+ Add to Library
+ Add to Library

C1 NEW YORK

PERJALANAN ke sekolah akhir-akhir ini sama hambarnya dengan bubur kalengan yang disajikan saat kau demam, dan kira-kira itu nyaris membuatku muak. Nyaris.

Saat kutahu aku harus benar-benar melaluinya—memakannya, aku punya alasan bagus mengapa.

Klise, tapi itu berhubungan dengan uang.

Hujan tengah membanjir, angin meniup pohon-pohon yang nyaris botak hingga hampir mencium tanah. Mobil ayahku berderum keras dan berguncang-guncang, menanjaki tanah aspal yang retak. Kertas pamflet kampanye protes besar-besaran terbang terbawa angin, menempel di kaca depan, yang langsung menghilang sesaat ayahku memencet tombol penggerak penyeka kaca. Kertas-kertas serupa tergeletak lembap di tanah aspal, semuanya mempromosikan protes yang sama.

Kabut-kabut polusi menyembunyikan sosok-sosok mobil yang berderet bergerak bersamaan di depan. Kemacetan terjadi setiap harinya. Kilat-kilat cahaya lampu belakang adalah satu-satunya petunjuk yang memberitahuku posisi mobil-mobil itu berada, bahkan aku perlu memicingkan mata untuk mengetahuinya. Cukup mengagumkan ayahku bisa terus bergerak dengan musik metal menggelegar di radio. Bukannya ini pemandangan aneh yang patut diliput dalam dokumenter alien National Geographic atau apa, tapi jika siapapun selain Ayah yang menyetir sekarang, aku bisa membayangkan gendang telinga mereka bakal meledak.

Ayahku selalu menyetel musik-musik metal, jadi bisa dibilang aku terbiasa. Saking seringnya hingga aku secara tidak sadar mengetahui judul-judul lagu yang dimainkan. Sekarang lagu You Only Live Once dari Suicide Silence menggema. Prestasi keren pertama dalam dua belas tahun hidupku yang mengenaskan.

Sobatku Ned menyerempet di pintu samping mobil, berkutat pada jendela. Entah apa yang dilihatnya dari sela-sela kabut polusi yang menyebar seluruh New York.

Kurasa aku salah—Ned berbalik dan menjawab pertanyaanku sebelum aku sempat menanyakannya.

“Lihat, Leon!” katanya antusias, menunjuk-nunjuk kaca mobil dengan jarinya. “Mereka protes lagi. Keren, mirip Clone Wars—em, maksudku, keren bisa melihat mereka sedekat ini.”

Aku melongok. Lewat jendela, terjadi demonstrasi di jalan seberang. Sekelompok orang-orang bermasker—setengahnya kelihatan mirip tukang pukul—berbaris sambil membawa poster-poster berslogan. Mereka berteriak dan melempar batu seperti manusia gua, memblokade jalan seberang yang menyebabkan kemacetan parah. Sekelompok polisi berseragam hitam-hitam mencoba menghadang mereka—meski tidak bisa dibilang dengan cara baik-baik.

Aku terenyak di kursi. Pemandangan seperti ini sudah sama seringnya dengan melihat orang-orang berjogging di pagi hari.

“Serius, melakukan itu nggak bakal mengubah apapun. Mereka sebenarnya tolol atau apa sih?” keluhku.

Ned menggaruk tengkuknya. “Yah, kau benar, tapi mereka cukup jarang. Aku lebih sering melihat kelompok yang lebih parah.”

Mobil kami berhenti lagi. Tubuhku hampir terdorong ke depan.

“Sial!” umpat Ayah, menjedotkan kepalanya sendiri ke setir mobil. Mengeluarkan suara klakson panjang yang menyedihkan.

“Bagaimana kalau naik kereta STA saja? Aku nggak keberatan, kok,” usul Ned.

Aku dengan cepat menggeleng. “Nggak, kita tak punya cukup uang buat itu. Lagi pula, bukannya kau yang ingin naik mobil bareng?”

“Santai saja,” kata Ned. “Aku punya, lihat? Jangan balas budi padaku. Kita bisa naik STA.” Ned mengedipkan mata, memamerkan dompetnya yang di benakku seolah penuh kilau berlian.

Aku nyaris lupa kalau dia kaya.

Ayah mengerang, mengangkat kepalanya dari setir mobil. Rambut gondrongnya menutupi wajahnya dengan acak-acakkan.

“Ikut saja, Leon. Kurasa jalan ini tak akan membaik dalam waktu dekat. Lewat sana jauh lebih cepat daripada jalan sialan ini.”

“Dan lebih aman,” tambah Ned, nyengir.

“Eh, oke.” anggukku pasrah. Aku tak sanggup menolak tawaran naik STA.

STA, singkatan dari Student Transportation Alliance. Kereta Jalur Siswa. Biaya tiketnya cukup mahal, setengah dompet ayah bakal habis kalau digunakan. Kami tidak akan menggunakan kereta itu kecuali dalam momen-momen mendesak, sekalipun tawarannya cukup menggiurkan. Perjalanan ke hampir seluruh sekolah di New York—dari Manhattan ke wilayah-wilayah kecil, kurang dari sepuluh menit. Tak kusangka aku bisa naik kereta semacam ini.

Dengan cepat aku menjulur ke bagasi, mengambil dua jas hujan untukku dan Ned. Kami bergegas memakainya di mobil, tapi tepat saat itu jam tanganku menunjukkan telah lewat tiga puluh menit, aku membuka pintu dan kami berhambur menyeberang sambil memakai jas hujan di perjalanan. Pasti pengemudi di belakang mobil ayahku sudah menyerocos tentang bocah-bocah nekat yang melompat ke jalan sambil memakai jas hujan. Aku akui tindakan kami beresiko, tapi kami tak punya pilihan lain, dan aku yakin cukup ajaib untuk berteleportasi.

“Keren. Aku merasa jadi Jedi beneran. Makasih jas hujannya, Sob,” kata Ned ngos-ngosan.

Kami tiba di trotoar. Cuma beberapa orang selain kami yang berlalu-lalang. Protokol kesehatan dan keamanan menyarankan orang-orang untuk mendekam di rumah.

“Nggak masalah,” ucapku tersendat-sendat. “Tapi kita harus bergegas. Aku nggak mau ketinggalan pelajaran dan menghancurkan karir masa depanku berkeping-keping.”

* * *

Kami tiba di stasiun, dan aku tidak bisa menahan diri untuk menganga. Rasanya seolah terlempar ke masa depan.

Lorong-lorong stasiun terbuat dari marmer, menjulur dengan berbagai layar digital tertempel di dinding, kombinasi warna biru-putih terlihat di mana-mana. Kupikir stasiun begini cuma ada di film-film.

Aku menempelkan tiket kereta, palang besi di depanku terbuka. Aku perlu berterimakasih kepada Ned karena telah mentraktirku naik STA, yang bagiku sama kerennya dengan naik helikopter ke luar angkasa. Walaupun uang sebanyak itu cuma secuil bagi Ned.

Keluarganya super kaya dan super borjuis, dia bocah Skotlandia tertajir yang pernah kutemui. Sebelum mendapat kewarganegaraan Amerika, aku percaya mereka jauh lebih kaya. Meski aku tak yakin kelakuannya benar-benar mencerminkan status sosial keluarganya, Ned Pattinson adalah bocah Skotlandia maniak Star Wars dan pop kultur Amerika. Kau bisa menebak bagaimana kelakuan dan apa yang dia bicarakan.

“Seandainya mereka droid. Bakal jadi droid kelas lima. Lebih berguna daripada droid-droid seri GNK.” Ned bergumam setelah menempelkan tiket dan pintu penghalang terbuka.

Meski aku dan Ned sering menonton film Star Wars bersama—yang kebanyakan merupakan kaset DVD Ned yang nyaris dibuang orangtuanya—aku tak tahu apa yang dia bicarakan. Kecuali tentang droid, tanggalkan seri GNK apalah itu dan aku akan mengangguk setuju.

“Oh, ya, Leon—” Ned terbelalak.

Aku pikir dia melihat penampakan setan atau semacamnya. Dia tiba-tiba menyeretku dan dengan terpaksa aku ikut lari bersamanya.

“Jake—dia ada disini! dia—”

Aku mengernyit, suaranya cuma setara bisikan. Lalu aku menyadari apa yang dia bicarakan. Jake Wayne, mimpi buruk Ned Pattinson setelah pelajaran olahraga.

Aku menoleh ke belakang, Jake dan sekongkolannya berkumpul di peron kereta seberang. Tertawa-tawa bagai orang-orang sinting yang merencanakan genosida.

Bagaimana bisa aku lupa alasan mengapa Ned mau naik mobil bututku buat pergi ke sekolah?

Aku melepaskan genggamannya, berlari lebih cepat. Kami bersebelahan, sama-sama panik dan ngos-ngosan. Aku merasakkan perutku sakit, mungkin kram. Namun kulupakkan sakitku dan dengan cepat akhirnya kami duduk di dalam kereta.

Kuhembuskan napas lega sekencang-kencangnya, kejadian tadi lebih menakutkan dibanding adegan kejar-kejaran pembunuh berantai di film horor. Jake Wayne tidak akan membunuhmu, dia akan menghancurkan mental dan jiwamu sebelum membunuhmu.

Ned merebahkan lehernya. “Syukurlah aku nggak bertemu dengannya— Jake— pertama kali aku ketemuan dengannya di sini— sore harinya aku diseret di atas timbunan sampah pembuangan—”

Aku memandangnya iba. “Kau nggak apa, kan?”

“Untunglah nggak. Aku berhasil menyusun rencana dan kabur lewat sela-sela tumpukkan sampah tanpa ketahuan. Secara teori, mudah, tapi ternyata aku perlu lebih dari setengah jam.”

“Lain kali tonjok Jake saja,” kataku.

Ned tergelak. “Otot yang kuat mustahil buatku. Bayangkan melawan beruang kutub dengan seledri.”

Jake telah menargetkan Ned sebagai korban hariannya sejak awal tahun ajaran. Aku tidak tahu alasannya apa, tapi kupastikan karena Ned adalah bocah terculun di kelas—secara penampilan. Rambut merah ikal lebat dan muka berbintik-bintik, deskripsi teks buku untuk pecundang sekolah yang duduk di pojokan kantin tiap waktu makan siang, dan kurasa para perundung tidak akan repot-repot mencari alasan untuk tak menghancurkan kehidupan sekolah bocah-bocah yang mengusiknya. Selain itu, Ned telah mati-matian menyembunyikan status keluarganya dari kehidupan sekolahnya. Tak ada yang tahu tentang harta keluarganya selain aku, maupun kalau ayahnya profesor Harvard. Mungkin itu alasan mengapa Jake tidak berubah jadi penjilat. Jake juga berasal dari keluarga yang relatif kaya, begitu yang kudengar. Setidaknya, Ned masih bisa bercanda tentang ketengikan Jake, dan kurasa itu berita bagus.

Aku baru menyadari bangku yang kududuki rasanya empuk sekali. Bagian dalam gerbong juga tampak canggih. Padahal STA masih prototipe—untuk menggantikan MRT yang kuno, begitulah yang mereka katakan di televisi. Namun STA tiba-tiba saja langsung diresmikan setelah kekacauan terjadi. Mungkin para orangtua New York terlalu khawatir pada keselamatan anak-anak mereka, kau tahulah, Timmy butuh dua selimut dan rompi anti-peluru untuk pergi ke sekolah.

Aku membuka ponselku. Ned mulai mengoceh tentang Star Wars, aku pura-pura mendengarkan. Tak bisa kubiarkan sahabatku kelihatan gila di gerbong STA.

Layar ponselku menunjukkan tanggal, sekarang hari Selasa. Aku menghela napas, sudah tiga bulan berlalu sejak bencana tornado menghantam Brooklyn, menghancurkan setengahnya hingga puing-puing. Rumor-rumor menyebar tentang kilat petir merah dan wajah makhluk luar angkasa di dalam tornado atau apalah. Orang-orang terserang penyakit setelahnya, mereka menyebutnya sebagai BTD, Brooklyn Tornado Disease. Penyakit Tornado Brooklyn. Aku tak tahu bagaimana detailnya—pokoknya, aku mendengar sesuatu tentang kejang-kejang dan pendarahan hebat—yang jelas, penyakit itu membunuh orang-orang, dan membuat setengah lainnya sekarat. Pemerintah belum memberikan solusi, dan sesuai yang diduga, orang-orang mengamuk. Kericuhan besar-besaran terjadi. Dari Brooklyn hingga menyebar ke seantero New York. Penjarahan, pencurian, pembunuhan, segala hal-hal buruk yang bisa kau bayangkan dengan senapan. Aku bersumpah seluruh New York tampak seakan berasal dari film apocalyptic sekarang.

Sejujurnya, aku tidak peduli tentang bencana ini. Sekalipun masalah tornado Brooklyn tidak selesai, tidak masalah jika keluargaku pulih dari kemiskinan. Mungkin aku bakal kedengaran seperti orang brengsek, tapi itu kenyataannya. Tornado dan penyakit tidak mengusikku, maupun aku pernah merasakannya. Kerusuhan dan kekacauan terjadi di mana-mana, dan kurasa itu adalah bagian dari bencana yang benar-benar butuh pengawasan.

Aku mendapat pesan dari ayahku.

Aku bakal pulang telat. Jaga rumah.

Aku tak terkejut. Kuketikan pesan jawaban: Ya, dan kugenggam ponselku erat-erat.

Jelas dia akan pergi mencari pengobatan, untuk ibuku. Dia dapat informasi entah dari mana tentang obat-obatan lagi. Sudah dua tahun begitu, mencari-cari obat ajaib ke seluruh sela-sela daerah Amerika. Menghamburkan uang, dan sampai sekarang dia belum mendapatkannya. Akan kutemukan dia keesokan harinya terbaring di sofa dengan wajah kusam dan baju compang-camping, seolah telah pulang-pergi dari dua benua. Mungkin dia juga sempat tonjok-tonjokan dengan warga setempat. Banyak bekas luka sayatan terpampang di pipinya.

Ibuku kena penyakit kronis, ketegangan saraf, katanya. Sejak aku kelas empat. Pada awalnya dia dirawat di rumah sakit, seperti seharusnya, tetapi biaya pengobatan yang kian menumpuk membuat kami tersiksa. Lalu akhirnya dia keluar, dirawat di apartemen dengan secuil harapan dia bakal bangkit sembuh suatu hari nanti. Yang nyaris mustahil.

Aku ingin dia berhenti, tapi Ayah cukup gigih. Bukannya aku ingin ibuku sekarat lebih lama lagi, tetapi makin lama uang kami semakin sedikit. Dompet Ayah makin menipis, dan jika dia dapat uang dari hasil kerja serabutannya, dia akan menggunakannya untuk mencari pengobatan lagi. Seandainya aku punya alasan kuat untuk mencegahnya pergi tanpa membuat diriku terkesan menyepelekan penyakit ibuku sendiri.

Kepalaku pening. Ayah akan pergi lagi. Aku tidak bisa menghabiskan waktu bersamanya lagi. Kugelengkan kepalaku, mencoba mengusir rasa pening itu.

Ned mengubrak-abrik tasnya. Dengan gesit ia mengeluarkan sebuah kaset Blu-ray film Star Wars. Terdapat stempel emas di pojok kanan atas bertuliskan: EDISI TERBATAS. Tangan kirinya menggenggam kaset video game jadul Amerika. Mirip permainan arkade Galaga.

“Aku menemukan ini di kotak-kotak usang ruang kerja ayahku. Yah, sebelum ibuku melemparnya ke tempat rongsokkan. Rasanya jijik harus mencari ini di tempat sampah sebelum truk sampah datang.”

Aku menyeringai. “Padahal kau sering nonton film bajakan.”

“Nantangin nih, Leon?” Ned balas tersenyum. “Padahal kau juga nonton. Berani taruhan lebih sering dariku.”

Toko-toko kaset DVD film dikuasai oleh geng-geng kriminal yang suka memeras orang dan bikin harganya lebih mahal sepuluh kali lipat. Kalau kau membangkang dan menolak persetujuan harganya ... kau tahu apa akibatnya. Esok paginya kau bakal terbangun di atas tong sampah dengan perut berdarah-darah. Jangan tanya aku tahu dari mana, beberapa orang nekat melakukan hal-hal tolol demi keisengan.

“Gimana kalau nonton film dan main game di tempatmu? Tentunya kalau ayahmu ngijinin,” kata Ned, matanya berbinar-binar penuh harap.

Tenggorokanku tercekat. Padahal ini percakapan biasa. “Ya, tentu. Paling-paling dia nggak ada di rumah lagi.”

Aku harap suaraku tidak separau yang kurasakan.

Mataku tidak sengaja menatap Ned, dengan cepat aku menyadari bagian pipinya yang kemerahan. Bekas luka, bentuknya agak menjijikan. Rambut merah ikalnya menutupi luka itu selama perjalanan.

“Ned ...” kataku khawatir, “lukamu—apa itu di pipimu?”

Ned mendongak, cepat-cepat menarik beberapa helai rambut ikalnya untuk menyembunyikan luka. “Oh ... ini—”

Ned menunduk, meringis. Kurasa lukanya masih sakit. “Pelajaran kimia kemarin, Jake memercikan cairan ke wajahku dari belakang. Bu Thompson membiarkannya ...”

Aku menggeram. “Apa-apaan!” teriakku, nyaris menjatuhkan ponsel dari genggamanku. Beberapa orang melirik ke arahku dan Ned.

“Y-yah ...” katanya gelagapan, “aku nggak marah, sih. Guru-guru kita sudah cukup keberatan masuk ke sekolah di tengah kekacauan. Dan, yah, kurasa mengajar lima anak di satu kelas nggak memperbaiki keadaan.”

“Tapi ...” Aku menunduk. Kucoba berpikir untuk memilih kata-kata yang tepat untuk membalas, tapi tak ada yang keluar. Ned benar.

Di situasi seperti ini, semua sekolah—termasuk sekolah kami, membiarkan murid-muridnya untuk bebas memilih masuk atau tidak. Yang artinya, kau bebas membolos, dan kalau kau cukup nekat atau super pintar, kau juga boleh masuk. Guru-guru di sekolah kami terlalu malas buat mengajar lima anak di satu kelas. Jadilah dua situasi tak menguntungkan: sekelompok kecil siswa-siswi masuk sekolah, dan guru-guru dipaksa mengajar mereka.

Aku punya alasan tersendiri untuk masuk, alasan klasik—belajar dan dapat pekerjaan bagus. Dan Ned ... dia masuk kategori super pintar. Tidak, dia genius.

Aku serius. Dia menyembunyikan fakta itu dari semua orang di sekolah kecuali aku, dan orangtua Ned tak akan segan-segan menceburkannya ke dalam rawa penuh alligator di Florida jika dia ketahuan membolos. Keluarga Pattinson menghargai ilmu pengetahuan lebih dari apapun, dan yang kumaksud adalah apapun. Termasuk menelantarkan anaknya sendiri hingga jadi gelandangan, atau menyeretnya ke sekolah pelatihan militer khusus anak-anak yang sepatu botnya harus tepat 3,25 sentimeter dari mata kaki.

Selain itu, dia pernah membahas tentang Pak Murphy, guru sains kami yang agak sinting. Setiap hari dia nyerocos soal alien dan planet-planet. Bagi Ned teori-teorinya menarik. Maksudku, dia maniak Star Wars, jadi aku tidak heran.

Kereta berhenti. Aku memasukkan ponselku ke tas dan bergegas keluar, berteriak, “Ayo!” pada Ned yang terpincang-pincang menutup tas ranselnya yang menganga. Melompati gerbong dan berlarian melewati peron menuju sekolahku, SMP Clover.

Aku belum menyadari hari ini adalah hari terakhir kehidupan normalku kala itu. Belum.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height