+ Add to Library
+ Add to Library

C2 SMP CLOVER

OMONG-OMONG soal sekolah, SMP Clover ini lumayan sinting.

Pertama, guru kami tidak becus. Bukannya berubah tidak becus setelah bencana tornado, tapi sejak awal. Hanya saja ketidakbecusan mereka makin kelihatan setelahnya.

Aku pernah melihat guru matematika kami, Pak Green, melewati Ned yang ditodong penggaris lancip oleh Jake. Bajuku dicekik oleh pelayan setianya dan badanku diserempet di dinding sebelah. Pak Green menatap kami selama sedetik, lalu berjalan menuju ruang guru seolah yang kami lakukan cuma menempelkan poster selamat datang di papan pengumuman.

Kedua, beberapa orang gila bisa menjadi guru, dan itu termasuk Pak Murphy.

Aku menggantungkan jas hujanku di loker. Lorong-lorong sekolah sama sepinya selama tiga bulan terakhir.

Ned menoleh kanan-kiri sebelum memasukan jas hujannya. Kurasa dia masih waswas soal Jake.

Orang-orang yang masuk sekolah antara lain adalah anak-anak super pintar, atau anak-anak super populer. Lalu ada golongan kecil yang lain, anak-anak super nekat. Yaitu aku, dan siswa pindahan dari Jerman, Dieter Beck, yang suka membagikan batangan cokelat setiap hari Jumat.

Nyaliku menciut. Aku sama sekali tak menonjol, dan hampir tidak ada yang mengingatku kecuali Ned dan Jake, termasuk para guru. Selain bahwa nama belakangku unik; Redwine—anggur merah. Pernah sekali saat absensi kelas sejarah, guru sejarah kami membaca namaku, dan berujar ke seluruh kelas, “Ini nama orang atau merek miras?” yang membuat puluhan mata menempel padaku, menatapku seolah aku telah menonjok nenek-nenek mereka, lalu tertawa terbahak-bahak.

Sejak saat itu aku merasakan paranoia berlebihan terhadap kata anggur, mungkin jika aku tidak berusaha menahan rasa nekatku dan memotong urat maluku, aku bakal menghajar muka orang di koridor hingga babak belur di suatu titik kehidupanku.

Kalau aku tidak salah ingat, Ned juga pernah mengejekku dan bilang kalau aku mirip kucing hitam kusut milik tetangga nenek-neneknya yang tiap hari makan kol rebus. Aku tak tahu pasti apa artinya itu, tapi kutebak wajahku ada kemiripan dengan para felidae. Berarti ada kemungkinan aku mirip singa keren, tapi aku heran mengapa tak ada seorang pun murid yang menganggapku begitu.

Aku tengah mengambil buku dan alat tulis sesaat bel berdering. Aku melejit melewati lorong diikuti Ned yang sebelumnya mengutak-atik figurine Luke Skywalker. Dia memperlakukan mainan itu seperti benda keramat yang bisa gerak di malam hari.

* * *

Pelajaran pertama adalah sains.

Dan sesuai dugaanmu, sekarang adalah bagiannya Pak Murphy.

Kami duduk di kursi masing-masing. Ada delapan orang di kelas ini, tiga anak lainnya yang jarang masuk akhirnya kembali, dan saat melihat rengutan suram di wajah mereka, aku yakin bukan dengan alasan baik-baik.

Aku duduk di barisan tengah, di bagian tengah baris tengahnya juga. Tempat dudukku sejak tahun pertama ajaran. Jangan menyebutku super membosankan, atau super-tidak-mengesankan, atau super cupu dan semacamnya, bagiku ini adalah tempat duduk paling strategis yang pernah kududuki selama enam tahun kehidupan pelajar. Tidak ada guru yang benar-benar memperhatikan; yang artinya kemungkinan mempermalukan diriku sendiri di depan seluruh kelas nyaris mustahil, dan itu benar terbukti, mengecualikan kejadian kelas sejarah itu, sih. Mengingatnya saja membuat seluruh badanku menggigil.

Aku melirik Ned, dia duduk di barisan seberang, satu kursi di belakangku. Dia nyengir dan melambaikan tangan ke arahku, lalu dengan cekatan mengeluarkan buku-bukunya, tepat sebelum Pak Murphy memasuki kelas dengan senyuman kuning-tartarnya.

Dengan cepat aku berpaling, menghadap lurus-lurus ke papan tulis. Sekilas aku melihat Jake, bersandar di kursi depan dengan seringai bengisnya. Aku tidak kaget dia punya harga diri yang cukup tebal untuk menunjukkan mukanya di depan. Seumur hidupku baru pertama kali aku menemukan bocah pengganggu yang tingkat kepercayaan dirinya kelewat batas.

“Selamat pagi, Anak-Anak Genius,” Sapa Pak Murphy, meletakkan tumpukan buku di genggamannya ke meja. Dia masih tersenyum saat berkata, “Kalian akan mempelajari sains sekarang, ada yang tahu nama bintang paling terang di konstelasi Boötes dan berjarak 36,7 tahun cahaya dari matahari?” yang membuatnya kelihatan seperti buronan paling berbahaya di seluruh Amerika.

Pak Murphy adalah guru sains yang seharusnya punya surat rumah sakit jiwa. Usianya tiga puluhan, rambut cokelatnya acak-acakkan dan tampangnya mirip gelandangan pecandu narkoba. Kacamatanya cukup tebal untuk dijadikan jendela mobil. Sweternya selalu sama dan berbau mirip campuran antara cuka dan cairan pembersih toilet, di baliknya ia memakai kemeja putih polos. Tinggal kenakan jas lab putih dan dia akan menjelma menjadi ilmuwan jahat sempurna. Tipe ilmuwan jahat yang memotong-motong kaki sepupumu Carly dan berhasil terbebas dari jeratan hukum dengan dalih “demi memajukan peradaban sains”. Ya, yang itu.

Pak Murphy selalu menjuluki kami Anak-anak Genius. Yah, aku tidak keberatan soal pujian, tapi dia kadang bertingkah seolah-olah kami anak genius sungguhan. Yang, jika kau belum menyadarinya, kami sama sekali bukan. Tiap pagi dia akan menanyakan pertanyaan rumit dan mengajari pelajarannya seolah kami telah mengetahui perbedaan tumor dengan protozoa. Kecuali Ned, itu saja dibarengi dengan obsesi maniaknya terhadap Star Wars.

Ned di seberang kelihatan resah. Sepertinya dia ingin menjawab, tapi tak bisa karena rahasianya bakal terbongkar. Sains adalah mata pelajaran favoritnya, dan sains tidak bisa dipisahkan dari Star Wars. Juga ini kelasnya Pak Murphy, mereka punya banyak kegemaran yang sama, dan Ned pikir orang ini cukup menarik.

Henry Lee mengangkat tangan. “Jawabannya bintang Arcturus, Pak.”

Henry Lee, langganannya olimpiade nasional. Tiap hari dia yang bertugas menjawab pertanyaan Pak Murphy, sekaligus guru-guru lain yang kelewat memberi harapan tinggi pada kami; anak-anak pintar, anak-anak baik, anak-anak rajin, dan lain-lain.

“Benar, Henry. Kita langsung saja ke materinya—”

“Leon!” desis Ned dari kejauhan.

Aku menoleh. “Apa?”

Ned memperlihatkan layar ponselnya padaku diam-diam. Aku memicingkan mata untuk melihat lebih jelas. Sebuah artikel resmi tentang tornado Brooklyn. Ned memutar video di dalam makalah itu.

Video itu menampilkan pusaran tornado. Angin yang memilin berputar di tengah-tengah Brooklyn, menghancurkan apa pun yang melewati teritorinya. Kilat-kilat kemerahan terlihat, berpendar-pendar di dalam pusaran, seolah jantung yang bercahaya. Mataku melebar, ini sungguhan? Selanjutnya terdapat semacam bayangan, terpampang di tornado yang berputar-putar, mengingatkanku pada awal pembuatan animasi zaman dulu—kumpulan gambar ditempel pada sebuah benda silindris yang diputar cepat. Bayangan itu membentuk menjadi empat bagian.

Aku terkesiap. Dua mata, satu hidung, dan sebuah mulut. Aku bertanya-tanya apakah ini cuma khayalanku saja—tapi dengan segera videonya berhenti berputar.

Ned membalikkan ponselnya. “Video ini sekarang jadi perbincangan di seluruh internet. Situs-situs resmi sudah memberitakannya, dan terbukti klip ini asli! Tanpa editan atau apa pun! Bayangkan, Leon. Jangan-jangan rumor alien itu betulan. Aku sudah selidiki rumor ini sejak tiga bulan terakhir, nggak kusangka bakal cepat banget begini. Aku penasaran—mereka juga menemukan tanah merah asing yang tak cocok dengan jenis tanah apa pun di Amerika. Mereka bilang tanah itu bereaksi seperti debu bulan.”

Aku mengelak. “Debu bulan? Jangan bercanda—”

Namun sesaat kuucapkan kata-kata itu, Ned menatapku dengan mata birunya lekat-lekat seolah berusaha meyakinkanku. “Aku serius, Leon.”

Suara derit kapur di papan tulis mengagetkanku. Aku berbalik dan kembali ke pelajaran, tak lupa memberi tanda pada Ned; kita lanjutkan nanti, dengan wajahku.

“—Atom merupakan satuan dasar materi, yang terdiri dari inti atom dan awan elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Inti atom terdiri dari proton yang bermuatan positif, dan neutron yang bermuatan netral—”

Jujur saja, aku tidak bisa fokus ke pelajaran. Gambaran tornado dengan kilat petir merah dan bayangan wajah menghantui benakku. Rasanya aneh saat melihat wajah itu—seolah dia tertawa jahat padaku dan mengancamku; kau selanjutnya, Leon. Aku bergidik. Lupakan saja, mungkin lama-kelamaan aku ikut tertular virus Star Wars Ned

“—Dalam tubuh manusia, mayoritas atom-atom kita tersusun dari atom Karbon (C) yang dihasilkan dari fusi nuklir bintang untuk mendapatkan energi. Jadi, secara harfiah, tubuh kita diciptakan dari bintang—”

Meski aku berusaha melupakannya, gambaran tornado itu masih melekat. Dengar, aku tidak mahir dalam sains maupun aku mengerti sepenuhnya tentang debu bulan dan arus listrik, tapi aku yakin berita semacam ini bisa membuat siapapun jadi sinting. Petir, tornado, debu, wajah—kali ini aku tak akan heran jika tiba-tiba dunia mengalami kiamat dalam waktu dekat. Jujur, situasi sekarang saja sudah terasa seperti kiamat sungguhan.

“—Aku menghormati Galileo sebagai seorang astrolog, tapi seperti yang kubilang; bintang-bintang bergerak, meledak, dan saling bertabrakan, dan aku cukup yakin mereka tak ada hubungannya dengan ramalan nasib tiap-tiap manusia yang hinggap di bumi. Jadi, Anak-anak, itulah mengapa astrologi cuma omong kosong.”

Beberapa anak-anak cewek di seberang tampak tersinggung. Ned terkikik di belakangku. Aku tidak menangkap apapun sebelum dia menyinggung tentang astrologi. Pak Murphy masih melanjutkan dengan derit kapurnya.

“Mungkin kita sedang membahas tentang atom, tapi aku penasaran ....”

Ini dia, Pak Murphy bakal kembali ke mode klasiknya—nyerocos soal alien dan planet-planet serta omong kosong luar angkasa.

“Di suatu tempat di antara bintang-bintang, mungkin terdapat suatu kehidupan. Anggapan soal bumi sebagai satu-satunya planet bermakhluk hidup di alam semesta ini tidak masuk akal bagiku. Maksudku, apa kalian tidak penasaran? Menurutku ada dua kemungkinan, di antara kehidupan di luar sana hanya sebatas bakteri-bakteri yang belum berkembang, atau terdapat peradaban yang jauh lebih maju dari kita. Kalian pasti tahu tentang—”

Anak-anak memotong Pak Murpy dengan mulai mengeluh dan mencemooh (“Kapan kita pulang?” “Guru ini sinting.” “Ada yang punya permen?”). Pak Murphy tampak gelisah, tapi dia tetap berada pada tempatnya, tidak bergerak satu inci pun.

Inilah akibatnya kalau kau memberikan hak-hak khusus kepada anak-anak sakit jiwa. Pak Murphy mengijinkan kami untuk bebas berbicara, dan itu termasuk memotong, mengkritisi, dan—meski aku yakin Pak Murphy tidak meniatkannya—mencemooh serta melempar ejekan. Namun Pak Murphy bersikeras kalau hal ini mencerminkan kreativitas dan mengasah kemampuan berpikir kritis bagi anak-anak yang akan memajukan ... aku terlalu geli untuk melanjutkannya. Intinya, dia pikir ini hal baik, tapi malah jadi bumerang untuknya.

Aku melihat Jake yang mengejek Pak Murphy, lalu tiba-tiba dia melempar tatapan sinis ke arah Ned. Seolah dia mengejek Pak Murphy sekaligus Ned. Aku merinding, seolah tubuhku disetrum bersamaan dengan tatapannya. Tak mungkin, jangan-jangan dia tahu rahasia Ned? Padahal dia sudah membuat semua nilainya tidak menonjol, dan ini pelajaran sains. Aku yakin nilainya di mata pelajaran ini yang paling bobrok. Kugelengkan kepalaku. Tapi tak kututup kemungkinannya—orang-orang kaya suka menyelidiki satu sama lain.

Dieter Beck, si anak pindahan dari Jerman, mengangkat tangan. Tampaknya dia tertarik. “Apakah di planet lain kemajuan teknologinya bisa sama seperti bumi?”

Wajah Pak Murphy seketika berubah cerah, meski aksen Jerman Dieter Beck membuatnya kedengaran seperti berkumur-kumur pakai mikrofon.

“Ya, tentu, Dieter. Peradaban yang berdekatan tidak mustahil. Tapi bakal sulit karena evolusi membutuhkan jutaan tahun—dan itu saja baru di bumi.” jawabnya senang.

Sesaat setelahnya, bel berbunyi.

“Pelajaran selesai. Sampai ketemu minggu depan, Anak-anak Genius!”

* * *

Sekolah telah usai, diakhiri dengan kelas Matematika Pak Green. Aku dan Ned menyusuri stasiun STA. Kami sempat membicarakan tentang artikel video tornado Brooklyn.

“Kuyakini kekacauan bakal makin parah dari sekarang. Seluruh internet telah membicarakan videonya,” ujar Ned.

“Serius?” kataku. “Kayaknya aku banyak ketinggalan berita. Aku nggak terlalu peduli dengan bencana.”

“Yeah, kau emang ketinggalan banyak, sih. Aku dengar ada semacam gerakan protes besar-besaran, pamfletnya sudah menyebar, dan katanya mereka bakal pakai senjata mulai sekarang.”

Aku mengerutkan kening, pamfletnya juga ada saat pagi tadi. “Rasanya kayak film fiksi ilmiah saja.”

Ned bergidik. “Ya, dan aku nggak sabar bermigrasi ke bulan. Kayaknya kita bisa buat koloni di planet bernama Tatooine—”

Aku menonjok lengan Ned. “Kau bukan Luke Skywalker, Jagoan.”

“Memang bukan.” Ned nyengir. “Aku Obi-Wan Kenobi, dan kau Luke.”

Kami berada di depan palang masuk.

Aku berbalik, mengeluarkan tiket dari sakuku. “Omong-omong, Ned—”

Aku belum sempat membahas rencana kami main video game dan nonton film di tempatku, kurasakan seseorang memegang tas ranselku.

Bulir-bulir keringat mulai bercucuran di dahi, aku kenal bau napas ini, bau masakan Meksiko yang tersangkut di gigi dan tak pernah dibersihkan selama seabad. Komplotannya Jake.

“Met sore, Leon.” Jake menyeringai, berdiri tiga meter di belakangku. Rambut pirangnya super rapi dan jaket merah luar biasanya tampak mahal. Salah satu anteknya, Sam Nellson, memegangi tas ranselku. Anak kelas delapan dengan kecerdasan di bawah rata-rata. Dia nyengir seperti orang sinting kanibal ke mukaku. Ned terpojok di dinding bersama Jake dan penggaris tajam legendarisnya, yang coba ia sembunyikan di balik jaketnya, supaya tidak menarik perhatian dan kena tindak pidana.

“Seret dia ke sini,” perintahnya. Sam Nellson menarik tas ranselku dan aku diseret ke pojokan stasiun, merepet pada dinding. Ned memucat di sebelahku.

“Nah, begini lebih baik,” gumamnya.

Aku berniat membalas dengan komentar tajam, tapi Jake Wayne telah menodong penggarisnya lebih dekat pada Ned. “Pattinson, bocah Skotlandia, mari kita selesaikan urusanmu.”

“Apa maumu?” gertak Ned, meski bisa kulihat bibirnya gemetar.

“Aku tahu rahasiamu,” katanya dengan nada mengancam, “dan jika kau tak berhenti bersikap tidak becus, akan kucongkel bola matamu.”

Aku menegak ludah. Ternyata benar. Jake sudah tahu tentang Ned.

“Jadi?” balas Ned, “bagian mana dariku yang nggak becus?”

“Dengar, Pattinson, kau ini dari keluarga terpandang dan genius, tapi kau bertingkah kayak orang idiot yang punya tunggakan tagihan listrik selama satu dekade,” kecam Jake. “Itu nggak becus.”

Ned menggertakan gigi. “Kurasa kaulah yang nggak becus di sini, Jake—”

“Ned, berhenti mengoceh. Tak ada yang salah denganmu. Bocah sialan inilah yang macam-macam,” semburku. Tanganku mengepal, seandainya aku bisa nonjok Jake tanpa membuat rumit masalah maupun dihajar Sam Nellson dalam sekejap.

Jake mendelik marah padaku. “Kau—”

Sam Nellson mencengkeram bahuku. Aku berusaha menangkisnya, tapi dia langsung menekan bahuku kuat-kuat. Aku meringis, rasanya bagai dijepit di antara roda truk. Tapi aku berusaha tak berteriak atau merosot lemas ke bawah, aku tidak bisa menyerah sekarang. Belum.

Jake menatapku tajam. “Redwine, kau juga bobrok, ya? Bocah Skotlandia tolol di sampingmu ini sinting. Kau tahu itu lebih dari siapapun.”

“Masa bodoh,” sergahku, berusaha berbicara dengan pundakku yang terasa remuk. “Mau sinting atau tidak, Ned tetap Ned. Dia temanku.”

Sam Nellson mendorongku ke belakang, melepaskan cengkeramannya. Akhirnya aku bisa bernapas lega, meski kepalaku terasa pening terhantam tembok stasiun.

“Begitu,” kata Jake. “Akan kupastikan, Leon Redwine. Jika sobatmu yang satu ini tidak berubah, kau bakal mendapat yang lebih parah.”

Jake menatap Ned dan aku seolah ingin membakar kami hidup-hidup di tungku perapian, lalu mereka pergi meninggalkan kami berdua. Aku mematung sampai Jake dan anteknya nyaris tak terlihat di kejauhan. Rasanya seperti menjadi cucian basah yang dipuntir hidup-hidup.

Ned menatapku khawatir. “Leon—”

“Tak apa,” kataku, berusaha tidak kedengaran gemetar. “Ancamannya nggak berarti apapun buatku. Lagian, apa sih, yang bisa dia lakukan? Menodong penggaris? Memercikan cairan kimia? Melempar penghapus dari belakang? Kita sudah sering kena begituan, dan tampaknya dia tak berhasil mendapat apa yang ia inginkan.”

Ned memandangku untuk sesaat, lalu tergelak. “Kau benar. Dia super payah!”

Aku tersenyum. “Mau main video game di rumahku seperti pecundang yang punya tunggakan listrik selama satu dekade?”

“Tentu.” Ned nyengir. “Makasih, Sob. Aku banyak berutang padamu.”

Sepanjang perjalanan, kami tidak menganggap ancaman Jake sebagai apa pun selain bualan. Bahkan muka Jake dibenakku tak sengeri biasanya; dia cuma kelihatan seperti bocah dengan orangtua kaya yang salah pergaulan.

Sesaat kami keluar dari gerbong STA, menuju tempat tinggalku, hal-hal tentang Jake Wayne langsung menguap dari pikiranku.

Seandainya saat itu aku masih bisa berpikir waras, dan menganggap Jake sebagai bocah berbahaya, aku tidak akan sengeri sekarang.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height