DIRTY ROMANCE/C2 TAWARAN MENIKAH
+ Add to Library
DIRTY ROMANCE/C2 TAWARAN MENIKAH
+ Add to Library

C2 TAWARAN MENIKAH

"Bapak mau bicara soal formulir pend--"

"Nggak perlu, Pak. Saya nggak lanjut sekolah." Mika langsung memotong ucapan Janu.

Muka Janu agak terperangah. Wajar, sebab ini pertama kali Mika memotong ucapannya. Gadis berwajah datar ini memang dingin, tapi belum pernah sedingin ini.

"Ehm ..., maaf ya, tapi apa Bapak boleh masuk ke dalam? Apa ada orang tua kamu?" tanya Janu masih berusaha bersikap santai.

Mika berniat untuk menghalangi Janu masuk ke dalam rumahnya, tapi tiba-tiba saja ibunya muncul dari dalam rumah. "Heh! Mika! Ada wali kelas kamu kok kamu nggak panggil Bunda?! Pak Janu ..., silakan masuk, Pak. Silakan." Bunda Mika mempersilakan Janu masuk ke dalam rumah sederhana mereka.

Janu melihat-lihat sebentar kondisi ruang tamu rumah Mika yang sempit. Hanya ada sebuah sofa butut, meja kayu kecil, serta sebuah TV cembung keluaran lama.

Mika menyajikan segelas teh panas dan juga setoples kue kering kepada Janu. Setelah kondisi agak tenang, barulah Janu menyampaikan tujuan kedatangan dirinya.

"Di kelas 12 IPA 3, cuma Mika yang belum mengumpulkan formulir pendaftaran kuliah, Bu. Mika harus cepat mendaftar sebelum ditutup."

Bunda menarik napasnya panjang, dia menoleh memandang Mika dengan wajah murung. Mika pun tak kalah sedihnya. "Mohon maaf, Pak Janu. Tapi anak saya, Mika, sepertinya nggak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi."

"Loh. Kenapa, Bu? Mika punya potensi. Dia selalu masuk lima besar sejak kelas sepuluh. Walau di semester akhir ini prestasinya cuma sebatas cukup, tapi Mika sangat berpotensi untuk dapat SBMPTN." Janu tak bisa menutupi rasa kecewa di hati.

"Saya nggak akan sanggup menguliahkan Mika, Pak. Saya sudah menyiapkan pilihan lain untuk Mika." Bunda menarik napas lagi.

"Pilihan lain? Kerja? Atau ... kursus?" selidik Janu.

Bunda menggeleng. Mika mulai menggosok kedua tangannya dengan gugup. Dia tak ingin ibunya membuka masalah pribadi keluarga mereka yang cukup memalukan.

"Saya akan menikahkan Mika." Bunda membeberkan rencananya.

"Mika? Nikah?" Janu terbata-bata. "Ta-tapi, Bu ..., Mika ini masih muda sekali. Berapa umur kamu tahun ini, Ka?"

"Delapan belas tahun, Pak." Mika menjawab malu.

"Delapan belas tahun, Bu. Dengan siapa Mika menikah?" tanya Janu lagi.

"Seorang tuan tanah di kampung halaman ibu saya."

Jawaban dari Bunda menohok Janu. Kepalanya seakan disambar kilat kuat. "Hah? Kenapa, Bu? Kenapa harus sejauh itu? Apa Mika mau?" Janu menatap Mika.

Mika sengaja buang muka, dia tak mau menunjukkan penolakan dirinya secara terang-terangan.

Tak ada pilihan selain membuka semuanya kepada Janu, pikir Bunda pasrah. "Sebetulnya ..., suami saya, ayahnya Mika ... sudah setengah tahun menghilang. Dia kabur entah ke mana, dan sejak empat bulan yang lalu, rentenir terus datang ke rumah kami. Rupanya dia kalah judi, nominalnya lebih dari seratus juta. Kebun warisan ayah saya sudah saya jual. Nggak ada lagi yang kami punya. Kali ini yang bisa membantu kami cuma ... cara seperti ini, yaitu menikahkan Mika." Bunda menahan laju air matanya.

Janu berpikir keras. Dia tak mungkin membiarkan mimpi buruk ini menimpa Mika. Sekalipun dia adalah orang luar, tapi dia merasa masa depan muridnya juga adalah bagian dari tanggung jawabnya.

"Masih ada cara lain, Bu. Saya akan ikut membantu melunasi utang Ibu, yang penting Mika tetap kuliah. Kalau Mika kuliah, kesempatan kerjanya akan lebih luas. Untuk jangka panjang, saya rasa pilihan itu lebih baik. Kalau Mika bisa dapat beasiswa, uang kuliah dari saya bisa dia pakai untuk mencicil utang juga. Misal Mika dapat kerja yang lebih bagus, sisa utang juga bisa cepat selesai."

Bunda tampak masih ragu, sekilas dia melirik Mika. Wajah Mika tampak begitu berharap, dia masih ingin kuliah.

"Jadi ..., Pak Janu mau membiayai kuliah Mika? Dan membantu kami melunasi utang?" Bunda mengulang.

Janu mengangguk mengiyakan. Yakin tanpa ada keraguan. Masa depan cemerlang Mika terlalu sayang untuk dia lepaskan.

"Kalau begitu, saya punya permintaan lebih. Kalau memang Pak Janu mau membantu kami, tolong nikahi Mika."

Nyaris saja Janu terbatuk-batuk mendengar permintaan itu. Tubuh Mika pun tak kalah tegangnya. Permintaan semacam ini tak pernah dia kira akan terlontar dari mulut bundanya.

"Bunda?!" seru Mika hendak protes.

"Supaya jangan ada fitnah. Ambillah Mika sebagai istri Bapak. Bapak kan masih muda juga. Jujur, saya pun rasanya sudah nggak sanggup lagi membiayai hidup kami berdua. Mika juga pasti setuju." Bunda membujuk.

"Bunda ngomong apa? Siapa bilang Mika setuju?" protes Mika.

"Jadi kamu pilih apa, Mika? Nikah sama Pak Broto? Jadi istri ketiganya? Kamu mau itu? Bunda nggak mau timbul fitnah, Mika. Bunda mau kamu ada yang jaga. Kalau kamu dikuliahkan sama Pak Janu sebagai istrinya, kan itu rasanya sah-sah aja. Bunda juga jadi nggak merasa berutang."

Mika kehabisan kata-kata dengan perkataan ibunya. Janu terdiam, pikirannya kacau. Mungkinkah dia menerima tawaran ekstrem begini? Sebetulnya, dia tak punya rencana untuk menikah sama sekali. Tapi sekarang, dia malah ditawari menikah dengan Mika. Dengan Mika! Murid yang paling kaku dan tidak akrab dengannya.

"Bagaimana, Pak?" Bunda bertanya sekali lagi.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height