+ Add to Library
+ Add to Library

C6 The Don

Tanpa besar mulut, diam-diam Pedro hanya menyukai hal-hal yang bercita rasa tinggi.

Dia hanya menyediakan anggur tua dan mahal di kondominiumnya, mengisap cerutu dan kokain terbaik, menyelenggarakan pesta termeriah yang tak bisa ditolak siapapun. Ia menginvestasikan banyak uang dalam mengumpulkan benda seni, baik secara legal, maupun ilegal. Tak seorang pun sahabatnya pernah kecewa pada hadiah yang diberikannya. Pistol simpanan kesayangannya bertahtakan berlian, mobil mewahnya berjumlah puluhan. Ia menunjuk segala hal indah yang ditawarkan padanya dalam diam, bahkan jauh lebih diam dari suara gesekan tinta saat ia membubuhkan tanda tangan di atas cek-nya.

Untuk urusan penampilan, dia membayar tak kurang dari tujuh orang ahli yang masing-masing bertanggung jawab memastikan busana, rambut, dan tubuh bugarnya senantiasa prima. Salazar mengirimnya ke mana-mana sementara kakak lelakinya itu lebih senang bermain dengan istri dan anaknya di rumah yang jauh lebih mewah, tampil menawan adalah salah satu senjata terampuh Pedro Silas.

Pada dasarnya, Pedro lebih senang mengagumi, dibanding sebaliknya. Dalam urusan wanita, dia akan tergila-gila pada perempuan yang tak menggilainya.

Ketika Manuela menangis karena tak ingin melayaninya, dia justru semakin ingin gadis itu menyerahkan dirinya. Harga diri gadis itu jelas jauh lebih tinggi dibanding harga yang dibayar Dalton untuk keperawananya. Bagi Pedro yang pernah berada di bawah, bahkan terancam kembali berada di bawah ke mana pun ia melangkah, ia tak pernah menilai manusia dari harganya dalam peso, atau dolar. Hanya karena menjadi pelacur, tak lantas menjadikan wanita tak bernilai.

Membuka kaki Manuela bukan lagi sebuah kemungkinan, dia akan melakukannya. Dia akan membuat wanita itu melakukannya dengan sukarela.

Pedro membuka pintu kamarnya, menyilakan Manuela masuk, tetapi gadis itu bergeming. “Jangan bikin aku kesal,” bisiknya, sengaja menakut-nakuti gadis yang sekujur tubuhnya sudah sedingin es itu.

Raut takut Manuela berubah sedetik kemudian begitu ia melangkah masuk, dan pintu ditutup di balik punggungnya. Ia menganga takjub. Terpesona. Tak pernah sekalipun dalam hidup ia melihat keindahan seperti di hadapannya. Kamar Pedro Silas demikian megah, seperti istana dalam kisah fantasia. Setiap sudutnya berkilauan ditempa lampu keemasan, aroma segar menebar ke seluruh penjuru ruangan, menentramkan jiwanya. Bahkan, tempat tidur yang masih rapi dan pasti nyaman itu tak lagi mengusiknya seperti yang ia duga. Dia membayangkan dirinya memantul di atas permukaannya, sama sekali tak membayangkan akan ada seorang Don yang akan menamatkan kesuciannya.

“Kau suka?”

Meski terkejut oleh sentuhan di kedua sisi bahunya, Manuela masih bisa mengangguk. “Berapa harga sewa kamar ini?” tanyanya.

“Mungkin sepuluh sampai lima belas ribu dolar,” Pedro membual, dia tak pernah tahu persis berapa tepatnya.

Manuela kesulitan menelan ludah dibuatnya, “Jadi benar ada orang yang mau membayar sebanyak itu hanya untuk tidur semalam?” ia menggumam, lalu berbalik menghadapi sang Don. Matanya membulat, seolah sehabis mendapatkan wangsit, ia berkata, “Itu seharga diriku malam ini!”

“Itu mungkin harga tubuhmu,” ujar Pedro—agak geli—berjalan melewati si gadis sambil menanggalkan jas desainernya. Dipegangnya jas itu di bagian kerah, lalu diulurkannya kepada Manuela. “Tapi bukan harga dirimu.”

Sebagai seorang gadis yang akrab dengan urusan rumah tangga, Manuela mendekat dan tanpa canggung menyambut jas sang Don. Ia melipatnya baik-baik, dan menekuknya di lengan. Pedro terkesan.

“Sakit apa adikmu?” tanya pria itu, menuang dua gelas minuman, kemudian memasang musik instrumental yang hangat dan romantis.

Manuela meletakkan jas di atas meja dengan hati-hati. “Dia kena virus HIV.”

Pedro mengerjap.

“Tolong jangan beri tahu siapapun,” imbuh Manuela. “Aku selalu bilang dia kena kanker dan butuh operasi, aku tak akan diizinkan kerja atau tinggal di sana kalau mereka tahu adikku kena Aids. Penyakit itu sedang menebar seperti wabah.”

“Minum?” Pedro menawari gelas kedua yang sudah dipenuhi minuman.

Manuela menolak.

“Tidak minum,” gumam pria itu sebelum menuntaskan minumannya sendiri. “Aku tidak tertarik dengan kehidupan pribadimu,” katanya dingin. “Aku hanya bertanya supaya kau merasa lebih nyaman, tetapi setelah aku tahu, kurasa aku perlu bertanya ... kau tidak—“

“Aku sehat,” penggal Manuela singkat.

“Aku tidak akan segan-segan menyakitimu kalau kau bohong,” sambung Pedro.

“Aku paham.”

“Aids kurasa belum bisa disembuhkan, bukan? Kenapa repot-repot ingin menyembuhkan adikmu? Serahkan saja dia ke salah satu lab, mungkin hidupnya masih bisa berguna untuk kepentingan lain. Apa dia homoseksual?”

Manuela menggeleng. “Sebaliknya, dia anak paling sopan, baik, dan tidak pernah macam-macam. Dia tak pernah berhubungan seksual, dia selalu mendonasikan darahnya secara rutin, aku sempat berpikir Tuhan itu tak adil ....”

“Tuhan tidak ada urusannya dengan semua ini.”

“Maksudmu?”

“Dia hanya simbol, dan manusia membutuhkannya.”

“Kau tak bertuhan?”

“Tentu saja aku bertuhan, tapi aku tidak percaya dia mengatur semuanya sehingga kita bisa menyalahkannya kalau ada hal buruk terjadi. Kita hanya perlu berterima kasih padanya jika segalanya beres, sebab Tuhan sejatinya adalah optimisme kita, Tuhan ada di dalam doa, aku selalu berdoa, bahkan saat aku mengambil nyawa seseorang. Merokok?”

“Kau pernah membunuh?”

“Aku membunuh sejak remaja. Merokok?”

Manuela menggeleng lagi, kali ini tegas sambil mengernyit. Pedro menyalakan rokok dan mengisapnya. “Benda itu akan membunuhmu,” kata gadis itu sengit.

Pedro tersenyum, “Peluru lebih cepat membunuh. Aku bisa saja tidak merokok, dan seseorang menembakku, lalu habislah aku”—pria itu berhenti di jendela dan mengamati dunia luar di balik kaca—“kau mau mandi dulu?”

“Hm?”

“Sebelum kita bersetubuh.”

Wajah Manuela sontak memerah.

“Kau cukup menyenangkan, tapi kita di sini untuk itu,” kata Pedro santai. “Mungkin kau bisa mandi nanti-nanti saja. Musiknya enak untuk berdansa. Kau juga tidak berdansa?”

“Yah ... sedikit ....”

“Aku akan melemparmu dari jendela kalau kau tidak bisa berdansa,” dengkus Pedro. Rokok di tangannya yang masih panjang dimatikan di asbak. Tangannya menjulur ke arah Manuela, “Kemarilah.”

Manuela menurut, ia letakkan tangannya di atas telapak tangan Pedro. Pria itu menanti tubuh Manuela menyusul uluran tangannya, mendekat, lantas ia sentuh pinggangnya dan membawanya mengikuti alunan musik.

“Kau lumayan pandai berdansa,” puji Pedro.

“Terima kasih.”

“Ada satu pertanyaan lagi.”

“Apa itu?”

“Apa kau mahir mengisap penis?”

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height