DIRTY ROMANCE/C5 CAMER BAWEL
+ Add to Library
DIRTY ROMANCE/C5 CAMER BAWEL
+ Add to Library

C5 CAMER BAWEL

Mata Mama membulat lebar kala melihat Mika untuk pertama kali. Sejenak dia tak sanggup berkata-kata. Respons yang cukup masuk akal mengingat Mika masih terlihat begitu muda. Sekilas dia memandang puteranya, matanya seolah hendak memastikan apakah benar yang dia lihat ini: Janu membawa seorang gadis muda sebagai kekasihnya.

"Ma, kenalin, ini Mika. Mika, ini mamaku. Kamu bisa panggil 'mama' juga." Janu memperkenalkan mereka kepada satu sama lain.

Dengan gugup, Mika menyalim tangan ibunya Janu yang masih belum juga bisa berkata-kata. "Mika, Ma ..." sapa Mika kaku.

"Ah ..., ya. Ayo masuk, kita makan siang sekarang aja, ya. Mama udah lapar." Ibu Janu membukakan pintu lebih lebar untuk mereka berdua.

Meski Mika agak ngotot ingin membantu, tapi Mama menahan dan meminta agar dia duduk santai saja di meja makan. Sedang Mama sendiri menarik Janu ke dapur dengan alasan untuk membantu membawakan peralatan makan.

Namun, bukannya cuma diminta membawakan alat makan, Mama juga mengomel kepada Janu. "Kamu nggak lagi bercanda kan, Jan? Anak kecil begitu. Dia itu umur berapa? Jangan-jangan dia ..."

"Tolong pelankan suara Mama, aku takut dia dengar nanti."

"Ya kamu cerita sama Mama, dia itu umur berapa? Kamu kenal dia sejak kapan? Kamu bisa kena masalah, Janu, kamu tau nggak sih? Dia di bawah umur?"

"Ya nggaklah, Ma. Dia udah di atas 18. Dia itu mantan murid aku."

Lebih terkejut lagi ibu Janu mendengar pengakuan mengejutkan itu. "Mantan murid? Mantan murid? Kamu ini cari masalah ya, Jan? Mama memang mau kamu segera menikah dan punya anak. Tapi bukannya menikahi anak-anak kayak gitu. Kamu juga guru, loh. Ingat posisi kamu. Apa kata orang nanti? Hm?" Mama mengoceh, tak bisa membendung kekecewaannya.

Janu menghela napas panjang. "Aku tau hukum kok, Ma. Jangan memperlakukan aku kayak aku ini anak bego. Tenang aja, aku nggak akan kena masalah. Ayo kita makan sekarang. Aku lapar."

Mama cuma bisa pasrah menerima untuk saat ini, tak enak hati pula apabila terjadi keributan, terlebih ini adalah pertama kali Mika datang ke sini.

***

"Silakan dinikmati, Mika. Makan apa yang kamu suka. Jangan malu-malu." Mama mendekatkan mangkuk lauk dan sayur ke dekat piring Mika.

"Saya jadi ngerasa nggak enak karna udah bikin repot Mama kayak gini." Mika tersipu malu.

Ibu Janu tersenyum kikuk. Rasanya memiliki calon nenantu sebegini mudah membuatnya sedikit merasa bersalah. Entah bagaimana harus dijelaskan, rasanya tidak sepatutnya terjadi.

"Kalau boleh tau ..., kamu umur berapa pastinya?" Mama tak bisa menimbun rasa ingin tahunya lagi.

"Delapan belas tahun menuju sembilan belas, Ma."

Mama langsung bernapas lega, setidaknya benar kata Juna, secara hukum Mika sudah bisa menikah. Namun bukan berarti secara mental dan fisik dia siap. Mama tetap tak akan membiarkan begitu saja.

"Orang tua kamu ..."

Pertanyaan Mama selanjutnya langsung menarik perhatian Janu. "Kenapa sih langsung ke situ arahnya, Ma?"

"Emang kenapa, Jan? Normal dong Mama mau tau. Ya kan, Mika? Mika nggak keberatan kan? Boleh kan Mama tanya soal orang tua kamu?"

Mika cengengesan canggung. "Ya boleh kok, Ma. Kebetulan ..., saya cuma tinggal sama Ibu. Ibu saya kerja di tempat usaha londri. Menyetrika," jelas Mika agak malu-malu.

Sekilas ibunya Janu melirik puteranya, seakan bertanya sekali lagi apa keputusannya untuk menikahi Mika sudah bulat.

"O ... gitu, jadi kamu rencananya habis nikah mau ngapain? Kamu kan masih muda." Mama bertanya lagi.

Mika menelan ludahnya gelisah, dia lirik Janu sesaat. Janu tersenyum, mencoba bersikap tenang dan menyalurkan energi positif agar Mika juga tenang.

"Kalau saya ..., saya ingin tetap lanjut kuliah, Ma." Akhirnya dia menjawab.

Alis Mama sedikit terangkat. Jawaban ini cukup tak terduga, dia kira Mika akan jadi ibu rumah tangga saja, sama seperti harapannya pula. "Kuliah? Kamu punya ambisi apa untuk masa depan kamu?" selidiknya lagi.

Dari raut mukanya, Janu tahu Mika mulai tak nyaman. "Eh ..., saya mau ambil jurusan hukum, Ma. Saya punya mimpi untuk jadi pengacara atau jaksa."

Benar saja, Mama langsung menghela napas panjang. "Kamu yakin? Membangun rumah tangga itu bukan soal gampang loh, Mika. Ada banyak tanggung jawab lain yang harus kamu kerjakan. Gimana kalau pas kuliah nanti kamu malah hamil? Semuanya jadi berantakan. Anak kamu kasihan, studi kamu tertunda."

Janu langsung menengahi. "Kami udah bahas ini kok, Ma. Aku juga bisa bantu kerjaan rumah. Kami bisa bagi-bagi tugas. Mama nggak perlu cemasin hal yang nggak perlu," sahutnya dingin.

Mama lebih terkejut lagi mendengar pengakuan itu. "Hah? Kamu itu kepala keluarga, Jan. Kamu juga seorang guru, kamu sibuk. Biarlah Mika yang urus rumah. Ya kan?"

Mika mengulum senyum canggung. Janu yang mendesak dia untuk kuliah sampai cara ini harus ditempuh, tapi malah ibunya sendiri yang menghalangi.

"Ini bukan era kayak gitu lagi, Ma. Ini zaman modern. Singkirin ajalah pikiran-pikiran kuno yang selalu minta pihak perempuan diam di rumah." Kesabaran Janu mulai menipis, ibunya memang bawel kalau menyangkut soal masa depan Janu. Pilihan puteranya selalu dia campuri. "Apalagi Mika ini murid cerdas, dia berprestasi. Sayang kalau dia nggak mengejar akademi."

Ibu Janu meletakkan sendok dan garpunya, egonya pun tak mau reda begitu saja. Janu kenal benar ibunya, dia memperoleh sifat keras kepala dari wanita paruh baya ini.

"Terus nanti gimana? Kalau udah punya anak. Siapa yang urus? Yang jaga? Masa mau mentingin karir ketimbang anak, sih."

"Ma, please ..." Janu menggeram.

"Soal anak, kami juga berpikir buat menunda dulu, Ma." Mika memberanikan diri menjawab.

Mama langsung memukul meja pelan, merilis rasa jengkelnya. "Yang benar aja. Mama nunggu Janu menikah udah lima tahun. Kalau bukan sekarang punya cucu kapan lagi? Kalian pingin nunggu Mati dulu baru punya anak?"

Janu memijat kepalanya yang tegang, dia mulai malu dengan sikap ibunya yang makin menjadi-jadi. "Ini pernikahan kami, Ma. Kami yang tentukan kapan mau punya anak. Lagian, apa karena takut Mama mati kami harus cepat-cepat punya anak? Bahkan besok pun, siapa aja di antara kita bisa mati, kok."

"Bukan gitu, Janu ... tapi ..."

"Kesepakatan kami udah bulat. Mika akan kuliah. Kami nunda punya anak. Makasih karena Mama udah pengertian. Ayo, Mika. Kamu harus balik sekarang," tegas Janu.

"Loh ... ko-kok malah ..." Mama tergagap.

Sebenarnya, Janu adalah anak yang manis, dia dekat dengan ibunya, tapi untuk hal tertentu, dia tak akan berkompromi. Apalagi menyangkut Mika. Suka atau tak suka, keputusan sudah bulat.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height