DEAR RANIA/C9 9. SANG PEMILIK SEDAN HITAM
+ Add to Library
DEAR RANIA/C9 9. SANG PEMILIK SEDAN HITAM
+ Add to Library

C9 9. SANG PEMILIK SEDAN HITAM

Senja di Jakarta memang jauh berbeda dengan Senja di tepi pantai parang tritis.

Apalagi suasana malamnya.

Jakarta yang terkenal sebagai kota yang tak pernah tidur membuka peluang bagi banyak kalangan untuk mencari sepeser uang. Baik itu di waktu pagi, siang, sore, bahkan hingga malam kembali berganti menjadi pagi.

Seolah tak mengenal lelah. Hiruk pikuknya terus bergulir penuh keambisian. Tak lekang oleh waktu.

Malam ini, Rakha berencana untuk kembali menyambangi kediaman Dirgantara karena dirinya di undang makan malam bersama oleh calon Ibu dan Bapak mertuanya.

Sayangnya, Rakha lupa bahwa kini dirinya bukan lagi hidup di daerah pedesaan dimana jalanannya lengang tanpa polusi dan kemacetan. Kini dirinya berada di Jakarta. Kota dengan tingkat kemacetan tertinggi seantero Indonesia.

Untungnya kali ini Rakha memilih untuk naik Ojol ketimbang harus naik metromini. Jadilah, waktu tempuhnya menuju kediaman Dirgantara bisa lebih singkat dan cepat. Meski harus melewati jalan tikus agar tidak terjebak dalam kemacetan.

Usai membayar ongkos Ojol yang dia kendarai, Rakha merapikan sejenak penampilannya. Dia berjalan ke arah pintu gerbang besar dihadapannya.

"Assalamualaikum, Pak, sa-"

"Mas Rakha ya?"

"Iya, Pak," jawab Rakha mengangguk setelah kalimat pertamanya sudah lebih dulu di potong oleh sang security yang berjaga di pos satpam.

"Silahkan masuk Mas, kedatangan Mas sudah di tunggu oleh keluarga besar Bapak Bastian," ucap sang security yang dengan sigap menghantar perjalanan Rakha hingga sampai di pintu utama.

Rakha dipersilahkan masuk setelah Bastian sendiri yang menyambutnya di depan pintu utama.

Malam ini memang terlihat berbeda dari malam sebelumnya. Sebab, Rakha mendapati begitu banyak orang di dalam ruangan besar itu.

Entah siapa mereka, Rakha sendiri tidak tahu. Dia hanya mengenal Dev dan Zia di sana.

Mereka yang tampak sibuk dengan seorang bayi mungil di gendongan Zia yang terus saja menangis. Sementara Devano sedang menyuapi seorang anak kecil perempuan yang berumur sekitar dua atau tiga tahunan. Mungkin itu anak-anak mereka, pikir Rakha membatin.

"Silahkan duduk," Raline mempersilahkan Rakha untuk duduk. "Makan malamnya sudah siap tapi sengaja kita tunda karena masih menunggu beberapa anggota keluarga yang lain, tidak apa-apakan Rakha?" beritahu Raline dengan senyum khasnya. Wanita paruh baya itu tampak cantik dengan gamis dan hijab yang dia kenakan saat ini.

"Iya, Tante. Tidak apa-apa," jawab Rakha sesopan mungkin.

Raline tersenyum sungkan. "Del, coba telepon lagi Rayyannya, masih lama nggak?" teriak Raline pada anak perempuannya Delisha.

Rakha sadar dirinya kini menjadi pusat perhatian beberapa orang di sana. Untungnya, kedatangan Devano membuat kegugupannya perlahan memudar.

Devano menghampiri Rakha sambil menggendong anak kecil perempuan yang tadi dia suapi.

"Jangan kaget ya, Kha. Begini keadaannya kalau semua keluarga besar udah kumpul," ucap Devano pada Rakha.

"Sama saja seperti keluarga saya, kalau sudah kumpul pasti ramai, Pak Dev," jawab Rakha sekenanya. Meski kenyataannya tidak seramai ini.

"Kebanyakan dari kurcaci-kurcaci itu, anak gue, Kha," Devano kembali bersuara. Dia menunjuk beberapa anak kecil yang sibuk dengan mainan mereka masing-masing.

Rakha hanya mengangguk tanda paham. Meski dirinya sempat tidak percaya dengan perkataan Devano. Sebab, apa yang dilihatnya sekarang memang terkesan tidak masuk di akal. Saking banyaknya anak kecil di sini. Saat Rakha sempat menghitungnya, jumlahnya bahkan lebih dari sepuluh orang.

Untuk beberapa saat, Rakha, Devano, Bastian dan seorang laki-laki bernama Mirza terlibat percakapan serius di ruang keluarga itu.

Bastian memperkenalkan satu persatu anggota keluarganya pada Rakha sampai kepada cucu-cucunya.

Seorang asisten rumah tangga yang biasa di panggil Mbok Surti tiba-tiba datang menghampiri Devano dan membisikkan sesuatu di telinga sang tuan muda. Sementara Devano hanya membalasnya dengan anggukan kepala.

"Kha, lo di panggil Rania tuh ke atas. Rania mau ada yang di omongin katanya sama lo," beritahu Devano di tengah percakapan para lelaki itu.

"Ada apa Dev?" tanya Bastian.

"Ini Pah, tadi Mbok Surti bilang, Rania minta Rakha samperin dia ke kamar. Ada yang mau Rania omongin sama Rakha," jelas Devano pada sang Papah.

"Ya sudah kalau begitu, kamar Rania ada di atas Rakha, yang pintunya warna hijau muda," beritahu Bastian pada Rakha.

"Bisakan jalan sendiri?" tanya Dev.

Rakha tersenyum kikuk. Dia bingung.

"Kenapa, nggak Rania aja yang ke sini, Om? Saya nggak enak kalau harus masuk ke dalam kamarnya," jawab Rakha dengan senyuman sungkan.

"Memangnya kenapa? Mungkin Rania butuh privasi. Sudah tidak apa-apa, datangi saja Rania ke kamarnya," jawab Bastian memberi izin.

"Hm, begini Om, sebenarnya bukan masalah privasi atau apa, tapi dalam islam, dua manusia berbeda jenis yang bukan mahram memang di larang berada di dalam satu ruang yang sama apalagi ruangan itu tertutup. Banyak mudharatnya, Om," jelas Rakha pada akhirnya. Meski rasanya enggan bicara seperti itu dihadapan orang yang lebih tua. Kesannya Rakha seolah menggurui. Padahal Rakha sama sekali tidak bermaksud seperti itu.

"Yaudah, tinggal lo buka aja pintunya, susah amat," timpal Devano menyepelekan.

"Maaf, Pak Dev. Saya tidak bisa," Rakha tetap pada pendiriannya.

"Yasudah, kalau begitu biar Devano saja yang menemanimu. Dev, temani Rakha ke atas," titah Bastian yang langsung di sambut berengutan Devano.

Setengah terpaksa Devano bangkit dari duduknya dan mengajak Rakha menuju kamar Rania.

"Untung bukan di kantor," gerutu Devano yang terlihat jengkel.

"Maaf, Pak Dev. Saya jadi merepotkan,"

"Oh, nggak kok! Santai aja lagi, selagi ini bukan kantor, tenang aja! Bahkan gue rela jadi bodyguard yang jagain pintu, demi Rania," ada penekanan dalam kata Rania yang diucapkan Devano saat itu. Menandakan dirinya bersedia melakukan ini semua bukan karena Rakha melainkan Rania. "Kalau bukan di kantor, kita ngobrol santai aja, nggak usah pake bahasa formal. Lo juga nggak perlu panggil gue Pak, panggil aja gue Dev, umur kita juga nggak jauh-jauh amat," tambah Dev lagi berusaha maklum meski hatinya masih setengah dongkol akibat tingkah Rakha yang dianggapnya berlebihan.

Rakha hanya menimpalinya dengan anggukan kepala dan sebuah senyuman tipis.

Setibanya di depan pintu kamar Rania, Devano mengetuk pintu kamar itu dari luar sampai akhirnya terdengar sahutan suara Rania yang mempersilahkannya masuk.

Devano membukakan pintu kamar itu dan mengisyaratkan Rakha untuk masuk menghampiri Rania yang saat itu sedang duduk di tepian ranjang tempat tidurnya.

"Mas Dev, tolong tutup pintunya, awas lo sampe nguping!" titah Rania dengan suara setengah berteriak. Rania tahu betul perangai Devano yang usil bin jahil. Untuk itulah dia perlu waspada.

Kelopak mata Rakha melebar ketika Devano tersenyum jahil dan hendak menutup pintu kamar itu betulan, meski tak benar-benar dia lakukan. Devano memberi isyarat pada Rakha untuk tetap santai. Dia memang menutup pintu itu, tapi dia tidak keluar dari ruangan itu. Devano berdiri tepat di belakang Rakha dengan tubuh yang dia sandarkan ke dinding.

"Mas Dev udah keluarkan?" tanya Rania pada Rakha.

Rakha menoleh ke arah Devano di belakangnya. Devano mengisyaratkan untuk mengiyakan pertanyaan Rania.

"I-iya Rania. Pak Dev sudah keluar," jawab Rakha terbata. Mau tak mau kini dia harus berbohong.

"Duduk lo," perintah Rania lagi.

"Tidak usah, saya berdiri saja di sini," tolak Rakha. Berdiri di tepian ujung ranjang saja Rakha sudah merasa gugup, apalagi dia harus duduk bersebelahan dengan Rania. Sebab seumur hidup, Rakha memang tak pernah berada sedekat ini dengan seorang wanita yang bukan mahramnya.

Susah payah Rakha berusaha menjaga pandangannya meski sulit. Sebab kini Rania berada tak jauh di depannya. Pulasan make up tipis terkesan natural menempel di wajah Rania yang berkulit sawo matang. Rambut panjangnya dia biarkan tergerai seperti biasa. Sebagai seorang lelaki, Rakha tak memungkiri satu hal dari diri Rania, bahwasanya, Rania itu memang seorang wanita yang cantik.

Astagfirullah, apa yang sedang kamu pikirkan Rakha? Tukasnya membatin. Rakha kembali menundukkan pandangannya.

"Sebenernya apa yang mau kamu bicarakan dengan saya?" tanya Rakha yang terus berharap waktu berlalu dengan cepat. Agar dia bisa lekas keluar dari dalam kamar ini. Perasaannya mendadak kacau.

"Ada beberapa hal penting yang harus lo tahu. Dan itu menyangkut tentang masalah pernikahan kita," jelas Rania tegas. "Dan ingat sebelumnya, apa yang nanti bakal gue omongin sama lo, cukup kita berdua yang tahu tanpa campur tangan orang lain, baik itu keluarga sendiri atau siapapun! Ngerti lo?"

Devano tersenyum masam. Serius banget kayaknya...

Rakha mendadak cemas. Memangnya apa yang sebenarnya ingin Rania katakan sih? Tanyanya membatin.

"Ya sudah, katakan saja apa yang ingin kamu katakan, Rania. Saya akan mendengarkan,"

"Oke. Yang pertama, gue mau tau langsung dari mulut lo, apa sebenernya alasan yang membuat lo sampai nekat melamar gue, padahal lo tahu kita nggak saling kenal? Jawab jujur!"

"Karena saya mencintai kamu, Rania," jawab Rakha cepat. Tak ada waktu berpikir. Jika dia terlalu lama diam, yang ada Rania justru akan curiga.

"Cih, cinta? Kenal aja nggak, gimana bisa jatuh cinta?" tandas Rania dengan wajah yang terkesan tidak percaya. Kalimatnya masih bernada judes.

"Hak kamu mau percaya atau tidak. Tugas saya di sini hanya menjawab pertanyaan kamu,"

Seseorang lain di sana hanya cengengesan dalam redam suaranya mendengar percakapan antara Rania dengan Rakha saat ini.

"Oke next! Yang kedua, gue cuma mau kasih tau lo tentang alasan kenapa gue menerima lamaran ini, bukan karena gue suka apalagi cinta sama lo! Tapi, karena gue nggak mau liat bokap sama nyokap gue sedih lagi! Jadi, lo nggak usah kegeeran!"

"Ya, saya mengerti,"

"Bagus. Yang ke tiga, ini tentang aturan main setelah pernikahan kita berlangsung nanti. Pertama, no kontak fisik! Jangan pernah berharap gue bakal menunaikan tugas gue sebagai seorang istri! Jangan coba-coba juga lo cari-cari kesempatan buat sentuh gue! Dan yang ke dua, gue mau setelah menikah nanti kita akan tetap tinggal di sini dan itu artinya lo yang harus ikut pindah tinggal di sini. Di kamar ini. Tapi inget, kita punya kawasan sendiri di dalam kamar ini. Dan nggak boleh mencampuri kawasan milik orang lain. Kalau sampai itu terjadi, akan ada hukuman bagi yang melanggar. Kawasan gue, dari arah pintu, sampai batas ranjang tempat tidur ini. Selebihnya itu kawasan lo, pahamkan?"

Rakha menoleh ke sekeliling ruangan. Menangkap bagaimana kiranya kawasan yang akan menjadi daerah teritorinya kelak. Terbit sepulas senyum kecut di bibirnya. "Terus, kalau memang ranjang ini jadi bagian dari kawasan kamu, sementara di kawasan saya sendiri nggak ada tempat tidur, lantas saya harus tidur dimana?" tanya Rakha balik.

"Ya... Itu sih urusan lo! Bukan urusan gue, mau lo tidur di lantai kek, di sofa kek, atau lo mau tidur di balkon juga silahkan," balas Rania tanpa sedikit pun belas kasihan.

Rakha mendesah berat. Sementara Devano jadi geleng-geleng kepala.

Apes banget nasib lo, Kha. Bisik Devano membatin. Dia jadi ikut prihatin sendiri.

"Terus, ada lagi syarat yang lain?" tanya Rakha kemudian.

"Nggak ada sih, itu aja! Cuma, gue kasih tau sekali lagi sama lo, walau pun kita udah menikah nanti, jangan coba-coba lo campurin urusan gue! Jangan coba-coba lo ngatur-ngatur hidup gue apalagi berharap gue bakal melayani lo, cuciin baju lo, masak, setrika atau hal apapun yang berhubungan dengan urusan rumah tangga!"

"Kalau masalah itu, tidak perlu kamu beritahu, saya sudah lebih paham. Apalagi dengan kondisi kamu yang seperti sekarang. Saya tidak akan menuntut apa-apa selagi saya bisa melakukan segala halnya sendiri. Bahkan sekalipun kamu bisa melihat, saya tidak akan memintamu melakukan semua tugas yang kamu katakan. Sebab, niat saya menikah karena saya ingin mencari seorang pendamping hidup. Bukan pembantu," timpal Rakha panjang lebar. Menohok Rania yang langsung bungkam dalam sekejap.

Asik, gue suka gaya lo, Kha! Timpal batin Devano sembari mesam-mesem. Lama-lama Rania keterlaluan juga nih!

"Kalau kamu sudah selesai, sekarang izinkan saya untuk menyampaikan sesuatu sama kamu, Rania, ini juga menyangkut seputar masalah pernikahan kita," tambah Rakha setelah mereka sama-sama terdiam cukup lama.

"Yaudah ngomong aja,"

"Ini masalah penghasilan saya. Jika nanti saya sudah menjadi suami kamu, itu artinya saya berkewajiban untuk menafkahi kamu. Tapi, sebelumnya, saya ingin memberitahu kamu, mengenai kondisi kesehatan Mbak saya yang kini koma di rumah sakit akibat penyakit kanker yang dia derita. Sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga, saya berkewajiban menjaga dan melindungi anggota keluarga perempuan saya. Kakak ipar saya hanya bekerja sebagai kuli pemborong, penghasilannya tidak bisa mencukupi untuk membayar biaya pengobatan istrinya. Untuk itu, saya sangat berharap, kamu bisa berbesar hati seandainya uang hasil jerih payah saya nanti, tidak saya berikan sepenuhnya untuk kamu. Tapi saya bagi dua untuk biaya pengobatan Mbak Siti, jika nanti kamu merasa kekurangan, kamu tinggal katakan saja, insya Allah saya akan berusaha mencari tambahan uang di tempat lain,"

Mendengar hal itu, Devano langsung terkesiap. Wajahnya yang tadinya cengengesan mendadak serius. Kalimat panjang Rakha seolah menyihirnya dalam sekejap. Sebenernya dia ini manusia apa malaikat sih? Pikir Devano membatin. Tatapannya tak lepas dari punggung Rakha.

"Kalau masalah uang, lo nggak usah khawatir. Lo nggak kasih gue uang juga, uang di rekening gue nggak bakal abis kok! Perlu lo tahu, uang yang dikirim Papah ke rekening gue setiap bulan mungkin nominalnya lebih besar dari satu kali gaji yang lo terima di perusahaan. Jadi lo pegang aja uang lo sendiri, nggak perlu ada acara nafkah-nafkahan segala," timpal Rania yang mencoba untuk menyembunyikan sebersit kekaguman akan pernyataan yang tadi dia dengar dari mulut Rakha.

Jujur, ini pertama kalinya Rania merasa terkesan pada sosok Rakha.

Kalimat yang hendak Rakha ucapkan tertahan di kerongkongan karena sebuah ketukan dari luar pintu kamar.

Terlihat di sana, Zia menyembulkan kepalanya dari balik pintu sebelum berkata, "Di suruh turun sama Mamah, makan malam mau dimulai, Rayyan baru aja dateng. Pantes aku cariin nggak ada, ternyata ka-"

Devano langsung mengambil tindakan dengan membekap mulut sang istri sebelum Zia benar-benar mengatakan keberadaannya di kamar itu.

Bisa gaswat masalahnya.

Digiringnya Zia keluar dan menjauhi kamar Rania usai dia menutup rapat kembali pintu kamar Rania.

Sampai-sampai, Devano lupa pada Rakha yang masih berada di dalam kamar itu.

*******

Makan malam berjalan dengan sangat lancar.

Hari pernikahan sudah ditentukan. Dan untungnya, seluruh keluarga setuju ketika Rakha memutuskan untuk menikah hanya di KUA bahkan tanpa resepsi. Rakha ingin pernikahan ini berlangsung sesuai batas kemampuan finansialnya. Tanpa campur tangan pihak keluarga Rania. Sebagai pihak lelaki, Rakha sadar diri untuk tidak memanfaatkan kekayaan milik keluarga Dirgantara demi kepentingan pribadinya. Bagi Rakha pernikahan ini menjadi tanggung jawab penuh pihak laki-laki.

Malam semakin larut dan acara kumpul keluarga pun mau tak mau harus berakhir.

Rakha baru saja berpamitan pada seluruh anggota keluarga besar Rania. Dia memilih untuk pulang naik Ojol meski Devano sempat menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, namun Rakha menolak.

Dia tak ingin merepotkan orang lain lebih jauh.

Rakha berjalan menuju pintu gerbang seorang diri. Ojol yang dipesannya sudah menunggu di luar pintu gerbang.

Sebuah mobil sedan hitam masuk ketika Rakha hendak keluar. Seorang wanita berparas manis melempar senyuman ke arah security yang baru saja membukakan pintu gerbang untuknya.

"Wah, Neng Cassie, baru keliatan Neng?" sapa sang Security pada si pemilik mobil sedan hitam itu.

"Iya nih, Pak. Kemarin lagi sibuk ngurus skripsi, makanya belum sempet jenguk Rania," teriak Cassie sambil berlalu. Tak lupa dia mengucapkan terima kasih. Mobilnya melesat cepat dan terparkir di halaman utama kediaman Dirgantara.

Di sana, di dekat pos satpam itu, Rakha masih berdiri dalam keterdiamannya. Tatapannya tak lepas dari sosok mobil mewah yang dikendarai Cassie.

Kenapa aku merasa, mobil itu tidak asing?

Siapa pemilik mobil sedan hitam itu?

Pikir Rakha membatin.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height