DIRTY ROMANCE/C3 SURAT PERJANJIAN
+ Add to Library
DIRTY ROMANCE/C3 SURAT PERJANJIAN
+ Add to Library

C3 SURAT PERJANJIAN

"Pak? Gimana?" Bunda Mika membuyarkan Janu dari lamunannya yang sempat membuatnya hilang dari situasi nyata di depan matanya.

"Ah ..., maaf, Bu. Saya kaget dapat permintaan mendadak seperti itu." Janu menggaruk tengkuknya yang tak gatal sebenarnya.

Sambil menahan rasa malu, Mika menepuk tangan ibunya. "Bunda apa-apaan sih? Kesannya kayak menjual aku aja," protesnya.

"Bunda cuma mau yang terbaik buat kamu, Mika. Mana tau ..., Pak Janu bersedia. Kecuali Pak Janu sudah punya pacar atau bahkan calon istri ..."

Janu langsung menggoyangkan tangan di depan mukanya. "Oh, nggak ada, Bu. Nggak ada."

"Kalau gitu ..., harusnya nggak ada masalah dong, Pak?" Bunda terdengar mendesak.

"Saya pikir soal ini lebih dari sekedar mau atau nggak, Bu. Menikah kan bukan persoalan gampang." Janu tersenyum kecut.

Sebelum bundanya kembali membicarakan hal yang tak masuk akal, Mika langsung bersuara kembali, "Ya sudahlah ya, Pak! Kan saya juga nggak ada niat untuk kuliah. Lebih baik obrolannya sampai sini aja. Saya akan cari cara juga supaya saya nggak menikah."

Situasi berubah menjadi super canggung. Janu sampai kesulitan untuk pamit. "Niat Ibu nanti bisa saya pikirkan dulu, tapi harapan saya tetap sama. Saya mau Mika melanjutkab studinya. Jangan dibiarkab gitu aja. Sayang." Janu menatap Bunda dengan mata memohon.

Sebelum pamit, Janu menyalamkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah kepada Bunda. Tanpa malu, Bunda menerima pemberian Janu, meskipun Mika mencoba untuk menghalangi.

"Ayo, Pak. Saya antar sampai depan gang." Mika tetap kukuh berusaha untuk membuat Janu segera pulang.

Makin lama di rumahnya, tingkah Bunda cuma akan menjadi-jadi.

***

"Boleh Bapak tanya, apa kamu benar-benar nggak punya keinginan untuk kuliah?" Janu bertanya saat dia dan Mika berjalan menuju persimpangan gang rumah Mika. Mobil Janu terpaksa diparkir di halaman salah satu ruko yang berada di depan gang.

Air muka Mika sedikit berubah. Dia bingung mesti jujur atau menutupi perasaannya sendiri.

"Kalau kamu nggak mau jawab nggak apa-apa, Bapak nggak akan maksa." Janu menambah.

"Kalau hati saya ..., saya pingin lanjut, Pak," aku Mika malu-malu.

"Boleh tau jurusan apa yang kamu minati? Kamu mau jadi apa di masa depan?"

Mika mengulum senyum ragu-ragu. "Pengacara ... atau jaksa," jawabnya pelan.

Janu terperangah. Ini pertama kali dia mengetahui impian Mika. Selama ini dia kira Mika minat dengan bidang sains.

"Kamu mau masuk bidang hukum ..., tapi ambil Ilmu Pengetahuan Alam?"

Mika mengangguk setengah tersipu. "Saya pilih IPA karena saya pikir kesempatannya lebih banyak, Pak. Tapi ... kalau untuk karier, saya pingin banget kerja di bidang hukum." Tiba-tiba wajah Mika murung.

Langkah keduanya makin melambat, untuk melewati beberapa meter saja rasanya butuh waktu sekian menit. "Sejak kecil ..., hidup saya hanya tentang ketidak-adilan. Kami selalu punya masalah dengan hukum. Semua itu karena kesalahan ayah saya. Rumah kami, dan apapun yang tersisa, bisa habis kapan aja. Bunda juga bisa dipenjara kapan aja. Karena itu saya pikir ..., saya harus paham hukum untuk bisa melindungi Bunda. Seenggaknya saya mau menjaga Bunda tetap aman, jauh dari orang-orang jahat yang mau menzolimi kami."

Sekali lagi Janu terperangah. Mungkin setelah tiga tahun mengenal Mika, ini pertama kali dia mendengar Mika bicara sebanyak ini. Dia bisa merasakan semangat Mika. Ketegaran sekaligus kelembutan yang jarang dia jumpai di diri anak-anak muda pada umumnya.

"Kamu harus kuliah kalau gitu. Kamu harus berhasil jadi pelindung buat bunda kamu." Janu berhenti melangkah.

Mika ikut berhenti. Mereka berhadap-hadapan. Agak kikuk. "Apa ... kamu mau menikah sama bapak-bapak itu? Yang mau menjadikan kamu istri ketiganya. Itu yang kamu mau?"

Kepala Mika langsung nenggeleng.

"Kalau gitu jangan. Jangan nikah sama dia. Bapak yang akan menikahi kamu."

Mata Mika terbelalak seketika. "Bapak jangan ngaco! Saya ... saya ..."

"Tenang," potong Janu cepat. "Bapak juga tau diri, kok. Kamu jangan salah paham. Bapak lakukan ini supaya kamu bisa lanjut kuliah. Dengan status sebagai suami, Bapak bisa membiayai kuliah kamu, juga biaya hidup kamu. Bundamu nggak akan cemas lagi. Tapi ini bukan nikah sungguhan."

"Hah?" Mika melongo.

Kedua tangan Janu memegang bahu Mika lembut. "Setelah kamu lulus, kita akan bercerai. Bapak lakukan ini supaya bundamu percaya. Dia pasti nggak akan tenang kalau kita nggak punya ikatan resmi. Setelah emoat tahun, kamu lulus. Kamu bisa kerja, melunasi utang kamu. Bahkan biaya kuliah pun boleh kamu kembalikan kalau kamu nggak nyaman itu jadi utang." Janu menjelaskan niatnya.

Mika masih melongo. Di matanya sendiri, Janu adalah sosok guru pendiam dan misterius. Dia hampir tak pernah terlihat berbaur dengan guru-guru yang lain. Ini juga kali pertama dia melihat Janu begitu gigih dengan niatnya, sorot matanya sungguh-sungguh.

Mengetahui ada seseorang yang rela berkorban sebegini besar demi pendidikannya, hati Mika tiba-tiba menghangat. Ayahnya bahkan tak pernah peduli dengan nilai yang dia peroleh. Sekolah atau tidak, ayahnya tidak peduli.

Lantas mengapa, Janu yang bisa dibilang merupakan orang asing dalam hidupnya sebegitu keras mengkhawatirkan pendidikannya?

"Gimana? Kamu mau? Kita bisa bikin surat perjanjian kalau kamu ragu. Bapak nggak akan ambil keuntungan sedikit pun. Kamu akan dilindungi hukum. Bapak janji."

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height