobati,"

"Tapi, aku takut kena marah lagi sama Ibu, kalau aku pulang nggak bawa uang, padahal Ibu udah pinjem uang untuk modal buat kuenya..." tutur Rania kecil menjelaskan.

Bocah laki-laki itu terdiam sejenak. Seperti sedang berpikir keras. Hingga setelahnya dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang puluhan ribu yang bercampur dengan uang koinan. Dia ikat menjadi satu dalam sebuah kantong kresek kecil.

"Ini, saya ada sedikit tabungan. Bisa kamu pakai untuk ganti rugi modal jualan Ibu kamu," ucap si bocah laki-laki seraya memberikan kantong kresek berisi uang itu pada Rania.

Rania menerimanya meski ragu-ragu. "Memangnya kamu nggak akan kena omel orang tua kamu kalau uang ini kamu kasih ke aku?" tanya Rania kecil dengan wajah polos.

"Nggak kok. Kan saya bilang, ini uang tabungan saya, tadinya sih mau saya belikan khimar baru untuk hadiah ulang tahun Umi, tapi kamu lebih membutuhkan uang ini dari pada saya sekarang, ambil saja. Tidak usah sungkan. Ibu kamu sudah susah payah membuat kue itu supaya bisa mendapat uang, itu tandanya dia pasti membutuhkan uang itu untuk suatu hal yang lebih penting. Peluh yang menetes dari tubuh seorang Ibu yang berjuang mencari nafkah itu adalah emas berharga yang tak ada nilainya. Bahkan jika dibandingi dengan seluruh harta di dunia ini. Untuk itu, bahagiakanlah Ibumu, jangan sampai membuatnya marah apalagi menangis..."

*

Sebuah senyuman terbit di sudut bibir Rania jika dirinya mulai mengingat masa-masa itu.

Entah siapa dia, dimana dia berada sekarang, dalam hati kecilnya, ada sebuah keinginan jikalau dirinya bisa kembali dipertemukan dengan bocah lelaki pemilik hati mulia itu.

Pastinya saat ini, dia sudah menjelma menjadi seorang lelaki tampan dewasa yang sangat baik hati.

Kalau saja takdir mempertemukan Rania kembali dengan bocah laki-laki itu di masa depan, Rania ingin sekali mengganti uang yang sudah dia berikan pada Rania waktu itu. Tapi, apa mungkin dia masih ingat pada Rania?

Entahlah... Rania tak bisa menebak lebih jauh.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan di pintu membuat perhatian Rania teralih ke arah suara.

"Rania, ini Mamah Nak..."

"Iya, Mah, masuk aja," sahut Rania.

Raline masuk ke dalam kamar putrinya dengan sebuah senyuman yang terkembang.

"Kamu udah makan sayang?" tanya Raline dengan perangai keibuannya yang sangat lemah lembut. Dia mengusap puncak kepala Rania dengan sayang.

"Udah, Mah. Tadi Mbok Surti yang bawain makanan,"

"Kita duduk di sana yuk, ada sesuatu yang mau Mamah bicarakan denganmu," ajak Raline seraya membantu Rania bangkit dari duduknya di tepian jendela. Raline membimbing tubuh Rania untuk duduk bersamanya di tepi ranjang tempat tidur.

"Soal apa Mah?" tanya Rania.

"Sebelumnya, Mamah minta kamu dengarkan dulu penjelasan Mamah, baru setelah itu kamu boleh menyampaikan pendapat kamu, bagaimana?"

"Iya, Mah..."

Raline meraih ke dua tangan Rania dan menggenggamnya hangat.

"Sebentar lagi, kamu itukan mau menjadi seorang Ibu, di dalam rahim kamu sekarang ada sebuah janin yang sedang tumbuh dan berkembang. Menurut pengalaman pribadi Mamah, akan sangat menyedihkan di kala janin ini nanti sudah terlahir ke dunia, sementara dia tak memiliki sosok Ayah yang mendampingi pertumbuhannya. Mungkin saat ini kamu belum bisa merasakan hal itu, tapi nanti kamu pasti akan merasakannya. Untuk itu, Mamah ingin kamu mempertimbangkan lagi tentang lamaran Rakha kemarin. Masmu, sudah menggali informasi tentang Rakha dan keluarganya lebih jauh. Sudah terbukti bahwa mereka itu adalah orang baik-baik. Rakha sendiri adalah sarjana lulusan Al-Azhar di Kairo mesir dengan nilai Cumlaude yang berhasil dia capai. Dev bilang, di kantor itu Rakha termasuk karyawan teladan. Tutur katanya sopan dan santun. Dia taat agama. Seorang Hafizh Qur'an pula. Dan dari segi fisik Mamah lihat dia itu cukup tampan. Tubuhnya tinggi, kulitnya putih, rambut hitam tebal, hidungnya mancung, rahangnya tegas dan tatapannya hangat. Memang, kalau mau di pikir lagi, semuanya terkesan tidak masuk akal. Tapi, Mamah bicara seperti ini bukan karena Mamah hanya mengada-ngada. Mamah bicara berdasarkan fakta. Apa salahnya jika kita berprasangka baik pada seseorang? Walau kita belum mengenal orang tersebut dengan baik. Mudah-mudahan prasangka baik akan menghadirkan kebaikan juga bagi diri kita kelak. Rakha sudah mengetahui kondisimu, tapi dia tetap memutuskan untuk melamarmu. Bahkan dia bersedia menerima janin di dalam perutmu sebagai anaknya. Kurang apalagi Rania?"

"Mamah dan Papah tidak akan memaksa apapun yang akan kamu putuskan. Hanya saja, Mamah tidak akan sanggup melihat keadaanmu yang seperti ini terus menerus, hidupmu masih panjang. Kamu butuh pendamping. Mamah dan Papah sudah semakin tua, tidak bisa menjagamu selamanya... Kalau seandainya maut memanggil Mamah lebih dulu..."

"Mah... Udah!" potong Rania tiba-tiba. Dia memeluk tubuh Raline dengan sangat erat. "Rania nggak mau denger lagi! Rania nggak mau denger apapun lagi!" ucap Rania berulang-ulang. Dia semakin tenggelam dalam tangis.

Untuk sejenak Ibu dan anak itu larut dalam tangis.

"Mamah hanya ingin melihatmu bahagia, Rania..." bisik Raline lagi. Melihat keadaan Rania saat ini, sebagai seorang Ibu Raline jelas sangat terpukul. Tak ada seorang Ibu pun yang sanggup melihat keadaan anaknya yang terus tenggelam dalam keterpurukan.

"Menikahlah Rania... Berbahagialah... Demi calon anakmu, demi dirimu juga, demi masa depanmu..." ucap Raline lagi.

Meski sampai detik ini, Rania masih tetap dalam kebisuannya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height