Dosa Berbalut Cinta/C7 Kepanikan
+ Add to Library
Dosa Berbalut Cinta/C7 Kepanikan
+ Add to Library

C7 Kepanikan

Teng ! Teng! Teng!

Terdengar bunyi lonceng tanda pelajaran terakhir SD Rajawali. Seluruh siswa mulai berhamburan keluar kelas diiringi guru masing-masing. Tawa-tawa ceria dan celoteh menggemaskan mereka terdengar begitu menyenangkan. Khas milik anak-anak usia sekolah dasar.

Senyum lebar para guru pun tak kalah menariknya. Di pelupuk mata mereka sudah terlihat bayangan keluarga yang menunggu dengan bahagia. Membayangkan keluarga saja, mereka sudah bahagia apalagi begitu tiba di rumah. Sambutan luar biasa akan mereka dapatkan. Entah dari anak, istri, suami atau orang tua mereka.

Ucapan say good bye, sampai ketemu besok atau pelajari lagi di rumah mengiringi akhir pembelajaran yang indah. Karena apapun yang terjadi di kelas bagi guru tetaplah kegiatan terbaik dan terindahnya. Meraka akan menuliskannya di buku catatan anekdot atau harian untuk mengenang hari-hari yang dilalui bersama anak didiknya.

Namun, kecerian mereka tidak berlaku pada Quinne Saschya. Kepala Sekolah SD Rajawali.

Di sudut ruangan yang tertulis ruang kepala sekolah, seorang wanita muda, berparas cantik terlihat resah. Berkali-kali ia menatap jam dinding dengan gelisah.

Hatinya begitu berat meninggalkan ruangan dan sekolahnya tempatnya mengabdi. Sachi, begitu panggilan wanita cantik ini. Ia begitu cemas dan panik setiap kali lonceng jam pembelajaran berakhir. Sebab, dengan berakhirnya jam pembelajaran berakhir juga surganya. Ia akan kembali ke neraka.

Begitulah, ia menyebut rumah yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung dan bernaung.

Selama tujuh tahun ini, ia menyimpan semua resah dan gelisah sendiri. Menyimpan duka dan lukanya tanpa satu pun orang yang tahu. Bahkan sahabatnya pun tidak tahu. Apalagi guru-gurunya di sekolah, Sachi begitu pandai menyembunyikan perasaannya dari siapa pun.

Di hadapan semua orang, Sachi selalu tersenyum. Namun, saat sendiri terkadang air mata yang menemaninya.

Semua itu terjadi sejak menikah dengan Adnan. Suami yang ia cintai ternyata melukainya sedalam-dalamnya. Bukan hanya fisiknya yang terluka, tetapi juga hati dan perasaannya.

Sejak menikah, Adnan acapkali mengumpati, menghina dan mengatainya dengan berbagai cara. Padahal ia berusaha mengalah dan melakukan yang terbaik untuk suaminya. Namun, usahanya seakan tidak pernah dianggap.

Semua yang ia lakukan untuk menjadi yang terbaik versi Adnan tidak pernah membuahkan hasil. Adnan tetap memperlakukannya dengan buruk entah apa yang ada di otak suaminya. Sachi sampai tidak habis pikir.

Sachi mendengkus lirih, membayangkan apa yang akan terjadi nanti di rumah nerakanya. Disingkapnya rok coklat tua selutut yang membalut kaki jenjangnya. Di kedua pahanya tercetak bekas luka dan lebam hasil karya Adnan.

Semalam Adnan kembali memukulinya dengan keras, sesat sebelum Sachi melakukan kewajibannya sebagai istri. Rasanya begitu perih dan menyakitkan. belum lag umpatan yang sering Adnan lontarkan kapan saja kepada Sachi.

Bahkan teriakan kesakitannya tidak dihiraukan, Adnan malah semakin beringas dan terus melukainya. Entah terbuat dari apa hati suaminya? Sachi hanya bisa pasrah kepada kuasa Tuhan tanpa bisa berbuat banyak.

Ingin rasanya ia berteriak dan meminta bantuan, tetapi ia bahkan tidak tahu akan meminta bantuan kepada siapa?

Bercerita kepada teman, ia tidak yakin temannya bisa memberikan solusi. Bercerita kepada orang tua, ia terlalu takut membebani keduanya. Mendatangi psikiater, ia tidak ada keberanian bertemu dengan ahli tersebut. Seakan ada tembok besar yang menghalangi setiap ada niat untuk membebaskan dirinya sendiri.

Walaupun sesungguhnya ia sudah tidak kuat mengahadapi semua perlakuan Adnan yang ia anggap sangat menyimpang dan tidak bisa ia terima.

Sachi begitu iri dan cemburu setiap menyaksikan keharmonisan, keakraban atau kebahagiaan keluarga yang ia temui di manapun.

Sachi begitu terluka dengan pernikahannya. Dengan suaminya. Sosok yang pernah ia puja dan kagumi. Namun, kini semua lenyap tak bersisa.

Sachi merapikan roknya hati-hati, ia tidak ingin karena luka tersebut membuat jalan atau bahasa tubuhnya berubah hingga menimbulkan kecurigaan di hati setiap orang yang ia temui.

Selain di paha masih ada bekas luka lebam di lengan yang belum hilang, akibat ulah Adnan dua hari yang lalu. Hanya karena dirinya ketiduran sampai terlambat menyiapkan makan malam. Sakitnya menyerang dan merasuk ke seluruh tubuh, sebab masih ada lagi luka lain yang entah di sebelah mana lagi, Sachi sampai lupa saking banyaknya bekas di tubuh.

Namun, yang Sachi heran, dari sekian perlakuan kasar Adnan, tidak pernah sekalipun ia memukul atau menampar wajahnya. Sengaja atau tidak, hal tersebut membuat semua lukanya tidak terlihat oleh siapapun.

Semua mata bahkan menganggap rumah tangganya adem ayem, tentram, damai tanpa ada riak atau gelombang besar yang menguji. Walaupun hingga kini belum dikarunia keturunan. Semua menganggap, Sachi dan suami bahagia.

Sungguh miris hati Sachi setiap mendengar setiap pujian yang ia terima terkait rumah tangganya. Jika sudah demikian, Sachi hanya tersenyum tanpa berkomentar apapun.

Surga Sachi adalah ketika berada di luar rumah. Berkegiatan apapun untuk mengalihkan semua rasa sakit dan dukanya.

Detak jantung Sachi berdenyut semakin kencang, begitu jarum jam semakin mendekat ke angka dua dan dua belas. Karena jam kerjanya berakhir di pukul 14.00. Namun, tak jarang Sachi sengaja berlama-lama di sekolah untuk membahagiakan dirinya sendiri.

Pukul 13.00, Sachi keluar ruangannya menuju ruang makan untuk makan siang. Beberapa guru sudah duduk tenang menyelesaikan makannya. Begitu melihat sang pimpinan mereka menoleh sekedar memberikan senyum, menyapa Sachi.

Sachi pun membalas dengan senyuman dan anggukan menyenangkan hati anak buahnya. Selain itu memberikan senyum termasuk sedekah. Lumayan, kan sedekah tanpa materi. Modal senyum saja. Asal tidak senyum-senyum sendiri.

Setelah mengambil menu, Sachi memilih duduk di kursi yang kosong. Selain dari guru SD, di ruangan tersebut juga digunakan ruang makan smeua jenjang dari Lembaga dibawah naungan Yayasan Rajawali, mulai pendidikan anak usia dini, SD, SMP hingga SMA.

"Bu Sachi, bagaimana kabarnya?" Seru salah satu guru yang mengenal Sachi.

"Pak Soni," balas Sachi menatap guru pria dari jenjang SMA yang meminta izin duduk di kursi kosong depannya.

"Bagaimana, akreditasinya?" Tanya Soni berbasa basi.

"Sudah ready, dan siap diajukan. Bagaimana SMA?" Balas Sachi.

"Sama. Sepertinya assesor akan datang menilai semua jenjang di hari yang sama," kata Pak Soni.

"Serius, Pak?" Sachi menatap Soni.

"Hee eemm, itu bocoran dari Mei," jawab Pak Soni berbisik.

Auto keduanya terkekeh.

"Awas saya laporkan Bu Mei, loh," goda Sachi.

"Hahaa, canda, Bu." Sachi masih saja tertawa renyah mendengar kelakar Soni, guru PJOK SMA Rajawali.

Begitulah, kepribadian sesungguhnya Sachi. Ceria, pandai membawa diri dan simpel. Banyak rekan-rekan yang menyukai Sachi secara pribadi.

Pemandangan seperti itu, sudah biasa terjadi di ruang makan guru. Keakraban antar sesama guru terjalin saat makan siang. Bahkan kepribadian Sachi sudah tidak asing lagi bagi mereka. Siapapun yang mengenal Sachi akan langsung menyukai. Bahkan ada yang langsung akrab dan nyaman.

Sosok unik saat di hadapan orang lain. Namun, tidak bagi Adnan, suami Sachi.

Bagi Adnan, Sachi tak lebih dari luapan kekecewaan dan kemarahannya. Usianya yang sudah lebih dari setengah abad tidak membuatnya semakin mendekatkan diri pada Yang Kuasa.

Adnan malah sengaja membuat neraka bagi Sachi di rumahnya sendiri. Bagi Adnan, kesakitan Sachi adalah kebahagiaannya.

Adnan seolah terlupa, Jika ia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Sachi saat mengucapkan ijab Qabul di hadapan papa mertuanya. Ia terlupa, sejak saat itu ia berkewajiban Sepenuhnya kepada Sachi. Saat mereka saling berjabat tangan, saat itu pula kewajiban orang tua Sachi gugur berpindah pada Adnan.

Harus Adnan membuat Sachi tersenyum dan bahagia seperti kedua orang tuanya yang melimpahkan banyak cinta dan kasih. Namun, nyatanya ia menyakiti wanita yang mendampinginya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height