DIRTY ROMANCE/C1 GURU MUDA
+ Add to Library
DIRTY ROMANCE/C1 GURU MUDA
+ Add to Library

C1 GURU MUDA

Janu berjalan gontai menuju ruang kerjanya. Hari ini pun terasa berat. Sebagai guru muda di Sekolah Menengah Atas, tiap hari adalah tantangan baru baginya. Menghadapi tingkah pola murid-muridnya dan juga menyiapkan materi pelajaran setiap hari bukanlah persoalan gampang. Khususnya menjelang akhir semester genap seperti sekarang, ada banyak raport yang harus dia kerjakan.

Pria berkacamata itu duduk di kursinya dengan lesuh. Meja kerja yang berisi komputer dan alat-alat tulis tampak berantakan, semuanya diletakkan secara sembarangan. Sesaat pandangannya terlempar keluar jendela ruang kerja yang penuh buku itu, terutama buku pelajaran kimia. Lalu matanya terarah kepada tumpukan formulir di atas sudut kanan meja, formulir pendaftaran masuk universitas milik kelas 12 IPA 3 yang sudah setahun dia bina.

Ini adalah tahun pertama dia mendapat kesempatan menjadi wali kelas sejak resmi menjadi guru lima tahun yang lalu. Jari-jarinya yang lentik bergerak membuka satu per satu lembar formulir itu. Keningnya berkerut lantaran ada formulir yang kurang. Sekali lagi Janu memeriksa lembar demi lembar, tak kunjung dia temukan nama yang dia cari. "Mana Mika?" gumamnya bingung.

Seolah tak mau cepat menyerah, Janu memeriksa lembaran itu sekali lagi. Masih nihil. Hatinya mulai cemas. Kemungkinan yang terburuk mulai muncul di kepalanya.

Tiga bulan terakhir memang sikap Mika mendadak berubah. Padahal sejak kelas sepuluh, dia adalah salah satu siswa andalan yang cukup berprestasi. Selain dia jadi lebih murung, prestasinya juga turun cukup signifikan. Dia kerap absen, bahkan tak ikut kegiatan klub apapun. Beberapa kali Janu melihat Mika hanya duduk diam di pojokan, tak bicara, tak merespons.

Tepat pada saat itu, salah seorang murid kelas 12 yang dia kenal melintas di depan pintu ruang kerjanya. Murid perempuan itu berpakaian kasual, tampaknya sedang datang untuk mengembalikan buku-buku yang dia pinjam dari perpustakaan sebab di pelukannya dia membawa beberapa buku. Janu segera berlari keluar menghampiri.

"Bapak mau tanya, apa kamu pernah ngeliat Mika sejak kelulusan?" tanya Janu.

Murid perempuan itu berpikir sejenak. "Mika ..., Mika di kelas kita kan, Pak?"

"Iya. Mika yang mana lagi. Dia nggak ikut kumpulin formulir pendaftaran buat kuliah. Apa kamu tau kabar dia? Kayaknya dia sejak kelulusan belum pernah datang ke sekolah lagi."

"Wah saya kurang tau soal itu, Pak. Tapi ... setau saya Mika emang nggak mau lanjut kuliah, kami pernah ngomong soal ini di kelas. Dia bilang dia emang nggak niat buat lanjut kuliah."

"Hah? Yang benar?" Janu terlihat lumayan terkejut.

"Iya, Pak. Sayang juga sih, dia kan pintar. Tapi ..., saya juga nggak bisa berbuat apa-apa. Hehe, maaf ya, Pak."

Wajah Janu berubah murung. Matanya sesaat menerawang. "Makasih kalau gitu, Bapak akan coba cari tau apa rencana dia untuk ke depan."

Janu kembali ke dalam ruang kerjanya. Pria bertubuh tinggi tegap itu menghela napas. Dia tak bisa abai begitu saja dengan murid didikannya. Terlebih murid potensial seperti Mika. Walau dia pendiam dan cenderung sulit berbaur, Mika bukan siswa nakal pembuat onar, dia selalu serius mengerjakan tugas. Akan sangat disayangkan kalau dia tak melanjutkan pendidikan.

Janu mengeluarkan ponsel pintar lalu mencari berkas berisi alamat dan nomor orang tua Mika. Panggilannya tak direspons. Sekali lagi Janu mengembuskan napas panjang. Sepertinya dia harus datang sendiri ke rumah Mika.

Mendadak hatinya menjadi gelisah dan gugup. Bagaimana cara dia bicara dengan Mika dan orang tuanya? Dia belum berpengalaman perihal situasi seperti ini. Dan lagi, Mika bukan gadis yang ceria, sulit untuk mengajaknya bicara terbuka.

Namun tak ada pilihan, mungkin satu keputusannya hari ini bisa mengubah masa depan Mika. Itulah yang membulatkan niatnya.

***

Mata elang Janu menyisir kawasan rumah Mika. Dia tak yakin benar apakah rumah yang dia datangi sungguh rumah Mika. Rumah sederhana itu berada di kawasan kumuh, terletak di salah satu barisan bedeng.

Beberapa bocah ingusan tengah bermain sepak bola di jalan yang sempit. "Ini betul rumah Mika?" Janu memberanikan diri bertanya kepada mereka.

"Iya! Panggil aja, Om! Mika! Mika!"

"Mika! Mika ada tamu!"

Bocah-bocah itu bersahut-sahutan memanggil Mika. Janu lumayan canggung dibuat mereka sebab mata para tetangga jadi tepat mengawasi dirinya.

"Ya ...?"

Pintu rumah petak kecil itu terbuka, Mika keluar dengan mengenakan baju tidur lusuh. Rambutnya agak berantakan, wajahnya kusut. Janu menatapnya kikuk, ini pertama kali dia melihat Mika dalam tampilan seperti ini.

Sekejap dia lupa Mika adalah muridnya atau bisa dikatakan mantan murid, dia tampak dewasa dan alami. "Pak Janu?!" Mata Mika membulat. "Ngapain di sini?!"

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height