+ Add to Library
+ Add to Library

C12 DUNIA BARU

HAL TERAKHIR YANG kuinginkan saat dikepung selusin alien hippie adalah dibakar hidup-hidup.

Dan di sinilah aku, bersama Vooir dan Ned, menduduki karpet kulit berdebu di salah satu rumah bulat mereka, memegang semangkuk semur daging dingin berkuah hitam yang sampai saat ini belum kusentuh.

Tempat ini berupa pondok seluas seratus meter persegi atau lebih. Langit-langitnya melengkung seakan kami berada di dalam batok kelapa raksasa. Aku terpaku menatap api unggun yang berdesis di tengah-tengah kami, lalu akhirnya memandang ke sekitar. Obor-obor menggantung di dinding kemerahan, guci-guci tertata rapi di rak-rak kayu, dan perkamen-perkamen tua terpasang di dinding. Kemudian aku melihat tulang belulang seekor burung terpajang di dalam kotak kaca dan kembali menatap api.

Ned meletakkan mangkuknya ke lantai. Kurasa dia juga tak berselera melahap daging-entah-apa dengan kuah serupa tinta cumi-cumi. “Terima kasih—eh, atas bantuannya.”

Wanita tua bernama Astyr itu tengah minum dari gelas kayunya, hiasan kepalanya yang berat tergeletak di lantai. Sebagian besar rambutnya diselingi helai keperakan. “Bukan masalah,” ia berkata.

“Jadi ....” Ned memintal rambutnya dengan ragu-ragu, “Bagaimana Anda tahu kami akan datang?”

“Rym memberi tahuku segalanya.”

“Kami tahu, tapi ....” Ned bertanya lirih, “Siapa itu Rym?”

Astyr tersedak. “Siapa ... Rym? Itu pertanyaan konyol! Kalian tidak tahu siapa Rym Ti Varr? Sungguh?”

“Rym itu,” Vooir menyela, “pemimpin kalian, bukan?”

“Oh, pintar. Jelas Elledoire,” gumam Astyr. Dia kembali mengisap isi gelasnya. “Rym Ti Varr adalah pahlawan kami. Pemimpin. Legenda. Ratusan tahun lalu setelah dia diasingkan, ia membentuk suku Tria.”

“Diasingkan?” tanya Ned.

“Diasingkan, yah ....” Astyr mengecap-ngecap bibirnya. “Ceritanya panjang. Kalian yakin mau dengar?”

“Jika itu bisa membawa kami lebih dekat dengan pusakanya—iya.” Mata biru Vooir berkilat.

“Sudah kuduga kalian mencari pusaka,” gumam Astyr. “Omong-omong, di mana si pria tua itu?”

“Pria tua?” ulang Ned. “Maksud Anda Rogeid?”

“Yah, siapa pun namanya,” desahnya. “Dia dan kelompoknya sering berkunjung ke Tria. Kadang sekali sebulan, dan di lain waktu satu tahun sekali. Tentu saja, kami menyambut mereka sebagai penlancong dari negeri yang jauh—Rym mengajarkan agar menyambut para pendatang—tapi aku selalu tahu siapa mereka sebenarnya.” Astyr menatap salah satu perkamen yang terpatri di dinding. “Mereka selalu bertanya berbagai hal tentang Tria, Rym, dan juga pusakanya. Persis seperti kalian sekarang. Tetua lain mengira mereka hanya ingin mempelajari kisah Rym Ti Varr yang agung. Tapi aku tidak.”

“Sayangnya sekarang dia sedang tidak ada,” Vooir mengeluh.

“Dia bukan orang yang terlalu ramah,” gumam Astyr. “Ini pertama kalinya kami mendapat pengunjung dari Dunia lain tanpa sembunyi-sembunyi. Sepertinya orang-orang Aldeoirgh tak suka perhatian, ya?”

Bercak-bercak merah muda bermunculan di pipi Vooir.

“Rym diasingkan,” Astyr memulai, “dari sukunya, Rot, yang tinggal di seberang pulau. Setelah menemukan sihir, dia dicap sebagai penyihir jahat dan diusir.”

“Ikatan, maksud Anda?” Vooir menginterupsi.

“Itu istilah kalian,” jawab Astyr. “Setelah diusir, ia mengembara mengelilingi dunia. Mempelajari hal-hal baru dan bertemu orang-orang hebat. Rot tidak tahu bahwa Rym justu menyukai pengusirannya. Di perjalanan panjang itu, dia menemukan rekan-rekan dan sahabat-sahabat, yang akhirnya membentuk suku Tria.”

“Dia terdengar hebat,” puji Ned, kagum. “Tapi bagaimana Anda bisa menghubunginya setelah ratusan tahun berlalu?”

“Melalui mimpi-mimpiku,” jawab Astyr. “Orang-orang memanggilku anak ajaib. Tapi percayalah padaku, itu cuma kesalahpahaman konyol. Aku hanya berasal dari keluarga yang dekat dengan Rym. Tentu saja, itu membuatku seketika dilantik menjadi Tetua.” Ia melirik hiasan kepalanya yang tergeletak di lantai. Mata kelabunya berkilat ganjil.

“Beberapa waktu lalu Rym memberi tahuku,” lanjutnya, “akan ada anak-anak yang dikirim ke sini dari dua Dunia yang jauh, Aldeoirgh dan sebuah tempat bernama Bumi. Tapi tampaknya dia tak memperhitungkan bakal ada tiga orang—bukan dua.”

Astyr menatap Ned, yang hanya membalas dengan senyuman kikuk.

“Dia juga berpesan padaku untuk membimbing salah satu dari kalian secara khusus.” Mata kelabunya menatap padaku. Aku merasakan sengatan aneh dari kata-kata itu, walau aku tak tahu mengapa. “Salah satu dari yang ditakdirkan menyelamatkan Lima Dunia. Rym adalah pengikut tersetia Araez Exatra. Sayang sekali kami tidak banyak mengetahui sosoknya.”

Kuputuskan ini giliranku untuk bicara. “Kudengar kalian punya seorang Takdir Araez.”

“Oh, benar,” gumam Astyr, mendadak menjadi kaku. “Itu dirahasiakan.”

Aku mengerjap. “Dirahasiakan?”

“Yah, singkatnya saja,” Astyr mendesah, “tak ada yang mengetahui identitasnya selain aku.”

“Kumohon, beri tahu aku siapa dia,” pintaku lemah. “Kami punya takdir yang sama. Kalian nggak bisa—” Aku masih punya banyak hal untuk dikatakan, tapi Vooir menarikku kembali.

“Maaf. Aku tak bisa,” kata Astyr penuh sesal. “Rot juga menginginkan mereka.”

Vooir mengernyit. “Mereka menginginkannya? Apa artinya Esmerides telah mencapai—”

“Kemungkinan besar. Tapi tak ada yang benar-benar tahu kebenarannya,” kata Astyr muram. “Rot dan Tria selalu bermusuhan. Bisa saja mereka hanya menginginkan perang. Mereka sudah lama mengharapkannya.” Ia menatap salah satu dari puluhan perkamen yang terpajang. “Namun, Rym tidak hanya diasingkan dari Rot karena menemukan sihir.”

“Lalu karena apa?” tanya Ned.

“Para Esmerides adalah dewa-dewi yang disembah kaum Rot,” Astyr menjelaskan. “Kadang mereka datang dalam wujud manusia, hewan, bahkan tumbuhan. Tapi setelah Rym memberi tahu mereka bahwa Esmerides berencana menghancurkan seluruh dunia, Rot mengecamnya. Ia dicaci, dihina, dan diasingkan. Apalagi setelah dia menemukan sihir. Reputasi Rym di sana setara dengan seorang buronan.”

“Esmerides telah mengunjungi Erdeos secara terang-terangan?” Vooir mengernyitkan dahi. “Tapi kenapa mereka belum—”

“Itu misterinya,” Astyr menyela. “Rym mengatakan Esmerides adalah kaum individualis, jadi mungkin saja beberapa dari mereka tidak punya niat yang sama. Tapi berkat dukungan besar dari Rot, mereka bisa saja turun dan langsung menghancurkan Erdeos menjadi debu.” Ia menggelengkan kepalanya. “Tapi mereka tidak melakukannya. Tak ada yang tahu apa rencana mereka.”

“Esmerides sudah nyaris menghancurkan Bumi,” kataku parau. “Tiga minggu lagi dan semuanya akan berakhir.”

“Maka dari itu,” sela Vooir, “kami harus tahu di mana pusaka Rym berada. Secepatnya.”

“Jika pusaka yang kalian cari adalah Jantung Harautt. Itu berita buruk,” ujar Astyr muram.

“Memangnya kenapa?”

Astyr berdiri dan meraih tongkatnya yang tersandar di dinding. Ia terbuat dari kayu yang bergalur-galur, dan di ujungnya terdapat susunan batu-batu intan kehijauan yang berkilat dengan pantulan cahaya. “Ini adalah salah satu pusaka Rym. Tongkat Grenblar. Warisan setelah dia meninggal,” katanya. “Tapi Rym memiliki dua pusaka.”

Voor terkesiap. “Yang artinya—”

“Benar,” angguknya. “Kami belum mendapatkan pusaka keduanya, Jantung Harautt. Satu-satunya petunjuk lokasi pusaka itu hanyalah di dalam kisah Perjalan Agung Rym di Gunung Krostt.” Dia mengambil sebuah perkamen yang terpatri di dinding dan membukanya lebar-lebar. Perkamen panjang itu berlukisan seorang pemuda berambut hitam sebahu yang berjalan di antara lereng gunung dingin dengan berbagai rintangan; kawah panas keabuan yang meletup-letup, hutan penuh hewan-hewan buas, bebatuan yang tajam, dan lain-lain. Di ujung tebing yang curam, terdapat gambar sebuah bola intan besar berwarna merah menyala. “Tentu saja, kami telah melakukan apa saja yang dilakukan Rym di gunung itu. Tapi nyaris selalu berakhir dengan tangan kosong.”

Ned meraih perkamen itu dengan hati-hati. Matanya menyipit. “Mungkin kami bisa melakukannya.”

“Aku meragukannya,” Astyr menggeleng muram. “Perjalanan yang kami lakukan biasanya berhenti di tengah jalan. Gunung Krostt terlalu berbahaya—ditambah, kami bukan kaum yang pandai membela diri. Rym mengajarkan kami untuk mencintai kedamaian.” Dia memandang ke langit-langit. “Jantung Harautt adalah pusaka yang hebat. Ia dikisahkan bisa mengikis setiap benda asing yang ada. Tak sembarang orang bisa menyentuhnya. Kecuali, tentu saja, pemiliknya—Rym.”

“Persis seperti yang kami butuhkan.” Vooir meraih perkamen itu dari Ned. “Mengikis benda-benda asing. Persis seperti fungsi atmosfer. Kita bisa mengusir Esmerides dengan ini.”

“Dia sudah bilang, kan?” aku menyela. “Gunung itu betulan berbahaya. Kau yakin kita bakal ke sana tanpa apa-apa?”

“Tentu saja tidak,” Vooir menggelengkan kepalanya. “Itu tindakan bodoh. Kita perlu persiapan besar untuk ini.”

“Yang artinya, kita bakal tinggal di sini untuk sementara,” aku berkeras. “Selama itu, aku bisa mencari tahu siapa Takdir Araez selain diriku—”

Vooir menyentuh bahuku. “Aku mengerti maksudmu,” katanya. “Tapi prioritas kita saat ini adalah pusaka. Aku yakin siapa pun Takdir Araez di sini telah mendapat pelatihan yang cukup. Masih banyak hal yang belum kita lakukan—khususnya kau, Redwine.”

Aku berkedip. Aku nyaris melupakan fakta bahwa aku hampir tidak tahu apa-apa tentang menjadi seorang Takdir Araez. “Aku—maksudku, itu—”

Pintu di depan berdebam terbuka dan dua sosok pria tua memasuki ruangan. Salah satunya pendek dan kurus, satunya jangkung dan kekar. Rupanya mereka dua orang yang bersama Astyr saat pengepungan.

Si pendek menggerutu. “Orang-orang terlalu penasaran. Merepotkan saja.”

“Kau yang terlalu muram, Gyda,” kata si kekar. “Semua pendatang harus disambut. Mungkin keponakanku akan membawa teman-temannya.”

“Satu lagi alasan mengapa keponakanmu perlu dididik dengan benar,” dengusnya, seraya duduk dengan ketus di atas karpet kulit. Debu-debu berterbangan saat dia menempatinya. Seluruh rambutnya nyaris berwarna perak. Si kekar kemudian mengikuti.

“Nah,” desah Astyr, akhirnya meletakkan gelasnya di lantai. “Apa salah satu dari kalian punya beberapa patah kata untuk disampaikan pada tamu-tamu kita?”

“Oh, ada. Banyak,” keluh kakek pendek itu. “Aku ingin menanyakan kenapa si bocah berambut merah itu menyentuh tugu suci Rym secara tidak sopan!”

Ned mundur beberapa senti untuk memberi jarak dengan waswas.

“Pesimis sekali. Seperti biasa,” desah si pria tua kekar. Rambut hitamnya diselingi helai-helai keperakan. Di antara yang lainnya, dia kelihatan paling muda. “Aku hanya berharap kita bisa menggunakan mereka untuk menghadapi Rot—”

Astyr memukul kepalanya dengan tongkat pusaka.

“Aw!” desisnya kesakitan. “Apa salahku? Dan apa-apaan, memakai pusaka untuk memukuli orang?”

“Daripada itu, bukankah sebaiknya kalian berkenalan dulu?” Astyr menghela napas. “Jangan terlalu tenggelam dalam posisi Tetua kalian.”

“Kau mengatakannya seolah kau bukan Tetua saja,” keluh si pendek, tapi kemudian dia menunjukkan liontin kehijauannya padaku dan yang lain. “Aku Gyda Tivarr Be. Jangan lupa itu.”

Jari-jari si pria kekar terlalu besar untuk liontin yang rapuh. “Ilyak Tivarr Do. Siap melayani.”

Vooir, Ned, dan aku memperkenalkan diri secara bergantian. Rasanya sulit menyebutkan namamu sendiri saat kau tahu kau berada di planet asing. Apalagi saat aku perlu menyebut bahwa akulah si Takdir Araez yang ditunggu-tunggu. Aku masih tidak merasa diriku sespesial itu.

“Omong-omong,” sela Ned, “kenapa kalian semua bernama 'Tivarr'?”

“Itu adalah penanda bahwa kami merupakan keturunan Rym,” ujar Gyda penuh kebanggan. “Kami saudara jauh, secara teknis. Nama belakang kami menunjukkan dari cabang mana keluarga kami berasal.”

Aku memandangi mereka satu per satu. “Jadi kalian ... saudara?” Sulit membayangkan tiga orang dengan sifat berbenturan sebagai keluarga. “Kalau begitu, di mana orang-orang yang bukan keturunan Rym?”

“Para Gunn, itu sebutan mereka. Kami Tivarr,” kata Ilyak. “Tapi itu topik untuk lain hari. Banyak hal yang perlu kita siapkan di sini.”

“Benar,” angguk Gyda. “Astyr bilang akan ada penyelamat lain yang datang jauh-jauh dari Dunia lain. Takdir—apalah. Aku lupa nama Esmerides itu. Pokoknya, jika ini terjadi, kita harus menghadapi skenario terburuk.”

“Tepat,” Astyr menyetujui. “Seperti yang kalian bilang, adanya kalian bertiga di sini merupakan pertanda bahwa para Esmerides telah bergerak. Aku turut berduka akan tempat tinggalmu, Nak.”

“Bukan masalah,” kataku. “Yang terpenting adalah—”

Pintu didobrak terbuka dan seorang bocah remaja masuk meneriakkan, “Pesta! Pesta! Di sini akan ada pesta kan, Paman?” Di ambang pintu, beberapa pasang mata kelabu ikut mengintip.

Dia tak jauh lebih tua daripada kami; mungkin terpaut satu atau dua tahun. Ia terlihat seperti yang lain—kulit kecokelatan, mata kelabu, dan rambut di bawah telinga dengan kepangan di sebelah kedua pelipis. Ilyak berdiri seraya mengacak-ngacak rambutnya. “Bukan apa-apa, Kyn. Cuma tamu. Pendatang. Tak ada yang spesial.”

“Tapi aku melihatnya! Aku melihatmu melakukan itu—Strategi Pengepungan Sihir Non Fisik Nomor Empat Belas!” seru anak laki-laki itu penuh semangat. “Kalian nggak pernah melakukan itu pada tamu mana pun sebelumnya! Ayolah, beri tahu kami apa rahasianya!”

“Kami melakukannya karena Rot lagi-lagi mengancam,” Ilyak mendesah letih.

“Rot, ya? Mereka benar-benar pantang menyerah,” gumam si bocah. “Aku tahu mereka kaum barbar yang tak pantas dicontoh—diajarkan di Sekolah, setiap tahun—tapi aku nggak tahu mereka akan membuatmu selelah itu! Tapi tetap ada penjamuan kan? Kita nggak bisa membiarkan tamu-tamu tanpa sambutan.”

Ilyak menatap orang-orang yang berkerumun di luar—anak-anak, remaja, dan para lansia, memandang penasaran melewati celah pintu dan jendela-jendela. Kemudian ia tertawa—suaranya menggetarkan guci-guci dan semua benda yang ada. “Kau mengundang semuanya, ya? Dasar anak muda,” katanya. “Oke. Kau dapat izinku. Lakukan sesukamu di tempat ini.”

Anak laki-laki itu bersorak girang seraya bertepuk tangan. “Kita akan berpesta di Kuil Tetua! Kuil Tetua! Kau dengar aku, Kuil Tetua!” Orang-orang di luar bersorak sorai dan menghambur masuk, masing-masing membawa sesuatu di tangan mereka. Seketika ruangan seluas seratus meter persegi terasa seperti kandang ayam yang kelebihan penghuni.

Gyda beranjak dengan wajah semerah lobster rebus California. “Dengan penuh hormat, Ilyak, tapi aku tak bisa membiarkan keponakan sialanmu mengganggu tempat suci ini! Tak bisa!”

“Sekali ini saja, Gyda,” bujuk Ilyak. “Kau tak bisa membuat orang-orang itu kecewa kan? Cuma kali ini.”

Gyda menggerutu, tapi tak bisa mengatakan apa-apa. Ia melenggang dengan ketus dan memasuki salah satu dari tiga pintu, membantingnya keras-keras sebelum menghilang sepenuhnya.

“Apa kau merasa ini ide yang bagus?” bisik Ned.

“Nggak tahu,” kataku muram.

“Kuharap kita dapat makanan enak kali ini.”

“Setuju,” akuku, menatap mangkuk menyedihkan semur daging di lantai.

“Oh, jadi kalian tamu-tamunya, ya?” Anak laki-laki itu bertanya sembari menatap Vooir, Ned, dan aku bergantian. Mata kelabunya berbinar. “Kalian terlihat menarik sekali! Pasti dari negeri yang jauh, ya? Aku nggak pernah melihat orang dari suku mana pun dengan variasi kayak kalian!”

Aku memikirkan rambut merah Ned, mata biru dan kulit pucat Vooir, dan penampilanku sendiri. Baru kali ini aku menyadari penampilan kami tidak serasi. “Em, makasih. Kami menantikan sambutannya.”

“Oh, seharusnya memang begitu!” serunya girang. “Kami punya banyak tarian dan lagu-lagu indah. Kalian nggak akan memercayainya. Rym Yang Agung mengelilingi dunia dan memadukan berbagai budaya menjadi satu! Omong-omong, siapa nama kalian?”

Aku memandangi Ned dan Vooir untuk saran, tapi sepertinya mereka juga tak punya ide. Kuputuskan sebaiknya aku tidak terlalu berbohong. “Aku Leon. Leon Redwine. Ini kawanku, yang berambut merah, Ned Pattinson. Dan ini Vooir Elledoire, dia pindahan dari suku lain.”

Kyn mengangguk-angguk paham. “Pantas saja dia kelihatan paling asing di sini. Rupanya pindahan.” Dia mengulurkan tangan. “Namaku Kyn Tivarr Do. Kalian mungkin mengenaliku sebagai keponakan Tetua Ilyak.”

Aku menjabat tangannya. “Senang—eh, berkenalan denganmu.”

“Aku juga. Anggap saja tempat ini sebagai rumah kalian,” kata Kyn. “Tamu-tamu selalu tinggal di sini—di lantai atas, lebih tepatnya—jadi kalian nggak perlu mengkhawatirkan tempat tinggal.”

“Eh, yah, makasih informasinya. Orang-orang di sini cukup ramah, ya kan, Ned?” Aku menonjok tulang rusuk Ned, yang dari tadi hanya menganga memandangi orang-orang berlalu lalang, memegang piring-piring beruap penuh kudapan. “Eh, oh—ya,” ia tergagap.

“Baguslah. Kuharap kita bisa menghabiskan waktu yang banyak bersama,” kata Kyn. Ia berbalik memandangi ruangan yang sudah tertata—piring-piring dari kayu penuh makanan lezat terletak di satu sisi, api unggun dipindahkan ke tengah-tengah. Kira-kira empat puluh orang lebih duduk berkeliling, sementara sisanya mengintip penasaran dari pintu dan jendela-jendela.

Aku bisa melihat air liur Ned menetes memandang hidangan-hidangan itu—yang seratus kali lebih baik dibanding semur daging mengenaskan tadi. Burung serupa kalkun dipanggang dengan sayuran warna-warni, berbagai daging diiris-iris tipis dan lembut, dan sup-sup serta hidangan pencuci mulut berjejeran rapi. Sebaliknya, Vooir kelihatannya tidak tertarik dan terus memerhatikan perkamen di genggamannya. Aku tak tahu apa yang harus kurasakan mendapati acara sebesar ini disiapkan khusus untukku, tapi pikiranku selalu dibawa kembali menuju si Takdir Araez lain yang misterius. Apa benar-benar ada orang lain di sini yang serupa denganku? Setelah berbagai hal yang terjadi padaku, sulit memikirkan itu dapat terjadi.

Beberapa menit setelahnya, obor-obor dinyalakan, orang-orang terdiam, dan acara dimulai. Kami menyaksikan tiga orang laki-laki menari di tengah ruangan, bergerak mengelilingi api unggun yang membara. Mereka muncul beberapa menit sebelumnya dengan wajah bercorat-coret dan anting-anting berbulu. Pada kedua pelipis mereka, terlukis dua lingkaran besar berwarna merah, dan di bibirnya, garis melintang hitam yang menyentuh dagu. Jika ada orang yang berpenampilan seperti itu di pesta dansa Clover, aku bakal terbahak-bahak setengah mati. Tapi aku tahu mereka berbeda dengan anak-anak hippie di Amerika.

Genderang drum yang membahana menggema pada seluruh ruangan. Tiga penari itu masing-masing menggenggam sebuah tongkat kayu, mirip dengan milik Rym. Tarian mereka sangat bervariasi sehingga sulit dijelaskan dengan kata-kata. Pada suatu waktu, gerakan mereka tegas seperti tarian perang, lalu lembut dan anggun, ganjil dan eksotis, kemudian kembali lagi seperti semula, lagi dan lagi. Rasanya seperti mereka memasukkan selusin tarian menjadi satu.

“Aku nggak percaya kita bisa melihat ini,” bisik Ned terkagum-kagum.

“Sama. Jujur saja, ini lumayan asik.”

“Omong-omong, kapan kita kebagian makanannya?”

“Ssssst!” desisku, tepat ketika drum berbunyi dengan suara yang memekakkan telinga dan ketiga orang itu berteriak melengking ke cakrawala. Obor-obor padam dan semua orang bertepuk tangan. Para penari mengangkat satu tangannya ke udara dengan hormat, kemudian kembali ke tempat para penonton terduduk. Setelah pidato panjang Astyr yang melelahkan, semua orang mulai membagikan makanan-makanan ke piring-piring kecil. Ned, Vooir, dan aku mendapat porsi yang paling besar. Ned seketika melahapnya dengan rakus seperti gelandangan yang belum makan selama tiga tahun terakhir, dan karena perjalanan panjang yang melelahkan, aku ikut menyantapnya juga. Vooir hanya menusuk-nusuk isi piringnya dengan garpu.

Di antara piring-piring penuh dan kudapan-kudapan, aku menatap orang-orang yang mengintip melalui pintu yang terbuka. Aku menyadari mereka tidak berpakaian seperti yang lainnya—secara keseluruhan, sulit memercayai mereka sebagai bagian dari suku Tria. Daripada rambut hitam berkepang yang lebat, rambut mereka dicukur tipis dan hampir saja aku mengira mereka semua laki-laki. Warna rambut mereka juga bervariasi; sebagian hitam, yang lain kecokelatan, dan sisanya berambut pirang. Mereka hanya mengenakan kemeja putih dengan mantel bulu tipis, dan kulit mereka lebih cerah dibanding orang-orang yang kulihat sebelumnya. Aku tak bisa melihat dengan jelas tanda yang tertoreh di dahi mereka, tapi jelas bukan huruf T terbalik.

Aku memandang Ned dan Vooir untuk kepastian, tapi tak ada seorang pun yang menaruh perhatian pada orang-orang itu.

Salah satu dari mereka, bocah laki-laki berambut pirang, menyadari tatapanku dan seketika menunduk ke bawah. Bisa saja dia hanya malu karena menyadari dirinya diperhatikan orang asing, tapi caranya menghindari tatapan terasa aneh. Rasanya seolah-olah dia berusaha menunjukkan rasa hormatnya kepadaku, bukannya menghindari pandanganku.

Aku melihat Kyn di sebelah sedang berbincang dengan teman-temannya dan bertanya, “Hei, apa kau tahu apa yang dilakukan orang-orang di depan—”

“Oh, kau mau tambah dagingnya lagi?” Ia menyeret sepiring besar daging asap yang sudah dihabiskan setengah. “Ambil sesukamu. Jangan sungkan-sungkan!”

Aku ingin bicara lebih banyak, tapi kuputuskan lebih baik tidak perlu menyinggung-nyinggungnya. Ada banyak hal yang jauh lebih penting. “Em, makasih,” kataku.

Setelah acara besar itu—Ned memerlukan banyak waktu di toilet—Astyr mengantar kami menuju kamar yang akan kami tinggali. Menjulang di atas tangga kayu spiral di lantai dua, pintu-pintu melengkung besar berjejeran di sepanjang ruangan. Astyr membuka pintu ketiga dari ujung, dan dengan deritan keras, terbukalah kamar luas dengan langit-langit melengkung dan sepasang ranjang susun.

“Ada sisa satu ranjang. Terserah kalian bakal menggunakannya sebagai apa,” kata Astyr ramah. “Nah, kalian hanya perlu memindahkan barang-barang kalian ke dalam.”

Ned berjalan masuk duluan, dan dia terkesiap, “Wow.” Di dinding, terdapat beberapa pasang obor yang tergantung tinggi, jendela berbentuk lingkaran di tengah-tengah, dan karpet tebal beludru yang hangat di lantai. Ned langsung melompat ke salah satu ranjang paling bawah dan berseru, “Empuk. Nyaman. Ini sempurna!”

Aku berjalan menaiki tangga di atas ranjang Ned. Rasanya sudah sejuta tahun berlalu semenjak aku mendapatkan kamar senyaman ini. “Kau benar, Ned. Ini luar biasa!”

Vooir menduduki ranjang di seberang, tak sedikit pun tertarik dengan kamar barunya. Dia masih memegangi perkamen Perjalanan Rym yang dipinjamnya dari Astyr. Aku merasa seperti Vooir berusaha terlalu keras untuk hari pertama kami.

“Kelihatannya kalian sudah cukup nyaman dengan kamar baru kalian,” celetuk Astyr dari ambang pintu. “Beristirahatlah, Anak-Anak. Semoga mimpi indah.” Dia tersenyum dan pintu berdebam tertutup.

“Dengar,” Vooir meletakkan perkamennya, “kita harus segera menemukan Jantung Harautt. Setelah tiga minggu, tak akan ada kesempatan lagi.”

Aku ingin bicara untuk membantahnya, tapi aku tahu Vooir benar. Waktu kami hanya tiga minggu. Tak akan ada kesempatan lain untuk mencegah segalanya setelah waktu berlalu. Aku mengepalkan tanganku. Apa yang kupikirkan? Aku tak boleh memikirkan apa pun selain misi.

“Aku tahu!” Ned mengusulkan. Dia menyeret tas ranselnya ke kasur, mengubrak-ngabrik isinya, dan mengoceh secepat kereta STA. “Aku membawa banyak sekali barang—jelas akan membantu kita! Ooooh, lightsaber Darth Vader edisi 1999! Aku nggak tahu aku juga membawanya—oh, lihat, figurine Luke Skywalker edisi terbatas produksi 2002! Kupikir aku melupakannya! Ayah menghadiahiku ini saat aku lima tahun—”

Aku bergulir di kasur dan menatap langit-langit yang cekung sementara Ned terus meracau tentang koleksi Star Wars-nya. Di jendela, cakrawala mulai menghitam—langit jingga kemerahan dengan ujung-ujung gelap berbintang. Rasanya sudah ratusan tahun semenjak aku terakhir kali melihat langit seindah itu. Kemudian, aku memikirkan keluargaku, orangtuaku, yang bersemayam sendirian di kota New York yang hancur. Apa mereka baik-baik saja di sana? Akankah mereka bertahan selama tiga minggu? Aku berbalik menghadap tembok kemerahan yang dingin. Aku tidak tahu jawabannya. Tak ada yang tahu.

Waktu berlalu. Aku tidak tahu berapa lama. Langit di jendela berwarna hitam pekat dengan jutaan bintang menghiasinya seperti glitter tak terbatas. Langit malam di New York tak pernah secerah itu. Namun entah bagaimana hal itu malah membuatku merindukannya. Bunyi klakson mobil para pengemudi yang marah, orang-orang sibuk yang berlalu lalang, suara kericuhan dan orang-orang aneh yang meludah di jalan-jalan.

Aku bertanya-tanya apakah ada orang di suatu tempat sepertiku—merasa diasingkan, sendirian, bimbang dan meragukan segalanya; bahkan saat kau tahu beberapa aspek hidupmu yang ganjil sangat normal di sana, bahkan saat teman-temanmu ada tepat di sampingmu, bahkan saat kau tahu inilah waktunya untuk bertekad—inilah masa untuk menyelesaikan segalanya.

Tapi kau merasakan hal-hal yang seharusnya tidak kau rasakan.

“Redwine,” panggil Vooir lirih. Saat itulah aku tersadar dari lamunan panjangku. Aku melihat Ned terkulai di bawah, pernak-pernik Star Wars dari berbagai masa tergeletak di dadanya. “Apa kau baik-baik saja?”

Aku berbalik dengan kikuk. Vooir menatapku dari ranjangnya penuh kecemasan. “Oh—eh ... maksudku, iya. Tentu saja.”

Itu teknik berbohong paling menyedihkan dalam dua belas tahun hidupku, dan sepertinya Vooir menyadari itu. “Aku memahami perasaanmu. Percayalah. Terpisah dari keluarga adalah perasaan yang buruk. Tapi hanya untuk kali ini, kumohon padamu untuk mengabaikan perasaan itu. Sekali ini saja,” bujuknya lemah. “Kumohon. Aku tahu kau memahaminya.”

Butuh waktu untuk menjawabnya tanpa rasa canggung. “Aku mengerti,” akuku. “Aku nggak akan menyia-nyiakan waktu kita.”

“Baguslah,” gumam Vooir lega. “Kau bisa melakukannya. Aku yakin itu.”

Namun kata-kata itu tidak membuatku merasa lebih baik.

Vooir bergulir di ranjangnya dan menatapku. “Selamat tidur.”

Aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali aku mendengar kalimat itu. “... Selamat tidur.”

Namun saat aku memejamkan mata, yang bisa kupikirkan hanyalah harapan kecil itu. Harapan bahwa di suatu tempat yang jauh ada orang yang serupa denganku.

* * *

Aku tidak mudah tertidur malam itu. Aku berbaring sambil mendengarkan air yang menggelegak di suatu tempat di luar, suara orang-orang yang berbicara, dan dengkur Ned di bawah. Aku tak bisa melepaskan pikiranku dari Takdir Araez lain yang misterius, di mana dia, dan kenapa aku masih belum bisa menemuinya—hingga akhirnya, aku terlelap dan jatuh dalam mimpi.

Aku melihat sebuah meja makan di tengah-tengah ruangan putih—piring-piring ditumpuk dan tersebar pada sebuah meja marmer bundar, beruap hangat ke langit-langit. Jendela dibuka dan sinar mentari pagi merayap memasuki ruangan. Empat orang menduduki meja-meja tersebut. Satunya merupakan pria berambut hitam lebat, berkulit pucat, dan bermata biru dingin. Rasanya aku pernah melihat fitur serupa entah di mana. Janggutnya yang keperakan sangat panjang sampai-sampai menyentuh meja. Ia mengenakan baju hitam berkerah mandarin dan cincin-cincin perak. Di sampingnya, seorang wanita cantik berambut kecokelatan tersenyum. Wajahnya hangat dan mengingatkanku akan burung merpati. Rambutnya disanggul dan ia mengenakan perhiasan aneh di wajahnya—pelat keemasan berbentuk setengah lingkaran di dahi yang memanjang ke batang hidung.

Ia memandangi seorang gadis, kira-kira tak jauh lebih tua dariku, yang menyentuh-nyentuh piringnya dengan garpu dan tertawa. Ia mengenakan pakaian hitam yang mirip seperti si pria berjanggut panjang. Dia berambut hitam legam sebahu, berkulit pucat, dan bermata biru indah.

Aku mengenali wajahnya. Itu Vooir.

Itu pemandangan yang cukup aneh, karena aku tak pernah melihatnya tersenyum selama ini. Dia berbicara dengan laki-laki di sampingnya—piringnya beruap dengan semacam adonan aneh dan sesuatu yang terlihat seperti tomat ceri. Pemuda itu seperti cetakan persis Vooir yang lebih tua, mungkin sekitar enam belas tahun atau lebih. Satu-satunya hal yang menggangguku adalah potongan rambutnya. Dari jauh kau mungkin bakal mengiranya mengenakan helm.

Aku tidak mengerti mengapa aku menyaksikan ini, tapi rasanya menyenangkan. Di tempatku, kami tak pernah punya ruang makan, alih-alih meja kayu usang dan beberapa kursi lapuk yang ditumpuk di sisa ruang sempit. Dan kau bisa bayangkan betapa jaragnya makan malam bersama terjadi. Meski bukan hal yang luar biasa, pemandangan ini bukan hal yang sering terjadi bagiku.

Aku terus memandangi mereka—keluarga yang menikmati saat-saat bahagia sementara waktu berlalu. Cahaya matahari semakin naik di celah tirai jendela. Warna-warna terang seakan memulas segalanya. Namun kemudian, aku merasakan sesuatu seakan menarik kakiku dengan paksa—seolah-olah aku menginjak tempat yang salah di hutan belantara dan terjatuh—menghitamkan adegan yang kulihat, mengaburkannya, dan menghilang. Kilat-kilat cahaya menerangi mataku dari berbagai tempat seperti potongan-potongan film—sesuatu mengenai vas yang pecah, meja yang hancur berantakan, dan suara-suara yang memekakkan telinga. Aku merasakan tubuhku seakan terjatuh ke dalam kegelapan tak berujung selama-lamanya, sampai aku berani bersumpah tidak akan pernah melihat cahaya lagi—hingga sedetik kemudian, mataku terbuka dan kulihat langit-langit melengkung dan obor-obor yang menyala.

Aku terbangun dan menyadari diriku masih terbaring di kasur yang sama—Ned masih mendengkur sambil memeluk pernak-pernik Star Wars-nya yang berantakan, lalu kulihat Vooir. Dia terbaring di atas karpet merah marun sambil memandangi perkamen perjalanan Rym dan menulis daftar di atas kertas, kemudian mendongak menatapku. “Ada apa, Redwine? Kau terlihat pucat.”

Aku ingin menanyakan tentang apa yang kusaksikan, tapi aku berpaling dan berkata, “Nggak. Bukan apa-apa,” dan kembali berbaring di atas kasur. Kuputuskan ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya. Belum.

* * *

Pagi harinya, kami sarapan bersama para Tetua di lantai bawah. Semestinya aku tak perlu berharap banyak. Hidangan kali ini adalah semur daging hitam. Lagi. Kali ini tidak dingin, jadi kupikir tak ada salahnya mencobanya. Rasa rempah-rempah yang menyengat meledak di mulutku. Ternyata tidak buruk.

“Makan yang banyak!” ujar Astyr, menyodorkan semangkuk besar daging yang beruap. “Diet tradisional Rym selama di pengasingan. Sehat untuk tubuh.”

Ned kelihatan ragu-ragu, tapi dia mencobanya. Ia tampak terkejut karena rasanya sama sekali tidak mirip darah segar. “Nggak buruk,” katanya, menyendok sesuap lagi.

Astyr telah berganti pakaian. Sebelumnya, dia tidak terlihat jauh berbeda daripada Tetua lain. Tapi kali ini, ia mengepang rambutnya besar-besar dan menghiasnya dengan lingkaran-lingkaran kuningan yang bercahaya ketika terkena sinar matahari. Pakaiannya berwarna merah dengan warna-warna putih dan mantel bulu. Gyda dan Ilyak, yang terduduk tepat di sampingnya, kelihatannya tak mau repot-repot berpenampilan bagus. Tapi Ilyak kali ini mengenakan mantel bulu tebal hitam dan pelat logam tebal yang melindungi dadanya. Mungkin pakaian perang, pikirku.

Vooir kelihatannya tak begitu berselera makan. “Jadi, kapan kita akan memulai persiapannya?”

“Oh, tak perlu terburu-buru, Elledoire Muda,” kata Astyr, tersenyum lebar. Gigi-giginya putih bersih seperti mutiara. “Untuk sementara, kalian hanya perlu membiasakan diri. Kalian belum melihat keseluruhan Tria, kan? Kau akan terkejut. Kami punya banyak tempat yang menakjubkan!”

“Kau bisa meminta Kyn untuk memandu kalian,” Ilyak menyetujui. “Biasanya aku yang melakukan itu—tapi aku perlu melatih prajurit-prajurit muda di Pusat Pelatihan. Rot sangat keras kepala. Aku tak meragukan beberapa waktu lagi akan ada perang.”

“Seperti yang bisa kalian lihat, kami benar-benar sibuk,” Gyda mengerang. “Aku perlu mendatangi urusan diplomatik dari suku-suku kecil. Bukan pekerjaan mudah, kalau kau tanya pendapatku.”

Aku menelan ludah. “Apa itu artinya latihanku masih lama lagi?”

“Aku yang akan melatihmu,” kata Astyr bersemangat. “Dan kebetulan aku tak ada pekerjaan apa pun di sini. Betapa senangnya! Kalau kau siap, tinggal beri tahu aku. Kita bisa melakukannya setelah kalian berjalan-jalan.”

“Aku tidak ikut,” tukas Vooir tiba-tiba. “Kami tak bisa membuang-buang waktu berdiam diri saja di sini. Tiga minggu bukan waktu yang panjang.”

Ned kelihatan kecewa. “Kau betulan nggak mau ikut? Padahal aku belun selesai soal figurine Yoda edisi 1997-ku ....”

Aku masih terganggu dengan apa yang kulihat semalam. Mengapa aku memimpikan itu? Apa artinya? Jika satu-satunya orang dari Aldeoirgh yang kutahu selain dirinya adalah Rogeid, bagaimana aku bisa memimpikan keluarga Vooir?

Kemudian aku memikirkan mimpiku soal New York beberapa waktu yang lalu. Aku melihat New York hancur saat hal itu sama sekali belum terjadi. Apa mimpiku tentang Vooir ada hubungannya dengan ini? Bagaimana bisa aku memimpikan hal-hal semacam itu?

Itu membuatku merasa pusing, tapi kemudian pintu terbuka dan Kyn muncul sambil berkata, “Hei, kudengar kalian mau jalan-jalan?”

* * *

Kyn mengajak Ned dan aku mengelilingi Tria.

Pedagang-pedagang berjejeran di kanan kiri, berdiri di balik kios-kios kayu dan gerobak-gerobak yang digantung dengan barang-barang menarik; pakaian musim dingin dari kulit binatang, pernak-pernik dari bulu burung, dan daging-daging segar dengan darah yang menetes-netes. Di atas mereka, tergantung berbagai spanduk kayu yang bertuliskan huruf-huruf asing yang tidak dapat kubaca. Mereka berteriak ke arah kerumunan, “Mantel Dagren terbaik di kota! Cuma 10 Kren!”, “Perhiasan cantik untuk putri kesayangan Anda!”, “Beli dua gratis satu! Cuma hari ini!”, dan banyak sahut-sahutan lain yang tidak dapat kutangkap.

Aku menundukkan kepalaku untuk melewati gerombolan orang yang mendorong gerobak-gerobak besar, sementara Kyn di depan menjelaskan apa saja seperti pemandu kebun binatang. Saat berjalan mengikutinya, sesuatu yang basah dan dingin menyentuh kepalaku, dan ketika aku mendongak, kusadari itu darah dari daging-daging yang digantung di kios. Lalu sekumpulan anak tujuh tahun berlarian dan menubruk pinggangku, yang membuatku nyaris jatuh ke tumpukan salju. Aku terbangun dan mengerang. Tempat ini sama sekali bukan untukku. Sebagai satu dari jutaan bocah dua belas tahun di Amerika, kami terbiasa melihat supermarket.

“Mata uang kami biasa disebut Kren. Dibuat dari biji-biji Warrun yang diproses sampai menyerupai logam,” Kyn menjelaskan, sementara aku berusaha mengikuti langkahnya di balik hiruk pikuk orang-orang yang ripuh. Ned di belakang, kelihatan sepucat marmer dan penuh keringat. “Satu Kren sama dengan sepuluh Kredd. Satu Kredd sama dengan dua belas Sem. Mudah, kan? Kalian harus mengingatnya. Percayalah padaku, pedagang-pedagang selalu sibuk.”

“Yah, em, menarik sekali,” kataku kaku. Aku berusaha menarik Ned yang tertinggal jauh di belakang. “Omong-omong, kita mau ke mana sih, Kyn?”

“Ke Taman Ardeus, tentu saja!” dia berseru penuh semangat. “Kalian mungkin pernah ke sana. Kau nggak bakal percaya tempat itu nyata! Pokoknya, lihat sendiri saja deh!”

Kalau perkiraanku benar, Taman Ardeus adalah tempat di mana Ned, Vooir, Rogeid, dan aku pertama kali menemukan para Dagren dan nyaris mati. Aku masih ingin mendapatkan jawaban mengapa ada naga raksasa mematikan di tempat surgawi seperti itu, dan kuputuskan sebaiknya aku mengikut, meski kudengar Ned menggerutu soal kakinya dan sesuatu mengenai otot tendon.

* * *

Setelah kami berhasil melewati hutan untuk kedua kalinya, taman seukuran stadion olahraga membentang. Sinar matahari mebasuh tempat ini layaknya cahaya surga. Rumput melandai ke arah gua besar di seberang yang sunyi—dan seperti kata pepatah, masa lalu bakal selalu menghantuimu, dan bisa kurasakan bulu kudukku merinding. Sementara Ned bersandar pada batang pohon besar, aku terlalu takut untuk melangkah, tapi Kyn langsung berlari memasukinya, mengelus-elus para Dagren yang sedikit demi sedikit berkumpul mengelilingi remaja itu seperti lalat.

“Halo, Dyn, Ylon, Ryl—oh, Byt juga! Kalian merindukanku, ya? Kayaknya kalian baik-baik saja di sini—semuanya jadi gemuk!” Salah satu tanduk para Dagren nyaris menusuk matanya, tapi dia segera berbalik. “Sebetulnya nggak semua orang diperbolehkan di sini—termasuk aku. Tapi karena aku memandu kalian, secara teknis aku tidak melanggar apa-apa!”

“Oh—em, ya. Hebat.” Aku mencoba mengabaikan bahwa Kyn tampaknya sama sekali tak menyadari betapa berbahayanya makhluk-makhluk itu. Aku kembali menatap gua di seberang. Di dalam, tertidurlah seekor naga putih raksasa yang mematikan, sama sekali tak terlihat oleh dunia luar.

“Apa tempat ini berhubungan dengan Rym?” tebakku.

“Taman ini dibuat olehnya,” ujarnya. “Orang-orang menyebutnya Taman Ardeus—yang artinya berkah. Pokoknya, dia menginginkan tempat di mana kehidupan bisa terus berjalan tanpa pengaruh cuaca atau bencana. Serius, sumber makanan berlimpah di sini! Tapi tentu saja, dengan satu syarat, kami nggak boleh mengambil terlalu banyak, maupun melakukannya tanpa usaha.” Dia menatap seekor Dagren yang tengah dibelainya. “Di waktu-waktu dulu—tahulah, saat kami masih belum dilanda cuaca ekstrim berkepanjangan—tempat ini nggak jauh berbeda dengan tempat-tempat lain. Percayalah padaku.”

“Jadi Dagren-Dagren ini juga sumber makanan?”

“Itu bukan satu-satunya alasan,” katanya, beringsut dari para Dagren yang mengelilinginya. “Begini, Rym punya banyak rekan binatang. Banyak banget. Taman ini digunakan sebagai habitat mereka. Salah satunya Dagren, dan—cuuuuuiiit! Cuuuuuuiiiit!”

Awalnya kupikir Kyn tiba-tiba melakukan ritual aneh tanpa alasan yang jelas. Lalu kulihat selusin burung terbang menuruni cakrawala—bulu-bulunya putih dengan ujung merah menyala, paruh tajam hitam, dan mata kekuningan yang hampir tak nyata. Mereka menukik turun menuju kami dan dua dari mereka mendarat di pundak Kyn, lainnya mendarat di rerumputan atau tepian danau, lalu sisanya menghantam kepala Ned seperti peluru. Ia terjatuh di rerumputan, kemudian bangkit sambil memuntahkan bulu-bulu burung dan mengerang, “Uueeeggggh! Aku nggak makan burung mentah!”

“Nggak ada yang makan burung mentah!” Kyn tertawa, seraya memberi makan kedua burung di pundaknya dengan biji-bijian. “Anak baik. Mereka Fugrel. Burung-burung ajaib yang menemani Rym di banyak perjalanan. Mereka nggak berbahaya, kecuali fakta bahwa mereka cuma mengembuskan napas biru yang bikin iritasi kulit.”

Aku berkedip. “Cuma?”

Dia mengangkat bahu. “Yah, selama kau nggak banyak bergerak, mereka nggak akan melakukan itu padamu.”

“Mengerikan,” komentar Ned, suaranya menyebabkan sehelai bulu terbang keluar dari mulutnya. “Aku lebih suka Dagren.”

“Dagren memang bikin banyak hal yang membantu di cuaca ekstrim begini,” aku Kyn. “Tapi burung-burung ini lambang suku Tria. Ia rekan binatang pertama Rym setelah diasingkan. Selalu diajarkan di Sekolah. Dan, hebatnya, mereka mudah ditemui di luar Taman Ardeus! Ada banyak banget hal bisa kita lakukan dengan mereka!”

Kemudian aku menyadari mengapa para burung itu terlihat tidak asing. Bulu putih dengan ujung merah menyala—itu warna yang sama dengan perhiasan yang dikenakan orang-orang Tria. Tiba-tiba perutku melilit.

“Sebetulnya ada satu lagi rekan binatang Rym.” Kyn mengelus paruh si burung di pundaknya, yang membuat ia terbang ke cakrawala. “Sayang sekali mereka punah. Kudengar mereka luar biasa keren—besar, bisa terbang, dan menembakkan bulu-bulu mereka seperti anak panah!”

Aku mengerjap. “Punah?”

“Begitulah.” Kyn mengedikkan bahu. “Sebetulnya itu cerita yang lumayan sedih. Orang-orang memburu mereka hingga nggak bersisa.”

Itu sama sekali tidak masuk akal. Satu hari yang lalu, aku menemukan seekor di dalam gua dan nyaris dibunuhnya. Aku ingin berkeras bahwa aku pernah menemui salah satu dari mereka, tapi sepertinya itu tak bakal menghasilkan apa pun selain dianggap gila. Aku juga tidak tahu apa yang bakal orang-orang lakukan seandainya aku bisa membuktikan perkataanku benar. Meskipun pelajaran sejarahku payah, maaf saja, aku juga tidak mau membuat satu spesies punah.

“Langit sudah cerah. Ayo pergi, kita nggak bisa lama-lama di sini.” Kyn beringsut sambil mengarahkan seekor Fugrel terbang ke cakrawala. “Nah, kalian, ikuti aku! Masih ada banyak hal yang harus kutunjukkan!”

Kyn pergi ke luar memasuki hutan, tapi tepat saat itu Ned berbisik padaku, “Menurutmu, apa mereka benar-benar punah?”

“Jelas nggak,” kataku. “Aku hampir dibunuh waktu itu.”

“Yang artinya ....” Ned bergumam, tapi suaranya menghilang.

“Yang artinya apa?”

“Bukan apa-apa.”

Itu aneh, tapi aku tidak mengacuhkannya. Setelah menerima informasi bahwa naga yang hampir membunuhku ternyata punah, kami berjalan keluar mengikuti Kyn.

* * *

Kami melewati rumah-rumah, toko-toko kecil, dan akhirnya berhenti di sebuah bangunan yang jauh lebih besar dibanding yang lainnya. Segerombolan orang mondar-mandir di dalam pintunya yang terbuka, dan jika mataku tidak mengelabuiku, di halaman belakangnya terlihat sekilas kilat-kilat kebiruan. Tingginya sekitar lima belas meter, berwarna putih gading, dengan tiang-tiang bergalur yang menompa atapnya. Terdapat halaman kecil di depan yang membentang—pada tengah-tengahnya, berdiri patung perunggu Rym yang mengangkat tangan ke langit. Aku sedang memperhatikan gerbang keemasan tinggi yang membatasi kami, ketika Kyn mengajak Ned dan aku masuk ke halaman belakang.

“Kami bersekolah di sini,” katanya sambil berjalan. “Secara teknis, liburan masih belum berakhir, tapi banyak murid datang untuk berlatih demi ujian. Segala hal tentang Rym kami pelajari! Bukankah itu hebat?”

Di halaman yang luas, terdapat paviliun-paviliun kecil, yang tampak semestinya terletak di atas rerumputan hijau, tapi salju tebal menutupi segalanya. Berdiri arena panah di seberang, tapi alih-alih menembakkan anak panah, mereka menembakkan tombak-tombak sihir kebiruan. Beberapa anak berlarian di atas salju dan menyikut satu sama lain, separuhnya melakukan olahraga aneh serupa kasti—tapi alih-alih berkelompok, pemainnya cuma dua orang, seperti badminton. Aku menoleh dan melihat amfiteteater putih tertutup di ujung, sama sekali sunyi dan tertutup rapat dengan tirai beludru.

“Ditutup?” tanyaku.

“Kami tidak bisa memasukinya sebelum ujian,” keluh Kyn muram.

Kami melewati auditorium besar yang penuh dengan suara gema teredam, (“Cuma anak-anak junior yang lagi berlatih,” Kyn memberi tahu kami), dan di ujung, jauh dari kerumunan, sebuah gerbang raksasa yang membatasi sekolah dengan apa pun di belakangnya. Tempat itu kelihatan suram, dengan ujung-ujung runcing dan pemandangan yang gelap.

“Itu Hutan,” kata Kyn, “biasanya dijadikan Pusat Latihan. Salah satu ujian praktik kami dilakukan di sana. Tempat itu dilarang dilewati para murid, tapi nggak banyak yang menuruti peraturan itu.”

“Tempat ini indah,” komentarku.

“Ini hebat banget, Kyn!” Mata biru Ned berbinar-binar. “Aku nggak tahu kalian punya sekolah sebagus ini!”

Kyn tertawa. “Rym mengajari kami untuk terus mendalami ilmu pengetahuan,” ia menatap dinding melengkung sekolah itu dengan bangga, “dan terbentuklah Sekolah Tivarr.”

“Sekolah Tivarr?” tanya Ned. “Apa itu artinya para Gunn nggak bersekolah di sini?”

“Mereka tinggal di Distrik Gunn.” Nada suaranya tiba-tiba terdengar dipaksakan. “Jauh di arah utara. Mereka nggak bersekolah atau tinggal di sekitar sini.”

“Memang kenapa?”

“Ingin mengunjungi mereka?” tanya Kyn. “Yah,” desahnya, “kurasa tidak ada salahnya mencoba.”

* * *

Kami melintasi berbagai jalur untuk sampai ke sana. Aku sedang memperhatikan Kyn di depan, ketika sesuatu menarik perhatianku, sebuah bayangan di kejauhan. Jauh di antara rumah-rumah dan toko-toko, nyaris di ujung pulau, berdiri dengan kokoh sebuah amfiteater raksasa berwarna putih setinggi dua puluh meter atau lebih. Ia disangga dengan tiang-tiang logam bergalur yang terlihat seakan bangunan itu berkaki delapan. Sebuah pintu besi besar menguncinya rapat-rapat, dan di atasnya, tiga patung-patung perunggu besar.

“Rot?” tebakku. “Apa mereka tinggal di situ?”

Mata Kyn menyipit memandanginya. “Benar.” Ia berbalik dan kembali melangkah. “Lebih baik tak perlu berurusan dengan mereka.”

Aku ingin bicara lebih banyak, tapi kuputuskan sebaiknya mengikut saja.

Beberapa menit kemudian, kami sampai di Distrik Gunn, yang hanya berupa pemukiman kumuh serupa kota hantu. Kami melewati gapura dari kawat dengan papan kayu miring tergantung di atas, kutebak mengatakan sesuatu seperti PARA GUNN. Tak banyak orang yang kami lihat di sana, hanya beberapa lansia dan anak-anak yang kurang terawat. Mereka tidak terlihat begitu asing. Kemudian kusadari penampilan mereka sama persis dengan orang-orang asing yang kulihat tadi malam—rambut dicukur pendek, pakaian putih, dan mantel bulu tipis. Di dahi mereka, tertoreh tanda serupa huruf Y terbalik.

Aku bertanya-tanya bagaimana mereka bisa tinggal di tempat sekotor ini. Di mataku, orang-orang Tria terkesan begitu bijak. Tapi kalau begitu, kenapa mereka membiarkan separuh penduduk mereka terlantar di tempat yang kumuh?

Kami terus melewati rumah demi rumah hingga akhirnya sampai pada jejeran bangunan putih di belokan terakhir. Tempat itu terlihat sedikit lebih baik. Kira-kira dua puluh bangunan berjejeran, dengan kawat-kawat penyekat, serta papan-papan yang ditulis secara berbeda-beda.

“Ini Pabrik,” kata Kyn kaku, “tempat para Gunn bekerja. Bukan lokasi yang ... eh, nyaman.”

“Tempat mereka bekerja?” tanya Ned.

“Mereka melakukan pekerjaan kasar. Kau tahulah—menambang, menjahit, memproduksi barang-barang ....” Dia bergidik. “Ini keempat kalinya aku ke sini, tapi rasanya masih mengerikan.”

“Pekerjaan kasar?” Ned tampaknya kurang suka dengan kata itu. “Apa mereka bekerja sepanjang waktu?”

“Kurang lebih. Itu alasannya pemukiman nyaris kosong,” katanya. “Tapi apa boleh buat. Mereka nggak bisa menyihir, memiliki darah Rym saja tidak. Satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka lakukan adalah ... ini.”

Ini, dia mengatakannya seolah itu kondisi yang menjijikan.

“Tapi—tapi itu nggak adil!” sergah Ned, wajahnya nyaris semerah rambutnya. “Mereka seharusnya nggak bekerja dengan kondisi seperti itu. Ini—ini perbudakan!”

Perbudakan, itu kata yang ekstrem, tapi Kyn kelihatannya tidak terusik. “Begini, aku tahu hal ini nggak biasa bagi pendatang seperti kalian, tapi itulah kenyatannya. Mereka nggak punya darah Rym, yang artinya mereka juga nggak mampu melakukan sihir, jadi mereka nggak bakal bisa bekerja di luar Pabrik. Kemampuan mereka cuma pekerjaan-pekerjaan kasar, bukan guru, pembimbing, sejarawan, atau Tetua.”

“Kenapa sihir nggak bisa dilakukan oleh orang yang bukan keturunan Rym?” Ned bersikeras. “Bagiku itu nggak masuk akal.”

Kyn hanya menjawab dengan suara yang dipaksakan, “Sihir dilakukan oleh Tivarr. Bukan Gunn.”

* * *

Kami memasuki salah satu gedung Pabrik, kedua dari ujung. Tempat itu bising dengan mesin-mesin kayu dan kelontang besi-besi, dan berbau menyengat seperti oli mobil. Ada sekitar tiga puluh—barangkali empat puluh orang yang terduduk di balik mesin kayu yang mengangkut biji-bijian serupa kacang walnut. Benda itu berupa kincir yang mengangkut biji-biji ke dalam cairan hitam—dialiri ke saluran panjang yang dipungut oleh para pekerja, menggosok benda itu kuat-kuat dengan kain putih tebal.

“Pembuatan Kren dari biji-biji Warrun,” kata Kyn. “Memang bukan tempat yang terlalu menyenangkan.”

Sekitar setengah dari mereka adalah anak-anak, kira-kira tak jauh lebih tua dariku, menggosok biji-bijian dengan wajah muram dan kosong. Mereka bekerja seharian tanpa henti, nyaris tak berperilaku seperti anak-anak semestinya. Pemikiran itu membuatku depresi.

Kemudian salah satu dari para pekerja itu turun dari kursinya, seorang anak laki-laki sekitar sepuluh tahun atau lebih. Wajahnya pucat dan berkantung mata hitam, seolah-olah dia belum tidur selama tiga hari. Rambut pirangnya berkibar saat ia menundukkan kepalanya ke bawah—yang diikuti oleh semua pekerja lain secara bersamaan.

“Selamat datang di Pabrik Kren, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Ia mengatakan kami seolah-olah bukan dia saja yang berbicara. Aku merasakan sesuatu yang tak asing dari anak itu, kemudian dia menatapku.

Aku berkedip. Aku mengenali wajahnya. Dia anak laki-laki yang menundukkan kepalanya di penjamuan. Tampaknya bocah itu juga menyadari hal yang sama denganku, lalu berpaling dan kembali menunduk.

“Tidak ada apa-apa. Cuma menemani pendatang baru melihat-lihat,” kata Kyn, kelihatannya berusaha tidak memandang bocah itu, yang agak aneh.

“Oh,” gumam si bocah, “Kalian pendatang?” Dia kembali menundukkan kepalanya dengan hormat, yang membuatku agak kikuk. “Aku Lyos Gunn Alt. Selalu melayani.”

“Eh—em, makasih.” Aku terbata-bata. “Ini tempat yang indah.”

“Oh.” Wajah Lyos memerah. “Bukan apa-apa. Ini jauh dari indah.”

“Jadi kalian bekerja di sini?” tanya Ned. “Setiap hari?”

“Itu cuma kegiatan sehari-hari kami,” kata Lyos muram. “Maksudku—itu nggak buruk. Sama sekali tidak.”

“Apa kalian nggak ... merasa bosan?” Ned mengernyitkan alis dengan iba. “Kalian, kan, masih anak-anak!”

Wajah Lyos merah padam. “Kami—kami tidak sekanak-kanakan itu.”

“Bukan,” tukasnya. “Itu karena kalian nggak pernah merasakan menjadi anak-anak.”

Barangkali Ned ingin bicara lebih banyak, tapi Kyn menariknya ke belakang sambil tertawa dibuat-buat. “Lupakan saja dia! Tahu kan, pendatang, selalu penasaran!”

Lyos hanya terdiam menatap tanah.

“Semoga beruntung dengan pekerjaannya,” kataku, berharap salam perpisahan bakal memperbaiki situasi. “Maafkan soal temanku tadi. Dia memang suka cari masalah. Seharusnya kami nggak membahas hal-hal pribadi. Sori.”

Wajah Lyos semakin memerah, seperti tembaga tercerah di dunia. “Bukan masalah. Kalian juga nggak perlu berkenalan.” Dia menarik gagang pintu besi dengan terburu-buru. “Kami masih punya banyak pekerjaan! Daaaah!”

Kemudian pintu berdebam tertutup dan kusadari kami barusan saja diusir.

“Semestinya kalian menurut saja,” keluh Kyn ketus. “Para Gunn agak sensitif. Ayo, kita pergi.”

Tapi ketika aku dan Kyn berjalan menjauh, Ned tetap berdiri di depan pintu besi tebal itu.

“Mereka seharusnya nggak ada di tempat itu,” bisiknya. “Mereka berhak punya kehidupan yang lebih baik.”

Saat itu, kusadari mata birunya berkilat dengan cahaya yang ganjil.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height