C6 Part 5. Kecerobohan David
David seorang diri menikmati jus alpukat nya di sebuah kedai pinggir jalan. Dia baru saja melakukan kegiatan rutinnya bermain basket bersama teman-temannya. Bukan ketiga sahabatnya tentu saja. Karena Kiev, Marvel, bahkan Cokhi, sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
"David!" sebuah suara membuat lelaki itu mendongak dan mendapati Arin sedang tersenyum lebar. "Lama nggak ketemu ya." bahkan tanpa disuruh, Arin sudah duduk di depan david masih memasang wajah sumringah. "Apa kabar?" tanyanya.
"Baik." singkat sekali, tapi membuat Arin begitu bahagia mendengarnya.
"Aku juga baik." meskipun David tak bertanya balik, gadis itu seolah merasa perlu menginformasikan jika dirinya juga sama baiknya dengan David.
"Bagus kalau gitu." kata David cuek.
"Ngomong-ngomong, sibuk apa kamu sekarang?" Arin benar-benar membuat David tiba-tiba malas. Tapi demi sebuah sopan santun, David menjawab.
"Sibuk kerja." Arin mengangguk dengan anggun. Menyesap minuman yang dipesannya dengan pelan. Bahkan David sama sekali tak ingin mengatakan apa pun hanya untuk berbasa-basi.
Jadi, Arin berinisiatif untuk membuka obrolan kembali.
"Bisa kita berteman?" pertanyaan Arin yang tiba-tiba, membuat David mengernyitkan dahinya. Menatap Arin yang juga masih menatapnya dalam.
"Teman?" ulang David dengan nada bertanya sekaligus meyakinkan.
"Iya. Berteman. Nggak masalah waktu itu kamu memutuskan untuk tak menerima rencana orang tua kita. Tapi nggak ada salahnya kan kalau kita berteman?" karena bisa saja, dari temen, jadi demen. Itu adalah kalimat lanjutan Arin yang dia katakan pada dirinya sendiri.
David menyenderkan punggungnya di sandaran kursi, dengan mata fokus menatap gadis di depannya. David memang lebih suka berteman dengan lelaki dibandingkan dengan perempuan, karena kaum perempuan itu baginya lebih banyak ribetnya daripada simplenya.
"Kamu nggak akan untung apa pun kalau berteman denganku. Jadi lupakan saja." David memang mencari aman dengan mengatakan itu. Dia hanya tidak ingin disulitkan dengan gadis itu suatu saat nanti.
"Aku nggak nyari untung dengan menawarkan sebuah pertemanan David." Arin menjawab santai tapi juga merasa sedikit sebal dengan lelaki di depannya. "Aku hanya ingin kita berteman. Mungkin kita bisa sharing, mengobrolkan banyak hal, bertukar pikiran, dan masih banyak hal lain yang bisa kita lakukan dengan berteman. Apa kamu sepicik itu sampai menganggap sebuah pertemanan adalah harus menguntungkan satu sama lain?" David hanya mengedikkan bahunya tak acuh.
"Karena yang aku dengar dari banyak orang, nggak ada hubungan pertemanan antara lelaki dan perempuan tanpa melibatkan perasaan."
"Apa kamu takut jatuh cinta denganku?"
David menyeringai mendengar pertanyaan Arin. "Kemungkinan bisa saja terjadi. Suatu saat nanti, aku bisa saja mencintaimu, mengejarmu, atau bahkan tak bisa kalau sebentar saja tak melihatmu." Arin merona mendengar itu.
"Aku bukan orang munafik yang akan menyembunyikan apa yang aku rasakan hanya karena merasa malu. Aku akan mendapatkan kamu meskipun kamu menolakku ribuan kali seandainya itu terjadi. Apa pun caranya." Arin akan bersuara ketika David kembali berucap.
"Tapi yang menjadi masalah adalah bagaimana kalau kamu yang mencintaiku? kamu nggak akan pernah mendapatkanku meskipun kamu menggunakan cara terkotor sekalipun. Karena sekali kamu melangkah mendekatiku, aku akan berlari untuk menjauhimu." Arin hanya diam terpaku dengan jantung gemuruh hebat mendengar ucapan gamblang seorang David.
Bahkan dia tak bisa membalas ucapan David sampai David pergi dari hadapannya. Apa yang dikatakan David, memang terdengar arogan, tapi begitulah lelaki itu. Tak mudah untuk didekati.
°•°
Suara baku hantam terdengar di dalam pekatnya malam. Ada yang berdesis kesakitan, tapi tak sedikit yang tertawa sombong karena bisa menumbangkan lawannya.
"Shit." kata itu keluar dari bibir David. Sebuah pisau lipat mengenai lengan kirinya cukup dalam. Darah segar bahkan sudah keluar dan membasahi jaket hitamnya di bagian yang terluka.
"Sakit kan?" begitu kata seorang lelaki yang sedang berhadapan dengan David. "Gue nggak peduli siapa elo. Yang gue tahu, gue pengen lo mampus di tangan gue." David memejamkan matanya karena rasa sakit di lengannya. Tapi, dia tak akan tinggal diam karena luka tersebut.
Berjongkok, David mencabut sebuah pisau lipat miliknya yang dia selipkan di sepatunya. Dengan cepat, David melemparkan pisau kecil itu tepat di kaki kanan musuhnya.
Seandainya ini adegan di youtube, mungkin anak-anak kecil akan mengatakan 'masuk Pak Eko' dengan girangnya. Tapi sayangnya, ini adalah nyata, jadi dengan ringisan kesakitan dari musuh, membuat David semakin ingin menghabisi lelaki dengan banyak tato itu.
Malam ini, David memang sedang melakukan penggerebekan di sebuah rumah reot dengan banyak narkoba di dalam sana. David dan teman-temannya dari kepolisian sudah merencanakan penggerebekan ini sejak lama. Yang sebelumnya tak lupa pengintaian yang dilakukan pihak kepolisian.
Dengan tertatih, lawan David mendekat untuk kembali melayangkan tinjunya. Tapi David menendang perut lelaki itu sampai mundur beberapa langkah. Tak tinggal diam, David mendekat dan melayangkan pukulan berkali-kali.
Meskipun wajah David selalu tertutup oleh masker saat melakukan aksi seperti ini, tapi bisa dipastikan wajah lelaki itu juga memar di sana-sini.
Semakin larut malam, suasana semakin mencekam. Mereka seolah berlomba-lomba untuk bisa segera menyelesaikan misi mereka dengan menghabisi lawannya.
"David, di belakang Lo." suara teriakan membuat David reflek melayangkan kepalan tangannya. Dua lawan satu, seharusnya tidak sepadan. Tapi meskipun dengan tangan yang terluka, David menolak menyerah.
Beberapa kali mendapatkan pukulan di tubuhnya, membuat David semakin merasa mendapatkan pasokan tenaga. Dengan gesit, kakinya menendang ke arah kanan, dan mengenai satu lelaki sampai lelaki itu memegangi perutnya.
Pun dengan lelaki satunya yang sudah merintih kesakitan karena ulah David. Beberapa polisi sudah memborgol para 'penyakit' negara ini.
"Vid." Nando mendekat dan terlihat khawatir karena luka di lengan David.
"Gue nggak papa." sebelum sepupunya itu mengoceh panjang lebar, David lebih dulu menyelanya. "Lo balik, gue pulang."
"Obati luka lo."
"Hmm." hanya itu yang David katakan kemudian pergi begitu saja.
"Terima kasih." ucapan itu tak akan terdengar oleh David, karena Nando mengatakannya dengan suara sangat pelan. Karena ucapan terima kasih, akan membuat Nando babak belur jika David mendengarnya. Karena bagi David, yang dilakukan sekarang ini adalah sebuah 'hobi' untuk bersenang-senang.
David meringis merasakan sakit di lengan kirinya. Dengan menahan sakit, dia mengendarai motornya untuk membelah jalanan malam. Dia belum pernah mendapatkan luka sedalam ini sebelumnya. Tapi hari ini, dia seperti kecolongan karena luka tersebut.
David merasa jika dia perlu ke rumah sakit. Jadi, dia mengurungkan niatnya untuk pulang ke rumah dan mengarahkan motornya ke tempat di mana dia bisa mengobati lukanya.
Dengan berjalan sambil menunduk, David masuk ke dalam rumah sakit dan mencari di mana dia bisa berobat tanpa mendapatkan pertanyaan ingin tahu seseorang.
Bukankah seharusnya mendaftar dulu baru bisa berobat? Ya, seharusnya. Tapi ini David. Bahkan dia tanpa mengetuk lebih dulu pintu ruangan dokter.
"David?" dokter yang akan menangani David mengernyitkan dahinya. Tentu dia tak akan merasa kaget melihat wajah David yang memar.
Tanpa banyak kata, David membuka jaketnya. "Tolong lengan gue Bang. Dia kesakitan." wajah David sudah terlihat pucat karena banyak darah yang keluar dari luka tersebut.
Viko, kakak ipar dari Marvel itu langsung memeriksa lengan David dengan darah yang sebagian mengering. "Hobi lo bener-bener nggak keren sama sekali Vid." ucap Viko ketika melihat luka tersebut.
"Gue butuh obat Bang. Nggak butuh komentar tentang hobi gue." bahkan Viko sudah merasakan suhu tubuh David yang panas.
"Lo harus dirawat. Dan gue nggak nerima bantahan dari lo." Viko keluar untuk meminta seorang suster menyiapkan kamar untuk David.
David sama sekali tak membantah dan hanya memejamkan matanya. Kepalanya baru terasa sangat berat. Jadi kali ini, dia menyerahkan semuanya pada Viko tanpa membantah sama sekali.
Hari berikutnya, semua teman David sudah berkumpul di ruang rawat David untuk melihat kondisi lelaki itu. Mereka mendapatkan kabar dari Marvel karena Viko memberitahukan jika David dirawat di rumah sakit. Tentu mereka blingsatan sendiri karena khawatir dengan keadaan David.
"Udah-udah taruh aja di sana. Gue pasti makan nanti." Sydney melirik David kejam mendengar itu.
"Bocah tua keras kepala." kata istri Kiev itu sambil mendesis. Dia sebal karena sedari tadi tak juga makan padahal sudah di suruh berkali-kali. Entah dokter, suster, sampai sahabat-sahabatnya. Tapi lelaki itu tak juga segera mengisi perutnya.
"Gue akan makan nanti. Lo nggak perlu khawatir makanan lo nggak gue makan." tangan Sydney langsung melayang di belakang kepala David untuk memukul.
"Hei." kata David melotot.
"Hajar aja udah nggak perlu sungkan. Gue akan jadi suporter lo." itu suara Marvel.
Kemudian Cokhi berlagak seperti suporter bola dengan mengangkat berkali-kali kepalan tangannya sambil mengatakan, "Sydney... Sydney..." berkali-kali. Dan itu membuat David ingin menendang Cokhi.
Mereka terlalu menyayangi satu sama lain, jadi mereka tak ingin melihat David terlihat pucat seperti sekarang ini. Jalan terakhir adalah memaksa lelaki itu untuk segera menelan makanan yang dibawakan Sydney dari rumah.
Sore datang menyisakan David yang seorang diri di dalam kamar rawat inapnya. Semua sahabatnya sudah pulang dan akan kembali malam nanti. Padahal, David sudah ingin sekali segera keluar dari rumah sakit itu. Tapi tak ada yang mengizinkannya karena mereka berpikir jika David keluar, lelaki itu akan melakukan hobinya lagi. Mereka tak melarang, paling tidak sampai luka David benar-benar sembuh.
Bosan, David keluar dari kamarnya untuk mencari udara segar. Tapi karena malas untuk berjalan, dia hanya duduk di kursi tunggu di sebuah kamar inap. Menyandarkan kepalanya di dinding belakangnya, David memejamkan matanya. Lengannya masih terasa nyeri meskipun lukanya sudah tertutup karena di jahit.
"Pak... David?" mata David terbuka dan Kyra duduk di kursi yang sama dengannya.
Lagi-lagi. Mereka bertemu tanpa kesengajaan.
•°•