+ Add to Library
+ Add to Library

C10 BERPISAH

KALAU KAU PIKIR memberi tahu rahasia besar dunia pada bocah maniak seperti Ned adalah perkara mudah-maaf saja, Kawan, tapi kau salah besar.

Tentu saja, aku tidak benci pada Ned sampai tanpa ragu-ragu membohonginya. Dia sobatku, dan sudah jadi kewajibanku untuk berterus terang padanya. Tapi dibanding itu semua, aku khawatir bagaimana Ned akan menyikapi segala hal tentang monster ajaib dan lima planet berkehidupan. Aku tak yakin apakah dia bisa menjaga rahasia ini—atau tak menimbulkan histeria massa. Semua orang tahu dia kutu buku berat fiksi ilmiah. Mungkin dia bakal bertingkah layaknya memenangkan lotre; berteriak histeris, terpekik-pekik tanpa henti, memamerkannya pada semua orang, dan pingsan di tengah jalan.

“Jadi?” tuntut Ned. “Kenapa kalian diam saja?”

Aku tak tahu harus memulai dari mana. Aku akui, gagasan soal Ned menimbulkan histeria massa kedengaran berlebihan—tak ada seorang pun orang waras yang bakal percaya kisah alien dan makhluk mahakuasa ajaib. Namun tetap saja, akhirnya memberitahu segalanya yang terjadi pada seseorang-apalagi Ned, adalah hal yang sulit. Menyembunyikan kejadian-kejadian supranatural adalah persoalan yang biasa buatku. Aku tak mengakui pernah dihajar anjing mematikan yang nyaris menggorok leherku, bertemu gadis alien aneh berkekuatan super, dan nyaris diremukkan oleh troll setinggi tujuh meter. Kau tahulah, seolah hal itu sama remehnya dengan main pingpong bareng sepupumu.

“Ned.” Aku mendesah. “Ini akan sangat panjang dan ... rumit. Aku tak ingin berbohong padamu, jadi kalau kau ingin benar-benar tahu—aku harap kau merahasiakannya.”

Ned mengangkat alisnya. “Ada apa? Kupikir kita semua menghadapi pemrotes.” Dia menebar pandangan ke kiri kanannya. “Omong-omong, tempat apa ini?”

“Nggak—maksudku, aku mengalami masalah yang, eh, lumayan spesial,” kataku, berusaha keras menyusun kata-kata. Aku memandang Vooir, tapi kupikir bukan ide bagus untuk menyebut nama aliennya. “Pokoknya, jangan bilang pada siapa-siapa kecuali ayahku—em, cewek ini, dan aku. Oke?”

Ned mengangkat alis, terlihat berpikir. “Oke deh,” katanya. Mungkin Ned mengerti menuruti permintaan anehku adalah satu-satunya cara mendapat penjelasan. “Apa pun itu, awas saja kalau nggak menarik.”

Saat aku mendengar pernyataan itu, aku ingin meneriakki telinganya keras-keras; Aku jamin, Nak, sekalinya kau dengar, kau bakal jadi gila. Tapi kupikir membuat Ned tuli bukan ide yang bagus.

“Kalian berdua, cepatlah,” kata Vooir, mengintip gelang kuningannya. Aku bisa melihat ayahku masih bercakap-cakap dengan ayah Ned di depan. “Kita tak punya banyak waktu.”

“Kau,” gumam Ned. “Maksudku, tetangganya Leon. Apa yang kau lakukan di sini?”

“Ned,” keluhku, berusaha keras mengalihkan perhatiannya. “Kita bisa simpan itu untuk nanti—ayo!”

Ned tampaknya tiba-tiba menjadi tuli. Dia berbalik menghadap Vooir dan mengulurkan tangannya.

“Aku Ned. Ned Pattinson,” katanya. “Apa kau berasal dari Alaska atau semacamnya? Maksudku, aku bukannya bermaksud apa-apa-tapi, wah, aku belum pernah melihat orang sepertimu!”

Aku jamin Ned bakal kaget saat tahu Vooir berasal jutaan kali lipat lebih jauh dari Alaska. Tapi ini bukan saat yang bagus buat main tebak-tebakan fakta menarik benua Amerika. Namun tepat sebelum aku menyeret Ned kembali, Vooir menjabat tangannya dengan kikuk.

“Aku Vooir Elledoire,” katanya. Aku setengah berharap Vooir bakal menggunakan nama palsu. “Maaf, tapi aku bukan berasal dari Alaska.”

“Voo—eh, apa?”

“Vooir Elledoire,” ulang Vooir. Dia mengucapkannya seperti fu-ir-el-dhor.

“Namamu unik banget—kayak, nama alien!” ujar Ned, mengguncang tangan Vooir sampai-sampai membuatnya nyaris jatuh. “Jadi kau berasal dari mana? Siberia? Aku ingin sekali berkunjung!”

“Eh ... yah, aku—” Suara Vooir tercekat, kehilangan akal mencari kata-kata.

Aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus kalau Vooir mengungkap dia tinggal di planet asing yang jauh, jadi aku melangkah untuk ikut campur.

“Oh, Ned,” sahutku, terduduk malas di tanah. “Kalau kau buang waktu terus buat main kenal-kenalan, kayaknya nggak ada gunanya aku memberi tahu soal apa yang terjadi deh.”

“Tunggu—Leon!” Ned langsung melepaskan jabatan tangannya. “Jangan! A-aku cuma berusaha ... eh, mencairkan suasana! Ya, cuma itu doang kok!”

“Yeah. Apa pun katamu,” ucapku. Rasanya puas bisa mengalahkan Ned dalam sesuatu. “Tapi kau masih pegang janjimu kan? Itu termasuk ayahmu juga.”

“Ayahku?” gumam Ned, kedengaran ragu-ragu. “Yah, baiklah. Maksudku, oke, kalau itu syaratmu.”

“Ada satu hal lagi,” kataku. “Tolong jangan terkejut. Atau ketakutan. Semacam itu. Pokoknya, tolong berlaku normal. Seolah-olah—yah, itu tidak pernah terjadi.”

“Kedengarannya seram,” komentar Ned. “Memangnya separah apa sih? Kupikir kita teman. Ayolah, beri tahu saja.”

“Ini, eh, masalah serius,” kataku. “Pokoknya, turuti saja, oke? Kau bisa percaya aku.”

"Sejak kapan kau punya mobil van?" tanya Ned, menengok ke belakang. “Kelihatannya keren. Tapi kenapa kapnya penyok?”

“Itu milik pamanku,” akuku. “Memang rongsok. Tapi itu nggak penting. Ned, bisa nggak kita pergi? Aku pikir tempat yang sepi bakal lebih baik.”

“Wah. Ini pertama kalinya kau memilih tempat yang sepi.”

“Kadang aku juga suka tempat yang sepi,” bantahku. “Sekali ini saja, Ned. Tolong jangan tanya-tanya.”

“Ini nggak seperti dirimu, Leon,” kata Ned, menyilangkan kedua lengannya. “Aku nggak pernah tahu kau orang yang suka main rahasia. Emangnya ada apa? Ada yang mengganggumu? Apa yang ... sebenarnya terjadi?”

Aku tahu mustahil mengelabui orang genius seperti Ned. Aku menghela napas. Kurasa aku tak punya pilihan lain.

“Masalah kecil,” kataku. “Cuma berhubungan dengan kiamat dan monster-monster mematikan.”

Ned mengerjap. "Apa?"

“Kita ke sana,” kataku, menunjuk ke arah pepohonan. “Kecuali kau nggak mau tahu cerita lengkapnya.”

“Oh—eh ....” Ned berusaha menjawab, tapi aku sudah pergi.

* * *

Kami melewati pohon demi pohon. Warna kelabu kebiruan menghiasi cakrawala—kami mulai memasuki waktu pagi. Bintang-bintang meredup, dan bulan hanya tampak seperti lingkaran putih kecil. Kali ini tak ada kelelawar, tapi beberapa kelompok burung bercuit-cuit dan berterbangan di langit. Aku tahu Ned pasti kebingungan sekarang-tak ada tempat seperti ini di Central Park. Yah, sekarang ada, tapi tak seorang pun mengetahuinya. Aku bertanya-tanya jalur mana yang dulu Ayah tempuh untuk menemukan tempat ini untuk pertama kali.

Kami berhenti. Kupikir ini jarak yang lumayan untuk menghindari jangkauan pendengaran orang lain. Aku berbalik, tanpa sengaja mengejutkan Ned. Aku bisa menebak dia penasaran dari bintik-bintik di wajahnya yang menjadi jelas.

“Ini akan panjang,” aku memulai.

“Ya.”

“Ini akan sangat rumit.”

“Ya.”

“Kau nggak akan percaya ini.”

“Ya—maksudku, nggak. Aku bakal percaya.”

“Kau yakin?” tanyaku.

Ned mendesah. “Leon, bisa nggak langsung ke intinya dan selesaikan ini?”

“O-oke,” kataku, merasa berat. Aku mulai menceritakan segalanya pada Ned. Tentang aku yang mendadak dihajar anjing berkepala dua dan sepasang malaikat maut, Vooir yang menyelamatkan nyawaku, Lima Dunia, Takdir Araez, blah, blah, blah. Semakin lama aku bicara, semakin lama Ned mendekat sehingga kupikir dia bakal mendorongku jatuh ke tanah.

Setelah aku berhenti bicara, Ned terkesiap. “Wow.” Dia mengusap wajahnya yang seakan dipenuhi bintik-bintik. "Ini—aku—aku nggak—maksudku, ini sulit dipercaya ...."

“Kubilang apa,” kataku. “Ceritanya panjang.”

“Jadi kau—” Ned mengusap keringatnya lagi, “memang Luke Skywalker! Aku tahu aku benar!”

“Ned! Bukan itu maksudku! Sudah kubilang—”

“Kau Sang Terpilih! Tunggu, apa ini berarti aku Obi-Wan? Tapi di sini ada Vooir .... Jadi sebenarnya aku Han Solo?”

“NED!” seruku.

“Oh. Yeah. Maaf soal itu,” kata Ned, menggaruk-garuk rambut ikal merahnya. “Tapi ini—ini berarti penemuan tingkat dunia! Wajah kita seharusnya terpampang di semua buku sejarah! Apa kau yakin bakal terus bikin hal ini jadi rahasia?”

Oke, pikirku. Itu masuk akal. “Yah, aku juga mau dapat penghargaan kayak begitu,” akuku. “Tapi maaf saja, Sob, aku nggak yakin histeria massa adalah harga yang sepadan buat bikin wajahmu terpampang di lembaran kertas.”

“Yah, kurasa kau benar,” aku Ned, kedengaran sedikit kecewa. “Aku hanya—ini hanya sedikit membuatku, kewalahan. Kau paham maksudku? Semua soal lima planet lain, dan kepunahan itu ....”

“Aku tahu kok apa maksudmu,” kataku, menepuk bahu Ned. “Yah, kau nggak pernah tahu kapan kau bakal dihajar anjing raksasa waktu nonton film.”

Ned tergelak. “Itu salahmu juga sih. Kau nonton film secara ilegal.”

Aku bisa melihat Ned merasa lebih nyaman, dan itu membuatku sedikit lega. Mengesampingkan obsesi Star Wars-nya, Ned memang genius. Aku tak akan bisa mencerna cerita semacam itu andaikan aku tidak nyaris mati diserang monster.

“Tapi, bukannya itu berarti ....” gumam Ned, kelihatan berpikir. Kurasa satu-satunya kekurangan jadi genius adalah otakmu tak pernah berhenti bekerja. “Aku barusan ngomong sama alien?”

Oke, itu agak mengecewakan, pikirku.

“Awalnya aku juga merasa canggung, tapi lama-lama kau bakal terbiasa kok,” kataku, tapi aku tahu aku masih setengah tidak mempercayai fakta bahwa Vooir alien. Sulit menangkap konsep asing seperti kehidupan di luar Bumi—apalagi saat wujud asli mereka bukan orang hijau kerdil berkepala seukuran dua kali bola boling. “Vooir dan lainnya menunggu. Kau sudah siap?”

“Ya, kurasa,” ucap Ned, merapikan kaus Star Wars kuning dan tas ranselnya. “Nah, sekarang sudah.”

“Bagus. Ayo!” seruku.

Ned dan aku bersama-sama berjalan keluar dari pepohonan. Vooir berada di depan, terlihat menunggu kami sambil memperhatikan gelang kuningannya. Ayahku bersama ayah Ned bercakap-cakap di samping mobil mereka. Aku bisa merasakan Ned dua kali lebih gugup dengan Vooir kali ini.

“Aku tahu ada yang aneh darinya,” bisiknya. “Tapi aku nggak pernah menyangka dia alien.”

“Aku juga,” kataku. “Kupikir dia cuma orang aneh yang kebetulan punya mata ajaib atau apalah.”

“Omong-omong,” ucap Ned. “Soal ikatan itu ... kau pernah dengar soal seorang ibu yang mampu mengangkat mobil besar saat anaknya dalam bahaya?”

Kupikir aku merasakan lampu bohlam menyala di atas kepalaku. “Ya. Aku pernah dengar,” kataku.

“Kurasa ikatan mirip seperti itu. Tapi dilakukan secara terus menerus,” Ned menjelaskan.

“Oh. Benar juga!” seruku. Ini pertama kalinya aku akhirnya mengerti apa itu ikatan. “Kalau begitu, melakukannya sekali saja bakalan sulit dong?”

“Benar kan? Fakta kalau mereka memanfaatkan itu sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari—keren banget!” Ned nyaris berteriak. “Kau juga pernah melakukannya kan? Bagaimana caranya? Apalagi bisa dapat pusaka seperti itu!”

“Eh ... yah, aku juga nggak begitu ingat bagaimana. Saat aku bangun, Esmerides-Esmerides itu telah lenyap dan benda ini ada begitu saja,” pkataku. Aku bisa merasakan dinginnya baton itu di saku jaketku. “Dibanding itu, kurasa kita harus cepat-cepat. Vooir bilang waktu kita sedikit kan?”

Tiba-tiba, di kejauhan, ayahku memanggilku. “Leon!”

Ned dan aku mendongak. Ayahku berada di dekat pintu van, entah karena apa kelihatan senang.

“Ya?” aku balik berseru, berjalan mendekat. “Ada apa, Yah?”

“Ibumu mau menyampaikan beberapa patah kata denganmu, Leon,” kata ayahku, mengusap keringatnya. Dia memandang Vooir dan tersenyum. “Terima kasih. Obatnya bekerja.”

“Apa?” tanyaku. Ibuku mau bicara? Obatnya bekerja? Aku merasakan firasat aku tahu apa artinya itu. “Vooir, apa maksudnya ini?”

Vooir berjalan mendekat, menunjuk ke arah van. “Kau ingat saat ayahmu pulang dengan kendaraan itu?”

Aku berusaha mengingat-ingat. Saat itu, apartemenku hancur lebur, dan ayahku tertidur di sofa berlengan setelah pulang dengan van rongsok pamanku. “Ya ... tapi apa hubungannya?”

“Dia pergi menemuiku,” kata Vooir. “Aku memberikannya obat khusus dari Aldeoirgh—meski aku mendapat beberapa masalah, tapi itu tidak penting—kuharap itu bisa membantu.”

“J-jadi,” gagapku, butuh waktu mencerna informasi itu. Setelah bertahun-tahun, kupikir ibuku nyaris tak bisa diselamatkan. “Apa artinya dia sudah sembuh?”

Vooir tiba-tiba kelihatan sedih. “Tidak—belum,” katanya. “Pengaruh Esmerides tak bisa disembuhkan oleh obat-obatan Aldeoirgh—untuk saat ini.”

“Ulah Esmerides? Apa maksudmu?” tanyaku. “Apa itu berarti ... ibuku sakit karena—karena Esmerides?”

“Jika suatu penyakit nyaris mustahil disembuhkan, dan tak diketahui jelas penyebabnya, itu adalah ulah Esmerides. Begitulah yang diajarkan kepada kami di Aldeoirgh” katanya sedih. “Kemungkinan besar para Esmerides telah lama melacakmu, tapi mereka memilih tak turun tangan. Kurasa mereka mencoba menjadikan hidupmu sengsara untuk membuatmu memihak mereka. Para Esmerides tahu betapa berbahayanya kekuatan Takdir Araez—itu telah tercatat di Testamen Ketiga Araez Exatra.”

Aku mengusap-usap wajahku. Ini sulit diper—tidak, ini nyaris tak bisa dipercaya.

“Ini ... itu—itu nggak mungkin.” Suara beserta bibirku gemetaran. “Aku—kalau begitu, aku penyebab penyakit ibuku? Selama ini—?” Aku mengambil napas dalam-dalam. “Apa itu berarti ... ibuku nggak bakal bisa sembuh?”

“Ada satu cara,” kata Vooir. “Tapi kita harus menunggu Rogeid dulu.”

“Katakan padaku!” teriakku. “Kalau memang ada cara supaya ibuku sembuh, beri tahu aku!”

“Aku—aku tak bisa melanggar peraturan. Maaf,” katanya, suaranya gemetar. Jantungku seperti merosot ke bawah. Seharusnya aku tak melakukan itu.

“Maaf,” ucapku, memandang ke tanah. “Aku—aku nggak bermaksud berkata begitu.”

“Ada satu orang lagi yang mengalami hal yang sama,” gumam Vooir, seolah tak pernah mendengarku.

“Ada satu orang lagi?” Ingatanku kembali ke sehari yang lalu di sekolah soal misteri penyakit Jake. Aku menelan ludah. “Apa orang itu—barangkali—bernama Jake Wayne?”

“Jake ... Wayne?” Vooir menggumam. “Benar. Aku telah menyelidiki orang itu. Bagaimana kau tahu?”

“Harusnya aku yang tanya itu,” kataku, bisa merasakan wajahku perlahan-lahan memucat. “Bagaimana kau tahu?”

Vooir tak menjawab.

Aku menelan ludah.“Jangan bilang kau mengikutiku—bahkan setelah keluar dari apartemen?”

Wajah Vooir kelihatan seolah dibuat dari baju zirah abad pertengahan. “Maaf, Redwine. Rahasia tetaplah rahasia.”

Kutebak itu adalah istilah alien untuk: Itu benar, Nak, tapi aku tak mau mengakuinya. Aku membuka mulutku, tapi sedetik kemudian menyerah. Kurasa setelah segala hal yang Vooir lalukan untukku, satu kasus penguntitan bukanlah harga yang buruk. Aku hanya bisa menggumam, “Makasih. Kali ini aku benar-benar kesal dengan Esmerides.”

“Leon!” seru ayahku, berdiri di ambang pintu van. “Ibumu bilang dia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia ingin menyampaikan salam perpisahan. Kau sudah siap?”

Aku merasa seperti ada yang memukul-mukul jantungku dengan tongkat bisbol. Tentu, aku sangat ingin menemui ibuku. Aku bakal mendengarkan apa pun yang disampaikannya setelah sekian lama—bahkan jika itu cuma perkara tisu toilet. Rasanya seolah aku tidak bisa mengingat apa pun tentang ibuku jauh sebelum dia sakit. Namun di lain sisi, aku merasa bersalah karena sempat menganggap ibuku sebagai beban. Aku putra yang payah. Padahal selama ini dia kesakitan—sakit yang luar biasa, dan itu disebabkan oleh Esmerides yang melakukan hal ini karena aku. Tapi aku malah tak peduli padanya. Melupakannya.

Dengan langkah berat, aku berjalan memasuki van. Di dalam, terbaringlah ibuku di salah satu kursinya. Wajahnya tidak sepucat biasanya—malah, aku berani bersumpah dia tampak sehat. Tapi aku tahu harapanku sia-sia, Vooir telah memberitahuku bahwa pengaruh Esmerides nyaris tak bisa disembuhkan. Aku menggeleng. Tidak-ada satu cara, tapi aku belum tahu apa. Rambut pirangnya seolah berkilauan di bawah cahaya bulan. Dia membuka matanya yang berair. Cokelat ambar. Persis seperti mataku. Dia mengeluarkan suara-lemah dan terputus-putus. Aku mendekat. Dia menggumamkan namaku, “Leon ...!”

“Ya,” aku menjawab. “Ini aku, Bu.”

Air mata mengalir di pipinya. “Oh, syukurlah. Selama ini aku-aku khawatir, apa kau baik-baik saja tanpa Ibu?”

Aku berusaha tersenyum. “Aku baik-baik saja kok, Bu.”

Ibuku tersenyum. Dia kelihatan cantik dengan cahaya redup. Dia mengusap air matanya. “Aku dengar kau akan pergi?” tanyanya.

Itu mengejutkanku. Kupikir ibuku tak tahu soal itu. “Ya—begitulah.”

Dia kelihatan sedih mendengar itu. Aku bisa memahaminya, ini pertama kalinya kami berbicara dengan jelas setelah sekian lama. Mengetahui bahwa momen ini berlangsung sementara pasti menghancurkan harapannya.

“Sebelum kau pergi,” ibuku berkata, “maukah kau mendengar cerita Ibu sebentar, Leon?”

Aku merasakan firasat bahwa ini momen yang penting. "Tentu saja," jawabku, tanpa ragu-ragu.

Ibuku mulai menceritakan semua kisah bahagianya denganku. Bagaimana dia yang seorang yatim piatu ingin membahagiakan putranya. Berbagai pengalaman memalukanku di masa bayi. Saat aku nyaris terseret arus ombak di Coney Island, Brooklyn. Pertama kalinya menghafal huruf-huruf alfabet, masuk sekolah dasar, berlibur di Disney Land dengan tiket lotre ayahku, bepiknik di Central park .... Segalanya.

Tidak biasanya aku tak terlelap mendengarkan sesuatu yang panjang, tapi aku mendapati diriku menghayati kata demi kata yang keluar dari mulut ibuku. Rasanya seolah memori-memori itu kembali ke ingatanku, menjelaskan semua gambaran-gambaran yang kabur. Sesuatu yang hilang dariku kini kembali, dengan perasaan yang benar-benar baru.

Aku mengerjapkan mataku. Itu pengalaman yang aneh, sungguh. Aku merasa seperti sebagian memoriku dicuri, menghilang entah ke mana, dan menyisakan gambaran kabur seperti uap yang nyaris terasa asing. Aku bertanya-tanya jika ini ulah Esmerides. Selama ini mereka menyembunyikan fakta bahwa ibuku adalah tipe ibu yang menyuapi anaknya kue cokelat dan puding setiap hari.

Ibuku mengusap air matanya. “Apa aku terlalu banyak bicara?”

Aku menggeleng. ”Nggak. Sama sekali nggak.” Aku berkata begitu, tapi aku bisa merasakan Vooir menunggu kehadiranku.

“Aku akan merindukanmu, Leon,” ibuku mengucapkan selamat tinggal. “Ini bahkan belum lama Ibu akhirnya bisa melihatmu. Kau sudah tumbuh besar. Rambut gelapmu, dan mata emasmu—”

“Cokelat ambar, Bu,” koreksiku. “Bukan emas.”

“—Dan sifatmu, persis seperti ayahmu!”

Aku bisa merasakan wajahku memerah. “Bu!”

“Aku tak menyangka kau sudah tumbuh besar begini,” kata ibuku, nemandangku sambil tersenyum. “Kau jadi sangat tampan—”

“BU!” teriakku, berharap wajahku tidak semerah yang kurasakan.

Ibuku berhenti bicara, menyerah, tapi aku tahu dia berusaha keras tidak tersenyum. Aku merasa hari-hariku selanjutnya dengan ibuku bakal kacau. Aku tak mau mendengar semua kisah memalukanku semasa bayi diumumkan ke lusinan orang.

“Yah, semoga beruntung,” cap ibuku, kedengaran tak rela mengatakannya, tapi dia berusaha agar tersenyum. “Hati-hati. Aku akan merindukanmu.”

“Ya,” kataku, aku bisa merasakan mataku berkaca-kaca. “Aku juga.”

Dengan begitu, aku berbalik, berjalan keluar dari van. Sebelum aku bisa benar-benar menapaki tanah, aku memandang ibuku. Dia kelihatan sedih, mata cokelat ambarnya berkaca-kaca, dan hidungnya berwarna kemerahan. Dadaku rasanya seperti dipukul-pukul lagi. Di dalam hatiku, aku ingin tetap berada di sini. Bersama kedua orangtuaku. Entah seberapa lama. Tapi aku tahu itu mustahil-semua orang tahu takdir tidak pernah bisa dihindari. Aku harus menghadapi ini, apalagi saat ribuan nyawa bergantung padaku.

Dengan langkah berat, aku berjalan menghampiri Vooir dan Ned yang telah menungguku.

“Sudah siap?” tanya Vooir, akhirnya berhenti menatap gelang kuningannya. Ned mengacungkan jempolnya dan nyengir, seolah mengatakan; Iya dong, Bung. Masa nggak?

“Dengar, Vooir.” Aku mendesah. “Sejujurnya ... aku ingin kabur.”

Aku bisa melihat ekspresi Vooir melunak, dan senyum Ned menghilang. Tiba-tiba kedua bahuku terasa berat.

Aku menghela napas. “Aku ingin segalanya yang terjadi tidaklah nyata. Aku ingin menghabiskan waktuku di sini, bersama-sama dengan orangtuaku. Aku takut apa yang akan dihadapi bocah dua belas tahun sepertiku. Tapi, Vooir, jika inilah yang perlu diambil untuk menyelamatkan semua orang. Maka—”

Aku mengambil napas dalam-dalam. Sesuatu yang hangat merayapi tubuhku. Barangkali api. Aku merasakan tekad aneh di dalam dadaku—dan kata-kataku meluncur setegas prajurit.

“Maka aku akan mengambilnya.”

Vooir menghela napas, dan Ned tampak ingin bersin.

“Senang mendengarnya,” kata Vooir.

Ned tersenyum lebar, hidungnya memerah seperti badut. ”Nah, itu baru sobatku—”

“Ned!” panggil Craig di samping Bentley-nya. “Dengar-dengar kalian bakal pergi?”

Ned meloncat ke atas seperti ditikam “Oh—eh ....” gumamnya gelagapan. Ia membersit ingus. “Aku lupa belum memberi tahunya.”

“Tidak masalah, Nak,” kata ayahku, beranjak dari van dan menepuk bahu Ned. “Akan kuurus ayahmu. Dia percaya kata-kata ilmuwan, kan?” Ayah mengedipkan matanya—dan aku langsung tahu dia bakal berbohong. Dia berjalan mendekati Craig, dan aku berharap kecerdasan ayahku cukup untuk mengelabui seorang profesor Harvard. Tapi kalau itu kenyataannya, maka aku memang tidak mendapat jatah kecerdasan apa pun dari ayahku, yang membuatku agak kecewa.

Mereka bercakap-cakap, dan aku berusaha untuk berpikir positif—meski hasilnya gagal total. Mungkin cuma imajinasiku, tapi aku merasa seperti Craig sudah mengetahui segalanya. Caranya terus menatap kami sementara ayahku bicara terasa aneh. Kutepis pemikiran itu jauh-jauh—untuk seribu kalinya, tak ada satu pun profesor Harvard yang percaya pada dongeng soal monster-monster mematikan dan akhir dunia. Namun aku kembali teringat juga tak ada satu pun profesor Harvard yang membawa-bawa senapan atau mengenakan sandal tidur kelinci merah muda.

Saat ayahku kembali, aku bertanya padanya apa yang dia katakan pada ayah Ned. “Simpel,” katanya. “Ayah hanya bilang kalian akan dikirim ke sekolah asrama di Atlanta sebagai murid sementara sampai New York pulih.”

Ned mengerjap-ngerjap. “Itu ... cerdas,” gumamnya. “Ayahmu memang ilmuwan,” bisiknya padaku.

Perlahan-lahan senyumku merekah. “Aku tahu,” kataku, tiba-tiba merasa bangga. Aku menatap ayahku, yang juga memandangku lekat-lekat, seolah memberitahuku kalau dia percaya aku dapat menyelesaikan semuanya. Aku juga bisa melihat ibuku, terduduk di van dengan wajah menunduk dan mata sembab. Perasaan mengaduk-aduk menyeruak di dadaku. Pada akhirnya, kami akan berpisah juga, pikirku.

Vooir berdeham, memecah keheningan. “Rogeid mengirimiku pesan. Dia sudah sampai di sini, kalian bisa—”

“Yeah,” desahku. “Pergi, kan?”

“Oh ... benar.” Ned kedengaran tidak rela. Ia memandang ayahnya yang melambai-lambaikan tangan. Ned menyedot ingus, hidungnya kini persis tomat ceri. “Rasanya agak sedih, ya?”

“Anak-Anak,” ayahku menyela. “Kalian tak punya waktu banyak. Pergilah. Kami akan baik-baik saja.”

“Ayahmu benar, Redwine,” kata Vooir. “Waktu kita terbatas.”

“Aku tahu,” akuku. Aku melirik ibuku lagi, yang masih terduduk di van. Dia terlihat putus asa. Rasa tak rela merayapiku seolah mengikat pergelangan kakiku pada roda van. “Tapi ... sedikit salam perpisahan nggak akan sakit, kan?”

Untuk sesaat, Vooir kelihatan ragu untuk menjawab, tapi kemudian dia kembali pada wajah kakunya yang biasa. “Kurasa begitu.” Nada suaranya begitu lembut sehingga kupikir Vooir sedang tersenyum. “Pergilah, Redwine. Ambil waktumu.”

Aku langsung berlari menuju ayahku, merentangkan tanganku lebar-lebar dan memeluknya. Aku tidak bisa melihat ekspresinya karena aku tak bisa menahan air mataku. “Aku akan kembali, Yah. Aku janji,” isakku.

“Ya,” kata ayahku lemah, suaranya bergetar. “Dan kita akan bersenang-senang lagi. Seperti dulu, sebagai keluarga utuh. Selalu.”

Aku melepaskan pelukanku. Aku bisa merasakan seluruh wajahku memerah. Barangkali hidungku lebih merah dari hidung Ned. Aku menyedot ingusku dan terisak seperti bayi. Aku baru saja ingin menyinggung soal penampilanku yang sama sekali tidak keren, hingga aku melihat ibuku bersusah payah keluar dari van.

“Ibu! Apa yang Ibu lakukan?” pekikku. “Hentikan—itu berbahaya!”

Ayahku meraung, “Calandra!” Dia berlari menuju ibuku yang berusaha keras menapaki tanah. Aku bergegas mengikuti.

“Arthur ....” gumam ibuku lemah saat ayahku memegangi bahunya.

“Hentikan, Calandra. Aku tahu kau sudah ... hampir sembuh. Tapi kau tidak perlu melakukan ini.” Ayahku berusaha mendorong ibuku kembali memasuki van.

“Tidak, Arthur. Aku—aku hanya ....” Ibuku terisak. “Aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan yang pantas ... untuk putra kita.”

“Ibu.” Aku mendekat, menyela mereka berdua. “Ibu nggak perlu menyakiti diri sendiri. Aku di sini, Bu.”

Ibuku terkesiap. “Leon!” Ia merentangkan tangannya yang kurus lebar-lebar. Aku menyambut pelukannya, kedua lengan ibuku terasa lemah dan dingin. Dia berbau seperti bunga peony. Aku bisa merasakan air mata ibuku membasahi bajuku, isakannya menggetarkan tubuhku.

“Aku akan kembali, Bu,” janjiku. “Kita bisa piknik bersama lagi.”

Kami melepas pelukan. Ibuku masih terisak, tapi aku bisa melihat jelas dia berusaha agar tidak tertawa. “Salam perpisahan jenis apa itu?” katanya, mengusap air mata dari pipinya. Ia tersenyum lembut. “Bersiaplah, Ibu akan bawa banyak sekali kue cokelat.”

“Kedengarannya hebat,” kataku, tersenyum lebar dengan mata yang basah dan bengkak. Kalau ada cermin di sini, aku pasti kelihatan mirip seperti troll yang babak belur.

“Pergilah, Leon,” kata ayahku, tersenyum melihat kami berdua. “Mereka menunggumu.”

Aku menoleh ke belakang, Ned di seberang tengah bicara dengan ayahnya, dan Vooir berdiri di rerumputan—sepenuhnya sendirian. Angin berembus, membuat rambut hitam lurus Vooir berkibar-kibar. Rasanya seperti Vooir adalah orang yang paling kesepian di sini, dan itu membuatku merasa tak enak. “Sepertinya Ayah benar,” kataku.

Aku segera berbalik, melambaikan tangan sambil berjalan ke belakang seperti orang buta arah. Aku masih tak bisa melepaskan pandangan pada orangtuaku, mengingat sebentar lagi aku tak akan bertemu mereka lagi-entah untuk waktu yang lama atau selamanya. “Aku akan kembali. Kita akan bersenang-senang bersama seperti dulu lagi. Aku berjanji!”

“Kelihatannya kau sudah siap, Redwine,” Vooir berdeham, membuatku sadar aku hanya beberapa inci darinya. Aku berhenti dan mengadapnya dengan kikuk. “Eh—em ... oh, ya,” kataku, berusaha mengatakan sesuatu yang lebih cerdas tapi berakhir terbata-bata.

Ned berjalan ke arah kami, menuruni rerumputan. “Sudah siap menempuh perjalanan, Kawan-Kawan?” sapanya dengan wajah berseri-seri, menyeret tas ransel menganga yang kepenuhan. Tas ransel itu seolah dimasukkan tiga bantal besar, dan aku yakin tas itu tak pernah terlihat seakan bakal meledak seperti ini sebelumnya.

“Apa itu?” tanyaku.

“Oh, ini? Kelihatan banget, ya? Aku bawa beberapa koleksi Star Wars-ku. Barangkali kalau aku—eh ... bosan,” ujarnya, cepat-cepat menutup ransel.

Aku meragukan itu. Ned tidak pernah berhenti bicara di mana pun ia berada. Mungkin dia hanya membuat-buat alasan agar bisa membawa koleksi Star Wars-nya yang berharga.

“Vooir, apa dia boleh ikut?” tanyaku, merasa tak enak menghancurkan harapan terbesar Ned. “Maksudku, kau tahu ... warga sipil dan semacamnya. Dia tak ada hubungannya dengan Lima Dunia sepertiku, atau kau.”

Ned ternganga. “Tunggu, jadi selama ini aku belum dapat izin?” tanyanya, tanpa sengaja menjatuhkan figurine Luke Skywalker dari genggaman.

“Soal itu ....” Barangkali Vooir ingin bicara lebih banyak, tapi dia kelihatan ragu-ragu.

“Tolong, Vooir, izinkan aku ikut!” pinta Ned, berlutut di tanah dan memohon-mohon seperti pengemis. “Aku janji aku nggak akan berulah, menghancurkan apa pun, atau mencuri-aku juga akan tutup mulutku rapat-rapat! Seperti janji kita kan, Leon?”

Aku tak pernah tahu Ned ahli dalam memberi tatapan memelas seperti anak anjing. Dengan mata biru tua besarnya berkaca-kaca seolah dibendung air mata, bintik-bintik di wajahnya yang mirip bocah pedesaan, dan rambut ikal merahnya yang seperti anjing pudel, aku nyaris tak bisa mengeluarkan kata-kata apa pun untuk menolak.

“E-eh, em ... yah ... itu—anu ...” aku terbata-bata seperti orang yang baru saja dipermalukan di depan umum. Meski kejadian ini kedengaran konyol, aku betul-betul perlu memikirkan keputusan ini. Aku merasa Ned lebih bisa diandalkan dibanding aku-dia genius, berani, dan berbanjir harta. Namun di sisi lain, aku jelas-jelas tidak ingin Ned terluka. Setelah nyaris tewas melawan si Troll-Esmerides, sekaligus dihajar sekomplot Esmerides lain yang meremukkan tanganku, aku tak bisa membayangkan bahaya apa lagi yang akan kami hadapi. Menyelamatkan Lima Dunia tidak kedengaran seperti tugas yang mudah-kejadian apa pun bisa terjadi, dan aku tak yakin apakah sekelompok anak dua belas tahun bisa menghadapinya. Setidaknya, aku merupakan Takdir Araez-orang yang ditakdirkan untuk mengemban tugas ini, sekalipun aku masih tidak tahu bagaimana aku bisa sespesial itu, tapi Ned ...?

“Kurasa tambahan satu orang tidak akan mengganggu,” Vooir tiba-tiba menyela. Aku menganga. Jangan bilang dia terhipnotis pesona Ned?

Ned kelihatan seperti baru saja menelan batu—terpaku, bingung, dan berwajah merah. “Sungguh? Ini betulan, Vooir?” Ia mengusap-ngusap wajahnya seperti mendapat mukhjizat. “Aku—aku bisa ikut! Aku nggak percaya ini terjadi!”

“Tunggu, Vooir. Kau yakin?” selaku. “Maksudku, Ned bakal dalam bahaya! Dia nggak bisa—”

“Aku yakin Pattinson bisa diandalkan,” Vooir berkeras. Untuk sesaat, aku bisa melihat mata birunya berkilat saat menatap Ned, seperti saat dia memandangku penuh damba tiap takdirku disebut-sebut. “Dia salah satu dari sedikit orang yang kalian sebut sebagai seorang genius, bukan? Dia bisa belajar.”

“Yah, kau mungkin melihat potensinya tapi—” Kata-kataku menghilang. Bagaimana dia bisa tahu kalau Ned seorang genius? Aku ingin bertanya, tapi aku kembali teringat Vooir diam-diam mengikutiku sepanjang waktu. Aku berusaha menyusun kata-kata, tapi tak ada satu pun yang keluar.

Ned mendengus, mengangkat tas ranselnya. “Lihat itu, Leon? Vooir bahkan mengakuiku. Aku memang pantas jadi Han Solo-mu! Rekan setia Sang Terpilih!”

“Iya deh, Ned,” desahku, memutar bola mata. Kurasa sebaiknya aku segera merelakan kedatangan Ned. “Omong-omong, Vooir, di mana sih, si Roge—apalah ini?”

“Situs Exatra,” ujar Vooir. Dia cepat-cepat menambahkan saat melihat wajah kami yang kebingungan. “Maksudku—lingkaran tujuh meter di tanah. Kau sudah tahu tempatnya kan, Redwine?”

“Situs Exatra? Lingkaran tujuh meter di tanah?” tanya Ned. “Kalian belum memberi tahuku segalanya, ya?”

“Percayalah, Sob, aku juga belum mengetahui semuanya,” dengusku. “Tapi kita bukannya punya waktu untuk tanya-tanya. Kita harus segera pergi.”

“Redwine benar. Kalian sudah siap?” tanya Vooir, kembali menatap gelangnya.

Aku ingin menjawab ya, tapi sesuatu menahanku untuk mengatakan itu. Aku menoleh, memandang orangtuaku untuk kedua kalinya. Ini pertama kalinya kami menjadi keluarga utuh, tapi momen ini dirampas dan kami harus berpisah. Aku meneguhkan hatiku—jika aku tak bisa menemui mereka lagi, setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka pada saat ini.

“Tunggu. Sebelum kita pergi, aku ingin memastikan sesuatu,” kataku. “Apa kau tahu di mana orangtuaku bisa tinggal, Vooir? Maksudku-setelah semuanya, apartemen kami jelas sudah hancur. Aku tidak ingin membuat mereka lebih menderita lagi.”

“Aku—aku tidak tahu,” geleng Vooir kecewa. “Aku mencoba memperbaiki tempat tinggalmu saat itu, tapi sepertinya sekarang sia-sia.”

“Jadi kau yang memanggil yayasan aneh itu?” tanyaku. “Sudah kuduga. Aku tahu mereka aneh banget.”

“Aku—kupikir itu satu-satunya cara yang masuk akal.” Bercak-bercak merah muda bermunculan di pipi pucatnya. “Kekuatan mimikriku tidak akan bertahan lama menutupi kerusakannya.”

Ia menunduk, mata birunya berkilat. “Maaf. Aku tidak bisa membantu banyak”" gelengnya sedih. “Memanipulasi ingatan punya banyak efek samping. Kupikir semuanya akan berjalan baik-baik saja, tapi—”

“Sudahlah. Itu bukan salahmu,” aku menenangkannya. “Mungkin aku hanya perlu mempercayai orangtuaku. Mereka akan baik-baik saja mengurus diri mereka sendiri. Aku yakin itu.”

Aku mengambil napas dalam-dalam. “Ayo, Kawan-Kawan,” seruku. “Sudah waktunya kita pergi!”

Aku berlari duluan. Kudengar langkah kaki Vooir dan Ned mengikuti di kejauhan. Cakrawala mulai menerang, dan aku tahu ini bukanlah saatnya untuk ragu-ragu. Aku mencepatkan langkah kakiku, menghilang ke dalam pepohonan—dan untuk pertama kalinya, tidak lagi menoleh ke belakang.

* * *

Kami telah sampai di tempat itu-tempat yang Vooir sebut sebagai Situs Exatra, yang kukira cuma lingkaran besar tak berarti yang bakal berakhir menjadi rawa penuh katak.

Lingkaran itu cukup besar-seluas lapangan kecil, dijejeri oleh pohon-pohon rindang kelam dan langit kelabu. Saat kami mencapai lingkaran itu, yang kami temui adalah sesosok pria paruh baya yang berdiri di tengah-tengahnya. Saat aku mendekat, aku baru menyadari kalau orang itu sama sekali tidak berdiri.

Dia menduduki sebuah piringan keemasan berlengan yang berdengung dengan cahaya biru, mengambang sekitar setengah meter dari atas tanah.

Aku dan Ned terkesiap bersamaan. Tapi Ned jelas yang paling bersemangat. Dia tanpa ragu bertanya kepada orang asing itu dengan mata berbinar-binar. “Wah. Ini—ini luar biasa—apa itu betulan teknologi alien?”

Pria itu berdeham. “Sopan santun, Anak-Anak. Apa di Bumi mereka tidak megajarkan itu?”

“Rogeid,” panggil Vooir dingin. “Kau sudah membawa semua yang dibutuhkan?”

“Ah, Nona Elledoire,” sambut Rogeid dengan cara yang tidak begitu ramah. Aku bisa merasakan perselisihan bisu merayap. Seolah-olah mereka berdua cuma berdampingan karena dipaksa bekerjasama. Seperti bola dan duri yang disimpan dalam satu toples. “Tentu saja, Anda pikir aku asisten macam apa? Kekaisaran tidak akan memperbolehkan salah satu anak emasnya terluka, bukan?”

“Cukup omongnya, Rogeid,” tegur Vooir, nyaris tanpa nada. Ia menoleh padaku. “Leon Redwine, ini asistenku, Rogeid. Dia akan membantu kita menempuh perjalanan ini.”

“Oh—eh ....” aku tidak tahu harus berkata apa.

Rogeid mendekat-awalnya kupikir dia akan melompat dari kursinya, tapi piringan logamnya hanya berdesing ke arahku seperti UFO mini.

Dia berambut perak, kepalanya nyaris botak, dan dia mengenakan kacamata berbentuk aneh yang berwarna keemasan. Setelah kulihat lebih dekat, kusadari dia punya beberapa kemiripan dengan Vooir. Kulitnya pucat, wajahnya runcing dan tajam, tapi matanya berwarna cokelat gelap kelam yang tidak sehat. Nyaris seperti lumpur. Dia mengenakan baju hitam yang mirip dengan yang Vooir kenakan di balik jaketnya, hanya saja tidak bergaya militer. Baju itu polos, seperti sesuatu yang dikenakan pilot luar angkasa di film-film fiksi ilmiah—mengecualikan lencana perak berbentuk bintang yang tersemat di dadanya.

Ia menjulurkan tangan dan tersenyum. “Aku Rogeid Villesogh. Senang melayani Anda, Tuan Redwine. Anda Takdir Araez di sini, benar?”

“Oh, eh—maksudku, ya,” kataku terbata-bata. “Senang—eh ... bertemu dengan Anda.”

Rogeid mengangguk senang, lalu dia menyadari keberadaan Ned yang berdiri di sampingku. Dia nyengir lebar seperti bocah dua belas tahun normal yang ramah, tapi tampaknya Rogeid kurang menyukai itu. “Yang benar saja, warga sipil?” keluhnya. “Nona Elledoire, kau yakin dengan keputusan ini?”

“Ya,” kata Vooir, tapi aku bisa mendengar suaranya bergetar. “Aku yakin dia bisa menempuh perjalanan ini sama baiknya dengan Redwine. Mereka rekan.”

“Kautahu keputusan ini menentang syarat Kekaisaran, bukan?” tegur Rogeid dingin. “Kau akan kena masalah besar.”

“Aku tahu,” aku Vooir. “Ini keputusanku. Jika Pattinson terkena masalah, aku yang akan bertanggung jawab.”

“Yah, semoga saja kau menepati janjimu,” desah Rogeid, menekan-nekan tombol di lengan piringannya. Benda itu berdesis, mengeluarkan rak tipis berbentuk setengah lingkaran di samping kakinya. Di dalamnya, terdapat selusin pakaian serbahitam yang mirip seperti yang dikenakan Rogeid-polos tanpa lencana. “Kalian akan mengenakan ini, Tuan-Tuan,” sambutnya, menunjuk ke rak, meski ia menatap sinis ke arah Ned yang langsung mengambil pakaiannya.

“Wow,” Ned terkesiap, merentangkan pakaiannya lebar-lebar di udara. Baju itu hanya memperlihatkan kedua tangan, tertutup sepenuhnya dari leher ke jari-jari kaki. “Benda ini ringan sekali, tapi teksturnya .... Aku belum pernah memegang sesuatu seperti ini.”

“Ini ....” gumamku, mengambil salah satu pakaian dari rak. “Kami akan memakai ini?”

Rogeid mendengus bangga. “Tentu saja. Kaupikir ada yang bisa bertahan hidup di tempat dengan dua kali lipat kekuatan gravitasi Bumi?”

“Dua kali lipat kekuatan gravitasi?” tanyaku, mengernyitkan dahi. “Tunggu, sebenarnya kita mau ke mana sih?”

“Erdeos,” jawab Vooir, melepaskan jaket hitamnya. “Salah satu planet Lima Dunia. Kita bisa menyelesaikan—”

“Apa?” tanyaku, perlahan-lahan memucat. “Planet lain? Kau gila? Bagaimana kita bisa menyelamatkan tempat ini kalau—”

“Kita bisa,” Vooir berkeras. “Kita hanya perlu mencari barang tertentu di Erdeos untuk menyelamatkan Bumi. Apa kau ingat yang kukatakan soal mengusir Esmerides?”

Aku mencoba mengingat-ingat. Di van, Vooir bilang padaku tentang bagaimana cara mengalahkan Esmerides—salah satunya dengan mengusir mereka. “Ya. Jadi?”

“Mungkin tak bisa benar-benar disebut mengusir, tapi benda itu bisa mengikis segala zat asing tanpa henti—termasuk Esmerides. Barang ini merupakan pusaka seorang pahlawan hebat di Erdeos,” Vooir menjelaskan. “Kami belum tahu lebih dari itu. Tapi ini satu-satunya harapan kami.”

“Benda itu harapan satu-satunya untuk menyelamatkan semua orang? Hanya itu?” tanyaku putus asa.

Vooir menggeleng. “Maafkan aku. Aku tahu kami terlambat. Kami memang sudah menyiapkan hal ini selama ratusan tahun, tapi dengan kondisi Bumi—” Dia tiba-tiba berhenti. “Namun percayalah. Benda itu ... bisa menyelamatkan ibumu.”

Aku merasakan perasaan aneh saat Vooir mengucapkan itu. Barangkali tekad yang membakar atau secercah harapan. Aku kembali menatap pakaian hitam di genggamanku, merasa mungkin ini memang satu-satunya cara untuk menyelamatkan semua orang. “Jadi—em, pokoknya, kita cuma perlu pakai ini kan?”

“Maaf, ini mungkin bakal kedengaran aneh-tapi ....” bisik Ned gugup, menatap pakaian hitamnya dan bajunya bergantian.

Vooir menggeleng. “Tidak. Kau tak perlu melepaskan apa-apa. Pakaian ini dirancang untuk menyesuakan diri.”

“Itu gila,” gumam Ned kagum. Dia berbalik memasuki semak-semak, bersembunyi di sana. “Sepertinya aku perlu meneliti ini sebentar. Aku akan kembali,” katanya, dan dia menunduk ke bawah dan menghilang seperti rakun.

Aku mengeluarkan baton dari saku, melepas sepatu, dan mulai memakai baju hitamku. Kupikir ini bakal sulit dilakukan karena benda ini tampak ketat dan nyaris tanpa lubang, tapi aku bisa merasakan pakaian itu terus melonggar, menyesuaikan ukuran hingga rasanya seperti mengenakan udara. Setelah pakaian itu menempel pada badanku, aku bisa merasakan bajuku yang sebelumnya kupakai perlahan-lahan seolah menyusut. Rasanya seperti memiliki kulit kedua.

Sebelum aku bisa berkata apa-apa, Ned tiba-tiba keluar dari semak-semak seperti tupai merah yang kesetanan. Wajahnya bersinar seperti rembulan, dan aku berani bersumpah bintik-bintiknya berlipatganda. “Ini—ini penemuan dunia. Aku belum pernah mengenakan sesuatu seperti ini sebelumnya—”

“Tentu saja,” dengus Rogeid, memegangi kacamatanya dengan bangga. Perkara Ned yang warga sipil seolah tidak mengganggunya lagi. “Itu karena aku adalah perancang mahakarya ini. Tidak ada orang di luar Kekaisaran yang pernah mengenakannya—”

Aku bisa melihat Vooir melotot.

“Yah, pokoknya, pakaian ini tidak akan lengkap tanpa ini.” Rogeid mulai menekan-nekan tombol piringannya lagi, dan benda itu berdesis, mengeluarkan rak yang berisi selang-selang hitam pekat yang hampir kukira ular.

Ned dan aku mengambil selang-selang itu. Di ujungnya, terdapat tabung logam kecil dengan tulisan rumit yang terlihat seperti mi. “Untuk apa ini?”

“Kau tidak menyadarinya, Tuan Redwine? Benda-benda ini untuk bernapas, tentu saja,” Rogeid menjelaskan.

Nah, begini, di film-film, para aktor biasanya tak punya masalah bernapas dari planet ke planet. Tak ada adegan kehabisan napas, keracunan udara, atau tewas setelah kehabisan oksigen. Aku tak pernah tahu kalau film-film yang kutonton akan memengaruhi kecerdasanku.

Kami mulai mendekatkan selang itu ke wajah dengan ragu-ragu, tapi tiba-tiba saja benda itu mengisap udara seakan menjadi hidup dan merekat di lubang hidung kami seperti magnet, dan tabung kecil di ujung menempel di baju kami secara otomatis. Ned mencoba menarik-nariknya, tetapi tabung itu tak bergerak seolah direkat dengan Super Glue. Sebelum kami sempat berkata-kata, selang-selang itu mendadak berubah menjadi transparan. “Apa yang terjadi?” jerit Ned, menatap selangnya berubah menjadi tak kasat mata.

“Mimikri. Supaya kalian tidak dicurigai,” kata Vooir. “Keluargaku ... banyak berkonstribusi dalam teknologi itu.”

Mendapati keluargamu punya andil dalam pembuatan suatu teknologi semestinya membanggakan, tapi entah mengapa nada suara Vooir justru kedengaran sedih.

Setelah Ned kembali menggendong tas ranselnya dengan wajah berseri-seri, dan aku dengan kikuk menggenggam baton keemasan tanpa benda lain yang bisa dibawa, Rogeid memberi tahu kami agar berdiri di pinggir dan kemudian mulai menjejalkan jemarinya pada tombol-tombol piringan. Dalam beberapa detik, sebuah lubang di tanah muncul—dari sekecil bola tenis dan terus membesar hingga sesuai dengan lingkaran tujuh meter di tanah. Ned dan aku membuka mata kami bersamaan, mengerjap-ngerjap dan menatap ke bawah lubang. Di sana, terdapat pemandangan multiwarna kabur yang bersinar terang. Seperti warna-warna pelangi yang melesat ke sana kemari dengan kecepatan cahaya.

Aku terkesiap. “Porta—”

“Lubang cacing,” pekik Ned, wajahnya sepucat hantu. “T-tapi bagaimana bisa? Membuka satu lubang cacing saja dapat merusak semesta—seperti membuat paradoks waktu dan—dan—berbagai hal yang kau nggak inginkan di hidupmu! Aku bahkan hampir menganggapnya mitos—”

“Lubang cacing? Maksudmu, Lubang Exatra?” tanya Vooir. “Araez Exatra membuat lubang ini untuk menghubungkan Lima Dunia. Aku tidak tahu kalian sudah punya sebutan sendiri untuk ini.”

Ned cepat-cepat menelan ludahnya. “B-benar,” katanya. “Masalah dewa.”

“Nah,” Rogeid mendesing ke arah lubang, “sudah saatnya kalian pergi, Tuan-Tuan.”

Ned dan aku bersamaan mengangguk. Namun Rogeid maupun Vooir belum beranjak.

“Nona Elledoire, ini terakhir kalinya aku akan memperingatkanmu, tapi apakah kau benar-benar yakin dengan keputusan ini?” tanya Rogeid, menatap Vooir dengan mata gelapnya yang menusuk. “Pertama, kau membantu ibu anak ini-yang sama sekali bukan urusanmu. Kedua, kau membiarkan dua Esmerides melarikan diri dan kembali mengincarnya. Ketiga, kau memperbolehkan Redwine melakukan hal bodoh yang berpotensi mengancam nyawanya. Dan terakhir—kau membawa warga sipil tak jelas ini ikut bersamamu.” Rogeid melotot sinis pada Ned sebelum kembali menghadap Vooir. “Tugasmu hanya menjaga tanggung jawabmu hingga selamat, bukan yang lain. Kalau kau benar-benar seorang profesional, seharusnya kau tidak membiarkan perhatianmu teralihkan pada hal-hal yang tidak penting, seperti—”

“Untuk keseribu kalinya, Rogeid, jangan mengeluh padaku tanpa menyebutku dengan hormat,” sergah Vooir dingin. “Seperti yang kujelaskan sebelumnya, aku akan menanggung semua keputusan yang kubuat.”

Rogeid mendesah. “Aku hanya memperingatkan, Nona. Ayah Anda tidak akan menyukai semua ini.”

Vooir menunduk. “Aku tahu,” katanya, tapi aku bisa melihat bibirnya gemetar.

Perutku terasa diaduk-aduk. Aku tidak tahu selama ini Vooir telah mengorbankan banyak hal demi aku. Aku kembali teringat saat-saat ketika aku mendesak Vooir untuk melakukan sesuatu yang lebih. Aku egois. Aku payah. Aku bukan orang yang pantas untuk menyelamatkan dunia. Pada akhirnya, aku cuma bocah dua belas tahun biasa yang menyedihkan. Vooir lebih baik dibanding itu.

Saat kami mulai berjalan mendekati lubang, aku berhenti dan berkata, “Kenapa kau berusaha menyelamatkan ibuku, Vooir?”

Vooir berhenti berjalan dan berbalik memandangku.

“Maksudku, aku berterima kasih padamu untuk itu—untuk semua hal yang kau lakukan! Kau hebat, Vooir. Dan aku cuma—”

Mata biru Vooir berkilat, seperti langit biru yang dengan tetes-tetes hujan. Wajahnya melunak hingga entah mengapa, kupikir Vooir akhirnya tersenyum.

“Karena aku ... juga punya keluarga.”

Dan tepat saat aku membuka mulut, aku merasa tersandung sesuatu dan terjatuh ke dalam ruangan mulitwarna, menggigit lidahku keras-keras dan meneriakkan sesuatu yang terdengar seperti raungan gorila yang tersedak ikan.

Ledakan cahaya menyedot tubuhku ke bawah, menuju pemandangan warna-warni tanpa ujung. Aku berusaha mendongak dan melihat Vooir beserta Rogeid di atasku (entah sihir apa yang dia gunakan untuk menduduki kursi piringannya di sini tanpa masalah), diikuti dengan Ned yang terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi hanya bisa meneriakkan; "DUH! BLTEH! AUEUEEEEEEEHH!"

Aku berusaha menenangkan diri sekaligus menahan rasa sakit lidahku yang berdenyut-denyut—dan percayalah, Kawan, melakukan ini di dalam lubang cacing sama sekali bukan pekerjaan mudah. Rasanya tubuhmu seperti diisap penyedot debu raksasa tak kasatmata, dan kau bisa memuntahkan semua isi perutmu kapan saja.

Sambil menyipitkan mataku dari cahaya warna-warni yang berkilat-kilat, aku mendongak pada Vooir. Aku masih ingin menyampaikan kata-kataku tadi sebelum aku terjatuh dengan tragis ke sini, tapi aku tak ingin menambah ketegangan dengan membahas hal-hal pribadi. Merasakan isi perutmu ditarik-tarik selagi meluncuri lubang cacing sudah cukup buruk.

Aku berdeham. “Jadi—eh ... apa benar Esmerides membuat tornado—maksudku, bencana di Brooklyn, Chicago, dan lain-lain?”

Aku tahu jawabannya sudah jelas, tapi aku tidak bisa mencari pertanyaan lain.

“Itu sudah jelas. Mereka menambah kerusakannya dengan memecah wujud mereka menjadi partikel-partikel kecil yang menginfeksi orang yang menghirupnya,” kata Vooir. “Aku sempat menyelidiki Brooklyn sebelum bertemu denganmu.”

Tanah merah, pikirku. “Jadi mereka punya secuil Esmerides di dalam tubuh mereka?” tanyaku jijik.

“Yah, begitulah kenyataannya,” ujar Vooir. “Esmerides bisa mengubah wujud mereka menjadi apa pun yang mereka inginkan.”

Saat mengingat-ingat bencana Tornado Brooklyn, bayangan soal wajah pada permukaan tornado muncul di pikiranku. Sekalipun profesor di televisi sudah menjelaskannya, aku masih merasakan keringat dingin meluncur di punggungku. Aku tak tahu apa itu, atau apakah itu betulan atau tidak, aku hanya merasa wajah itu berusaha memberi tahuku sesuatu. Sesuatu yang ... tidak begitu bagus.

Ned menjerit. “APHWA YHANG KWALIA—AAAAAAAHHHHH!”

Dan tepat saat itu, aku menyadari tubuhku merosot dengan kecepatan cahaya—berputar-putar atas bawah seperti spiral dan meledak dengan cahaya putih. Hingga akhirnya aku melihat pemandangan bersalju dan terlempar dengan kepala lebih dulu.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height