DIRTY ROMANCE/C7 PRIA ANEH DI CITY-TOUR
+ Add to Library
DIRTY ROMANCE/C7 PRIA ANEH DI CITY-TOUR
+ Add to Library

C7 PRIA ANEH DI CITY-TOUR

Mika duduk sendirian menatap ke luar kaca jendela bis dengan muka mutung dan lesuh. Janu sungguh tega. Tega. Pria itu serius membiarkan Mika ikut city tour seorang diri.

Bulan madu macam apa ini? Mika mendengus dalam hati. Memang sedari awal dia tak berharap apa-apa dari Janu, dia sadar betul hubungan mereka hanyalah perjanjian di atas kertas. Janu membantu Mika, pun sebaliknya. Tapi apakah etis meninggalkan istri seorang diri? Sedang sang suami entah pergi ke mana.

Suara pemandu wisata membuyarkan lamunan Mika. Bis yang setengah penuh itu siap untuk berangkat dan memulai perjalanan tur mengelilingi kota Singapura.

Namun, sebelum gas diinjak sang sopir. Seorang pria muda berlari masuk ke dalam bis. Tepat sekali. Nyaris dia tertinggal. Pria tinggi muda itu berjaket hoodie gelap, wajahnya kusut, rambutnya agak berantakan, tampaknya baru saja terjaga dari tidur atau mungkin baru selesai menangis, matanya bengkak.

"Pak Raga? Hampir aja Bapak ketinggalan jam berangkat. Silakan duduk, Pak. Tur kita akan dimulai dari sekarang." Pemandu wisata menegur.

Pria muda yang bernama Raga itu secara sembarangan mengambil tempat di samping Mika yang kosong. Sontak Mika terkejut. Di antara sekian banyak bangku kosong di bis itu, untuk apa dia mengambil tempat di samping Mika?

Mika ingin mengajukan protes tapi wajah pria itu tampak terlalu murung. Maka, dia batalkan saja niatnya. Suasana hatinya sudah cukup buruk, dia tak mau memperburuk lagi hanya karena ribut dengan orang asing di negara tetangga. Akan memalukan.

***

Tempat pemberhentian pertama mereka adalah Marina Bay yang terkenal dengqn gedung-gedung mewahnya. Tanpa semangat, Mika ikut turun dari bis bersama penumpang tur yang lain.

Namun cuaca yang terik terlalu membuat kepalanya pening. Dia sama sekali tak mengerti kenapa dan untuk apa dia berada di sini sekarang. Penumpang yang lain asyik mengambil potret, berjalan-jalan, membuat video serta mendengarkan celotehan pemandu wisata. Hanya Mika dan Raga saja yang justru menjauh dari kerumunan itu.

"Buat apa sih orang datang ke sini? Cuma liat gedung kayak gini doang. Habis itu apa?"

Telinga Mika menangkap keluhan pelan dari sisi kanannya. Rupanya Raga sudah berada di sampingnya entah sejak kapan. Pria berambut agak gondrong itu melipat kedua tangan di depan dada bidangnya.

"Ya karena ini tempat ikonik. Lagian, kalau nggak suka, ngapain juga ikut tur ini? Udah tau kan kalau ini tur Singapura?" Mika menyambar agak sinis. Berhubung dia ikut tur ini, rasanya Raga juga menyindir dirinya.

"Ya karena istri saya ..., ah bukan ...," Raga langsung meralat kalimatnya sendiri. Mika memperhatikan dengan ekpresi aneh. "Mantan calon istri saya yang memilih paket turing ini, saya cuma bisa ikut aja. Karena sayang kalau dilewatkan, ya udah saya datang." Raga terdengar seperti pria putus asa yang mencurahkan isi hati secara tak sengaja.

Mika mengerling heran. "Mantan calon istri?" ulangnya memastikan.

"Ya. Harusnya ini paket bulan madu buat kami. Dia udah pesan duluan. Tapi seminggu sebelum menikah, dia malah mutusin buat balik sama mantannya." Raga mengusap hidungnya yang tak gatal, seolah hendak berusaha menunjukkan sikap santai.

Mika ikut sedih mendengar kisah Raga yang cukup memprihatinkan di matanya. Ditinggal menjelang hari pernikahan, pasti berat. "Mungkin nggak jodoh aja, kali ..." Mika menanggapi ala kadarnya, takut ikut campur terlalu dalam.

Raga berupaya keras menyembunyikan kesedihan di hatinya. "Kamu sendiri? Kamu keliatan nggak senang juga ikut tur ini. Terus buat apa di sini?" selidiknya.

Mika terlempar pada kenyataan. Kisahnya bahkan tidak lebih baik ketimbang kisah Raga. Dia ditinggal oleh suaminya sendiri di bulan madu. Menyedihkan, bukan?

"Kalau nggak mau cerita nggak apa-apa. Toh kita juga bukan teman, kan." Raga menyambar.

Kenapa hati pria ini terlalu pahit? Mika mendesis dalam hati. Padahal dia bukannya tak mau cerita. "Bukan gitu. Saya lagi mikir aja. Nasib saya juga nggak bagus-bagus banget, kok. Harusnya ini bulan madu saya sama suami saya. Tapi dia malah pergi sendiri. Mungkin mau menikmati liburannya sendiri." Mika tanpa sadar terlalu terbuka kepada pria aneh di hadapannya sekarang.

Bukannya ikut bersimpati, Raga justru cengengesan. Dia tertawa puas.

Mika menatapnya lebih aneh lagi. "Kok malah ketawa?!" gerutu Mika sebal. "Apanya yang lucu?!"

"Saya pikir nasib saya doang yang apes, ternyata ada yang lebih apes. Saya senang dapat teman sepenanggungan." Raga berujar santai.

Dih, orang nggak jelas! Mika bergerutu lagi dalam hatinya. Makin lama, tingkah Raga makin aneh saja.

"Ya lebih baik dari kamu kan? Seenggaknya saya nggak batal nikah!" Mika mempertahankan harga dirinya, meski dia sendiri malu untuk membanggakan hubungan palsu yang dia punya.

"Di mana-mana ya, lebih menyedihkan kamu sih. Baru kali ini saya liat ada orang yang ditinggal pas bulan madu." Raga enggan mengalah.

"Bodo amat!" Darah muda Mika yang pantang dilecehkan langsung membara, dia melangkah untuk meninggalkan Raga.

Namun Raga justru mengikutinya. "Karena kita bernasib sama, kamu sendiri, saya sendiri, ada baiknya kita berteman. Mungkin ... kita bisa saling membantu melewati tur yang menyebalkan ini." Raga menjulurkan tangannya ke depan Mika. "Raga. Raga Suryadana. Panggil aja Raga, kayaknya sih, aku lebih tua dari kamu, jadi kita bisa bicara dengan santai kan? Nggak perlu kaku."

Senyum percaya diri dari wajah tampan Raga entah kenapa membuat Mika tersenyum meringis agak geli. Tapi niat baik dari tangan itu dia terima, dia sambut dengan terbuka pula. "Mika. Cukup Mika aja. Kayaknya iya, aku lebih muda. Aku masih 19 tahun."

"Hah?!" Tiba-tiba Raga terbelalak. "Sem ... sembilan belas?! Betul?! Wah, zaman sekarang orang-orang suka nikah muda ya?!" Matanya membulat.

"Emangnya kamu berapa? Muka kamu keliatan masih kayak dua puluh satu."

Raga tertawa bangga sebentar. "Dua puluh sembilan. Makasih ya pujiannya, aku memang awet muda."

Sekarang giliran Mika yang terbelalak. Dia tak sangka pria aneh ini sungguh sepuluh tahun lebih tua darinya. Sepuluh tahun. Satu dekade. Wajahnya tampak begitu manis. Itu artinya dia sebaya dengan Janu. Mengingat Janu membuat Mika mencelos kembali.

Pemandu wisata memanggil mereka untuk berkumpul, mereka akan segera berangkat ke rest area untuk makan siang. Tiba-tiba, Raga menarik tangan Mika.

"Minimal foto dulu di sini! Sayang kan, udah jauh-jauh ke sini kalau nggak foto. Mana tau nanti mertua kamu mau liat!"

Apa yang dikatakan Raga ada benarnya. Sebab itu Mika setuju saja saat Raga mengambil potretnya dengan ponsel pintar milik Mika. "Sekarang kita berdua. Sebagai tanda pertemanan." Dengan seenaknya, Raga juga mengambil potret mereka berdua.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height