Defective Love/C3 I Found You
+ Add to Library
Defective Love/C3 I Found You
+ Add to Library

C3 I Found You

Lili berdiri di ambang pintu sambil menampilkan senyuman termanisnya sepanjang masa. Senyuman tulusnya setelah berjam-jam harus memaksakan diri tersenyum di tengah badai dan jurang.

Gery berjalan mendekati Lili dan merentangkan tangan. Gary tersenyum.

Lili melangkah maju dan memeluk tubuh kekasihnya itu dengan erat. "Aku merindukanmu."

Gary melingkarkan tangannya di pinggang Lili dan mengecup puncak kepala gadis itu dengan dalam. "Aku juga merindukanmu." Gary menjauhkan wajahnya tanpa melepas pelukan dan menatap Lili. "Bagaimana penerbanganmu? Bagaimana pesta tadi? Semua lancar?"

Lili tersenyum lalu mengangguk pasti. "Semua karena doamu. Semua lancar, seperti rencana."

"Baguslah." Gary kembali mengeratkan pelukannya.

***

Flashback On.

Napas terengah-engah meluncur dari bibir manis seorang gadis muda di sudut perumahan kumuh. Dia kabur, lari dari seseorang yang entah dari mana asalnya. Dia di sekap seketika setelah pemakaman Rosa. Lili menyentuh dadanya, degub jantungnya tidak bisa di kontrol lagi.

"Sialan. Ke mana anak itu larinya. Jalan ini buntu." Terdengar suara salah satu yang mengejar Lili dari 30 menit lalu.

"Dia pasti masih di sekitar sini. Gadis lemah itu tidak akan mampu berlari jauh dengan luka seperti itu." Sambut temannya sambil terengah-engah. Mereka mencari di berbagai sudut.

"Dia pasti bersembunyi." Kicau pria pertama.

Mereka terus mencari dan meningkatkan kewaspadaan.

Lili meringkuk dengan penuh ketakutan. Tubuhnya gemetar. Rasa sakit di kakinya tidak lagi menjadi yang utama, rasa takutnya mengalahkan semuanya.

"Ketemu." Pria pertama menyeringai licik saat menyibak selembar kardus yang menutupi tubuh kurusnya. "Kau mau bermain petak umpet dengan kami cantik?" Pria itu mendekat lalu mencengram tangan Lili dengan kuat.

Lili menangis. "Lepaskan aku, Tuan. Jangan bunuh aku." Gadis itu terisak.

"Kau menemukannya?" Pria dengan perawakan lebih pendek itu tertawa lega. "Baguslah. Aku sudah sangat lelah. Ayo kita kembali ke markas." Dia berlari untuk mengambil mobil.

Pria bertubuh tinggi yang sekarang menatap Lili dengan tajam, dengan tangan yang masih mencengkram Lili dengan kuat. "Kau hanya mempersulit dirimu sendiri cantik." Pria itu menarik tubuh Lili dengan paksa.

Lili terus terisak, rasa sakit, dan takut bercampur menjadi satu.

Pria tinggi itu akhirnya menyerah menarik tubuh Lili, dia jongkok menatap Lili, lalu meraih tubuhnya dan membopong tubuh itu saat mobil sudah terlihat. Dia bersyukur tempat ini sangat sepi.

Lili terus meronta dan tak berhenti menangis. Isakan yang keluar dari bibirnya tak lagi bersuara. Tubuhnya dilempar tanpa belas kasih ke dalam mobil. Tidak lama mobil itu melaju kembali ke tempat yang memiliki bau yang sama sekali tidak Lili suka.

Tangan Lili diikat dengan seulas tali dan bibirnya dibungkam dengan lakban hitam. Saat gadis kecil itu meronta menolak ditali dan dibungkam, dia ditampar dengan kuat di pipinya. Pipi mulus itu lebam.

Pria pendek yang sedang menyetir itu meraih ponselnya. Dia menghubungi seseorang. "Kami sudah menemukannya, Tuan." Pria itu menoleh ke arah Lili sebentar. "Baik, Tuan." Dia diam sesaat. "Baik." Pria itu kembali meletakkan ponselnya.

"Kita harus melaksanakan misi terakhir." Pria itu melirik temannya sesaat.

"Sekarang?" Pria tinggi mengerutkan alis.

"Hmmm."

Mobil melaju entah ke mana, yang pasti bukan menuju tempat yang mereka sebut sebagai markas.

Lili diam, dia terus terisak dan memanggil nama Rose dalam hatinya. "Mama ...."

Mereka tiba di sebuah bukit yang gelap gulita, mobil berhenti tepat di bawah pohon besar.

Mereka turun. Tidak lupa pria tinggi itu kembali meraih kaki Lili dan menariknya dengan kuat. Lili menangis lagi untuk kesekian kalinya malam ini. Punggungnya terasa sangat sakit dan perih. Tubuhnya jatuh dari dalam mobil seperti karung beras yang tidak ada artinya sama sekali.

Pria tinggi itu mendekati Lili lalu melepas ikatan di tangan Lili dan bungkamannya. Lili seketika berteriak minta tolong di iringi dengan derai air mata yang tidak mau berhenti mengalir. Pria tinggi itu langsung menampar Lili dengan keras, lebih keras dari sebelumnya. Hingga darah segar kembali mengalir, seperti saat di markas kemaren malam. Saat dia disiksa tanpa ampun oleh sekelompok orang yang sama sekali tidak dia kenal.

Pria tinggi yang menampar Lili tadi menarik tubuh Lili dan memaksanya untuk berdiri.

"Selesaikan lah. Aku muak dengan pekerjaan ini. Aku ingin istirahat." Pria pendek itu kembali memasuki mobil.

Pria tingga itu berdiri tepat dibelakang Lili, tangannya menjambak rambut Lili dengan kuat, tangan satunya dia gunakan untuk mencekik leher Lili. "Jangan pernah terlahir kembali atau keluarga Browns akan kembali menghabisimu."

Wajah Lili yang sudah tidak terbentuk lagi dan lebam di mana-mana. Gadis itu meneteskan kembali air matanya. "Browns. Aku juga Browns." Dia memberanikan diri mengangkat suara.

"Kau Browns yang terbuang Nona kecil." Pria tinggi itu menyeringai.

"Cepatlah." Pria pendek membentak dari dalam mobil.

"Kau akan masuk surga. Berbahagialah karena aku mempercepatnya."

Seketika tubuh Lili dilempar. Gadis kecil itu berguling dengan cepat. Tubuh rapuh nya yang penuh dengan luka menghantam pohon-pohon besar, duri-duri yang dilewatinya ikut memberi sayatan di tubuh kurusnya.

Kepalanya pusing, pandangannya buram. Mungkin juga karena keadaan malam yang tampa cahaya sama sekali.

Tubuhnya berhenti setelah menghantan pohon yang besarnya dua kali lipat dari pohon yang dilewatinya tadi. Dia berkedip lemah. "Mama." Dia masih mampu mengucapkan satu patah kata sebelum benar-benar mati rasa. Dengan perlahan mata indahnya terpejam. Bersama kenyataan yang pahit, yang bahkan sampai sekarang tidak bisa dipercaya.

***

Lili mengerjapkan matanya, sorot matahari siang menganggu tidurnya. Tunggu. Dia tadi ada di hutan kan? Tapi kenapa saat ini dia ada di sebuah tepat yang berbau obat dan alat medis lainnya. Dia memaksakan diri untuk duduk, walaupun rasa lebam, perih ada di mana-mana.

Lili meneliti seluruh ruangan dengan pandangan kaburnya. Sesaat kemudian, dia menyadari. Dia dirumah sakit. Dia turun dari ranjangnya. Dia tersungkur, kakinya belum kuat menopang tubuhnya sendiri. "Aku harus pergi. Jika aku di sini, mereka akan menemukanku."

Dia berjalan dengan sisa-sisa kekuatannya. Dia tertatih sambil terus berpegangan pada dinding kamar itu. Dia membuka pintu kamarnya dengan sangat pelan. Sambil terus berjalan dengan bersandar pada dinding.

Kaki Lili kembali melemah, dia kembali tersungkur. Dia kembali menangis. "Kenapa ini tidak selesai-selesai. Aku tidak kuat." Dia menunduk, merasakan rasa sakit dan perih di sekujur tubuhnya. Terutama kaki.

"Kau tidak apa-apa?" Tuan Wang menatap gadis lusuh di depannya ini dengan tatapan Iba. Dia baru saja keluar untuk membayar tagihan a.n gadis itu. Dia menemukan gadis malang itu saat sedang melakukan hobinya, mendaki dan mencari tanaman apa saja yang berguna untuk makanan atau pun obat-obatan. Dia iba, melihat luka Lili. Dia melarikan Lili ke rumah sakit terdekat sebelum terlambat.

Lili menengadahkan wajahnya dan menatap Tuan Wang.

"Saya baik-baik saja Tuan. Maaf menganggu perjalanan Anda." Lili mencoba berdiri dengan sisa kekuatan dalam tubuh rapuhnya. Lili kembali berpegangan pada dinding putih yang ada di dekatnya, sejenak mengatur napas yang sudah terasa berat.

Lili melangkahkan kaki. Meneruskan perjalanannya.

"Tapi kau masih butuh istirahat." Tuan Wang mendekat. Dia seketika memeluk tubuh Lili saat gadis itu tersungkur kembali.

Lili menatap Tuan Wang. "Tolong biarkan saya pergi. Mereka akan menemukan saya lagi, saya akan disiksa dan dibuang lagi." Mata gadis kecil itu menggambarkan ketakutan yang sulit diartikan. Seberapa besar rasa takut yang dirasakannya.

"Saya akan melindungimu." Tuan Wang sendiri tidak tahu kenapa hal konyol itu dia ucapkan. Bagaimana keluarganya, apakah mereka tidak akan marah pada keputusannya ini. Entahlah. Yang penting, dia harus membuat gadis ini merasa aman terlebih dulu.

Lili menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu Tuan. Jika Tuan membantu saya, Tuan akan celaka."

"Kita bisa lapor polisi, dan menangkap orang-orang yang menyiksamu." Tuan Wang masih mencoba meyakinkan Lili akan keputusannya.

Lili kembali menggeleng. "Tidak. Mereka orang kaya. Kalau lapor polisi, maka sama saja dengan aku menyerahkan diri pada mereka." Lili menunduk.

Tuan Wang menghela napas kasar. Gadis ini sampai berpikir sejauh itu, apa saja yang dilaluinya hingga dia seperti ini. Tidak mungkin anak sekecil ini berpikir seperti itu. Jika ini pertama kalinya, pasti dia berpikir lapor polisi. Ini pasti bukan pertama kalinya dia disiksa dan dilukai seperti ini. Tuan Wang menatap Lili penuh iba. Dia kembali menghela napas kasar.

"Baiklah. Ayo kita masuk dulu. Kau masih perlu istirhat." Yuan Wang berusaha membimbing Lili kembali memasuki kamarnya.

"Tidak Tuan. Saya harus pergi." Lili menghapus jejak air mata di pipinya dengan kasar. "Saya tidak mau merepotkan Tuan. Permisi." Lili berusaha melepaskan diri dari Tuan Wang.

"Ikut denganku." Entah apa yang ada di dalam pikiran pria tua ini. Mungkin dia hanya mencoba bagaimana caranya melindungi gadis kecil di depannya ini. "Tinggallah bersama kami. Kau bisa menjadi adiknya anakku." Tuan Wang menatap Lili. "Kau mau?"

"Tuan mau dengan anak seperti saya?" Lili menunduk. "Tuan akan terbebani."

"Kau anak seperti apa? Siapa juga yang mengatakan kau akan membebani kami." Tuan Wang masih menatap Lili.

"Bagaimana jika Tuan juga ikut celaka. Orang-orang itu akan menemukan saya." Lili mengangkat wajahnya. "Bagaimana jika keluarga Tuan ikut celaka karena saya?"

"Tidak akan terjadi." Tuan Wang menghela napas sesaat. "Paman janji akan melindungimu."

"Bagaimana jika saya orang jahat, bagaimana jika saya menipu Tuan?" Lili kembali menghapus airmatanya.

"Apa kamu orang jahat?"

Lili menggeleng pelan.

***

Lili menerima Tuan Wang. Entah apa yang membuatnya menerima, dia hanya ingin sebuah keluarga. Yang bisa membuatnya utuh dan bisa memberi perlindungan untuknya.

Tuan Wang telah menyelesaikan segala urusan rumah sakit Lili, dia membawa Lili pulang dengan resiko akan di tolak oleh istrinya. Tapi dia punya keyakinan cukup tinggi, istrinya wanita baik yang mau mengerti semua keputusan yang dia ambil.

Tuan Wang dan Lili berdiri di depan rumah, rumah bernuansa rumah China sangat kentara. Lili menghela napas berat, dia tahu jika dia ditolak di sini, maka dia harus pergi, merelakan segala mimpi yang sempat hadir di dalam kepalanya.

Tuan Wang membuka pintu dan mengajak Lili masuk. Tuan Wang meneliti setiap sudut rumahnya. Dia meninggalkan Lili yang masih berdiri di halaman rumah yang cukup besar ini. Tuan Wang masuk untuk mencari keberadaan keluarganya.

Mereka tengah berkumpul di ruang keluarga, melihat acara reality show yang sedang tayang.

"Sayang, iIbu dan Gary."

Semua menoleh melihat kehadiran Tuan Wang.

"Iya. Kamu kenapa??" Nyonya Wang berdiri lalu mendekati Tuan Wang, suaminya itu tampak mengkhawatirkan.

"Sebelumnya. Aku minta maaf, dan jangan marah." Tuan Wang takut dengan sendirinya.

"Memang ada apa? Aku tidak akan marah." Tangan lembut Nyonya Wang menyentuh lengan Tuan Wang dengan pelan.

"Aku membawa anak, dia sangat mengenaskan. Dia dikejar-kejar oleh seseorang dan terancam dibunuh. Aku membawanya." Tuan Wang diam sejenak. "Bolehkan kita mengangkatnya menjadi adiknya Gary." Tuan Wang menatap istrinya, berharap persetujuan dari wanita istimewanya itu.

Nyonya Wang tersenyum. "Tentu saja boleh. Di mana dia?"

"Di depan. Dia gadis berumur 15 tahun."

Nyonya Wang seketika berjalan ke depan.

"Aku akan punya adik?" Gary pun tersenyum dan berdiri mengikuti Ibunya.

Tuan Wang mendekati Nenek Wang. Dia tampak berusaha berdiri. "Aku harus melihat cucuku. Dia pasti cantik."

Tuan Wang menuntun Nenek keluar untuk bertemu dengan Lili.

"Dia kah anak gadisku?" Nyonya Wang mendekati Lili sambil tersenyum manis. "Dia cantik sekali. Siapa namamu sayang?"

"Hallo, saya Lili." Dia menundukkan badannya, dia memandang satu persatu orang yang berdiri di depannya. Menyambutnya dengan keramahan dan kehangatan.

Tuan Wang mendekati Lili lalu menuntunnya, mengenalkan Lili kepada istrinya, ibunya dan anak angkatnya. Lili pun berjabat tangan dengan mereka bergantian.

Tuan Wang dan Nyonya tidak memiliki keturunan. Lima tahun yang lalu dia menganggkat seorang anak yang hidup sendirian dengan mengamen, mengemis dan melakukan berbagai cara untuk hidup.

Namanya Gary Lewis. Tuan Wang mengubahnya menjadi Gary Wang. Tapi hanya dalam keluarga saja, dia tidak mau mempersulit anak itu jika sewaktu-waktu dia bertemu dengan keluarganya dan ingin kembali.

"Senangnya. Cucu ku sangat tampan dan sangat cantik." Nenek tersenyum.

Nyonya Wang merangkul pundak Lili. "Ayo Ibu tunjukkan kamarmu." Kelembutan tangan wanita itu meluluhkan ketakutan dan kekhawatiran di hati Lili. Lili tersenyum tipis dan menurut.

***

Gary duduk di SMA kelas 1 dan Lili di SMP. Gary setahun lebih tua dari Lili. Mereka sama-sama anak yang berbeda di rumah itu, tapi keluarga Wang menghilangkan perasaan mereka yang seperti itu.

Gary dan Lili seperti saudara pada umumnya. Hingga akhirnya mereka menempuh pendidikan lebih tinggi di Paris. Keluarga Wang membiayai hidup mereka dari restaurant yang mereka bangun dari saat mereka masih pengantin baru.

Kelak, restaurant itu akan dikelola oleh Gary. Itu cita-cita pria tampan itu.

"Kau tidak lapar?" Gary menggenggam tangan Lili. Mereka sedang berdiri menonton sebuah pegelaran music, tiap akhir pekan lapangan kampus mereka selalu ramai dengan mahasiswi, ada yang berpasangan, ada yang bersama teman.

Lili menoleh menatap Gary. "Belum. Kau sudah lapar?"

Gary terasenyum. "Aku akam lapar jika kau lapar."

Lili mencibirkan bibirnya.

Mereka menkmati alunan music yang terkadang pop, terkadang rock. Gary melepaskan genggaman tangannya pada tangan Lili. Dia berbalik lalu memeluk Lili dari belakang. Gary mencium pipi Lili sesaat. "Bagaimana pertanyaanku kemaren? Kau mau kan menjadi kekasihku? Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku janji." Gary berbisik di telinga Lili.

Lili tersenyum, dia akui dadanya saat ini sedang berdegub sangat kencang. Pri yang saat ini memeluknya itu terlalu sering menyatakan cinta. Apalagi semenjak mereka mendarat di kota romantis ini untuk kuliah. Apakah mungkin ini pengaruh keromantosan kota ini? Entahlah.

Lili menghela napasnya pelan. "Bagaimana dengan Ayah dan Ibu? Mereka akan marah."

"Kamu tahu dari mana kalau mereka akan marah? Kita tidak sedarah, antara aku dan kamu, atapun antara kita dan mereka." Gary membenamkan wajahnya di leher Lili. Dia mengirup dengan dalam aroma wanita yang dicintainya sejak dulu. Bahkan sejak melihat betapa kumuh dan mengenaskannya gadis itu dan berdiri di depan rumahnya.

Dulu dia terlalu takut untuk mengakui. Saat pertama kali dia memberanikan diri menggenggam tangan gadisnya, saat mereka baru saja mendarat di kota Paris. Kala itu Gary menggenggam tangan Lili untuk mengurangi rasa takut gadis cantik itu.

Sejauh ini, dia hanya berani menggenggam tangan, memeluk dan yang terbaru adalah mencium pipinya.

Gadis cantik itu tidak menolah jika untuk genggaman tangan dan pelukan. Untuk ciuman dipipi, awalnya dia marah dan bertanya kenapa Gary sekarang berani menciumnya. Tapi, pernyataan cinta yang dia dapat.

Berkali-kali Lili diam tanpa memberi jawaban. Dia sebenarnya juga tertarik dengan pemuda itu. Dari semuanya, sikap manisnya, perhatiannya dan terkadang kejam karena dia dekat dengan pria lain. Bukankah itu sangat manis.

Lili takut akan mengecewakan orang tua yang membesarkannya. Itu saja alasannya. Karena keluarga itu yang merawat mereka, membiayai mereka, mengorbankan segalanya untuk mereka. Lili berusaha tidak mengecewakan mereka, Lili sangat mencintai dan menyayangi mereka.

Lili menghela napas pelan.

Gary menengadahkan wajahnya. Dia meletakkan dagunya di pundak Lili. "Aku yakin mereka tidak akan marah. Kau tahu sendiri. Mereka mencintai kita, menganggab kita anak kandung mereka. Jadi mereka pasti mendukung apa pun yang menjadi kebahagiaan kita." Gary melepas pelukan dan memutar tubuh Lili menghadap dia. "Aku mencintaimu."

Mereka terdiam dan saling menatap.

"Aku mencintaimu. Kau sudah tahu semuanya tentangku, begitu juga denganku. Kau mau kan menjadi kekasihku?" Tangan Gary yang semula mengapit lengan Lili berlahan turun lalu menggenggam tangan gadis itu dengan erat. "Harus berapa kali lagi aku menyatakannya?"

Lili menunduk. "Bagaiaman jika keputusan kita justru menyakiti mereka." Lili menengadahkan wajah dan menatap Gary. Saat Gary akan menjawab. "Mereka menganggap kita anak kandung mereka sendiri. Mencintai kita dengan segenap jiwa. Mereka mengorbankan semuanya untuk kita. Oleh karena itu, jika kita berkencan. Aku rasa itu akan menyakiti mereka." Lili kembali menunduk. "Aku mencintai mereka. Aku tidak mau menyakiti mereka."

"Aku juga mencintai mereka. Aku juga mencintaimu. Jadi aku harus bagaimana?"

Gary menatap Lili dengan tatapan penuh harapan. "Aku mencintaimu."

Lili hanya diam. Dia ingin meneriakkan bahwa dia juga mulai mencintai pria itu. Tapi apa daya nya. Dia hanya diam, lalu menepis jarak antara mereka. Lili melepas genggaman tangan Gary, lalu melingkarkan tangannya dipinggang Gary. Membenamkan wajahnya di dada Gary dan memejamkan mata.

Gary menyambut pelukan itu. Dia mempererat pelukannya. Merasakan betapa sesak hatinya saat ini. Dia mencintai, tapi ... bahkan meraihnya saja dia tidak bisa.

Lili melepas pelukannya. "Ayo pulang. Sudah malam." Lili menatap Gary seolah tidak ada apa pun yang terjadi antara mereka. Dia tersenyum.

"Kau sudah melupakannya?" Gary tersenyum.

Lili mengangguk, lalu melingkarkan tangannya di lengan Gary. Mereka berjalan meninggalkan lapangan yang semakin dipenuhi manusia itu.

Gary dan Lili tinggal di satu apartment yang sama untuk menghemat biaya hidup. Gary dan Lili selalu melakukan apa pun untuk tidak merepotkan Tuan Wang dan Nyonya Wang. Gary mengetahui masa lalu Lili, begitu juga Lili. Dia mengetahui semua masa lalu Gary.

Gary dan Lili sudah tiba di apartment, dengan satu box pizza yang mereka beli diperjalanan pulang tadi.

Lili masuk untuk mengganti kostum nya, sedang Gary meletakkan kotaknya di depan Tv, lalu menyalakan tv dan duduk di sofa dengan santai.

Lili keluar dengan setelan santainya. Celana pendek hitam yang kontras dengan warna kulitnya yang bersih dan kaos merah yang menyegarkan.

Gary tersenyum sambil terus menatap Lili yang berjalan mendekatinya.

"Apa?" Lili merasa ada yang tidak menyenangkan dengan tatapan Gary.

Gary hanya menggeleng. Lalu menepuk-nepuk sofa, meminta Lili duduk di sampingnya dengan segera.

Lili duduk lalu mengambil satu potong Pizza di depannya. Dia sudah sangat lapar. Gary berdiri dan mengambilkan segelas air putih untuk Lili.

"Terima kasih." Lili mengambilnya lalu meminumnya sedikit.

Saat meletakkan gelas itu di meja. Lili sadar jika Gary masih menatapnya. Lili melihat Gary, gadis itu mengerutkan alisnya. "Kamu kenapa?"

"Kau tidak menjawab ketika aku menyatakan cinta. Tapi kau selalu memakai baju kesukaanku." Gary membelai rambut panjang Lili.

"Ini baju ku." Lili menjauhkan duduknya.

Gary menggeser duduknya mendekat. "Iya. Tapi aku sangat suka melihatmu memakai kaos itu. Kenapa kau selalu memakainya? Membuatku semakin jatuh cinta? Menyiksa perasaanku? Begitu?"

Lili semakin mengerutkan alis. "Jangan macam-macam."

"Aku hanya ingin satu macam. Kamu." Gary melingkarkan tangannya di pinggul Lili dan menarik gadis itu mendekati nya.

Lili dan Gary duduk dengan berdempetan. "Kalau kau belum bisa menerima cinta ku tidak apa-apa. Akan aku beri waktu. Tapi jangan menjauh."

Lili mencibir lalu meneruskan makan Pizza yang terlanjur dalam genggamannya.

Gary menatap bibir Lili yang terus bergerak. Menggigit lalu mengunyah. Tanpa sadar dia menelan salivanya dengan pelan. "Seandainya aku Pizza itu."

Lili menoleh. "Hah?"

Gary tersenyum dan menggeleng. "Tidak.". Dia seketika mengalihkan tatapannya menuju tv yang sedang menyiarkan acara gosip. Gary meraih remot dan menggantinya dan dia berhenti memencet saat menemukan saluran yang menyiarkan petualangan.

Gary dan Lili memakan Pizza itu hingga habis. Lili menyandarkan tubuhnya, lalu memejamkan mata. Meringankan otot-otot sekitar matanya.

"Masuklah jika mengantuk." Gary menoleh menatap Lili.

Gary mendekat lalu membelai rambut Lili dengan penuh perasaan. Gary menatap Lili cukup lama, gadis itu sama sekali tidak terganggu. Gary memberanikan diri mendekat, dia terus menatap bibir Lili, sedari tadi dia berusaha mengalihkan pikirannya. Tapi mau bagaimana lagi, perasaan ingin mencium bibir wanita ini sangat besar. Perlahan tapi pasti. Gary mendekat dan menyentuh pelan bibir Lili dengan bibirnya. Hanya menyentuh, tanpa pergerakan sedikit pun.

Setelah beberapa detik, Gary menjauhkan wajahnya. Dia cukup bahagia bisa sedikit merasakan hangatnya bibir Lili. Walau hanya sekedar menyentuh saja. Dia tersenyun tipis, sambil mengigit bibir bawahnya. "Dia benar-benar sudah tidur." Gary bergumam sendiri. Dia berdiri lalu memposisikan dirinya, dia membopong Lili. Mengangkat tubuh Lili seperti biasanya. Gadis itu terlalu sering tertidur di depan tv seperti malam ini. Tapi malam ini adalah malam terbahagia dari malam sebelumnya. Gary terus tersenyum jika mengingat moment ciumannya tadi.

Gary masuk ke dalam kamar Lili dan merebahkan tubuh ramping itu di ranjang. Menyelimuti tubuh Lili supaya tidak lagi kedinginan.

Gary membelai rambut Lili sesaat sebelum dia meninggalkan kamar ini. Dan melanjutkan senyumnya karena sentuhan yang memberinya kebahagiaan tadi.

Lili membuka mata sedetik setelah suara pintu tertutup. Perlahan dia menyentuh bibirnya. Dia tadi belum tidur, dan dia merasakan semuanya. Bagaimana jadinya jika dia membuka mata dan memaki Gary tadi. Mungkin mereka tidak akan mampu saling menatap lagi esok.

Lili menghela napas pelan. Dia menggigit bibir bawahnya. Seulas senyum tipis mengembang. Tidak bisa dia pungkiri dia terkejut sekaligus senang. Ciuman singkat yang hanya sekedar sentuhan itu, menegaskan padanya bagaimana perasaan Lili pada Gary selama ini, akankah hanya sayang untuk seorang kakak? Atau rasa cinta untuk seorang Pria? Lili sudah tahu jawabannya.

***

"Selamat pagi." Gary tersenyum, dia menyapa Lili yang baru keluar dari kamarnya sudah berbusana lengkap akan berangkat kuliah. "Nanti selesai jam berapa?"

"Belum tahu. Setelah kuliah aku ada casting untuk iklan roti." Lili meraih segelas susu yang disodorkan oleh Gary.

"Nanti setelah kuliah aku antar, setelah itu kita ke tempat castingmu."

Lili meneguk susunya hingga habis. "Tidak perlu. Aku akan pergi dengan Axel. Dia juga casting bersama ku."

"Apa?" Gary memicingkan matanya. "Aku sudah bilang, aku tidak suka melihatmu dengan Axel."

"Kenapa? Karena dia pria? Sudah aku bilang dia Gay." Lili meninggikan suaranya.

"Justru itu. Kalau dia mengantarmu pulang, dia akan lama di sini, lalu memandangku terus menerus dengan tatapan horor." Gary bergidig.

"Dia sudah punya kekasih. Jadi jangan takut." Lili meletakkan gelas kosong di tangannya.

"Tetap saja."

"Sudah. Oke? Aku akan pergi dengan Axel. Dia tidak akan mengantarku pulang. Jadi jemput aku di tempat Casting. Alamatnya nanti aku chat." Lili mengangkat tangannya. "Bye."

***

10 jam terlewati dengan sangat cepat.

Gary sudah bersandar di depan mobilnya, sambil terus menatap ke arah pintu masuk.

Lili keluar dengan bercanda dengan Axel. Entah apa yang mereka bicarakan. Gary mengangkat tangannya sambil menunjukkan jajaran gigi putihnya.

"Kenapa Kakak tirimu itu semakin hari semakin tampan saja." Axel tersenyum.

"Ingat, dia milikku. Jangan macam-macam." Lili memicingkan matanya.

"Iya aku tahu. Tapi sampai kapan kau dan dia cuma kode-kodean gitu? Aku yang lihat aja capek." Axel dan Lili berjalan mendekat.

Lili mencubit pinggang Axel pelan, karena mereka berdiri tidak jauh dari Gary, Lili takut Gary mendengarnya.

"Sudah lama?" Lili menghampiri Gary.

Gary menyambut Lili dengan belaian di rambut panjang Lili. "Belum. Bagaimana Castingnya?"

"Kami lolos." Lili tersenyum sumringah sambil jingkrak-jingkrak bahagia.

Axel juga ikut jingkrak-jingkrak. "Ya udah ya. Aku dijemput sama calon suami. Pergi dulu. Bye Kakak ganteng. Bye cantik." Axel melambiakan tangan.

"Bye. Hati-hati." Lili membalas melambaikan tangan.

Gary masih bergidig. "Hidup aja manusia kaya gitu."

"Hustttt... Axel orang baik lo, jangan gitu ah." Lili melingkarkan tangannya di lengan Gary.

Gary tersenyum. Dia menyentuh tangan Lili dan menurunkannya hingga dalam genggaman. "Ayo makan dulu. Aku lapar." Gary menunjukkan sebuah Caffe diseberang jalan.

Lili tersenyum. Dia mengangguk.

Mereka berjalan menyebrangi jalan menuju Caffe itu. Di sana ada fasilitas rooftop. Gary menyukai itu, jadi dia memilih di sana.

Sekarang masih pukul 8 malam.

"Lili." Gary menyebut nama Lili pelan, saat mereka sudah duduk bersanding dengan manis di rooftop dan dengan hidangan yang sudah tertata rapi di meja.

Lili hanya tersenyum sambil terus mengunyah makanannya.

"Lili." Gary kembali mengucapkan nama itu.

Lili menoleh dan kembali tersenyum. Dia meminum minumannya. "Kau tidak menghabiskan makananmu?" Lili kembali meletakkan gelas itu. Dia melirik piring Gary yang masih menyisakan seperempat dari hidangannya.

"Aku kenyang hanya dengan menatapmu saja." Gary tersenyum.

"Kau mulai lagi?" Lili mencibirkan bibirnya. "Memalukan."

Gary menelan salivanya saat menatap bibir itu mencibir. Pikiran kotor mengusai isi kepala Gary saat ini. "Maafkan aku." Dia berucap lirih. Mata dan bibir Lili, Gary menatapnya dengan bergantian.

"Maaf apa?" Lili mengerutkan alis.

Gary menggeser duduknya mendekat. Dia mengapit rahang Lili dengan kedua tangannya dan mendaratkan bibirnya di atas bibir Lili dengan mulus. Dia memejamkan mata, dia merasakan tubuh gadis itu menegang. Dia memberanikan diri melumat dan merasakan betapa nikmatnya bibir gadis pujaannya.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height